Jumat, 30 Januari 2009

SPIP: SOLUSI UNTUK PERBAIKAN KONTROL INTERNAL PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) telah ditetapkan di Jakarta, 28 Agustus 2008 lalu oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Peraturan ini juga telah diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127. Sebuah langkah yang tepat karena PP tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit hal ini merupakan langkah dan niatan yang baik serta bersunguh-sungguh dari pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK RI dengan opini disclaimer selama ini.

Jika kita sedikit mengulas tentang definisi internal control, maka akan diketahui secara teoritis praktis. Menurut “Professional Practices Framework”: International Standards for The Professional Practice of Internal Audit, IIA (2004) internal control adalah suatu aktivitas independen yang memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi yang dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah (to add value) serta meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Jadi, pengawasan internal justru membantu organisasi dalam pencapaian tujuan dengan cara memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola (governance processes).

Dalam Penjelasan PP No. 60 tahun 2008, dijabarkan dengan gamblang unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern yang mengacu pada unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan pada lingkungan pemerintahan di berbagai Negara yang paling tidak telah mengakomodir teori praktis pada paragraf dua tersebut di atas. Unsur-unsur SPI yang dimaksud dalam PP tersebut adalah meliputi:
a. Lingkungan pengendalian
Pimpinan instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern serta manajemen yang sehat.
b. Penilaian risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
c. Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan apakah arahan pimpinan instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
d. Informasi dan komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.
e. Pemantauan
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.

Ditinjau secara kelembagaan, pengawasan internal pemerintah yang ada sekarang selain terdapat BPKP di pusat maupun di daerah, juga terdapat Inspektorat Jenderal di masing-masing departemen dan lembaga pemerintah non departemen, serta Inspektorat Daerah yang sebelumnya lazim disebut dengan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di masing-masing pemerintah daerah. Jika dilihat dari keberadaan lembaga-lembaga tersebut memang terkesan tata kelola dan birokrasi pengawasan internal pemerintah tumpang tindih. Lembaga-lembaga tersebut juga terkesan terlalu banyak dan tidak jelas batas kewenangannya sehingga menyebabkan inefisiensi serta berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengawasan. Namun kesan kekhawatiran ini paling tidak telah diakomodir oleh PP tentang SPIP ini pada pasal 49 yang telah membagi job deskripsi masing-masing lembaga pengawasan internal pemerintah, yakni sebagai berikut.
1. Ayat (1) menyebutkan bahwa Aparat pengawasan intern pemerintah terdiri atas BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.
2. Ayat (2) menjelaskan job BPKP yang harus melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi:
a. kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. kegiatan kebendaharaan umum negara
berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan melakukan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
3. Ayat (3) menjelaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan intern untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri Keuangan melakukan koordinasi kegiatan yang terkait dengan Instansi Pemerintah lainnya.
4. Ayat (4) bahwa Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
5. Ayat (5) bahwa Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
6. Sedangkan pada ayat (6) bahwa Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
Selanjutnya demi tercapainya tujuan yang dimaksud dalam SPIP maka perlu dilakukannya pembinaan penyelenggaraan SPIP yang menurut ayat (2) pasal 59 ditunjuklah BPKP selaku instansi pelaksananya untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP tersebut sesuai ayat (2) pasal 59 yang meliputi kegiatan antara lain:
a. penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP
b. sosialisasi SPIP
c. pendidikan dan pelatihan SPIP
d. pembimbingan dan konsultansi SPIP
e. peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah

Sedikit berfokus pada upaya peningkatan kompetensi auditor APIP, dalam perkembangan pengetahuan tentang “internal auditing” sebenarnya sejak tahun 2002 telah ada The Standards for The Professional Practice of Internal Auditing (SPPIA) yang ditetapkan oleh The Institute of Internal Auditors dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2002 yang merupakan revisi dari SPPIA tahun 1999, dimana tujuannya antara lain adalah:
a. Menggambarkan dengan jelas bahwa prinsip dasar dari pelaksanaan audit internal diterapkan. b. Menyiapkan kerangka pelaksanaan dan promosi aktivitas audit internal yang lebih luas dengan nilai tambah.
c. Menetapkan basis pengukuran pada pelaksanaan audit internal.
d. Membantu perkembangan organisasi dalam proses dan operasinya.

Auditor internal menurut SPPIA merupakan suatu profesi yang memiliki peranan tertentu yang menjunjung tinggi standar terhadap mutu ataupun kualitas pekerjaannya, sehingga kepatuhan dan ketaatan terhadap SPPIA menjadi sangat penting agar terdapat kesamaan persepsi dalam wewenang, fungsi dan tanggung jawab antar auditor internal.

Secara nasional dalam segi profesinya auditor internal telah memiliki kode etik tersendiri, yang ditetapkan oleh Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal pada tahun 2004 yang terdiri atas 10 hal, sebagai berikut.
1. Auditor internal harus menunjukkan kejujuran, objektivitas dan kesanggupan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya.
2. Auditor internal harus menunjukkan loyalitas terhadap organisasinya atau terhadap pihak yang dilayani. Namun demikian, auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau melanggar hukum.
3. Auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam tindakan atau kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi audit internal atau mendiskreditkan organisasinya.
4. Auditor internal harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka, yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya secara obyektif.
5. Auditor internal tidak boleh menerima sesuatu dalam bentuk apapun dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok ataupun mitra bisnis organisasinya, yang dapat atau patut diduga dapat mempengaruhi pertimbangan profesionalnya.
6. Auditor internal hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesikan dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya.
7. Auditor internal harus mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa memenuhi Standar Profesi Audit Internal.
8. Auditor internal harus bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya. Auditor internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia (i) untuk mendapatkan keuntungan pribadi, (ii) secara melanggar hukum, (iii) yang dapat menimbulkan kerugian terhadap organisasinya.
9. Auditor internal harus mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta yang jika tidak diungkap dapat (i) mendistorsi laporan atas kegiatan yang direview, atau (ii) menutupi adanya praktik-praktik yang melanggar hukum, dalam melaporkan hasil pekerjaannya.
10. Auditor internal harus senantiasa meningkatkan kompetensi serta efektivitas dan kualitas pelaksanaan tugasnya. Auditor internal wajib mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan.
Auditor internal saat ini sudah harus menggunakan audit berbasis risiko (risk based audit approach). Pola audit yang didasarkan atas pendekatan risiko akan lebih difokuskan terhadap masalah parameter risk assesment yang diformulasikan pada risk based audit plan. Berdasarkan risk assesment tersebut dapat diketahui risk matrix, sehingga dapat membantu auditor internal untuk menyusun risk audit matrix. Memang, SPPIA dan kode etik bagi pelaksananya yang ditetapkan oleh Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal ini, berawal dan berkembang dari sektor bisnis, tapi dapat pula diadopsi untuk kemudian diterapkan pada sektor publik termasuk pada para auditor APIP baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Ataupun mungkin yang akan digunakan adalah kode etik yang dimiliki oleh BPKP.

Apapun yang diterapkan, diharapkan APIP nantinya benar-benar dapat memenuhi kriteria menjadi sebuah fungsi pengawasan yang baik sehingga penetapan PP tentang SPIP ini tidak sia-sia. Kriteria fungsi pengawasan yang baik di antaranya dapat:
a. Memberikan jaminan keyakinan terhadap publik melalui sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemeriksa atau auditor eksternal pemerintah dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dimana hasil pemeriksaannya akan diekspos secara umum untuk publik, bahwa sebuah instansi yang di dalamnya terdapat fungsi pengawasan yang dimaksud telah terhindar dari segala macam penyimpangan-penyimpangan di dalamnya serta dengan kata lain telah berjalan ataupun patuh sesuai aturan yang berlaku.
b. Memberikan konsultasi terhadap instansi yang bersangkutan sehingga dalam proses operasionalnya dapat mencegah terjadinya segala macam kesalahan atau error.
c. Memberikan nilai tambah terhadap instansi sehingga output sebuah instansi pemerintah tidak hanya dalam bentuk pelayanan terhadap publik atau pun kepuasan masyarakat secara umum namun juga dapat menjadi benchmarking ataupun contoh bagi instansi pemerintah negara lainnya.
d. Meningkatkan kinerja atas kegiatan operasional instansi yang bersangkutan.



Sumber referensi :
1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
2. Makalah (Paper) Seminar Kuliah Umum STIE Trisakti Jakarta oleh Muh. Arief Effendi, SE, MSi,Ak, QIA (Dosen FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti, FE Universitas Mercu Buana & Program Magister Akuntansi Universitas Budi Luhur) dengan judul “TANTANGAN UNTUK MENJADI SEORANG AUDITOR INTERNAL YANG PROFESIONAL (CHALLENGE TO BE THE PROFESSIONAL INTERNAL AUDITOR)”



Penulis:
Waskito Hadi, SE, Ak
Staf Sub Auditorat NAD III, Seksi NAD IIIB
pada Perwakilan BPK-RI di Banda Aceh
NIP. 240004735



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ass.wr.wb
Pak,saya aditia.. sebelumnya saya sudah membaca artikel-artikel Bapak mengenai keuangan sektor publik khususnya tentang audit. Salut sekali saya sama Bapak, bisa membuat materi audit yang selama ini tidak saya mengerti menjadi lebih "down to earth" buat dicerna.
Mengenai tulisan mengenai SPIP ini saya tertarik untuk mengangkatnya sebagai skripsi saya pak.
Saya mohon ijin untuk menjadikan tulisan ini sebagai salah satu bahan acuan (no plagiarism lho).
Cuma saya masih bingung pak, terutama:
1. beda SPI dahulu dan SPIP?
2. apakah SPIP ini memiliki kapabilitas untuk meningkatkan keamanan instansi pemerintah terutama dalam mencegah adanya pelanggaran keuangan?
3. apakah pemeriksa BPK sendiri, dalam tugas pemeriksaannya menguji SPIP? Padahal sebelumnya telah ada SPI, dan pemeriksa BPK sudah terlebih dahulu menggunakannya?
4. apa SPIP mampu meningkatkan kualitas LKPP dan opini LKPP?

Terima kasih pak atas perhatiannya, maaf jika pertanyaannya lancang...

Wass.wr.wb