Kamis, 29 Januari 2009

KORUPSI: DESAKAN PERUT DAN AMBISI

Widodo Setio

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...... (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001).
Kalau mau menyalahkan alam atas perut yang kelaparan nampaknya kurang bijaksana. Alam telah ditakdirkan kaya dan subur. Sehingga mau tidak mau ambisilah yang perlu disalahkan. Pikiran yang kosong akan makanan membuat otak berputar, namun sayang bukan dengan pola yang benar. Yaitu menemukan jalan belakang, yang penting bisa kenyang.

Korupsi berasal dari kata corruption yang berarti kecurangan, perubahan dan penyimpangan. Memutar otak menentukan kecurangan yang aman untuk melakukan sedikit perubahan-perubahan yang menguntungkan meskipun tahu hal itu menyimpang. Korupsi yang terjadi saat ini sebagian besar terjadi dengan alasan gaji Pegawai Negeri yang masih kecil. Kecil itu relatif, asal Pegawai Negeri tidak memasukkan image, gengsi dan prestis sebagai bagian dari pengeluaran hidup. Desakan hidup dan tuntutan dari orang terdekat membuat niat semakin besar. Ketika ada kesempatan, terjadilah korupsi.

Ketika suatu pekerjaan dilakukan berulang kali, hal ini akan menjadi kebiasaan. Kebohongan pun akan menjadi kebenaran jika terus disampaikan. Bisa jadi, itu juga yang terjadi dengan korupsi di Indonesia. Norma sosial yang ada dalam masyarakat menjadi semakin permisif akan tindakan korupsi. Bahkan lebih tepatnya, menjadi hal yang dianggap biasa.

Bisa dibilang, hampir semua orang pernah bertatap muka dengannya. Pengurusan surat-surat (KTP, SKCK, paspor) yang butuh sedikit pengorbanan, juga karcis tanda bayar bus dan parkir yang tidak diberikan. Tanda tangan pengesahan yang mahal, setiap hari disuguhkan. Hal ini sudah dianggap bagian dari prosedur normal, sampai akhirnya menjadi hal yang sah dilakukan.
Kesempatan yang ada dan lingkungan yang saling dukung, membuat korupsi menjadi subur dan berkembang dengan indahnya. Instansi-instansi dengan sistem pengawasan yang lemah akan mempertebal niat untuk melakukan kecurangan aman yang menguntungkan. Yang kemudian memunculkan istilah “tempat basah”dan ”tempat kering” bagi para pegawai.

Sistem pensiun menjadi momok bagi para pegawai. Dengan adanya sistem ini mau tidak mau akan membuat seseorang dianggap tidak produktif dan tidak mampu lagi untuk dipekerjakan. Dengan kata lain diberhentikan. Rumah, mobil berikut sopirnya akan lenyap beriringan dengan lenyapnya jabatan yang dikejar selama hidup. Maka, masa kejayaan menjadi masa yang produktif untuk meraih pundi-pundi rupiah semaksimal mungkin. Pundi-pundi rupiah yang dinikmati saat pensiun, ditemani secangkir teh dan pisang goreng di sore hari.

Entah siapa yang mengantar dan siapa juga yang nantinya akan menjemput, yang jelas kedatangan korupsi telah diterima dengan “biasa”. Peningkatan kualitas moral masyarakat akan menjadi obat yang ampuh untuk memberangus korupsi. Klise. Masalahnya sekarang, moral tidak kunjung meningkat. Hukum yang dibuat dan beberapa sistem yang diterapkan, misalnya statutory declaration yang mengharuskan pejabat dan pegawai negeri melaporkan kekayaannya, seharusnya telah bisa meminimalisir merebaknya korupsi. Namun entah karena aparatnya yang kurang tegas atau pelakunya yang jauh lebih tegas sehingga rantai ini belum juga terputus.
Achmanto Mendatu, dalam artikelnya ”Korupsi, Apa Sih?” mengungkapkan bahwa tingkat religiusitas sangat berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Walaupun kenyataannya ditemukan juga orang beragama top Indonesia yang masuk keluarga besarnya. Ya, memang saat ini hanya pengadilan Tuhan saja yang menjadi harapan terakhir untuk menyadarkan masyarakat. Korupsi itu ternyata dosa. Inilah yang harus menjadi senjata penghabisan untuk memberantas korupsi.
Apa yang terlintas adalah apa yang kita pikirkan. Apa yang dipikirkan adalah apa yang akan dilakukan. Yang dilakukan bisa menjadi kebiasaan dan semoga korupsi tidak sempat menjadi budaya. Ketika perut bicara dan ambisi ikut campur, maka korupsilah yang akan terlintas. Jika memang korupsi tidak kunjung dijemput, maka kitalah yang harus mengantar kepergiannya.


Tidak ada komentar: