Oleh Sunarsip
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
Belum lama ini, eksistensi Bank Pembangunan Daerah (BPD) banyak mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Persoalan intinya adalah BPD dinilai tidak dapat menjadi instrumen bagi peningkatan pembangunan ekonomi di daerah. Indikasinya adalah tingginya penempatan dana BPD dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal, dana BPD tersebut umumnya berasal dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan dana Pemda tersebut sebagian merupakan dari alokasi dari APBN.
Status Quo BPD
BPD memiliki relasi yang tidak dapat dipisahkan dengan perekonomian daerah, dimana BPD tersebut berdiri. Makanya, tidak mengherankan bila BPD selalu melekat nama daerah asal BPD didirikan. Selain menjalankan kegiatan bank umum, BPD juga berfungsi sebagai kasir Pemda, seperti dana realisasi APBD. Sehingga, BPD memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok bank lainnya (BUMN, swasta, asing dan campuran) yakni sebagian besar DPK merupakan dana milik pemerintah, khususnya Pemda.
Pendirian BPD adalah untuk mendorong pembangunan di daerah. BPD diarahkan untuk menopang pembangunan infrastruktur, UMKM, pertanian, dan lain-lain kegiatan ekonomi dalam rangka pembangunan daerah. Awalnya, peran ini telah dapat dijalankan dengan baik oleh BPD. Namun, dalam perkembangannya, peran tersebut mulai tergoyahkan. Fenomena ini dapat dilihat dari struktur pendanaan (dana pihak ketiga/DPK) dan pembiayaan yang dimiliki oleh BPD.
Berbeda dari perbankan secara umum, fokus DPK BPD adalah giro. Walaupun giro adalah dana termurah, namun perlu digarisbawahi bahwa giro juga yang paling tidak stabil/volatile. Porsi tabungan dan deposito di BPD masih relatif kecil, sehingga cukup sulit bagi BPD untuk menjadi bank yang dapat membiayai kredit jangka panjang/investasi. Implikasinya, sebagaimana terlihat pada Gambar 2, dari sebanyak 26 BPD yang beroperasi di Indonesia, porsi kreditnya hanya sebesar 7,76 persen dari total kredit perbankan nasional.
Kredit yang disalurkan BPD memang mengalami peningkatan. Namun, harus diakui bahwa porsi alokasi dana BPD dalam bentuk SBI juga sangat tinggi, di mana di tahun 2007 telah mencapai 24,35% dari total SBI perbankan. Sehingga, memang tidak seluruhnya salah bila BPD dianggap belum sepenuhnya menjalankan fungsi intermediasi dan menjadi penggerak utama bagi pembangunan ekonomi di daerah.
Penulis melihat mulai tergoyahkannya BPD dalam perannya menjadi pemain utama dalam pembangunan ekonomi, tidak seluruhnya disebabkan oleh faktor internal BPD. Faktor eksternal BPD seperti regulasi, baik regulasi di sektor perbankan dan sektor keuangan lainnya turut mempengaruhi perkembangan BPD tersebut.
Regulasi di sektor perbankan, sudah sejak lama diindentifikasi relatif tidak memberikan tempat bagi bank-bank yang memiliki peran khusus (special purpose), seperti bank pembangunan dan lainnya yang semisal. Sebagai bank yang menyandang nama sebagai bank pembangunan (development bank) hingga saat ini statusnya masih belum jelas. Misalnya, apakah BPD memang dinyatakan sebagai bank pembangunan sebagaimana layaknya praktek bank pembangunan yang lazim berlaku di negara-negara lain? Padahal, di luar negeri, bank pembangunan umumnya merupakan special purpose bank sehingga regulasinya pun relatif berbeda dengan bank komersial pada umumnya.
Mengingat bahwa belum adanya status yang jelas, kini BPD-BPD kini pun menceburkan diri layaknya bank komersial pada umumnya. BPD-BPD harus bersaing dengan bank-bank besar di wilayah operasi dimana BPD itu didirikan, akibat kurangnya pembatasan area beroperasi bank-bank nasional, bahkan dengan bank asing. Membiarkan persaingan bebas antara BPD dengan bank-bank yang telah memiliki infrastruktur yang lebih komplit, ibaratnya sama saja dengan mempertemukan Ellyas Pical dengan Mike Tyson. Meski sama-sama juara, namun karena kelasnya berbeda, pasti BPD akan terpinggirkan.
Regulasi di sektor keuangan, bahkan bisa dikatakan belum menyentuh aspek keberadaan BPD ini. Meski wilayah regulasi BPD ada di sektor perbankan, regulasi di sektor keuangan juga teramat penting bagi BPD. Karakteristik utama pembiayaan yang dilakukan BPD adalah semestinya membiayai kegiatan ekonomi dan usaha yang berdurasi jangka panjang. Sehingga, sumber pendanaan BPD semestinya lebih kuat melalui penerbitan obligasi (bond) dibandingkan dana-dana yang berasal dari giro, tabungan, dan deposito berjangka pendek untuk menghindari mismatch. Karena membiayai proyek-proyek jangka panjang, otomatis risiko kredit yang dihadapi oleh BPD menjadi jauh lebih besar. Dengan demikian, semestinya BPD juga diimbangi oleh skim penjaminan yang memadai.
Namun, akibat absennya dukungan regulasi ini (perbankan dan keuangan) BPD tidak mampu menjalankan perannya sebagai bank pembangunan dengan baik. Dengan kata lain, kurang optimalnya peran BPD dalam mendukung kegiatan pembangunan di daerah merupakan muara dari seluruh faktor, mulai dari pemilik, manajemen, dan juga regulator.
NRW Bank: Sebuah Model
Di atas, penulis menyebut bahwa meski menyandang nama sebagai bank pembangunan, BPD belum berperan layaknya sebagai bank pembangunan yang lazim beroperasi di negara-negara lain. Untuk menjelaskan ini, ada baiknya kita menengok praktek sebagai bank pembangunan yang dijalankan oleh NRW Bank, sebuah regional bank yang dimiliki oleh salah satu negara bagian di Jerman, yaitu North Rhine-Westphalia (NRW).
NRW Bank adalah landesbankan (di sini BPD) yang berdiri pada 1 Agustus 2002. NRW Bank didirikan berdasarkan the Act on Redefining the legal Status of Public-Law Banking Institution di North Rhine-Westphalia. NRW Bank menjadi pemain penting dalam proses pembangunan di North Rhine Westphalia. Per 31 Maret 2004, berdasarkan The Act of Reorganisation dan amandemen undang-undang lainnya, NRW Bank dinyatakan sebagai bank pembangunan (state development bank). The Reorganisation Act meletakkan fondasi penting bagi NRW Bank dalam platform pembangunan di North Rhine-Westphalia.
NRW Bank diberi tugas untuk mengemban misi pemerintah untuk mendukung korporasi federal, state, dan municipal, khususnya dalam bidang struktural, ekonomi, sosial dan perumahan. NRW Bank juga mendanai federal, state, lokal, dan special purpose association dan berpartisipasi dalam proyek yang didanai oleh European Investment Bank atau proyek-proyek lain dalam European Community.
NRW Bank juga mengelola transaksi dan menawarkan jasa yang berkaitan dengan tugasnya. Dalam kerangka ini, NRW Bank mengelola treasury management dan risk
management, mengumpulkan subordinate guarantee capital dan menerbitkan uncovered bearer bonds, profit participation rights, public sector pfandbriefe dan other bonds.
Untuk menjalankan misi sebagai bank pembangunan, NRW Bank beroperasi dalam sektor-sektor pembangunan berikut ini: (i) usaha kecil dan menengah (UKM), (ii) social housing promotion, (iii) venture capital, (iv) urban development, (iv) infrastructures initiatives, (v) agriculture, foresty, and rural initiatives, (vi) environmental protection initiatives, (vii) technological and innovation initiatives, (viii) purely social initiatives, dan (ix) culture and scientific initiatives. Bisnis NRW Bank dijalankan sesuai dengan prinsip komersial namun penciptaan laba bukan tujuan utama NRW Bank.
Ciri terpenting yang menjadi penopang bagi suksesnya NRW Bank ini adalah adanya peran pemerintah (state & municipalities) selaku pemegang saham yang juga bertindak sebagai penjamin (guarantor) terhadap surat berharga (obligasi) yang dikeluarkan NWR Bank. Bahkan, state (propinsi) North Rhine-Westphalia selaku pemegang saham terbesar secara eksplisit memberikan jaminan kepada NRW Bank. Sesuai dengan kepemilikannya, bertindak selaku guarantor (penjamin) adalah (i) North Rhine Westphalia; (ii) Regional Association of Rhineland, dan (iii) Regional Association of Westphalia-Lippe.
Implikasi dari adanya skim penjaminan ini, obligasi yang dikeluarkan NRW Bank mendapatkan peringkat (rating) tinggi dari lembaga rating internasional. Obligasi yang dikeluarkan NRW Bank masuk kategori sebagai zero risk weighting di Jerman, di Eropa, dan juga di Australia. Obligasi yang dikeluarkan NRW Bank diberikan peringkat all stable oleh Fitch, Standard & Poor’s, dan Moody’s.
NRW Bank juga memiliki status sebagai (i) institusi bebas pajak (a tax-exempt institution); (ii) memiliki lisensi sebagai full banking; (iii) diatur secara ketat (fully regulated) oleh BaFin (institusi pengawas bank di Departemen Keuangan Jerman). Kini, meski baru berumur lima tahun, posisi NRW Bank baik di Jerman dan Eropa sudah sangat prestisius. Keberadaan NRW Bank diakui oleh Komisi Uni Eropa. NRW Bank kini menjadi bank pembangunan terbesar kedua di Jerman dan ketiga di Eropa.
BPD Kedepan
Melihat kondisi BPD saat ini dan belajar praktek di negara lain, penting bagi BPD di Indonesia untuk berubah. Tentunya memang, perubahan ini tidak saja melibatkan internal BPD (manajemen dan komitmen pemilik), tetapi juga dibutuhkan dukungan dari regulasi.
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) telah mewajibkan bagi perbankan, termasuk BPD, bahwa dalam rangka proses konsolidasi dan penguatan struktur industri perbankan ditekankan pada aspek permodalan. Sementara itu, untuk bank-bank skala kecil dan menengah, seperti BPD, API mendorong agar bank-bank ini memilih spesialisasi kegiatan operasionalnya yang terfokus pada segmen pasar tertentu sebagai basis pelayanannya.
Dari studi yang dilakukan IEI, masih terdapat satu BPD yang belum memenuhi ketentuan permodalan dan tiga belum siap sebagai bank jangkar. Bila BPD ingin tetap eksis, komitmen pemilik terhadap aspek permodalan harus dipenuhi. Melihat realitas saat ini, dimana keberadaan bank pembangunan begitu diperlukan, selayaknya BPD perlu direvitalisasikan. API memang telah memberi tempat buat BPD sebagai bank fokus. Namun, bila tidak ditopang oleh regulasi yang memadai, perantersebut tidak akan dapat berjalan baik seperti telah terjadi selama ini.
Status yang jelas tentang peran yang akan diambil BPD menjadi penting. Ini mengingat, status ini akan menentukan dukungan regulasi yang dibutuhkan. Bila BPD dinyatakan sebagai development bank, regulasi yang mengikat tentang peran tersebut, seperti aspek penjaminan menjadi dibutuhkan. Sebab, sebagai bank pembangunan, BPD tidak bisa mengandalkan sumber dana-dana jangka pendek. Sementara, bila BPD menerbitkan obligasi untuk pendanaan, maka hal itu akan tidak bisa direspon pasar bila ratingnya rendah karena tidak adanya jaminan dari pemilik (dalam hal ini Pemda).
Sayangnya, regulasi yang ada saat ini tidak memungkinkan bagi Pemda untuk memberikan jaminan bagi obligasi yang dikeluarkan oleh BPD. Peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara dan daerah belum sejalan dengan aspek ini. Kesimpulannya, dukungan regulasi dari Bank Indonesia dan Pemerintah penting diperlukan untuk merevitalisasi peran BPD ke depan.***
Jumat, 30 Januari 2009
Relasi Bank Pembangunan Daerah dan Perekonomian Daerah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar