Selasa, 27 Januari 2009

Otonomi Daerah: Ladang Luas Korupsi di Daerah

Oleh: Gunarwanto (KSA Perwakilan Kalbar 1 BPK RI)
Sumber: Majalah Pemeriksa Edisi 114

Memprihatinkan. Komentar itulah yang akan muncul jika membaca hasil pemeriksaan BPK Semester I tahun 2007.
Dalam laporan yang diserahkan kepada DPR awal Oktober lalu dan DPD (22/11), BPK memaparkan berbagai penyimpangan uang negara. Tidak saja di pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di pemerintah daerah.
Hasil pemeriksaan BPK semakin membuktikan pendapat masyarakat bahwa seiring dengan otonomi daerah, disertai pula dengan era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya bersumber dari APBN yang digerogoti, termasuk juga APBD.
Penggerogotan dana APBD tampak dari hasil pemeriksaan BPK. Hasil pemeriksaan atas 237 pemerintah daerah meliputi propinsi dan kabupaten/kota, BPK menemukan penyimpangan sebesar Rp91,03 miliar.
BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp45,8 miliar (37%), tidak didukung bukti yang lengkap Rp32,05 miliar (38%), terlambat menyampaikan laporan Rp8,2 miliar (6%), penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp4,4 miliar (9%), dan belum dipungut pajak/denda Rp466 juta.


Indikasi korupsiJika dipahami dengan baik, jenis penyimpangan yang dilaporkan oleh BPK sebagian besar mengindikasikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada umumnya berujung pada timbulnya kerugian negara/daerah.
Dalam buku Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2007 tersebut, BPK melaporkan banyak praktik pengadaan barang dan jasa dengan nilai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang tidak menaati aturan. Selain itu, dijumpai pemberian berbagai fasilitas kepada kepala daerah dan anggota DPRD yang menyimpang dari aturan. Nilainya juga bervariasi dari puluhan juta hingga miliaran rupiah. Kedua temuan tersebut merupakan contoh dari penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Dilihat dari frekuensinya, jenis penyimpangan yang banyak terjadi adalah penggunaan uang tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan sah. Hampir seluruh pemda terdapat temuan seperti ini.
Sebagai contoh, di Pemerintah Provinsi Riau, BPK menemukan belanja administrasi umum aparatur sebesar Rp2 miliar. Tanpa bukti pertanggungjawabannya yang lengkap dan sah. Walhasil, BPK tidak yakin atas kewajarannya. Demikian pula, di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan, BPK menemukan belanja jasa tenaga kerja non pegawai sebesar Rp300 juta belum didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.
Di Kabupaten Kediri ditemukan pemberian bantuan dana kepada sejumlah instansi vertikal, seperti Polres, Polsek, Kejaksaan, Kodim, Koramil, pengadilan negeri, dll senilai Rp960 juta. Temuan seperti ini dijumpai hampir di setiap pemerintah daerah. Selain pemberian bantuan tersebut tidak dibenarkan oleh aturan, ternyata bukti pertanggungjawabannya sering tidak jelas.
Melihat fakta seperti itu, perlu diwaspadai pemda yang akan menyelenggarakan pilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin, pengeluaran dana APBD yang tidak jelas pertanggungjawabannya, sesungguhnya dipakai untuk membiayai kepentingan politik pimpinan daerah yang akan maju dalam pilkada. Dana tersebut untuk membiayai lobby-lobby politik. Biasanya kepada kalangan DPRD, LSM, dan kelompok-kelompok masyarakat yang diharapkan memberikan dukungan pencalonannya.

Formalitas anggaran
Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran. Bukan cerita baru, banyak pemda saat mengajukan rancangan APBD tidak didahului dengan perencanaan yang baik. Sering dijumpai rencana proyek pembangunan dan pelayanan publik yang diajukan hanya sekedar formalitas anggaran. Akibatnya, pada saat proyek selesai dilaksanakan, ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kebutuhan.
Contoh menarik dapat dibaca pada temuan pengadaan kapal keruk senilai Rp4 miliar di Kabupaten Cirebon. Pada waktu diperiksa oleh BPK, kondisi kapal tersebut menganggur karena tidak ada biaya untuk mengoperasikannya. Hal ini merupakan kecerobohan pejabat terkait dalam membuat rencana pengadaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebenarnya akan lebih menarik, jika BPK mengusut motivasi dan kewajaran harga pengadaan kapal tersebut. Mungkin bisa ditemukan penyimpangannya.

Ketegasan
Pertanyaan selanjutnya adalah mau diapakan temuan BPK tersebut. Selama ini tindak lanjut temuan BPK masih sangat minim. Dalam berbagai kesempatan, Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan prosentase temuan BPK yang ditindaklanjuti oleh pemerintah masih sangat sedikit. Bahkan dari tahun ke tahun, temuan dengan kasus yang sama selalu berulang. Hal ini menandakan temuan BPK tidak memberikan efek jera bagi pelaksana anggaran di daerah.
Agar tindak lanjut temuan BPK lebih efektif dan mencegah temuan berulang, ada baiknya jika BPK memverifikasi ulang temuannya. Jika terdapat temuan yang mengarah kepada indikasi KKN, BPK dapat segera menyampaikan temuan tersebut kepada penegak hukum. Selanjutnya, BPK terus memonitor tindak lanjut penanganan oleh para penegak hukum. Hal ini dimungkinkan karena sudah ada kesepakatan bersama (MoU) antara BPK dengan penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi KKN.
Tindakan tegas terhadap pelaku penyimpangan keuangan negara merupakan syarat mutlak bagi pemberantasan KKN di daerah. Jangan sampai era otonomi daerah justru menjadi ladang luas bagi praktik korupsi di daerah.


Tidak ada komentar: