Rabu, 21 Januari 2009

Hendar Ristriawan: Agar BPK tidak rawan pelanggaran hukum

Berdasarkan Keputusan BPK RI No. 39/K/I-VIII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana BPK RI, Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara (Ditama Binbangkum) adalah salah satu unsur pelaksana tugas penunjang BPK yang bertanggung jawab kepada BPK melalui Wakil Ketua BPK. Apa saja tugas dan fungsinya? Berikut wawancara pemimpin redaksi Majalah PEMERIKSA Cris Kuntadi dengan Kepala Ditama Binbangkum BPK RI, Hendar Ristriawan.

Para auditor dan pegawai BPK perlu memahami direktorat yang terdapat Ditama Binbangkum. Apa bentuknya?
Ditama Binbangkum terdiri atas dua Direktorat, yaitu Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah (KHKKN) dan Direktorat Legislasi, Analisis, dan Bantuan Hukum (LABH). Direktorat KHKKN bertugas menunjang tugas pokok pemeriksaan, dan dipimpin oleh Koesnindar, SH. Sedangkan Direktorat LABH bertugas mengawal interaksi BPK dengan karyawan, pihak ketiga, auditee, termasuk interaksi luar negeri, dan dipimpin oleh Hening Tyastanto, SH. Dalam mengawal interaksi ini, Ditama Binbangkum juga harus mengembangkan aturan-aturan guna menunjang pelaksanaan tugas BPK.
Pemberian konsultasi hukum pada KHKKN adalah pemberian pendapat hukum, baik diminta atau tidak diminta yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan. Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, kita ingin jangan sampai LHP itu melanggar peraturan.

Apakah jika ada kriteria yang tidak tepat dalam temuan pemeriksaan, maka Binbangkum akan mengatakan salah?
Kita akan berikan semacam petunjuk teknis kepada para auditor kalau mereka mau melakukan legal audit. Misalnya melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal yang berkaitan pada pemberian hak milik terhadap suatu proyek kerja sama. Kemudian dalam kerja sama itu ada pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan (HPL), bagaimana kita melakukan legal audit, juga keabsahan penggunaan HGB itu.

Perlu dijelaskan, kadang Ditama Binbangkum harus bekerja dengan skala prioritas. Keterbatasan personil yang mengakibatkan kita harus menetapkan skala prioritas karena ada permintaan dan inisiatif kita untuk melakukan pemberian pendapat hukum. Nah, jika ada permintaan, kita mendahulukan yang permintaan itu. Tapi nanti jika personil sudah memadai dari segi kuantitas dan kualitas, semua bisa berjalan paralel.

Apa bentuk output pendapat hukum?
Ada satu bentuk baku tentang pemberian pendapat hukum mengacu pada praktik-praktik yang lazim. Antara lain memuat dokumen apa yang kita peroleh sebagai dasar pembuatan kajian, dan kapan kajian itu dilakukan. Hal ini penting, jangan sampai terjadi perbedaan pendapat. Karena kajian hukum juga akan dipengaruhi oleh kapan dilakukan kajian dan dokumen apa yang digunakan sebagai bahan kajian. Kemudian dilakukan analisis dan kesimpulan. Itulah yang kita sampaikan.

Direktorat KHKKN memiliki fungsi layanan administrasi kepada majelis Tuntutan Perkara/Tuntutan Ganti Rugi (TP/TGR). Mengapa hanya administrasi?
Majelis TP/TGR adalah majelis yang ada di BPK. Sebetulnya kita menganalogikan dengan fungsi panitera. Direktorat KHKKN tidak punya kewenangan untuk memutuskan, tapi hanya mendukung pemberian pendapat hukum yang nanti menjadi masukan majelis untuk memutuskan suatu perkara. Di BPK, majelis TP adalah Badan. Hal ini harus dilaksanakan sesuai UU.


Sampai saat ini, apakah jumlah TP tersebut banyak?
Tidak. Karena sebetulnya dengan kemajuan teknologi pengelolaan keuangan negara itu boleh dibilang kasus-kasus ketekoran kas itu hampir tidak ada. Penyelesaian kerugian negara bisa dilakukan melalui tiga jalur. Pertama jalur hukum administrasi negara. Kedua, jalur perdata, dan ketiga jalur pidana. Jalur hukum administrasi negara terbagi dua. Kalau pelaku yang menyebabkan terjadinya kerugian negara itu adalah bendahara, maka yang mengadili adalah majelis TP yang ada di BPK. Kalau pelaku yang menyebabkan kerugian negara itu adalah bukan dari BPK, maka yang mengadili adalah majelis TGR yang ada di pemerintah, baik di pusat maupun daerah. Tiap Kabupaten memiliki majelis TGR.

Bagaimana standar operasi penanganan TP tersebut? Misalnya, BPK perwakilan menemukan kekurangan kas yang dilakukan oleh bendahara.
Itu harus dilaporkan ke BPK. Dulu yang menangani adalah Irtama Wasinsus. Sekarang, karena perubahan organisasi, pemantauan kerugian negara dilekatkan pada Tortama. Dengan sekian ribu entitas, akan lebih efektif kalau pemantauan ini dilakukan oleh Tortama.
Dalam melakukan pemeriksaan, sering auditor sudah menyatakan ada kerugian negara. Apakah kewenangan ini benar, atau Binbangkum yang menyatakan ada kerugian negara tersebut?
Sebetulnya kita harus bedakan kewenangan menetapkan dengan kewenangan menghitung. Kewenangan menetapkan ada di majelis TP BPK, majelis TGR, majelis hakim perdata dan pidana. Sedangkan yang menghitung bisa auditor ahli. Persoalannya, apakah hasil perhitungan auditor ahli ini mampu meyakinkan majelis bahwa ini perhitungan yang benar. Jadi kalau kemudian hasil perhitungan ini diyakini majelis itu benar, maka ketetapannya akan sama. Setiap penghitungan oleh auditor harus ditetapkan oleh majelis.

Artinya, selama ini yang dihitung oleh auditor memiliki kekuatan hukum?
Persoalan kekuatan hukum ini harus dibedakan. Apakah yang bersangkutan mau menyetor atau tidak. Kalau auditor mengatakan ada kerugian negara tapi yang bersangkutan mengatakan belum ada ketetapan majelis, dia bisa tidak menyetor lebih dahulu, tapi menunggu ketetapan majelis. Tapi kalau dia percaya ini kerugiannya benar lalu dia setor, itu tidak masalah. Namun seharusnya memang diproses melalui keputusan majelis. Jangan sampai kerugian negara tidak termonitor karena diselesaikan langsung. UU No. 15/2006 mewajibkan BPK untuk memantau kerugian negara.

Direktorat LABH memiliki tugas menyusun rancangan peraturan keputusan dan naskah BPK. Apa saja rancangan tersebut?
Kita hanya proses legislasinya. Direktorat ini fungsinya adalah interaksi BPK dengan pegawainya, dengan pihak ketiga, termasuk dengan luar negeri, juga dengan auditee. Dalam interaksi ini bisa timbul keputusan-keputusan administrasi negara. Contoh interaksi BPK dengan pegawainya, mengakibatkan ada pengangkatan dan pemindahan pegawai. Ini kita buat legislasinya. Dalam rangka kerjasama dengan pihak ketiga, bisa dibuat perjanjian. Kita memberi pendapat hukum kepada perjanjian-perjanjian seperti MoU dengan negara lain. Biro Humas dan Luar Negeri minta pendapat hukum kita tentang ini.
Dalam perjanjian, diharapkan kita dapat memberi pendapat hukum dari sudut legalnya. Jangan sampai dirugikan dalam hubungan kerja sama. Demikian juga dalam pengadaan barang dan jasa, diharapkan ada standar kontrak BPK dalam pengadaan tersebut.

Dikatakan juga, direktorat ini bertugas memberi bantuan hukum. Apa bentuk pemberian bantuan hukum tersebut?
Kalau terjadi sengketa hukum di dalam kedinasan, maka kita yang akan beri bantuan hukum. Tapi tidak kita berikan di luar dinas. Kita juga membantu pegawai yang sudah pensiun namun terlibat masalah hukum ketika dia masih dinas. Rencananya, jika ada yang membutuhkan penasehat hukum, akan didampingi BPK, dalam batas masalah kedinasan. Pada kondisi BPK digugat oleh pegawainya, yang kita bantu BPK-nya.

Pada masalah pemantauan proses penegakan hukum atas hasil pemeriksaan BPK, bagaimana sebenarnya pola hubungan antara LHP BPK dengan aparat penegak hukum? Karena dalam UU BPK dinyatakan 30 hari. Tapi banyak LHP yang berindikasi kerugian negara yang tidak disampaikan ke aparat hukum.
Pada pasal 8 ayat 4 UU BPK, menyatakan apabila hasil pemeriksaan BPK mengandung unsur pidana, maka harus diserahkan ke aparat yang berwenang satu bulan setelah ditemukannya hal tersebut. Pasal ini menimbulkan dua pertanyaan. Apakah satu unsur pidana, kita ambil contoh pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (TPK), itu unsurnya ada pelaku, memperkaya diri, melawan hukum, dan merugikan keuangan negara. Apakah dengan ditemukan unsur kerugian ini maka ada kewajiban menyerahkan? Apakah harus empat, dua, atau tiga, atau semua unsur?
Pertanyaan kedua, kapan satu bulan itu mulai dihitung? Ini perlu segera dirumuskan. Kita harus lihat bahwa hasil pemeriksaan BPK yang diserahkan kepada aparat yang berwenang dijadikan dasar penyidikan. Menurut saya, pasal 8 ayat 4 itu dikaitkan dengan mengatur tindakan penyidikan, harus semua unsur dulu bisa kita temukan, baru kita serahkan ke aparat. Tentang pertanyaan kedua, kapan dimulai, yang wajib menyerahkan adalah BPK, bukan pemeriksa. Sehingga kalau temuan pemeriksaan itu sudah disampaikan ke Badan, berarti sudah mulai dihitung waktunya. Kalau tidak menentukan batas waktu itu harus dimulai, sangat rawan kita digugat oleh pihak lain. Kewenangan menetapkan hal ini termasuk adanya dugaan tindak pidana adalah Badan.
Tapi yang sering jadi masalah ketika auditor mengungkapkan ada kerugian negara dalam temuannya. Dalam temuan ada kriteria dan kondisi. Kalau bertentangan berarti melawan hukum.
Baru dua unsur. Padahal kalau mengacu pada tindak pidana menurut pasal 2 UU TPK misalnya, harus ada empat unsur.
Kalau ada kerugian negara, kemungkinan besar ada orang yang diperkaya. Ini berarti tiga unsur.
Ini tidak bisa kemungkinan, tapi harus bisa dibuktikan.
Artinya kalau ini kerugian negara, umumnya sudah ditemukan tiga unsur. Akibatnya kerugian negara kemungkinan ada unsur melawan hukum. Kecuali karena sanksi denda keterlambatan. Itu ada kerugian negara tapi tidak ada unsur melawan hukumnya.
Ini perlu pemahaman. Unsur melawan hukum di kerugian negara menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 2004 dengan unsur melawan hukum pada pasal 2 UU TPK berbeda. Berbeda bukan unsur melawan hukumnya, tapi hubungan kausalitasnya. Pada kerugian negara, hubungan kausalitasnya adalah perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara. Sedangkan pada UU TPK, perbuatan melawan hukum yang dilakukan untuk memperkaya diri, akibatnya kerugian negara. Ini yang kadang tidak secara cermat dipahami. Kita hanya melihat ada perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.
Apakah auditor harus paham sampai pada definisi antara UU TPK dan kerugian negara?
Inilah pentingnya. Kita akan memberi petunjuk bagaimana memahami hal ini. Empat unsur tersebut terpenuhi lebih dulu, baru kita serahkan. Kalau hal ini sudah disepakati, maka kita harus sepakat bahwa auditor harus paham.
Kembali ke masalah LHP yang ada kerugian negara. Sebenarnya, siapa yang berwenang untuk mengajukan ke Badan? Apakah ada direktorat khusus yang menangani?
Menurut saya karena ini jalur pemeriksaan, maka menggunakan bottom up dari pemeriksa ke penanggung jawab sampai ke Tortama dan Anggota.
Di daerah ada yang sudah memiliki konsultan hukum, ada yang belum. Apakah nanti hasil konsultan hukum itu yang menyatakan ada unsur indikasi tipikor, atau setelah melihat ada unsur tipikor kemudian konsultan tersebut mengajukan kepada Badan?
Tidak begitu. Organisasi baru ini sudah tidak lagi mengadopsi Tim Konsulen Hukum. Karena kita menyerap tugas ini di tugas subag hukum di perwakilan. Seharusnya subag hukum di perwakilan harus proaktif untuk mengkaji LHP di perwakilan. Aktif maksudnya ada prosedur standar satu hasil pemeriksaan. Sebetulnya tidak mungkin seluruh hasil pemeriksaan ini harus masuk ke subag hukum atau ke Ditama Binbangkum. Hal ini tidak memberikan efektivitas dan efisiensi kerja. Untuk ke depan perlu dibangun kemampuan auditor untuk mendeteksi secara dini apakah masalah ini perlu diteruskan ke subag hukum atau ke Ditama Binbangkum. Deteksi dini ini yang harus kita bangun. Kalau ini sudah terjadi, mungkin bisa bersinergi.
Jika di perwakilan BPK hal ini ditangani oleh subag hukum, di kantor pusat ditangani oleh Ditama Binbangkum. Ditama Binbangkum hanya dalam tataran menyetujui terpenuhinya unsur indikasi tindak pidana. Misalnya jika baru terpenuhi dua unsur, maka perlu dilakukan audit investigatif untuk menambah unsur tersebut. Untuk penyampaian kepada aparat penegak hukum, hanya kewenangan Badan.
Apakah Kepala Perwakilan mempunyai kewenangan untuk itu?
Kita harus lihat sumber kewenangan di Badan. Bahwa Badan kemudian melimpahkan kewenangan itu kepada Kepala Perwakilan, itu untuk dan atas nama Badan.
Menpan mengeluarkan surat edaran yang mengatakan agar penegak hukum tidak serta merta mennggunakan LHP untuk kegiatan penyidikan. Apa ini tidak menurunkan kredibilitas BPK?
Setahu saya, surat edaran Menpan tidak ditujukan kepada BPK, tapi kepada aparat penegak hukum untuk tidak serta merta menjadikan hasil pemeriksaan BPK yang dipublikasikan menjadi bahan penyelidikan. Menurut pemahaman saya, edaran ini ada karena ketidakpahaman sebagian orang tentang tindak pidana. Tanpa kita harus berburuk sangka dengan oknum-oknum atau LSM, ketidakpahaman antara pengelola keuangan tentang masalah hukum ini yang kadang dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang bukan untuk penegakan.
Apa harapan Ditama Binbangkum selanjutnya?
Pada 2008, kita diharapkan memiliki data base sampai di mana proses penegakan hukum dari hasil pemeriksaan yang telah kita serahkan. Sehingga seringkali pihak luar bertanya, kita tidak bisa menjawab. Data base ini bukan sekadar kita meng-cover tingkat penyelesaian, tapi kita akan coba analisis kelemahan dari hasil pemeriksaan yang diserahkan ke penegak hukum untuk dijadikan umpan balik kebaikan internal BPK.
Saya juga berharap Ditama Binbangkum sesuai dengan SK organisasi dapat mengawal segenap pelaksana BPK dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasannya. Selain itu, Ditama Binbangkum dapat memberikan pendapat hukum dan mengembangkan aturan-aturan yang mendukung sehingga BPK tidak rawan terhadap pelanggaran hukum.

--Cris Kuntadi, Bestantia--



1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675