Kamis, 29 Januari 2009

KEPEMIMPINAN NABI SULAIMAN: Kisah Burung Hud-hud

Oleh Cris Kuntadi

Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman mengumpulkan dan memeriksa seluruh pengikut-pengikutnya baik dari kalangan manusia, jin dan binatang, termasuk burung-burung. Berdasarkan pemeriksaannya, Nabi tidak melihat burung hud-hud. Karena ketidakhadiran burung hud-hud tersebut, beliau berjanji akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau bahkan menyembelihnya. Ternyata, tidak lama kemudian, burung hud-hud datang menghadap Nabi Sulaiman. Burung hud-hud menjelaskan perihal keterlambatannya karena mencari berita tentang adanya seorang wanita yang menjadi pemimpin suatu negara dan dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Atas berita yang dibawa oleh burung hud-hud tersebut, akhirnya Nabi Sulaiman mengunjungi kerajaan Saba yang dipimpin oleh ratu Balqis yang akhirnya masuk Islam dengan dakwah Nabi Sulaiman. Kisah tersebut diabadikan dalam Qur’an Surat An-Naml ayat 22-23.

Kisah tersebut menggambarkan burung hud-hud (sebagai anak buah) yang mempunyai kecerdasan dan kecemerlangan berpikir sehingga pengembaraannya dalam mencari makanan (nafkah) tidak semata untuk tujuan duniawi melainkan untuk penyebaran agama. Burung hud-hud, di antara waktunya, memanfaatkan kesempatan mencari berita dan kabar suatu kaum karena ia berkeinginan untuk menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Melalui presentasi burung hud-hud yang gemilang serta keberanian dalam mengemukakan uzur (keterlambatan), Nabi Sulaiman dapat mengajak kaum Saba untuk mentauhidkan Allah.

Di samping itu, seorang manusia, yang tentu lebih mulia dari seekor burung hud-hud, harus senantiasa memiliki inisiatif positif dan terus berupaya mencari kebaikan. Seorang manusia seharusnya lebih terpanggil untuk berinisiatif dan melakukan perbuatan baik tanpa harus menunggu perintah. Ketika mempunyai pemikiran, seseorang tidak perlu sungkan untuk menyampaikan kepada atasannya.

Sedangkan sebagai pemimpin, kita perlu mengambil ibroh (pelajaran) dari sikap dan respon Nabi Sulaiman terhadap kerja burung Hud-hud sebagai berikut:
1. Tafaqqudul amiir lil atba’ (rasa kehilangan seorang pemimpin terhadap pengikutnya). Seorang mas'ul harus memperhatikan siapa yang tidak hadir dalam setiap pertemuan dan kegiatan. Karena perhatiannya terhadap kehadiran anak buah merupakan bagian dari tanggungjawab yang harus diemban.
2. Akhdzul amri bil hazm (sangat perhatian terhadap perkara). Seorang pemimpin harus memiliki haibah (wibawa) di hadapan pengikutnya dengan menyatakan sikap tegasnya di hadapan pengikutnya. Sikap tegas tersebut bukan ditunjukkan dengan bentuk kemarahan atau menghalangi anak buah memiliki wawasan yang lebih. Wibawa seorang atasan tidak akan jatuh hanya karena mempunyai anak buah yang lebih berwawasan.
3. Muhasabah (evaluasi). Seorang pemimpin harus berinisiatif untuk mengevaluasi proses peningkatan pemahaman dan hasil kerja yang dilakukan anak buahnya. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan anak buah melainkan untuk perbaikan di kemudian hari.
4. Tabayyunul ‘udzr (klarifikasi uzur). Mengklarifikasi alasan keuzuran agar penyikapan dan perlakukan yang akan diambil lebih berdampak positif.
5. Taqdir kulli udhwin (menghargai masing-masing anggota). Seperti Sulaiman yang gusar atas ketidakhadiran burung hud hud, padahal ia hanyalah seekor burung kecil. Selain burung kecil ini tentu masih banyak pengikutnya yang lebih besar dan berkualitas. Seperti komentar Sayyid Quthb, burung hud-hud itu satu ekor dari sekawanan burung hud-hud yang lain dan dari sekian banyak burung yang menjadi pendukung kerajaannya. Seorang anggota, betapapun kondisinya harus dihargai sebagai anggota dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Jadi dengan sikap ijabiyah seorang umat, akan banyak amal Islam yang dapat dihasilkan seiring dengan hasil yang gemilang. Di antaranya adalah dengan merasa kurang di hadapan Allah dalam menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka akan muncul rasa pada diri seorang mukmin untuk berusaha mengerjakan satu kewajiban dengan sebaik-baiknya dan dengan niat yang lurus. Dengan demikian ia telah mengerti maksud dari taklif Allah, yaitu agar manusia berusaha memperbaiki amalnya dengan cara meluruskan niat dan menyesuaikan segala perbuatan dan ibadahnya sesuai dengan syariat Islam.

Di antara sikap ijabiyah adalah tidak meremehkan perkara kecil, karena seringkali sesuatu yang besar menjadi kecil nilainya karena niat yang kurang ikhlas dan kadang beberapa kalimat akan mendatangkan kebaikan yang banyak karena niat dan keluar dari hati yang tulus. Pernah seorang ulama ditanya, “Sampai kapan Anda terus menulis hadits? Lalu ia menjawab, “Mungkin kalimat yang akan menyelamatkanku masih belum aku tulis.”

Untuk menunjukkan betapa perkara ringan itu tidak boleh dianggap ringan, Rasulullah SAW menegaskan bahwa banyak perkara ringan atau sepele, tetapi di sisi Allah mempunyai bobot pahala dan kebaikan bagi yang melakukannya. Dari Abu Dzar r.a. ia berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu, perintahmu mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sedekah bagimu, kamu menunjuki orang yang tersesat juga merupakan sedekah bagimu, membantu orang yang kurang penglihatannya juga merupakan sedekah bagimu, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan juga merupakan sedekah bagimu, kamu menuangkan air dari timbamu ke timba saudaramu juga merupakan sedekah bagimu.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)

Dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar, kita akan menemukan medan dan lapangannya yang cukup luas dan lebar. Di mana kita akan menemukan setiap hari fenomena atau suasana kemungkaran yang mesti kita hilangkan dari masyarakat. Maka dengan kedudukan kita sebagai pemeriksa, kita dapat menulis suatu penyimpangan keuangan Negara. Kita dapat mengusulkan suatu temuan indikasi tindak pidana korupsi kepada atasan kita agar dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Meningkatkan pemahaman terkait tugas pokok dan fungsi pemeriksa juga diperlukan sehingga kita dapat menyampaikan saran/rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti dan pada akhirnya menyelesaikan permasalahan kesalahan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Demikian juga bagi pegawai yang berada pada posisi penunjang dan pendukung, tidak dapat disebut sebagai pegawai kelas dua. Penunjang dan pendukung sama-sama mempunyai arti dan peran strategis dalam menunjang tugas dan fungsi BPK sebagai lembara pemeriksa keuangan negara. Yang penting dalam diri kita adalah keinginan dan kemauan untuk mengadakan perubahan ke arah positif dengan cara yang dapat ia tempuh sebatas otoritas yang ia miliki. Karena itu keberadaan kita pada posisi yang memiliki otoritas yang luas dan besar akan membantu dan mengefektifkan usaha dakwah dalam perbaikan masyarakat. Wallahu a'lam bish-showab.

Dari berbagai sumber.



Tidak ada komentar: