Jumat, 30 Januari 2009

SPIP: SOLUSI UNTUK PERBAIKAN KONTROL INTERNAL PEMERINTAH

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) telah ditetapkan di Jakarta, 28 Agustus 2008 lalu oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Peraturan ini juga telah diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127. Sebuah langkah yang tepat karena PP tersebut bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Secara eksplisit hal ini merupakan langkah dan niatan yang baik serta bersunguh-sungguh dari pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas laporan keuangan yang dilakukan BPK RI dengan opini disclaimer selama ini.

Jika kita sedikit mengulas tentang definisi internal control, maka akan diketahui secara teoritis praktis. Menurut “Professional Practices Framework”: International Standards for The Professional Practice of Internal Audit, IIA (2004) internal control adalah suatu aktivitas independen yang memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi yang dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah (to add value) serta meningkatkan kegiatan operasi organisasi. Jadi, pengawasan internal justru membantu organisasi dalam pencapaian tujuan dengan cara memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola (governance processes).

Dalam Penjelasan PP No. 60 tahun 2008, dijabarkan dengan gamblang unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern yang mengacu pada unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan pada lingkungan pemerintahan di berbagai Negara yang paling tidak telah mengakomodir teori praktis pada paragraf dua tersebut di atas. Unsur-unsur SPI yang dimaksud dalam PP tersebut adalah meliputi:
a. Lingkungan pengendalian
Pimpinan instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern serta manajemen yang sehat.
b. Penilaian risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
c. Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan apakah arahan pimpinan instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
d. Informasi dan komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.
e. Pemantauan
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti.

Ditinjau secara kelembagaan, pengawasan internal pemerintah yang ada sekarang selain terdapat BPKP di pusat maupun di daerah, juga terdapat Inspektorat Jenderal di masing-masing departemen dan lembaga pemerintah non departemen, serta Inspektorat Daerah yang sebelumnya lazim disebut dengan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) di masing-masing pemerintah daerah. Jika dilihat dari keberadaan lembaga-lembaga tersebut memang terkesan tata kelola dan birokrasi pengawasan internal pemerintah tumpang tindih. Lembaga-lembaga tersebut juga terkesan terlalu banyak dan tidak jelas batas kewenangannya sehingga menyebabkan inefisiensi serta berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam pengawasan. Namun kesan kekhawatiran ini paling tidak telah diakomodir oleh PP tentang SPIP ini pada pasal 49 yang telah membagi job deskripsi masing-masing lembaga pengawasan internal pemerintah, yakni sebagai berikut.
1. Ayat (1) menyebutkan bahwa Aparat pengawasan intern pemerintah terdiri atas BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.
2. Ayat (2) menjelaskan job BPKP yang harus melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi:
a. kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. kegiatan kebendaharaan umum negara
berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan melakukan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
3. Ayat (3) menjelaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan intern untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri Keuangan melakukan koordinasi kegiatan yang terkait dengan Instansi Pemerintah lainnya.
4. Ayat (4) bahwa Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
5. Ayat (5) bahwa Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
6. Sedangkan pada ayat (6) bahwa Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
Selanjutnya demi tercapainya tujuan yang dimaksud dalam SPIP maka perlu dilakukannya pembinaan penyelenggaraan SPIP yang menurut ayat (2) pasal 59 ditunjuklah BPKP selaku instansi pelaksananya untuk melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP tersebut sesuai ayat (2) pasal 59 yang meliputi kegiatan antara lain:
a. penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP
b. sosialisasi SPIP
c. pendidikan dan pelatihan SPIP
d. pembimbingan dan konsultansi SPIP
e. peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah

Sedikit berfokus pada upaya peningkatan kompetensi auditor APIP, dalam perkembangan pengetahuan tentang “internal auditing” sebenarnya sejak tahun 2002 telah ada The Standards for The Professional Practice of Internal Auditing (SPPIA) yang ditetapkan oleh The Institute of Internal Auditors dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 2002 yang merupakan revisi dari SPPIA tahun 1999, dimana tujuannya antara lain adalah:
a. Menggambarkan dengan jelas bahwa prinsip dasar dari pelaksanaan audit internal diterapkan. b. Menyiapkan kerangka pelaksanaan dan promosi aktivitas audit internal yang lebih luas dengan nilai tambah.
c. Menetapkan basis pengukuran pada pelaksanaan audit internal.
d. Membantu perkembangan organisasi dalam proses dan operasinya.

Auditor internal menurut SPPIA merupakan suatu profesi yang memiliki peranan tertentu yang menjunjung tinggi standar terhadap mutu ataupun kualitas pekerjaannya, sehingga kepatuhan dan ketaatan terhadap SPPIA menjadi sangat penting agar terdapat kesamaan persepsi dalam wewenang, fungsi dan tanggung jawab antar auditor internal.

Secara nasional dalam segi profesinya auditor internal telah memiliki kode etik tersendiri, yang ditetapkan oleh Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal pada tahun 2004 yang terdiri atas 10 hal, sebagai berikut.
1. Auditor internal harus menunjukkan kejujuran, objektivitas dan kesanggupan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya.
2. Auditor internal harus menunjukkan loyalitas terhadap organisasinya atau terhadap pihak yang dilayani. Namun demikian, auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau melanggar hukum.
3. Auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam tindakan atau kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi audit internal atau mendiskreditkan organisasinya.
4. Auditor internal harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka, yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi tanggungjawab profesinya secara obyektif.
5. Auditor internal tidak boleh menerima sesuatu dalam bentuk apapun dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok ataupun mitra bisnis organisasinya, yang dapat atau patut diduga dapat mempengaruhi pertimbangan profesionalnya.
6. Auditor internal hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesikan dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya.
7. Auditor internal harus mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa memenuhi Standar Profesi Audit Internal.
8. Auditor internal harus bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya. Auditor internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia (i) untuk mendapatkan keuntungan pribadi, (ii) secara melanggar hukum, (iii) yang dapat menimbulkan kerugian terhadap organisasinya.
9. Auditor internal harus mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta yang jika tidak diungkap dapat (i) mendistorsi laporan atas kegiatan yang direview, atau (ii) menutupi adanya praktik-praktik yang melanggar hukum, dalam melaporkan hasil pekerjaannya.
10. Auditor internal harus senantiasa meningkatkan kompetensi serta efektivitas dan kualitas pelaksanaan tugasnya. Auditor internal wajib mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan.
Auditor internal saat ini sudah harus menggunakan audit berbasis risiko (risk based audit approach). Pola audit yang didasarkan atas pendekatan risiko akan lebih difokuskan terhadap masalah parameter risk assesment yang diformulasikan pada risk based audit plan. Berdasarkan risk assesment tersebut dapat diketahui risk matrix, sehingga dapat membantu auditor internal untuk menyusun risk audit matrix. Memang, SPPIA dan kode etik bagi pelaksananya yang ditetapkan oleh Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal ini, berawal dan berkembang dari sektor bisnis, tapi dapat pula diadopsi untuk kemudian diterapkan pada sektor publik termasuk pada para auditor APIP baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Ataupun mungkin yang akan digunakan adalah kode etik yang dimiliki oleh BPKP.

Apapun yang diterapkan, diharapkan APIP nantinya benar-benar dapat memenuhi kriteria menjadi sebuah fungsi pengawasan yang baik sehingga penetapan PP tentang SPIP ini tidak sia-sia. Kriteria fungsi pengawasan yang baik di antaranya dapat:
a. Memberikan jaminan keyakinan terhadap publik melalui sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemeriksa atau auditor eksternal pemerintah dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dimana hasil pemeriksaannya akan diekspos secara umum untuk publik, bahwa sebuah instansi yang di dalamnya terdapat fungsi pengawasan yang dimaksud telah terhindar dari segala macam penyimpangan-penyimpangan di dalamnya serta dengan kata lain telah berjalan ataupun patuh sesuai aturan yang berlaku.
b. Memberikan konsultasi terhadap instansi yang bersangkutan sehingga dalam proses operasionalnya dapat mencegah terjadinya segala macam kesalahan atau error.
c. Memberikan nilai tambah terhadap instansi sehingga output sebuah instansi pemerintah tidak hanya dalam bentuk pelayanan terhadap publik atau pun kepuasan masyarakat secara umum namun juga dapat menjadi benchmarking ataupun contoh bagi instansi pemerintah negara lainnya.
d. Meningkatkan kinerja atas kegiatan operasional instansi yang bersangkutan.



Sumber referensi :
1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
2. Makalah (Paper) Seminar Kuliah Umum STIE Trisakti Jakarta oleh Muh. Arief Effendi, SE, MSi,Ak, QIA (Dosen FE Universitas Trisakti, STIE Trisakti, FE Universitas Mercu Buana & Program Magister Akuntansi Universitas Budi Luhur) dengan judul “TANTANGAN UNTUK MENJADI SEORANG AUDITOR INTERNAL YANG PROFESIONAL (CHALLENGE TO BE THE PROFESSIONAL INTERNAL AUDITOR)”



Penulis:
Waskito Hadi, SE, Ak
Staf Sub Auditorat NAD III, Seksi NAD IIIB
pada Perwakilan BPK-RI di Banda Aceh
NIP. 240004735



Read More......

Relasi Bank Pembangunan Daerah dan Perekonomian Daerah

Oleh Sunarsip
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)

Belum lama ini, eksistensi Bank Pembangunan Daerah (BPD) banyak mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Persoalan intinya adalah BPD dinilai tidak dapat menjadi instrumen bagi peningkatan pembangunan ekonomi di daerah. Indikasinya adalah tingginya penempatan dana BPD dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Padahal, dana BPD tersebut umumnya berasal dari Pemerintah Daerah (Pemda) dan dana Pemda tersebut sebagian merupakan dari alokasi dari APBN.

Status Quo BPD
BPD memiliki relasi yang tidak dapat dipisahkan dengan perekonomian daerah, dimana BPD tersebut berdiri. Makanya, tidak mengherankan bila BPD selalu melekat nama daerah asal BPD didirikan. Selain menjalankan kegiatan bank umum, BPD juga berfungsi sebagai kasir Pemda, seperti dana realisasi APBD. Sehingga, BPD memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompok bank lainnya (BUMN, swasta, asing dan campuran) yakni sebagian besar DPK merupakan dana milik pemerintah, khususnya Pemda.

Pendirian BPD adalah untuk mendorong pembangunan di daerah. BPD diarahkan untuk menopang pembangunan infrastruktur, UMKM, pertanian, dan lain-lain kegiatan ekonomi dalam rangka pembangunan daerah. Awalnya, peran ini telah dapat dijalankan dengan baik oleh BPD. Namun, dalam perkembangannya, peran tersebut mulai tergoyahkan. Fenomena ini dapat dilihat dari struktur pendanaan (dana pihak ketiga/DPK) dan pembiayaan yang dimiliki oleh BPD.

Berbeda dari perbankan secara umum, fokus DPK BPD adalah giro. Walaupun giro adalah dana termurah, namun perlu digarisbawahi bahwa giro juga yang paling tidak stabil/volatile. Porsi tabungan dan deposito di BPD masih relatif kecil, sehingga cukup sulit bagi BPD untuk menjadi bank yang dapat membiayai kredit jangka panjang/investasi. Implikasinya, sebagaimana terlihat pada Gambar 2, dari sebanyak 26 BPD yang beroperasi di Indonesia, porsi kreditnya hanya sebesar 7,76 persen dari total kredit perbankan nasional.

Kredit yang disalurkan BPD memang mengalami peningkatan. Namun, harus diakui bahwa porsi alokasi dana BPD dalam bentuk SBI juga sangat tinggi, di mana di tahun 2007 telah mencapai 24,35% dari total SBI perbankan. Sehingga, memang tidak seluruhnya salah bila BPD dianggap belum sepenuhnya menjalankan fungsi intermediasi dan menjadi penggerak utama bagi pembangunan ekonomi di daerah.

Penulis melihat mulai tergoyahkannya BPD dalam perannya menjadi pemain utama dalam pembangunan ekonomi, tidak seluruhnya disebabkan oleh faktor internal BPD. Faktor eksternal BPD seperti regulasi, baik regulasi di sektor perbankan dan sektor keuangan lainnya turut mempengaruhi perkembangan BPD tersebut.

Regulasi di sektor perbankan, sudah sejak lama diindentifikasi relatif tidak memberikan tempat bagi bank-bank yang memiliki peran khusus (special purpose), seperti bank pembangunan dan lainnya yang semisal. Sebagai bank yang menyandang nama sebagai bank pembangunan (development bank) hingga saat ini statusnya masih belum jelas. Misalnya, apakah BPD memang dinyatakan sebagai bank pembangunan sebagaimana layaknya praktek bank pembangunan yang lazim berlaku di negara-negara lain? Padahal, di luar negeri, bank pembangunan umumnya merupakan special purpose bank sehingga regulasinya pun relatif berbeda dengan bank komersial pada umumnya.

Mengingat bahwa belum adanya status yang jelas, kini BPD-BPD kini pun menceburkan diri layaknya bank komersial pada umumnya. BPD-BPD harus bersaing dengan bank-bank besar di wilayah operasi dimana BPD itu didirikan, akibat kurangnya pembatasan area beroperasi bank-bank nasional, bahkan dengan bank asing. Membiarkan persaingan bebas antara BPD dengan bank-bank yang telah memiliki infrastruktur yang lebih komplit, ibaratnya sama saja dengan mempertemukan Ellyas Pical dengan Mike Tyson. Meski sama-sama juara, namun karena kelasnya berbeda, pasti BPD akan terpinggirkan.

Regulasi di sektor keuangan, bahkan bisa dikatakan belum menyentuh aspek keberadaan BPD ini. Meski wilayah regulasi BPD ada di sektor perbankan, regulasi di sektor keuangan juga teramat penting bagi BPD. Karakteristik utama pembiayaan yang dilakukan BPD adalah semestinya membiayai kegiatan ekonomi dan usaha yang berdurasi jangka panjang. Sehingga, sumber pendanaan BPD semestinya lebih kuat melalui penerbitan obligasi (bond) dibandingkan dana-dana yang berasal dari giro, tabungan, dan deposito berjangka pendek untuk menghindari mismatch. Karena membiayai proyek-proyek jangka panjang, otomatis risiko kredit yang dihadapi oleh BPD menjadi jauh lebih besar. Dengan demikian, semestinya BPD juga diimbangi oleh skim penjaminan yang memadai.

Namun, akibat absennya dukungan regulasi ini (perbankan dan keuangan) BPD tidak mampu menjalankan perannya sebagai bank pembangunan dengan baik. Dengan kata lain, kurang optimalnya peran BPD dalam mendukung kegiatan pembangunan di daerah merupakan muara dari seluruh faktor, mulai dari pemilik, manajemen, dan juga regulator.

NRW Bank: Sebuah Model
Di atas, penulis menyebut bahwa meski menyandang nama sebagai bank pembangunan, BPD belum berperan layaknya sebagai bank pembangunan yang lazim beroperasi di negara-negara lain. Untuk menjelaskan ini, ada baiknya kita menengok praktek sebagai bank pembangunan yang dijalankan oleh NRW Bank, sebuah regional bank yang dimiliki oleh salah satu negara bagian di Jerman, yaitu North Rhine-Westphalia (NRW).

NRW Bank adalah landesbankan (di sini BPD) yang berdiri pada 1 Agustus 2002. NRW Bank didirikan berdasarkan the Act on Redefining the legal Status of Public-Law Banking Institution di North Rhine-Westphalia. NRW Bank menjadi pemain penting dalam proses pembangunan di North Rhine Westphalia. Per 31 Maret 2004, berdasarkan The Act of Reorganisation dan amandemen undang-undang lainnya, NRW Bank dinyatakan sebagai bank pembangunan (state development bank). The Reorganisation Act meletakkan fondasi penting bagi NRW Bank dalam platform pembangunan di North Rhine-Westphalia.

NRW Bank diberi tugas untuk mengemban misi pemerintah untuk mendukung korporasi federal, state, dan municipal, khususnya dalam bidang struktural, ekonomi, sosial dan perumahan. NRW Bank juga mendanai federal, state, lokal, dan special purpose association dan berpartisipasi dalam proyek yang didanai oleh European Investment Bank atau proyek-proyek lain dalam European Community.

NRW Bank juga mengelola transaksi dan menawarkan jasa yang berkaitan dengan tugasnya. Dalam kerangka ini, NRW Bank mengelola treasury management dan risk
management, mengumpulkan subordinate guarantee capital dan menerbitkan uncovered bearer bonds, profit participation rights, public sector pfandbriefe dan other bonds.

Untuk menjalankan misi sebagai bank pembangunan, NRW Bank beroperasi dalam sektor-sektor pembangunan berikut ini: (i) usaha kecil dan menengah (UKM), (ii) social housing promotion, (iii) venture capital, (iv) urban development, (iv) infrastructures initiatives, (v) agriculture, foresty, and rural initiatives, (vi) environmental protection initiatives, (vii) technological and innovation initiatives, (viii) purely social initiatives, dan (ix) culture and scientific initiatives. Bisnis NRW Bank dijalankan sesuai dengan prinsip komersial namun penciptaan laba bukan tujuan utama NRW Bank.

Ciri terpenting yang menjadi penopang bagi suksesnya NRW Bank ini adalah adanya peran pemerintah (state & municipalities) selaku pemegang saham yang juga bertindak sebagai penjamin (guarantor) terhadap surat berharga (obligasi) yang dikeluarkan NWR Bank. Bahkan, state (propinsi) North Rhine-Westphalia selaku pemegang saham terbesar secara eksplisit memberikan jaminan kepada NRW Bank. Sesuai dengan kepemilikannya, bertindak selaku guarantor (penjamin) adalah (i) North Rhine Westphalia; (ii) Regional Association of Rhineland, dan (iii) Regional Association of Westphalia-Lippe.

Implikasi dari adanya skim penjaminan ini, obligasi yang dikeluarkan NRW Bank mendapatkan peringkat (rating) tinggi dari lembaga rating internasional. Obligasi yang dikeluarkan NRW Bank masuk kategori sebagai zero risk weighting di Jerman, di Eropa, dan juga di Australia. Obligasi yang dikeluarkan NRW Bank diberikan peringkat all stable oleh Fitch, Standard & Poor’s, dan Moody’s.

NRW Bank juga memiliki status sebagai (i) institusi bebas pajak (a tax-exempt institution); (ii) memiliki lisensi sebagai full banking; (iii) diatur secara ketat (fully regulated) oleh BaFin (institusi pengawas bank di Departemen Keuangan Jerman). Kini, meski baru berumur lima tahun, posisi NRW Bank baik di Jerman dan Eropa sudah sangat prestisius. Keberadaan NRW Bank diakui oleh Komisi Uni Eropa. NRW Bank kini menjadi bank pembangunan terbesar kedua di Jerman dan ketiga di Eropa.

BPD Kedepan
Melihat kondisi BPD saat ini dan belajar praktek di negara lain, penting bagi BPD di Indonesia untuk berubah. Tentunya memang, perubahan ini tidak saja melibatkan internal BPD (manajemen dan komitmen pemilik), tetapi juga dibutuhkan dukungan dari regulasi.
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) telah mewajibkan bagi perbankan, termasuk BPD, bahwa dalam rangka proses konsolidasi dan penguatan struktur industri perbankan ditekankan pada aspek permodalan. Sementara itu, untuk bank-bank skala kecil dan menengah, seperti BPD, API mendorong agar bank-bank ini memilih spesialisasi kegiatan operasionalnya yang terfokus pada segmen pasar tertentu sebagai basis pelayanannya.

Dari studi yang dilakukan IEI, masih terdapat satu BPD yang belum memenuhi ketentuan permodalan dan tiga belum siap sebagai bank jangkar. Bila BPD ingin tetap eksis, komitmen pemilik terhadap aspek permodalan harus dipenuhi. Melihat realitas saat ini, dimana keberadaan bank pembangunan begitu diperlukan, selayaknya BPD perlu direvitalisasikan. API memang telah memberi tempat buat BPD sebagai bank fokus. Namun, bila tidak ditopang oleh regulasi yang memadai, perantersebut tidak akan dapat berjalan baik seperti telah terjadi selama ini.

Status yang jelas tentang peran yang akan diambil BPD menjadi penting. Ini mengingat, status ini akan menentukan dukungan regulasi yang dibutuhkan. Bila BPD dinyatakan sebagai development bank, regulasi yang mengikat tentang peran tersebut, seperti aspek penjaminan menjadi dibutuhkan. Sebab, sebagai bank pembangunan, BPD tidak bisa mengandalkan sumber dana-dana jangka pendek. Sementara, bila BPD menerbitkan obligasi untuk pendanaan, maka hal itu akan tidak bisa direspon pasar bila ratingnya rendah karena tidak adanya jaminan dari pemilik (dalam hal ini Pemda).

Sayangnya, regulasi yang ada saat ini tidak memungkinkan bagi Pemda untuk memberikan jaminan bagi obligasi yang dikeluarkan oleh BPD. Peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara dan daerah belum sejalan dengan aspek ini. Kesimpulannya, dukungan regulasi dari Bank Indonesia dan Pemerintah penting diperlukan untuk merevitalisasi peran BPD ke depan.***

Read More......

CERDAS MENGHADAPI TANTANGAN

Oleh: Cris Kuntadi (diolah dari berbagai sumber)

Kesuksesan seseorang tidak hanya dipengaruhi kualitas intelegensinya (IQ) tapi dipengaruhi pula oleh kecerdasannya dalam mengatasi setiap tantangan. Rasulullah Muhammad SAW pernah bercerita tentang tiga orang yang hendak pergi ke masjid. Ketiganya datang agak terlambat dan harus merima kenyataan bahwa masjid telah penuh. Bagaimana reaksi ketiga orang tersebut? Orang yang pertama tanpa banyak basa-basi segera pulang, karena menganggap dirinya tidak kebagian tempat. Orang yang kedua segera masuk dan mendapatkan tempat duduk di barisan paling belakang. Sedang yang ketiga berusaha untuk masuk dan terus maju, hingga ia berhasil mendapatkan barisan (shof) di depan.

Lalu Rasul bersabda, "Yang pertama itu adalah orang yang putus asa, hingga ia tidak mendapatkan apa-apa. Yang kedua adalah tipe orang yang malu-malu, hingga ia hanya mendapat sedikit. Dan yang ketiga adalah tipe orang yang penuh harapan, bersemangat, pantang menyerah, hingga ia mendapat apa yang ia inginkan."

Kisah tersebut mengandung dua makna penting yaitu tantangan dan sikap terhadap tantangan. Penuhnya masjid adalah tantangan (masalah) bagi orang yang terlambat datang. Sikap terhadap tantangan ini bermacam-macam, ada yang menyerah; ada yang masuk untuk sekadar mendapatkan tempat duduk; dan ada pula yang masuk dan bersemangat untuk mendapatkan shaf pertama. Orang ketiga ini boleh jadi seseorang yang sadar akan keutamaan shaf pertama. Dia layak disebut orang sukses; orang bersemangat, dan tidak gampang berputus asa saat dihadapkan pada kesulitan.

Tiga macam pendaki
Apa yang diungkapkan Rasulullah SAW ini ternyata mendapatkan pembenaran ilmiah. Adalah Paul G Stoltz, yang "mengemukakan" teori dalam buku Adversity Quotient (AQ) (Grasindo, Jakarta: 2000). Stoltz mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya dipengaruhi kualitas intelegensinya (IQ) atau kualitas emosinya (EQ), tapi dipengaruhi pula oleh kecerdasan atau kemampuannya dalam mengatasi setiap tantangan.

Stoltz menganalogikannya dengan perjalanan mendaki gunung yang mempunyai tiga tipe pendaki. Pertama adalah quitters yaitu mereka berhenti di tengah jalan dalam proses pendakian. Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan. Yang kedua adalah campers (pekemah) yaitu mereka yang tidak mencapai puncak, tetapi sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.

Ketiga adalah climbers (pendaki sejati), yaitu mereka yang selalu optimistik, selalu melihat harapan, dan selalu menetapkan sasaran baru dalam kehidupan. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan. "Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan; sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan," QS Alam Nasyrah (94) ayat 5-6.

Para climbers selalu berasumsi bahwa "sesuatu itu mungkin". Sehingga mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan walau sekecil apapun untuk maju. Semakin tinggi ia naik, maka semakin luas dan indah pula ia melihat pemandangan. Menurut Stoltz, semakin besar nilai AQ (adversity quotient) seseorang akan semakin cepat ia "pulih" dari keterpurukan, mampu mengatasi "kemalangan" yang dihadapinya, hingga akhirnya bisa fight lagi dalam menggapai cita-cita. Tangguh dan tabah adalah karakter sekaligus sikap dasar tipe climbers.

Kisah Siti Hajar, sebagai climber sejati, tatkala ia berlari-lari antara Shafa dan Marwah untuk mencari air. Sebagai sebuah pelajaran, Allah SWT mengabadikan perjuangan dan ketabahannya dalam Alquran. Sa'i, berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah, adalah syiar yang melambang ketabahan, perjuangan, dan kekuatan mental.

Karakter kekasih Allah
Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy, seorang pengamat ekonomi kenamaan asal Inggris, terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama. Yaitu, pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, kecintaan, atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Dan ketiga, selalu berbeda dengan orang lain.

Dua dari tiga karakter orang sukses yang diungkapkan Handy dalam The New Alchemist tersebut erat kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan. Karena itu, Islam memerintahkan kita untuk menjadi orang ber-AQ tinggi; menjadi para pemburu shaf pertama dalam shalat; dan menjadi para climber yang tak gampang putus asa. "Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir," demikian Allah SWT berfirman (QS Yusuf [12]: 87).

Lebih jauh lagi, Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa sikap optimis dan pantang menyerah termasuk salah satu ciri kekasih Allah. Ia mengatakan, "Para kekasih Allah itu jika menempuh perjalanan yang sulit, mereka selalu optimis; sedangkan jika mereka melewati perjalanan yang mudah mereka malah khawatir." (Cris Kuntadi dari Motivasi.net)




Read More......

Kamis, 29 Januari 2009

KORUPSI: DESAKAN PERUT DAN AMBISI

Widodo Setio

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,...... (Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001).
Kalau mau menyalahkan alam atas perut yang kelaparan nampaknya kurang bijaksana. Alam telah ditakdirkan kaya dan subur. Sehingga mau tidak mau ambisilah yang perlu disalahkan. Pikiran yang kosong akan makanan membuat otak berputar, namun sayang bukan dengan pola yang benar. Yaitu menemukan jalan belakang, yang penting bisa kenyang.

Korupsi berasal dari kata corruption yang berarti kecurangan, perubahan dan penyimpangan. Memutar otak menentukan kecurangan yang aman untuk melakukan sedikit perubahan-perubahan yang menguntungkan meskipun tahu hal itu menyimpang. Korupsi yang terjadi saat ini sebagian besar terjadi dengan alasan gaji Pegawai Negeri yang masih kecil. Kecil itu relatif, asal Pegawai Negeri tidak memasukkan image, gengsi dan prestis sebagai bagian dari pengeluaran hidup. Desakan hidup dan tuntutan dari orang terdekat membuat niat semakin besar. Ketika ada kesempatan, terjadilah korupsi.

Ketika suatu pekerjaan dilakukan berulang kali, hal ini akan menjadi kebiasaan. Kebohongan pun akan menjadi kebenaran jika terus disampaikan. Bisa jadi, itu juga yang terjadi dengan korupsi di Indonesia. Norma sosial yang ada dalam masyarakat menjadi semakin permisif akan tindakan korupsi. Bahkan lebih tepatnya, menjadi hal yang dianggap biasa.

Bisa dibilang, hampir semua orang pernah bertatap muka dengannya. Pengurusan surat-surat (KTP, SKCK, paspor) yang butuh sedikit pengorbanan, juga karcis tanda bayar bus dan parkir yang tidak diberikan. Tanda tangan pengesahan yang mahal, setiap hari disuguhkan. Hal ini sudah dianggap bagian dari prosedur normal, sampai akhirnya menjadi hal yang sah dilakukan.
Kesempatan yang ada dan lingkungan yang saling dukung, membuat korupsi menjadi subur dan berkembang dengan indahnya. Instansi-instansi dengan sistem pengawasan yang lemah akan mempertebal niat untuk melakukan kecurangan aman yang menguntungkan. Yang kemudian memunculkan istilah “tempat basah”dan ”tempat kering” bagi para pegawai.

Sistem pensiun menjadi momok bagi para pegawai. Dengan adanya sistem ini mau tidak mau akan membuat seseorang dianggap tidak produktif dan tidak mampu lagi untuk dipekerjakan. Dengan kata lain diberhentikan. Rumah, mobil berikut sopirnya akan lenyap beriringan dengan lenyapnya jabatan yang dikejar selama hidup. Maka, masa kejayaan menjadi masa yang produktif untuk meraih pundi-pundi rupiah semaksimal mungkin. Pundi-pundi rupiah yang dinikmati saat pensiun, ditemani secangkir teh dan pisang goreng di sore hari.

Entah siapa yang mengantar dan siapa juga yang nantinya akan menjemput, yang jelas kedatangan korupsi telah diterima dengan “biasa”. Peningkatan kualitas moral masyarakat akan menjadi obat yang ampuh untuk memberangus korupsi. Klise. Masalahnya sekarang, moral tidak kunjung meningkat. Hukum yang dibuat dan beberapa sistem yang diterapkan, misalnya statutory declaration yang mengharuskan pejabat dan pegawai negeri melaporkan kekayaannya, seharusnya telah bisa meminimalisir merebaknya korupsi. Namun entah karena aparatnya yang kurang tegas atau pelakunya yang jauh lebih tegas sehingga rantai ini belum juga terputus.
Achmanto Mendatu, dalam artikelnya ”Korupsi, Apa Sih?” mengungkapkan bahwa tingkat religiusitas sangat berpengaruh terhadap perilaku korupsi. Walaupun kenyataannya ditemukan juga orang beragama top Indonesia yang masuk keluarga besarnya. Ya, memang saat ini hanya pengadilan Tuhan saja yang menjadi harapan terakhir untuk menyadarkan masyarakat. Korupsi itu ternyata dosa. Inilah yang harus menjadi senjata penghabisan untuk memberantas korupsi.
Apa yang terlintas adalah apa yang kita pikirkan. Apa yang dipikirkan adalah apa yang akan dilakukan. Yang dilakukan bisa menjadi kebiasaan dan semoga korupsi tidak sempat menjadi budaya. Ketika perut bicara dan ambisi ikut campur, maka korupsilah yang akan terlintas. Jika memang korupsi tidak kunjung dijemput, maka kitalah yang harus mengantar kepergiannya.


Read More......

AUDIT TEMATIK: LANGKAH AWAL UNTUK KATA AKHIR

Nuansa Ramadan beberapa bulan lalu mengilhami kami mengusung liputan utama yang bertujuan menata kembali pola kehidupan yang lebih baik dalam melaksanakan tugas pemeriksaan pada Majalah Pemeriksa Edisi 109 Tahun 2007. Kunci pokok keberhasilan pemeriksaan adalah perencanaan pemeriksaan yang matang serta dapat menangkap harapan dan kebutuhan pemilik kepentingan. Cara menuju kemajuan pemeriksaan tersebut salah satunya diusung lewat pemeriksaan tematik. Atas dasar itu, liputan mengenai pemeriksaan tematik menjadi fokus utama pembahasan dalam rubrik liputan utama.

Selama ini Rencana Kerja Pemeriksaan terkesan berjalan sendiri-sendiri antar Unit Pemeriksa di BPK. Implikasi nyata akibat hal ini adalah BPK ”kehilangan gaung” dalam penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK yang tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS). Isu hasil pemeriksaan yang bersifat strategis dan seharusnya dapat diangkat ke permukaan belum nampak dengan jelas, sehingga seolah-olah hasil kerja pemeriksa –yang telah bersusah payah— kehilangan hasilnya.

Rapat Kerja Pelaksana BPK Semester II Tahun 2007 di Magelang memberikan warna baru bagi BPK dalam penyusunan rencana pemeriksaan BPK. Warna baru tersebut adalah dengan diperkenalkannya delapan tema pemeriksaan yang harus dituangkan dalam RKP Semester II Tahun 2007. Implementasinya memang terlihat masih menemui ganjalan, terutama menyangkut alokasi dan distribusi sumber daya pemeriksaan antar-Tortama. Namun, kedelapan tema tersebut diharapkan mampu merefleksikan isu-isu strategis serta mempunyai ”nilai jual” bagi BPK dalam memenuhi harapan dan kebutuhan pemilik kepentingan.

Mau tidak mau perspektif pemenuhan harapan pemilik kepentingan menjadi pendorong utama dalam perencanaan pemeriksaan. Konsekuensinya, BPK harus dapat menjawab dan menyelesaikan isu dasar yang mencuat dalam masyarakat. Berapa pihak yang mewakili pemilik kepentingan memberikan respon atas pentingnya pemeriksaan yang sifatnya tematik tersebut.
Tulisan tentang pemeriksaan Dana Perimbangan kami sajikan sebagai pelengkap dan studi kasus pada liputan utama (audit tematik). Ini didasarkan pada fakta bahwa pemeriksaan dana perimbangan merupakan salah satu implementasi pemeriksaan tematik yang cukup menguras tenaga, dana, waktu, dan pemikiran cukup banyak. Tim Dana Perimbangan yang dikomandoi Tortama KN II, melalui persiapan yang cukup singkat, memulai pemeriksaan yang sifatnya terpadu dan masif. Pemeriksaan mencakup 121 tim yang tersebar pada 33 provinsi dan 241 kota/kabupaten. Lewat pemeriksaan ini, diharapkan dapat menguak tabir dana perimbangan yang meliputi penetapan, penyaluran, dan penerimaan dana perimbangan.

Pada bahasan lain, disajikan praktek yang terjadi pada BPK di negara lain dalam mengembangkan Rencana Kerja Pemeriksaan yang terpadu dan terarah untuk membuka perspektif baru bagi kita tentang dasar pemikiran, arah, dan mekanisme rencana pemeriksaan. Praktek yang berkembang di BPK negara lain menunjukkan bahwa penyusunan perencanaan pemeriksaan menjadi pijakan dasar bagi lembaga pemeriksa dalam menentukan arah dan kebijakan pemeriksaan. Arah dan kebijakan tersebut harus dapat menangkap permasalahan dan isu yang mendasar di kalangan publik. Di sisi lain, metodologi serta mekanisme yang jelas dan terukur merupakan syarat dasar yang mesti ada dalam penyiapan perencanaan pemeriksaan.
Sebagai penutup, terdapat pertanyaan mendasar terkait implementasi pemeriksaan tematik, yaitu sejauh mana kesiapan internal BPK dari segi kompetensi, koordinasi, dan konisistensi dalam melaksanakan hal tersebut? Jawaban dan kemantapan kesiapan tersebut akan menjadi kejelasan arah gerak BPK dalam kokoh barisan untuk menjawab harapan publik atas akuntabilitas serta transparanasi pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.



Read More......

KEPEMIMPINAN NABI SULAIMAN: Kisah Burung Hud-hud

Oleh Cris Kuntadi

Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman mengumpulkan dan memeriksa seluruh pengikut-pengikutnya baik dari kalangan manusia, jin dan binatang, termasuk burung-burung. Berdasarkan pemeriksaannya, Nabi tidak melihat burung hud-hud. Karena ketidakhadiran burung hud-hud tersebut, beliau berjanji akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau bahkan menyembelihnya. Ternyata, tidak lama kemudian, burung hud-hud datang menghadap Nabi Sulaiman. Burung hud-hud menjelaskan perihal keterlambatannya karena mencari berita tentang adanya seorang wanita yang menjadi pemimpin suatu negara dan dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Atas berita yang dibawa oleh burung hud-hud tersebut, akhirnya Nabi Sulaiman mengunjungi kerajaan Saba yang dipimpin oleh ratu Balqis yang akhirnya masuk Islam dengan dakwah Nabi Sulaiman. Kisah tersebut diabadikan dalam Qur’an Surat An-Naml ayat 22-23.

Kisah tersebut menggambarkan burung hud-hud (sebagai anak buah) yang mempunyai kecerdasan dan kecemerlangan berpikir sehingga pengembaraannya dalam mencari makanan (nafkah) tidak semata untuk tujuan duniawi melainkan untuk penyebaran agama. Burung hud-hud, di antara waktunya, memanfaatkan kesempatan mencari berita dan kabar suatu kaum karena ia berkeinginan untuk menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Melalui presentasi burung hud-hud yang gemilang serta keberanian dalam mengemukakan uzur (keterlambatan), Nabi Sulaiman dapat mengajak kaum Saba untuk mentauhidkan Allah.

Di samping itu, seorang manusia, yang tentu lebih mulia dari seekor burung hud-hud, harus senantiasa memiliki inisiatif positif dan terus berupaya mencari kebaikan. Seorang manusia seharusnya lebih terpanggil untuk berinisiatif dan melakukan perbuatan baik tanpa harus menunggu perintah. Ketika mempunyai pemikiran, seseorang tidak perlu sungkan untuk menyampaikan kepada atasannya.

Sedangkan sebagai pemimpin, kita perlu mengambil ibroh (pelajaran) dari sikap dan respon Nabi Sulaiman terhadap kerja burung Hud-hud sebagai berikut:
1. Tafaqqudul amiir lil atba’ (rasa kehilangan seorang pemimpin terhadap pengikutnya). Seorang mas'ul harus memperhatikan siapa yang tidak hadir dalam setiap pertemuan dan kegiatan. Karena perhatiannya terhadap kehadiran anak buah merupakan bagian dari tanggungjawab yang harus diemban.
2. Akhdzul amri bil hazm (sangat perhatian terhadap perkara). Seorang pemimpin harus memiliki haibah (wibawa) di hadapan pengikutnya dengan menyatakan sikap tegasnya di hadapan pengikutnya. Sikap tegas tersebut bukan ditunjukkan dengan bentuk kemarahan atau menghalangi anak buah memiliki wawasan yang lebih. Wibawa seorang atasan tidak akan jatuh hanya karena mempunyai anak buah yang lebih berwawasan.
3. Muhasabah (evaluasi). Seorang pemimpin harus berinisiatif untuk mengevaluasi proses peningkatan pemahaman dan hasil kerja yang dilakukan anak buahnya. Evaluasi dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan anak buah melainkan untuk perbaikan di kemudian hari.
4. Tabayyunul ‘udzr (klarifikasi uzur). Mengklarifikasi alasan keuzuran agar penyikapan dan perlakukan yang akan diambil lebih berdampak positif.
5. Taqdir kulli udhwin (menghargai masing-masing anggota). Seperti Sulaiman yang gusar atas ketidakhadiran burung hud hud, padahal ia hanyalah seekor burung kecil. Selain burung kecil ini tentu masih banyak pengikutnya yang lebih besar dan berkualitas. Seperti komentar Sayyid Quthb, burung hud-hud itu satu ekor dari sekawanan burung hud-hud yang lain dan dari sekian banyak burung yang menjadi pendukung kerajaannya. Seorang anggota, betapapun kondisinya harus dihargai sebagai anggota dan tidak boleh dipandang sebelah mata.

Jadi dengan sikap ijabiyah seorang umat, akan banyak amal Islam yang dapat dihasilkan seiring dengan hasil yang gemilang. Di antaranya adalah dengan merasa kurang di hadapan Allah dalam menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka akan muncul rasa pada diri seorang mukmin untuk berusaha mengerjakan satu kewajiban dengan sebaik-baiknya dan dengan niat yang lurus. Dengan demikian ia telah mengerti maksud dari taklif Allah, yaitu agar manusia berusaha memperbaiki amalnya dengan cara meluruskan niat dan menyesuaikan segala perbuatan dan ibadahnya sesuai dengan syariat Islam.

Di antara sikap ijabiyah adalah tidak meremehkan perkara kecil, karena seringkali sesuatu yang besar menjadi kecil nilainya karena niat yang kurang ikhlas dan kadang beberapa kalimat akan mendatangkan kebaikan yang banyak karena niat dan keluar dari hati yang tulus. Pernah seorang ulama ditanya, “Sampai kapan Anda terus menulis hadits? Lalu ia menjawab, “Mungkin kalimat yang akan menyelamatkanku masih belum aku tulis.”

Untuk menunjukkan betapa perkara ringan itu tidak boleh dianggap ringan, Rasulullah SAW menegaskan bahwa banyak perkara ringan atau sepele, tetapi di sisi Allah mempunyai bobot pahala dan kebaikan bagi yang melakukannya. Dari Abu Dzar r.a. ia berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu, perintahmu mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sedekah bagimu, kamu menunjuki orang yang tersesat juga merupakan sedekah bagimu, membantu orang yang kurang penglihatannya juga merupakan sedekah bagimu, menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan juga merupakan sedekah bagimu, kamu menuangkan air dari timbamu ke timba saudaramu juga merupakan sedekah bagimu.” (H.R. Bukhari dan Tirmidzi)

Dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar, kita akan menemukan medan dan lapangannya yang cukup luas dan lebar. Di mana kita akan menemukan setiap hari fenomena atau suasana kemungkaran yang mesti kita hilangkan dari masyarakat. Maka dengan kedudukan kita sebagai pemeriksa, kita dapat menulis suatu penyimpangan keuangan Negara. Kita dapat mengusulkan suatu temuan indikasi tindak pidana korupsi kepada atasan kita agar dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Meningkatkan pemahaman terkait tugas pokok dan fungsi pemeriksa juga diperlukan sehingga kita dapat menyampaikan saran/rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti dan pada akhirnya menyelesaikan permasalahan kesalahan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Demikian juga bagi pegawai yang berada pada posisi penunjang dan pendukung, tidak dapat disebut sebagai pegawai kelas dua. Penunjang dan pendukung sama-sama mempunyai arti dan peran strategis dalam menunjang tugas dan fungsi BPK sebagai lembara pemeriksa keuangan negara. Yang penting dalam diri kita adalah keinginan dan kemauan untuk mengadakan perubahan ke arah positif dengan cara yang dapat ia tempuh sebatas otoritas yang ia miliki. Karena itu keberadaan kita pada posisi yang memiliki otoritas yang luas dan besar akan membantu dan mengefektifkan usaha dakwah dalam perbaikan masyarakat. Wallahu a'lam bish-showab.

Dari berbagai sumber.



Read More......

PENERAPAN KEBIJAKAN FISKAL YANG EFEKTIF

Akhirnya harga BBM naik juga (meskipun sekarang sudah turun lagi sampai tiga kali), setelah beberapa waktu lalu media massa (cetak dan elektronik) ramai memberitakan pro dan kontra mengenai kenaikan harga BBM dan menggantikan bentuk subsidi BBM dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat miskin. Berikut kutipan berita-berita tersebut.
 Detik.Com, Jumat, 23/05/2008 09:30 WIB
PT Pos Sudah Siap Cairkan Dana BLT Rp 4,4 Triliun
PT Pos Indonesia sudah siap mencairkan dana Rp 4,4 triliun untuk penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) tahap pertama. Pencairannya akan dilakukan setelah diumumkan kenaikan BBM.
 Detik.Com, Jumat, 23/05/2008 08:13 WIB
Evaluasi Akhir Kenaikan BBM Digelar Pukul 19.00 WIB
Pemerintah hari ini melakukan evaluasi akhir rencana penyaluran BLT plus untuk memutuskan kenaikan harga BBM. Evaluasi akhir akan berlangsung dalam rapat kabinet terbatas pukul 19.00 WIB
 Kompas, Jumat, 23 Mei 2008 08:33 WIB
Palangkaraya, Jumat - Antrean kendaraan untuk mendapatkan bahan bakar jenis solar dan premium di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah makin meluber. Sementara itu kendaraan roda dua yang biasanya hanya antre mulai pintu masuk SPBU, pada Jumat pagi ini meluber hingga sekitar 50 meter di luar SPBU, dengan antrean yang tersusun dua jalur. Rahman, seorang warga, menduga antrean yang meluber ini akibat kepanikan warga karena mendengar rencana kenaikan harga BBM.
 Kompas, Rabu, 21 Mei 2008 07:37 WIB
Jakarta, Rabu-Peringatan 10 tahun lengsernya pemerintahan Presiden Soeharto hari ini (Rabu, 21/5) akan diperingati sejumlah elemen masyarakat dengan menggelar unjuk rasa. Unjuk rasa sekaligus untuk menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Unjuk rasa akan dipusatkan di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
 Jakarta (ANTARA News) - 05/05/08 19:16
BLT Tidak Efektif Redam Dampak Kenaikan BBM
Pengamat ekonomi Aviliani berpendapat, pelaksanaan bantuan langsung tunai (BLT) tidak akan efektif untuk meredam atau mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM bagi lapisan masyarakat terbawah. Menurut dia, program yang dapat dilaksanakan untuk mengantisipasi dampak melonjaknya harga minyak adalah penyediaan lapangan kerja bagi penduduk melalui program nasional pemberdayaan masyarakar (PNPM).
Penciptaan lapangan kerja, jelas Aviliani, merupakan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi pemerintah di tengah perkembangan industri yang saat ini kurang menggembirakan sehingga pekerjaan merupakan hal yang sulit diperoleh masyarakat.
Menanggapi rencana pemerintah menerapkan BLT untuk luar Jawa, Aviliani mengatakan, orang di luar Jawa justru lebih mampu "survive" (bertahan hidup) dibanding dengan di Jawa. Karena mereka lebih mudah untuk mencari alternatif, dibandingkan di Jawa.

Kenaikan harga BBM merupakan implikasi kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah yang mengurangi jumlah subsidi harga BBM kepada Pertamina. Karena tingginya harga BBM di pasaran internasional (mencapai US$130/barel), banyak pengamat, tokoh masyarakat yang masih mempertanyakan kebijakan tersebut. Tanpa bermaksud memihak kepada kubu pendukung dan penentang kenaikan BBM, berikut ini beberapa prinsip yang seharusnya digunakan pemerintah sebagai dasar untuk menerapkan kebijakan fiskal yang efektif pada suatu negara.

Prinsip Kebijakan Fiskal Negara

Pada prinsipnya, suatu kebijakan fiskal dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melindungi penduduk dari ketidakpastian dan pajak yang eksesif, serta untuk membantu para pembuat peraturan perundangan dalam mengatasi kesulitan ekonomi.
Instrumen yang dapat digunakan pemerintah dalam penerapan kebijakan fiskal tersebut antara lain: pajak, subsidi, dan anggaran. Menurut Joseph L. Bast, Steve Stanek, dan Richard Vedder, Ph.D, ada sepuluh prinsip yang harus ditaati dalam penyusunan kebijakan fiskal, yaitu:
1. Menjaga tarif pajak yang rendah
Sejarah membuktikan bahwa tarif pajak yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Suatu paradox yang terjadi di Indonesia adalah dari tahun ke tahun pajak semakin menjadi andalan pendapatan utama Negara dalam APBN. Namun hal itu dapat dimaklumi sepanjang peningkatan diperoleh dari bertambahnya jumlah Wajib Pajak yang mampu dan bukan dari peningkatan tarif pajaknya atau jumlah item barang yang kena pajak.
2. Jangan memotong pendapatan atas investasi
Para investor datang untuk meningkatkan penghasilan atas investasi yang ditanamkannya, sehingga jika dipotong pajak akan menurunkan minat investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini telah dilakukan dengan tidak mengenakan pajak atas dividen dari pembagian laba perusahaan. Namun untuk laba perusahaan yang memperoleh dana investasi tersebut tidak perlu mendapatkan perlakuan khusus (lihat prinsip No. 6).
3. Hindari dosa pajak
Penerapan pajak yang tidak fair dan bersifat regresif. Contohnya pengenaan PPN atas barang dan jasa yang cenderung berganda. Hal ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendapatkan restitusi pajak fiktif dan membebani masyarakat sebagai pembeli akhir. Keadilan pajak seharusnya dapat mencontoh pada mekanisme pemungutan zakat, misalnya zakat harta dikenakan sebesar 2,5% atas harta minimal (nisab) yang setara dengan suatu hitungan emas tertentu (96 gram emas) dalam satu tahun. Dimana jumlah prosentase zakat tetap, namun orang yang lebih kaya akan membayar lebih banyak sesuai jumlah harta yang dimiliki.
4. Menciptakan mekanisme penyusunan anggaran yang transparan dan akuntabel
Hal ini dapat dilakukan dengan memusatkan perhatian dan sumber daya untuk menyediakan pelayanan yang menjadi fungsi utama (the core functions) pemerintah.
Suatu paradigma baru bahwa sejak penyusunan anggaran harus transparan dan menunjukkan tingkat kinerja yang hendak dicapai dari fungsi utama pelayanan publik, dimana hal ini harus didukung dengan mekanisme pelaporan dan evaluasi atas pencapaian kinerja yang terukur sesuai dengan perencanaannya.
5. Melakukan privatisasi atas Pelayanan Publik
Tujuan privatisasi bukan sekadar untuk memperoleh tambahan pendapatan negara, namun merupakan suatu cara yang tepat untuk mengurangi belanja pemerintah sekaligus untuk meningkatkan mutu pelayanan publik tersebut.
Dengan prinsip tersebut maka prioritas privatisasi adalah kepada perusahaan negara/daerah tidak efisien yang membebani keuangan negara (merugi), dan bukan kepada perusahaan yang menguntungkan.
6. Hindari pembayaran subsidi kepada korporasi
Pemberian subsidi kepada korporasi atau pengurangan pajak secara selektif dapat menimbulkan pertanyaan secara politik dan membawa dampak buruk bagi perekonomian. Indonesia masih menerapkan susbsidi kepada korporasi misalnya subsidi BBM kepada Pertamina, subsidi pupuk kepada PT Pusri, dan subsidi listrik kepada PLN. Pemberian subsidi korporasi berdampak pada terciptanya disparitas harga, kesulitan mengukur kinerja korporasi yang disubsidi, rumitnya mekanisme pencatatan akuntansi pada sisi keuangan pemerintah dan sisi korporasi, serta kesulitan dalam pemeriksaan atas jumlah subsidi yang harus dibayarkan.
7. Membatasi pajak dan belanja pemerintah
Pembatasan atas pajak dan pengeluaran pemerintah akan melindungi pemerintah dari tekanan publik untuk membelanjakan surplus pendapatan pajak pada saat kondisi ekonomi baik sebagai cadangan jika terjadi kesulitan ekonomi (krisis).
Prinsip ini menghendaki pada saat surplus anggaran, pemerintah dapat melakukan penghematan dan menabung sebagai cadangan agar dapat digunakan pada saat terjadi kesulitan ekonomi.
8. Membiayai siswa dan bukan memberikan dana kepada sekolah
Berdasarkan pengalaman pemberian dana langsung ke sekolah seperti block grant, dan BOS akan sulit diukur pencapaian tingkat kinerjanya, dibandingkan dengan cara sekolah menetapkan jumlah biaya pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap siswa sesuai pencapaian akademis yang diinginkan dan pemerintah harus membiayai siswa yang tidak mampu. Misalnya dengan mekanisme pemberian beasiswa yang diberikan oleh institusi atau yayasan, seperti Supersemar, Ausaid, USaid dll.
9. Reformasi mekanisme pemberian bantuan kesehatan
Pengeluaran untuk bantuan kesehatan biasanya menjadi tidak terkendali atau terjadi penurunan mutu pelayanan yang diterima pasien dengan bantuan kesehatan.
Hal ini seperti yang terjadi pada program jaminan kesehatan masyarakat miskin dengan PT Askes (Askeskin) yang membengkak karena kurangnya pengendalian atas tagihan vendor kepada PT Askes dan pelayanan yang diberikan Rumah Sakit kepada pasien Askeskin mutunya sangat buruk.
10. Melindungi pegawai pemerintah (PNS) dari politik
Pemerintah harus mewaspadai penggunaan dana untuk keperluan politik dari pembayaran yang dilakukan oleh pegawai pemerintah. PNS dalam jumlah yang besar merupakan vote getter yang diperebutkan oleh partai dan kandidat, sehingga akan mempengaruhi independensi dan tidak menutup kemungkinan penggunaan fasilitas dan dana pemerintah untuk kepentingan kelompok tertentu, sehingga layak dipertimbangkan bahwa PNS juga tidak perlu menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu seperti halnya anggota TNI dan POLRI. Selain itu berapa biaya Pemilu yang dapat dihemat dari berkurangnya mata pilih dari PNS tersebut.

KesimpulanSetiap kebijakan fiskal yang diambil oleh pemerintah apapun bentuknya harus didasarkan pada analisis yang mendalam, persiapan yang matang, serta applicable saat diterapkan sehingga dapat mencapai tujuan dari kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, melindungi penduduk dari ketidakpastian dan pajak yang eksesif, serta untuk membantu para pembuat peraturan perundangan dalam mengatasi masa-masa kesulitan ekonomi.
Penerapan sepuluh prinsip kebijakan fiskal secara keseluruhan dapat menghemat pengeluaran pemerintah pada satu sisi (subsidi korporasi, block grant, Jamkesmas dan bantuan kepada perusahaan publik). Pada sisi yang lain dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk belanja sesuai tupoksi pemerintah, misalnya biaya peningkatan infrastruktur, biaya merekrut dan melatih relawan bidang kesehatan untuk surveilance penyakit penduduk yang tidak mampu, bidang pertanian untuk penyuluhan, bidang sosial untuk mendata penduduk miskin yang butuh bantuan sosial, tenaga guru di daerah terpencil, biaya program pemberdayaan usaha masyarakat, serta biaya program peningkatan produksi komoditas unggulan. Program tersebut diharapkan dapat langsung menyerap tenaga pekerja, mengurangi pengangguran, memberikan penghasilan yang memadai dan dapat mengentaskan kemiskinan.
Penerapan prinsip kebijakan fiskal tersebut dapat menyederhanakan struktur anggaran, mekanisme transaksi penerimaan dan pengeluaran, pelaporan serta pemeriksaannya, sehingga lebih mudah dimengerti oleh para stakeholder (manajemen pemerintahan, legislator dan masyarakat) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mulai dari penyusunan anggaran dan pelaporan dan evaluasi pencapaian kinerja dari program anggaran yang telah dilaksanakan.

disadur oleh Jarot Sembodo (Auditor pada Perwakilan BPK di Palembang ) dari :
Ten Principles of State Fiscal Policy
By Joseph L. Bast, Steve Stanek, and Richard Vedder, Ph.D



Read More......

Selasa, 27 Januari 2009

Otonomi Daerah: Ladang Luas Korupsi di Daerah

Oleh: Gunarwanto (KSA Perwakilan Kalbar 1 BPK RI)
Sumber: Majalah Pemeriksa Edisi 114

Memprihatinkan. Komentar itulah yang akan muncul jika membaca hasil pemeriksaan BPK Semester I tahun 2007.
Dalam laporan yang diserahkan kepada DPR awal Oktober lalu dan DPD (22/11), BPK memaparkan berbagai penyimpangan uang negara. Tidak saja di pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di pemerintah daerah.
Hasil pemeriksaan BPK semakin membuktikan pendapat masyarakat bahwa seiring dengan otonomi daerah, disertai pula dengan era korupsi di daerah. Kerugian negara tidak hanya bersumber dari APBN yang digerogoti, termasuk juga APBD.
Penggerogotan dana APBD tampak dari hasil pemeriksaan BPK. Hasil pemeriksaan atas 237 pemerintah daerah meliputi propinsi dan kabupaten/kota, BPK menemukan penyimpangan sebesar Rp91,03 miliar.
BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp45,8 miliar (37%), tidak didukung bukti yang lengkap Rp32,05 miliar (38%), terlambat menyampaikan laporan Rp8,2 miliar (6%), penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp4,4 miliar (9%), dan belum dipungut pajak/denda Rp466 juta.


Indikasi korupsiJika dipahami dengan baik, jenis penyimpangan yang dilaporkan oleh BPK sebagian besar mengindikasikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Pada umumnya berujung pada timbulnya kerugian negara/daerah.
Dalam buku Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2007 tersebut, BPK melaporkan banyak praktik pengadaan barang dan jasa dengan nilai ratusan juta hingga miliaran rupiah yang tidak menaati aturan. Selain itu, dijumpai pemberian berbagai fasilitas kepada kepala daerah dan anggota DPRD yang menyimpang dari aturan. Nilainya juga bervariasi dari puluhan juta hingga miliaran rupiah. Kedua temuan tersebut merupakan contoh dari penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Dilihat dari frekuensinya, jenis penyimpangan yang banyak terjadi adalah penggunaan uang tidak didukung dengan bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan sah. Hampir seluruh pemda terdapat temuan seperti ini.
Sebagai contoh, di Pemerintah Provinsi Riau, BPK menemukan belanja administrasi umum aparatur sebesar Rp2 miliar. Tanpa bukti pertanggungjawabannya yang lengkap dan sah. Walhasil, BPK tidak yakin atas kewajarannya. Demikian pula, di Kota Prabumulih Provinsi Sumatera Selatan, BPK menemukan belanja jasa tenaga kerja non pegawai sebesar Rp300 juta belum didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.
Di Kabupaten Kediri ditemukan pemberian bantuan dana kepada sejumlah instansi vertikal, seperti Polres, Polsek, Kejaksaan, Kodim, Koramil, pengadilan negeri, dll senilai Rp960 juta. Temuan seperti ini dijumpai hampir di setiap pemerintah daerah. Selain pemberian bantuan tersebut tidak dibenarkan oleh aturan, ternyata bukti pertanggungjawabannya sering tidak jelas.
Melihat fakta seperti itu, perlu diwaspadai pemda yang akan menyelenggarakan pilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin, pengeluaran dana APBD yang tidak jelas pertanggungjawabannya, sesungguhnya dipakai untuk membiayai kepentingan politik pimpinan daerah yang akan maju dalam pilkada. Dana tersebut untuk membiayai lobby-lobby politik. Biasanya kepada kalangan DPRD, LSM, dan kelompok-kelompok masyarakat yang diharapkan memberikan dukungan pencalonannya.

Formalitas anggaran
Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah penggunaan anggaran tidak tepat sasaran. Bukan cerita baru, banyak pemda saat mengajukan rancangan APBD tidak didahului dengan perencanaan yang baik. Sering dijumpai rencana proyek pembangunan dan pelayanan publik yang diajukan hanya sekedar formalitas anggaran. Akibatnya, pada saat proyek selesai dilaksanakan, ternyata tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan kebutuhan.
Contoh menarik dapat dibaca pada temuan pengadaan kapal keruk senilai Rp4 miliar di Kabupaten Cirebon. Pada waktu diperiksa oleh BPK, kondisi kapal tersebut menganggur karena tidak ada biaya untuk mengoperasikannya. Hal ini merupakan kecerobohan pejabat terkait dalam membuat rencana pengadaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Sebenarnya akan lebih menarik, jika BPK mengusut motivasi dan kewajaran harga pengadaan kapal tersebut. Mungkin bisa ditemukan penyimpangannya.

Ketegasan
Pertanyaan selanjutnya adalah mau diapakan temuan BPK tersebut. Selama ini tindak lanjut temuan BPK masih sangat minim. Dalam berbagai kesempatan, Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan prosentase temuan BPK yang ditindaklanjuti oleh pemerintah masih sangat sedikit. Bahkan dari tahun ke tahun, temuan dengan kasus yang sama selalu berulang. Hal ini menandakan temuan BPK tidak memberikan efek jera bagi pelaksana anggaran di daerah.
Agar tindak lanjut temuan BPK lebih efektif dan mencegah temuan berulang, ada baiknya jika BPK memverifikasi ulang temuannya. Jika terdapat temuan yang mengarah kepada indikasi KKN, BPK dapat segera menyampaikan temuan tersebut kepada penegak hukum. Selanjutnya, BPK terus memonitor tindak lanjut penanganan oleh para penegak hukum. Hal ini dimungkinkan karena sudah ada kesepakatan bersama (MoU) antara BPK dengan penegak hukum untuk menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi KKN.
Tindakan tegas terhadap pelaku penyimpangan keuangan negara merupakan syarat mutlak bagi pemberantasan KKN di daerah. Jangan sampai era otonomi daerah justru menjadi ladang luas bagi praktik korupsi di daerah.


Read More......

Bagaimana Seorang Muslim Memandang Harta Kekayaan?

Oleh Suwarno (Auditor BPK)

Segala puji bagi Allah semata, Tuhan semesta alam, hanya kepada-Nya kami memuji, memohon ampunan dan pertolongan. Kami memohon perlindungan atas kejelekan pada diri kami serta buruknya perbuatan kami. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya. Aku juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul-Nya. Semoga keselamatan dan kedamaian tetap tercurahkan kepada beliau, keluarga dan para sahabat hingga datangnya hari akhir.

Saudaraku yang dimuliakan Allah...
Hari ini ternyata kita masih berada di dunia ini, kita masih diberi kehidupan, kita masih diberi kesempatan untuk menghirup udara Allah. Kita masih diberi kesempatan untuk memohon ampun kepada Allah atas segala dosa yang telah kita lakukan, kita masih diberi kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi kebaikan-kebaikan. Semakin banyak dosa yang telah kita perbuat, sementara itu semakin banyak pula nikmat dan karunia yang Allah berikan kepada kita. Kita masih diberi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita, kita memiliki penghasilan hingga kita dapat membeli makanan, pakaian dan sederet kebutuhan hidup lainnya. Kita dapat membiayai pendidikan anak serta berlibur bersama keluarga, semua itu merupakan wujud dari karunia yang Allah berikan kepada kita. Bahkan, mungkin ada diantara kita yang memiliki penghasilan lebih sehingga dapat membeli rumah yang megah, mobil yang indah, dan berbagai barang mewah lainnya. Itu merupakan karunia lebih yang Allah berikan kepada kita. Sudah sepantasnya kita bersyukur kepada-Nya atas semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Segala puji bagi Allah Tuhan yang menguasai alam semesta ini.

Sementara itu banyak saudara-saudara kita yang kekurangan, jangankan menyekolahkan anak, untuk makan sehari-hari mereka tidak mampu. Setiap kita berangkat atau pulang kerja kita dapati mereka di jalanan, disela-sela ramainya laju kendaraan. Mereka mengharapkan belas kasihan dari orang yang mau peduli. Dengan melihatnya sudah seharusnya kita semakin bersyukur kepada Allah, kita tidak diciptakan dan dilahirkan untuk berada bersama mereka. Segala puji bagi Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Saudaraku yang dimuliakan Allah...
Sebagai seorang pegawai, kenaikan penghasilan merupakan suatu hal yang diharapkan. Adanya rencana remunerasi bagi pegawai BPK tentunya menjadi berita yang menggembirakan. Ramai dibicarakan di media masa kalau penghasilan pegawai BPK akan meningkat sampai sekian kali. Samar-samar maupun terang-terangan kadang kita mendengar teman-teman kita membicarakan kenaikan penghasilan ini. Ada yang punya rencana ini, rencana itu dan sebagainya, yang jelas kenaikan penghasilan ini perlu kita syukuri. Salah satu cara mensyukuri nikmat Allah yang satu ini yaitu dengan menggunakannya untuk kepentingan yang baik, hemat dan tidak boros. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda ,
”Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal : usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia pergunakan.”
Hadits ini merupakan peringatan bagi kita sebagai seorang muslim, agar berhati-hati terhadap harta kekayaan yang kita miliki. Usia, jasmani, ilmu hanya ditanya untuk apa dipergunakan, tetapi harta kekayaan yang kita miliki akan ditanya dari mana dan untuk apa dipergunakan.

Saudaraku...
Seorang muslim hendaknya memperlakukan harta kekayaan sebagaimana syariat Islam mengaturnya. Seorang muslim memandang harta kekayaan sebagaimana Islam memandangnya. Islam mempunyai pandangan yang jelas terhadap harta kekayaan. Pandangan Islam terhadap harta kekayaan antara lain sebagai berikut :
I. Kepemilikan manusia terhadap harta kekayaan bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan Allah, sedangkan pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini ialah Allah SWT.
”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.” (Al baqarah, 2 : 255)
Selayaknya barang titipan, maka harta kekayaan ini pun dapat sewaktu-waktu diambil dari kita. Kita tidak boleh terlalu cinta terhadap harta kekayaan yang kita miliki, sebaliknya harta kekayaan yang Allah titipkan kepada kita hendaknya dijadikan sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. “ Katakanlah : jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya....” (At Taubah, 9 : 24).
II. Kedudukan harta yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya ialah sebagai berikut:
a. Harta sebagai amanah dan kita harus menunaikan amanah tersebut sesuai dengan ketentuan;
b. Harta dijadikan indah oleh Allah SWT sebagai perhiasan hidup dan agar manusia bisa menikmatinya dengan tidak berlebih-lebihan. Allah berfirman, ” Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran, 3 :14);
c. Harta sebagai bekal ibadah baik kepada Allah untuk melaksanakan perintah-Nya maupun kepada sesama manusia melalui zakat, infaq, dan sedekah. ” ....dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At Taubah, 9 : 41);
d. Harta merupakan ujian keimanan berkaitan dengan cara mendapatkan, memanfaatkan bahkan cara menempatkan harta dalam perilaku kita sehari-hari. Harta hendaknya tidak melupakan kewajiban kita kepada Allah, sebaliknya dengan harta yang ada kita hendaknya menjadi semakin dekat dengan Allah SWT. Jangan sampai harta menjadi tuhan. Di dalam Surat Al Anfaal ayat 28, Allah SWT berfirman : ” Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (Al Anfaal, 8 : 28);
e. Harta yang kita miliki tidaklah kekal, tetapi dapat hilang (musnah) tanpa disangka-sangka dan kita duga sebelumnya sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, kita dilarang terlalu cinta terhadap harta kekayaan yang kita miliki;
f. Harta merupakan penopang kehidupan dan hendaknya dikuasakan kepada orang yang telah mampu (baligh dan dapat mengatur harta bendanya) agar harta benda tersebut dapat dimanfaatkan secara benar, seperti harta warisan anak yatim piatu yang belum dewasa sebaiknya dikuasakan kepada walinya sampai ia dewasa dan mampu mengatur harta kekayaannya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Surat An Nisaa’ ayat 5;
g. Di dalam harta yang kita miliki terdapat hak orang miskin yang harus kita tunaikan. ” Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (Adz Dzaariyaat, 51 : 19).
III. Harta harus diperoleh melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Dilarang mencari harta kekayaan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama. Rasulullah saw bersabda : ” Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama seperti mujahid di jalan Allah.” (HR Ahmad).
IV. Dilarang mencari harta, berusaha, bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan Allah, melupakan shalat dan zakat, dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok tertentu saja. Firman Allah SWT,
” Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (At Takaatsur, 102 : 1-2);
” Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al Munaafiquun, 63 : 9);
Selain ayat-ayat di atas, kita dapat melihat lagi Surat An Nuur, 24 : 37-38, dan Surat Al Hasyr, 59 : 7.
V. Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual beli barang haram, mencuri, merampok, curang dalam takaran dan timbangan, cara-cara yang batil dan merugikan, suap-menyuap dan korupsi. Sebagai muslim kita harus berhati-hati dalam memperoleh harta kekayaan. Jangan sampai kita terjebak dalam sistem perekonomian modern yang justru lepas dari nilai-nilai Islam, mengandung unsur riba seperti bunga bank, bunga dari investasi lainnya (bukan bagi hasil secara adil), dan transaksi-transaksi ribawi lainnya. Banyak petunjuk di dalam Al Qur’an yang dapat kita jadikan pedoman, antara lain kita dapat membaca pada Surat Al Baqarah, 2 : 188, 273-281, Al Maa’idah, 5 : 38, 90-91, Al Muthaffifiin, 83 : 1-6).

Marilah bersama-sama kita berlindung dan memohon kepada Allah SWT agar kita diberi petunjuk dalam menjalani setiap langkah, tiap detik kehidupan ini semoga tetap berada pada jalan yang benar. Jangan sampai kehidupan dunia yang hanya sebentar ini melalaikan kita dari kematian, dari kehidupan akhirat yang kekal. Mari bersama-sama sekali lagi kita menyimak dan kita renungi ayat Al Qur’an dan syair berikut :
” Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. Dan tahukah kamu apakah Huthamah itu?. (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan. Yang (membakar) sampai ke hati. Sesungguhnya api itu ditutup rapat di atas mereka. (sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.” (Al Humazah, 104 :1-9).

” Demi umurmu! Tak berguna lagi kekayaan bagi seseorang
Jika napasnya telah turun naik di kerongkongan
Dan dada terasa sesak tak tertahankan ” (Abu Bakar ash-Shiddiq)

” Namun jika napas telah turun naik di kerongkongan
Dan bunyi sakarat telah terdengar dengan pelan
Niscaya insaflah engkau bahwa tiadalah engkau saat ini
Melainkan hanya dalam keadaan tertipu.” (Abu al-’Itahiyyah)



Read More......

Optimalisasi Fungsi DPRD dalam Pengawasan Pemerintah Daerah

Oleh : Wahyu Priyono, SE, MM

DPRD adalah Lembaga Politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legilsatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legilsatif di daerah. Akan tetapi, sebenarnya fungsi legislatif di daerah, tidaklah sepenuhnya berada di tangan DPRD seperti fungsi DPR-RI dalam hubungannya dengan Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menyeburkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU, dan Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda), baik daerah propinsi maupun kabupaten/kota, tetap berada di tangan Gubernur dan Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota tetap merupakan pemegang kekuasaan eksekutif dan sekaligus legislatif, meskipun pelaksanaan fungsi legislatif itu harus dilakukan dengan persetujuan DPRD yang merupakan lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintahan di daerah.
Oleh karena itu, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun dalam kenyataan sehari-hari, lembaga DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. Memang benar, seperti halnya pengaturan mengenai fungsi DPR-RI menurut ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen, lembaga perwakilan rakyat ini berhak mengajukan usul inisiatif perancangan produk hukum. Menurut ketentuan UUD 1945 yang lama, DPR berhak memajukan usul inisiatif perancangan UU. Demikian pula DPRD, berdasarkan ketentuan UU No.22/1999 berhak mengajukan rancangan Peraturan Daerah kepada Gubernur. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan kedudukan DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota.

Fungsi utama DPRD adalah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah, sedangkan berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur atau Bupati/Walikota. Bahkan dalam UU No.22/1999, Gubernur dan Bupati/Walikota diwajibkan mengajukan rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya menjadi Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui atau bahkan menolak sama sekali ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan tertentu, dan sekali-sekali dapat mengajukan usul inisiatif sendiri mengajukan rancangan Peraturan Daerah.
Dari uraian di atas dapat kita mengerti bahwa sebenarnya, lembaga parlemen itu adalah lembaga politik, dan karena itu pertama-tama haruslah dipahami sebagai lembaga politik. Sifatnya sebagai lembaga politik itu tercermin dalam fungsinya untuk mengawasi jalannya pemerintahan, sedangkan fungsi legislasi lebih berkaitan dengan sifat-sifat teknis yang banyak membutuhkan prasyarat-prasyarat dan dukungan-dukungan yang teknis pula. Sebagai lembaga politik, prasyarat pokok untuk menjadi anggota parlemen itu adalah kepercayaan rakyat, bukan prasyarat keahlian yang lebih bersifat teknis daripada politis. Meskipun seseorang bergelar Prof. Dr. jika yang bersangkutan tidak dipercaya oleh rakyat, ia tidak bisa menjadi anggota parlemen. Tetapi, sebaliknya, meskipun seseorang tidak tamat sekolah dasar, tetapi ia mendapat kepercayaan dari rakyat, maka yang bersangkutan paling ‘legitimate’ untuk menjadi anggota parlemen.
Sesuai fungsinya sebagai lembaga pengawasan politik yang kedudukannya sederajat dengan pemerintah setempat, maka DPRD juga diberi hak untuk melakukan amandemen dan apabila perlu menolak sama sekali rancangan yang diajukan oleh pemerintah itu. Bahkan DPRD juga diberi hak untuk mengambil inisiatif sendiri guna merancang dan mengajukan rancangan sendiri kepada pemerintah (Gubenur atau Bupati/Walikota).
Dengan demikian, semestinya semua anggota DPRD propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, untuk meningkatkan perannya sebagai wakil rakyat yang secara aktif mengawasi jalannya pemerintahan di daerah masing-masing dengan sebaik-baiknya. Instrumen yang dapat digunakan untuk itu adalah segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan rencana anggaran yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Sudah tentu untuk melaksanakan fungsi-fungsi DPRD, termasuk fungsi legislasi dan fungsi anggaran, setiap anggota DPR perlu menghimpun dukungan informasi dan keahlian dari para pakar di bidangnya. Informasi dan kepakaran itu, banyak tersedia dalam masyarakat yang dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat banyak. Apabila mungkin, setiap anggota DPR juga dapat mengangkat seseorang ataupun beberapa orang asisten ahli untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Jika belum mungkin, ada baiknya para anggota DPRD itu menjalin hubungan yang akrab dengan kalangan lembaga swadaya masyarakat, dengan tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa di daerahnya masing-masing, dan bahkan dari semua kalangan seperti pengusaha, kaum cendekiawan, tokoh agama, tokoh budayawan dan seniman, dan sebagainya. Dari mereka itu, bukan saja dukungan moril yang dapat diperoleh, tetapi juga informasi dan pemahaman mengenai realitas yang hidup dalam masyarakat yang kita wakili sebagai anggota DPRD. Atas dasar semua itu, setiap anggota DPRD dapat secara mandiri menyuarakan kepentingan rakyat yang mereka wakili, sehingga rakyat pemilih dapat benar-benar merasakan adanya manfaat memberikan dukungan kepada para wakil rakyat untuk duduk menjadi anggota DPRD.

Kemitraan DPRD dengan Eksekutif
Pilkada langsung telah memberikan warna yang berbeda terhadap pola hubungan kerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan kepada daerah disebabkan adanya perubahan yang mendasar pada sistem pemilihan dan pertanggungjawaban seorang kepala daerah. Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004, kepala daerah tidak lagi dipilih dan juga tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat, serta pertanggungjawaban diberikan kepada pemerintah dan publik. Berbeda dengan Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan yang sangat besar kepada DPRD untuk menentukan nasib seorang kepala daerah dalam perjalanan kariernya.
Kewenangan besar yang dimiliki DPRD pada masa 1999-2004 sayangnya tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan menimbulkan ekses yang berkepanjangan, hingga saat ini masih banyak kasus diungkap pihak penegak hukum berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Semangat otonomi daerah yang dikembangkan Undang-undang No 22 Tahun 1999 hanya berusia tiga tahun saja. Pengalaman yang kurang baik tersebut menjadi pendorong lahirnya Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 yang penekanannya mengarah kepada pilkada langsung, yang titik berat pertanggungjawaban kepala daerah tampaknya ditarik kembali ke pusat. Apakah ini menandakan akan bergeser semangat desentralisasi kepada sentralisasi kembali? Tidak mudah untuk menjawab hal tersebut karena kita masih harus melihat praktik di lapangan aktivitas-aktivitas yang merupakan representasi adanya perubahan tersebut, misanya apakah pengawasan yang dilakukan masyarakat terhadap eksekutif akan lebih produktif sehingga pemerintah daerah benar dalam menjalankan fungsi-fungsi eksekutifnya, walaupun sampai saat ini masih menyisakan pertanyaan mendasar mengenai mekanisme dan bentuk pertanggungjawabannya. Selain itu pasal 27 ayat 2 Undang-undang 32 tahun 2004 menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut hanya sebatas "menginformasikan" saja. Sejauh mana respons masyarakat memengaruhi kinerja dan karier kepala daerah, belum ada kejelasan.
Kenyataan seperti ini, berimbas pada pola hubungan yang terjadi antara DPRD dengan kepala daerah. Pasal 19 ayat 2 undang-undang ini mengatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD, kemudian pada pasal 40 ditegaskan bahwa DPRD berkedudukan sebagai unsur pemerintahan daerah, yang bersama-sama dengan kepala daerah membentuk dan membahas Perda dan APBD (pasal 42 ayat 1 huruf a.,b.) Melihat konteks seperti ini, maka pola hubungan yang dikembangkan adalah kemitraan atau partnership. Dalam pola hubungan seperti ini, DPRD tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, dan sebaliknya kepala daerah tidak memiliki akses untuk membubarkan DPRD.
Hubungan kemitraan pada realisasinya tidak hanya didasarkan pada peraturan-peraturan perundangan semata akan tetapi juga mengacu pada nilai dan budaya yang berkembang dalam masyarakat lokal, sehinga dapat dijalin hubungan yang harmonis, saling menghargai, menghormati dan transparans tanpa harus mengorbankan sikap kritis dan sensitif dari DPRD. Pengalaman yang lalu dapat diambil sebagai pelajaran, hubungan kemitraan yang kebablasan, khususnya dalam hal penyusunan APBD yang terkesan mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok harus dihindarkan. Ada harapan dengan Undang-undang 32 tahun 2004 dikembangkan sikap kemitraan dengan dikawal oleh penegakkan hukum terhadap praktik-praktik KKN di daerah.
Penjabaran dari hubungan yang harmonis harus ditempatkan pada relnya masing-masing. Khusus untuk DPRD, undang-undang memberikan tiga fungsi pokok yaitu : Fungsi Legislasi, anggaran dan pengawasan (pasal 41). Sedangkan kepala daerah memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD (pasal 25, huruf a).
Kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala eksekutif, selain menguasai APBD juga dilengkapi perangkat yang cukup memadai, baik berupa biro (di provinsi), dinas-dinas daerah (di Kota/kabupaten) maupun lembaga teknis yang kesemuanya merupakan unsur pelaksana. Karena tugasnya yang bersifat administratif dan rutin, maka para unsur pelaksana ini pada umumnya memiliki skill dan wawasan yang memadai di bidangnya masing-masing. Persoalan muncul ketika DPRD sebagai lembaga politik menghadapi para birokrat daerah ini, karena masih ada anggota DPRD yang kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai, selain itu seringkali kurang diback up data atau informasi yang akurat. Disamping itu, berdasarkan penelitian beberapa lembaga, antara lain LIPI dan LAN, dalam era reformasi ini, pada umumnya pelaksanaan fungsi DPRD Kabupaten/Kota masih mempunyai kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut :
Fungsi legislasi : (1) sebagian besar inisiatif Peraturan Daerah (Perda) datang dari Eksekutif; (2) kualitas Perda masih belum optimal, karena kurang mempertimbangkan dampak ekonomis, sosial dan politis secara mendalam; (3) kurangnya pemahaman terhadap permasalahan daerah.
Fungsi anggaran : (1) belum memahami sepenuhnya sistem anggaran kinerja; (2) belum cukup menggali aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif; (3) kurangnya pemahaman terhadap potensi daerah untuk pengembangan ekonomi lokal.
Fungsi pengawasan : (1) belum jelasnya kriteria untuk mengevaluasi kinerja Eksekutif, karena Daerah belum sepenuhnya menerapkan anggaran kinerja dengan indikator keberhasilan yang jelas; (2) hal tersebut mengakibatkan penilaian yang subjektif; (3) terkadang pengawasan berlebihan dan/atau KKN dengan Eksekutif.
Agar dapat mengimbangi gerak langkah kepala daerah dan unsur pelaksananya, terutama untuk memberikan kinerja yang lebih baik dalam mengembangkan pola hubungan kemitraan ini maka anggota dewan sebagai legislator harus lebih memperkuat fungsinya. Harapannya secara strategis akan terjalin komunikasi politik yang tidak hanya tergantung pada isu maupun insting politik semata tetapi juga terbangun komunikasi model rasional yang mengedepankan pendekatan kognitif berbasis data. Hal tersebut bisa dibangun melalui cara sebagai berikut;
1. Meningkatkan kemampuan legal drafting,
Fungsi legislasi dijalankan DPRD dalam bentuk pembuatan kebijakan bersama-sama dengan kepala daerah, apakah itu dalam bentuk peraturan daerah atau rencana strategis lainnya. Sebagai unsur pemerintahan daerah, DPRD tidak hanya membuat peraturan daerah bersama-sama dengan eksekutif akan tetapi juga mengawasi pelaksanaannya. Untuk menjaga adanya kemitraan yang seimbang, maka anggota dewan perlu memahami dan menguasai kemampuan legal drafting. Hal ini penting karena pada umumnya di pihak eksekutif kemampuan seperti ini telah terorganisasi dan terbina dengan baik dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dari waktu ke waktu.
2. Menyiapkan backing staff dan penguasaan public finance,
Fungsi budgeting merupakan fungsi DPRD yang berkaitan dengan penetapan dan pengawasan penggunaan keuangan daerah. Dalam pelaksanaan fungsi ini, DPRD perlu memikirkan adanya backing staff (staf ahli) dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan public finance. Backing staff ini memiliki arti penting sebagai penyuplai informasi yang akurat yang sangat dibutuhkan anggota dewan dalam merumuskan kebijakan bersama-sama kepala daerah, sedangkan pemahaman public finance perlu terus dikembangkan mengikuti penerapan sistem keuangan pemerintah yang terus berubah.
Fungsi budgeting ini merupakan fungsi yang sensitif dan disinilah biasanya sumber terjadinya perkeliruan dan penyalahgunaan keuangan daerah yang melibatkan kedua unsur pemerintahan daerah tersebut. Kinerja DPRD sangat diharapkan disini dan bersifat strategis karena memiliki hubungan yang signifikan dengan usaha menciptakan clean governance.
3. Mengembangkan prosedur dan teknik-teknik pengawasan,
Pengawasan yang dilakukan DPRD adalah pengawasan politik bukan pengawasan teknis. Untuk itu DPRD dilengkapi dengan beberapa hak, antara lain hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Dengan hak interpelasi maka DPRD dapat meminta keterangan dari kepala daerah tentang kebijakan yang meresahkan dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Hak angket dilakukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dari kepala daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak menyatakan pendapat fungsinya berbeda dengan mosi tidak percaya, karena tidak dapat menjatuhkan kepala daerah, tetapi hanya berupa pengusulan pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Bisa jadi kepala daerah yang bermasalah di tingkat lokal, akan tetapi karena kemampuannya melobi pemerintah di jakarta, yang bersangkutan dapat terus bertahan. Dalam hal seperti ini maka nampak sistem sentralistis kembali berperan.
Fungsi pengawasan DPRD perlu terus dikembangkan baik model maupun tekniknya, karena dengan keberhasilan fungsi ini akan memberikan kredibilitas yang tinggi kepada DPRD. Dapat dipikirkan pula apakah pengawasan akan masuk pada soal-soal administratif, seperti mengawasi projek-projek pembangunan atau pengawasan terhadap daftar anggaran satuan kerja (DASK) yang merupakan kompetensi Bawasda, atau paling tidak DPRD memiliki akses kepada hasil pengawasan Bawasda, tetapi hal inipun harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat Bawasda selama ini merupakan bagian dari Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang user-nya adalah kepala daerah.
Sekiranya upaya-upaya penguatan fungsi legislatif tersebut dapat dilaksanakan dengan konsisten dan terprogram, dapat diharapkan adanya peningkatan performance DPRD. Kedepan hal ini merupakan tuntutan mengingat Undang-undang No. 32 tahun 2004 menempatkan DPRD dan kepala daerah sebagai dua unsur pemerintahan daerah yang memiliki hubungan kemitraan yang menuntut adanya kesejajaran dalam kualitas kerja.


Read More......

Kamis, 22 Januari 2009

PRAKTIK PEMERIKSAAN PAJAK DI NEGARA KANGURU

Laporan Kunjungan Studi Banding
Novy G Palenkahu & Yudi Ramdan

Laporan ini merupakan hasil dari kerja sama teknis dan kunjungan pada Australian National Audit Office (ANAO) di Canberra, Austalian Commonwealth Teritory, Australia pada tanggal 22 - 26 Oktober 2007 yang merupakan bagian kerja sama BPK RI dengan ANAO dalam program Australian Indonesian Partnership for Reconstruction and Development Government Partnership Fund (AIPRD GPF).

Salah satu tujuan kunjungan adalah melakukan kajian terhadap mekanisme dan metodologi pemeriksaan pajak, yang lebih dititikberatkan pada praktik pemeriksaan perpajakan oleh ANAO khususnya dalam melakukan akses terhadap data wajib pajak.

The Australian National Audit Office (ANAO) telah melaksanakan pemeriksaan terhadap Australian Tax Office (ATO) sesuai dengan Auditor-General Act 1997. Jenis-jenis pemeriksaan yang dilaksanakan oleh ANAO di ATO adalah Financial Statement Audit dan Performance Audit. Dalam pelaksanaannya, di ANAO terdapat dua unit terpisah yang masing-masing melaksanakan kegiatan pemeriksaan ini.

ATO mempunyai Audit Committee yang bertanggung jawab mengawasi semua pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan terhadap ANAO. Selain itu ATO juga memiliki Internal Auditor yang bertanggung jawab terhadap Komisioner ATO dan Inspektorat Jenderal yang bertanggung jawab langsung kepada Parlemen. ANAO mempergunakan hasil pemeriksaan kedua lembaga ini dalam perencanaan auditnya (Audit Planning Stages).

Sekitar lima tahun yang lalu, ANAO dan ATO mempunyai masalah mengenai akses data Tax Payer oleh ANAO. Untuk itulah dibuat sebuah protokol untuk mendukung pelaksanaan tugas ANAO. Saat ini kedua pihak memiliki hubungan kerja yang baik, di antaranya didasarkan atas protokol-protokol berupa Security Clearance dan Practice Statements.

Security Clearance
Security Clearance atau Security References berlaku secara Nasional dan dikeluarkan oleh Pemerintah Australia.
Dalam security clearance yang harus ditandatangani oleh setiap auditor ANAO, jelas diatur jenis data yang bisa diakses dan prosedur pengamanannya. Dengan demikian, tidak semua auditor di ANAO dapat mengakses informasi yang dikategorikan rahasia seperti informasi Tax dan Pertahanan. Dengan security clearance ini, pihak auditee seperti ATO mendapatkan jaminan bahwa semua informasi terkait Tax yang diberikan kepada ANAO akan terjaga kerahasiaannya.
…pihak auditee seperti ATO mendapatkan jaminan bahwa semua informasi terkait Tax yang diberikan kepada ANAO akan terjaga kerahasiaannya

Prosedur pengamanan terhadap informasi sangat ketat. Contohnya, untuk data pemeriksaan terkait Tax yang masuk kategori Protected dan Confidential adalah: (1) Tidak boleh dikirim melalui email (2) Laptop yang digunakan hanya untuk kegiatan Tax saja, tidak boleh dibawa pulang ke rumah dan digunakan hanya di ATO dan di ANAO (3) Semua data Tax harus dilindungi, di antaranya dengan USB protected dengan Finger Print password (4) Apabila hendak dipindahkan dengan transportasi harus menggunakan secure briefcase (5) Persetujuan khusus dari pejabat ANAO bagi pihak tertentu yang akan menggunakan informasi tentang Tax (6) Penghancuran data oleh ANAO harus melalui prosedur khusus.

Practice Statement
Practice Statement PS CM 2003/16 tentang Corporate Management: Working with ANAO yang dikeluarkan oleh ATO.
Practice Statement dibuat untuk memastikan bahwa ATO dapat mendukung pelaksanaan tugas konstitusi ANAO terhadap ATO. Dalam PS ini diatur semua prosedur sehubungan pelaksanaan pemeriksaan di ATO oleh ANAO yang meliputi: (1) Rencana Pemeriksaan Tahunan ANAO terhadap ATO meliputi kriteria seleksi audit topics (2) Definisi dan tujuan Financial Statement Audit dan Performance Audit (3) Audit Process untuk Financial Statement Audit dan Performance Audit sejak tahap perencanaan hingga pelaporan ke Parlemen (4) Standar akuntansi dan audit yang digunakan (5) Kewajiban ANAO menjelaskan strategi auditnya terhadap ATO (6) Peranan dan keterlibatan manajemen ATO (7) Pelaksanaan koordinasi yang efektif (7) Prosedur akses informasi yang menyatakan bahwa ATO tidak boleh membatasi akses ANAO terhadap data ATO sesuai ketentuan The Auditor General Act 1997 (8) Sumber data atau Liaison Officer yang harus disediakan ATO (9) Hubungan kerja yang baik (10) Prosedur diskusi dengan Parlemen termasuk Public Accounts Committee (11) Pelaksanaan rekomendasi audit ANAO.
…Prosedur akses informasi yang menyatakan bahwa ATO tidak boleh membatasi akses ANAO terhadap data ATO….

Pemeriksaan Keuangan atas ATO
Dalam pelaksanaan Financial Statement Audit, ANAO menggunakan pendekatan berbasis risiko. Dengan demikian ANAO melaksanakan pengujian mendalam terhadap Internal Control yang ada di ATO termasuk Internal Control berbasis komputer (Teknologi Informasi). Pelaksanaan pengujian terhadap internal control dibantu juga oleh IT Auditor. Dalam pelaksanaan pengujian ini, IT Auditor menguji juga semua aplikasi yang digunakan oleh ATO berikut database-nya. ANAO mendapatkan akses yang memadai dari ATO untuk setiap prosedur pengujian ini.
Sehubungan telah memadainya internal control di ATO, ANAO tidak melakukan pengujian substantif mendalam terhadap Tax data yang disediakan oleh ATO. Tetapi, apabila ANAO memastikan bahwa internal control lemah, maka pengujian substansi mendalam termasuk akses terhadap data individual Wajib Pajak (WP) akan dilakukan.
….apabila ANAO memastikan bahwa internal control lemah, maka pengujian substansi mendalam termasuk akses terhadap data individual Wajib Pajak (WP) akan dilakukan

Data individual WP di Australia pun tetap dianggap rahasia, sehingga walaupun mendapatkan akses penuh, ANAO memperoleh data yang disamarkan oleh ATO. Walaupun pelaksanaan Performance Audit dilakukan secara terpisah oleh unit lain di ANAO, kedua unit setiap tahun dalam perencanaan audit tahunan akan berdiskusi dan bersama-sama menentukan area berisiko atau Risk Assessment sehubungan pemeriksaan di ATO

Pemeriksaaan Kinerja atas ATO
Hal terpenting pertama dalam Performance Audit adalah kriteria seleksi audit topics. Beberapa kriteria yang digunakan adalah: Financial materiality; Program significance; Audit impact; Public interest atau importance issues to taxation administration; Lack of recent audit coverage; Parliament Request; Auditor General Request.
Pelaksanaan performance audit biasanya dilakukan antara 10-11 bulan dengan perencanaan yang mendalam dan memakan waktu lama. Strategi audit sebelumnya telah ditentukan dalam Rencana Pemeriksaan Tahunan berikut tujuan, sasaran, dan lingkup pemeriksaan. Semua informasi ini berikut kriteria (key performance indicator) yang digunakan dalam pemeriksaan harus diinformasikan kepada ATO. Bahkan Rencana Kerja Tahunan sebelum ditetapkan harus didiskusikan terlebih dahulu dengan ATO. Hal ini juga berlaku terhadap entitas lain. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, apabila diperlukan tim audit akan melakukan analisis terhadap data individual Wajib Pajak, tetapi akses langsung terhadap Wajib Pajak dihindari.
…..apabila diperlukan Tim audit akan melakukan analisis terhadap data individual Wajib Pajak, tetapi akses langsung terhadap Wajib Pajak dihindari

Semua hasil performance audit diarahkan kepada perbaikan public administration. Tidak hanya hal negatif atau kelemahan yang dimasukkan dalam laporan, tetapi juga hal positif akan dipresentasikan dalam laporan.

Masukan bagi BPK
Dari hasil penelaahan dan diskusi dengan ANAO, disarankan beberapa hal yang dapat menjadi masukan bagi BPK yaitu:
• Perbaikan mekanisme pemeriksaan perpajakan terutama mengenai mekanisme perolehan data dan informasi terkait dengan wajib pajak. Pelaksanaan pembuatan mekanisme kerja sama yang sedang berlangsung antara BPK (AKN II) dan DJP saat ini dapat juga mengacu kepada praktik yang berlaku di Australia antara ANAO dan ATO;
• Peningkatan dan tukar informasi mengenai tata cara pemeriksaan perpajakan untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan;
• Penetapan satu program pemeriksaan kinerja perpajakan sebagai pilot project untuk menerapkan mekanisme dan metodologi pemeriksaan kinerja perpajakan yang dilakukan oleh ANAO;




Read More......

Pemeriksaan Perspektif Lingkungan Hidup

Dwi Sabardiana
Kepala Sub Auditorat IV.B.2 (Kementrian Lingkungan Hidup) pada AKN IV

Permasalahan lingkungan hidup menjadi sorotan utama dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya di era pembangunan fisik, ekonomi dan sosial. Konsumsi bahan bakar fosil dan eksploitasi sumber daya alam, sebagai komponen operasi dan modal pembangunan, ternyata berdampak pada penurunan kondisi alam. Yaitu terjadi pencemaran udara, kekeringan dan permasalahan penyediaan air bersih, pencemaran air di sungai-sungai besar, kerusakan dan pencemaran pesisir, teracamnya keanekaragaman hayati di hutan lindung, cemaran limbah domestik dan bahan berbahaya dan beracun, kerusakan hutan dan lahan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan bencana lingkungan hidup dan alam.

Kemunduran tersebut berdampak besar serta menyita sumber daya pemerintahan, mengurangi produktivitas perekonomian, menghambat penyebaran pendapatan, dan lain-lain. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya mengendalikan dan menanggulangi permasalahan-permasalahan lingkungan melalui pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan ini berarti pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang menjadi upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Namun demikian, dapat terlihat bahwa permasalahan lingkungan terus meningkat. Penegakan hukum (law enforcement) atas pelanggaran lingkungan hidup juga belum sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat, sementara kehidupan sosial masyarakat kita tidak beranjak secara berarti.

Keterkaitan mandat untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan keuangan Negara dengan aktivitas Pemerintah sebagai pengelola pembangunan ekonomi nasional dan lingkungan hidup, menjadikan peran BPK sangat penting dalam mengawasi pengelolaan tersebut serta upaya mewujudkan tata kelola lingkungan yang baik (Good Environment Governance). Lembaga/badan pemeriksa dibutuhkan untuk menilai efektivitas program dan menguji kepatuhan terhadap akta perjanjian, peraturan maupun perundang-undangan tentang lingkungan hidup.

Mengingat terminologi “audit lingkungan” adalah internal tools bagi manajemen untuk menilai aspek pengelolaan lingkungan, maka BPK (Tim Pengembangan Pemeriksaan Perspektif Lingkungan Hidup) mengorientasikan pemeriksaannya pada “perspektif lingkungan hidup” sebagai faktor pembeda. Tidak berbeda dengan pemeriksaan lainnya, pemeriksaan perspektif lingkungan BPK mengikuti proses yang telah ditetapkan dalam PMP/Juknis.

Perencanaan

1. Menentukan prioritas
Dalam menentukan objek pemeriksaannya, BPK dapat memanfaatkan berbagai informasi untuk menentukan tingkat risiko dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kementerian Lingkungan Hidup mencantumkan beberapa permasalahan yang berpotensi mengganggu kelestarian lingkungan, yaitu: pencemaran air, pencemaran udara di kota-kota besar, pencemaran limbah domestik & sampah, kontaminasi dari B3, kerusakan ekosistem hutan hujan tropika, kerusakan Daerah Aliran Sungai, kerusakan ekosistem danau, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan, pemanasan bumi, penipisan lapisan ozon, bencana lingkungan (banjir dan longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan).
Pengelompokkan masalah bertujuan memudahkan penentuan sasaran dan prioritas sesuai visi dan misi BPK serta kemampuan sumber daya yang tersedia. Contoh pengklasifikasian masalah berdasarkan komponen lingkungan yang terdampak, yaitu air, udara, darat, dan hutan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.

Penentuan prioritas tersebut merupakan contoh berdasarkan professional judgement. Auditor dapat mengembangkan metode lain yang relevan dan sesuai dengan kemampuan SDM dan tujuan BPK.

2. Penetapan/pemilihan objek
Model penilaian atau analisis dalam penentuan objek pemeriksaan adalah berbasis risiko. Dengan metode ini auditor berupaya menggambarkan sekumpulan kondisi eksternal yang dipandang memiliki risiko terhadap lingkungan dan/atau pencapaian tujuan pembangunan nasional. Model Risk-based Audit menekankan pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas sistem pengendalian entitas, khususnya untuk menentukan derajat risiko/dampak penting yang mungkin dapat ditimbulkan terhadap lingkungan dan aktivitas manusia.

Tabel 2.

US GAO telah menerapkan metode yang relatif mirip, dimana setiap tahun disusun suatu prioritas pemeriksaan berdasarkan risiko, yang dikenal dengan “High Risk Series”, yaitu sekumpulan aktivitas kepemerintahan yang memiliki risiko terhadap pemborosan (waste), kecurangan (fraud), penyalahgunaan wewenang (abuse), dan salah kelola (mismanagement).

3. Jenis pemeriksaan
Pemeriksaan perspektif lingkungan dapat diterapkan pada seluruh jenis pemeriksaan-Laporan Keuangan, Kinerja dan PDTT. Berikut beberapa aplikasi dari pemeriksaan perspektif lingkungan. Dalam melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan, auditor dapat menilai kecukupan perspektif lingkungan laporan tersebut.
Terkait dengan penilaian kinerja, auditor dapat menilai aspek-aspek pencapaian tujuan suatu sistem pengelolaan limbah B3 ataupun kepatuhan atas semua ketentuan pengelolaan limbah B3. Suatu reviu atau penilaian dapat saja terkait dengan aspek pengelolaan lingkungan hidup yang dijalankan entitas. Contoh aspek penilaian dalam pemeriksaan perspektif lingkungan terlihat pada gambar berikut.

Gambar 1.

4. Proses pemeriksaan
Pemeriksaaan perspektif lingkungan tidak berbeda dengan yang lainnya, sehingga proses dan hal lainnya dapat mengacu pada existing conditions. Analogi proses tersebut telah diadopsi Litbang BPK RI dalam menyusun juknis pemeriksaan terkait pengelolaan lingkungan, misalnya Juknis Pemeriksaan atas Pengendalian Pencemaran Udara dan Juknis Pemeriksaan atas Pengelolaan Limbah RSUD. Berikut tahapan pemeriksaan atas pengendalian pencemaran udara.

Gambar 2.

5. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan mengarah pada penilaian atas aspek-aspeknya yang terkait dengan pengelolaan lingkungan oleh entitas yang bersangkutan. Contoh tujuan pemeriksaan perspektif lingkungan dan alasan penetapannya.

Tabel 3.

Ketersediaan dan efektivitas sistem pengendalian, efektivitas koordinasi antar lembaga plat merah, dan pemenuhan kewajiban pengelolaan lingkungan merupakan contoh tujuan yang telah diterapkan selama ini di AKN IV. Namun, tidak tertutup kemungkinan untuk pengembangannya sesuai pengalaman dan masukan pihak lain.

6. Penetapan lingkup dan sasaran pemeriksaan
Auditor menentukan cakupan dan sasaran pemeriksaan berdasarkan tujuan pemeriksaan serta pemahaman atas sistem pengendalian dan kegiatan entitas. Berikut contoh lingkup beberapa pemeriksaan yang telah dilakukan.

Tabel 4.

Bergantung pada kemampuan SDM, penyediaan dana, waktu serta kebijakan Badan, maka beberapa alternatif berikut-berdasarkan tingkatan mekanisme pengelolaan lingkungan di Indonesia dapat menjadi pedoman penentuan tingkatan pemeriksaan.
a) Berdasarkan proses aktivitas tindakan
(1) Tindakan preemtif; tingkat ini berada pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan oleh entitas atau oleh pihak yang lebih tinggi. Contohnya Tata Ruang Wilayah/Nasional dan AMDAL.
(2) Tindakan preventif; bertujuan mencegah dampak dan/atau mengurangi dampak yang berpotensi terjadi pada lingkungan, sehingga jenjang aktivitas adalah pada tingkat pelaksanaan. Contohnya perangkat Baku Mutu Lingkungan dan instrumen fiskal (retribusi limbah).
(3) Tindakan proaktif; kebijakan atau tindakan pendahuluan yang menjadi kerangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan, misalnya penerapan ISO 14001 pada badan usaha atau entitas lainnya.
b) Berdasarkan perangkat manajemen lingkungan
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup disusun berdasarkan probabilitas cakupan terjadinya suatu dampak, yaitu pada (1) Project level; (2) Ecosystem level; (3) National
level; dan (4) Global level. Hubungan keempat jenjang tersebut terlihat berikut.

Gambar 3.

Pada level proyek atau kegiatan, dapat terlihat beberapa perangkat manajemen lingkungan misalnya Eco-labelling, Produksi bersih, AMDAL, UKL/UPL, ISO 14000, dan Audit Lingkungan. Aktivitas tersebut merupakan domain dari para pelaksana kegiatan di lapangan atau perusahaan, sehingga pada umumnya unsur kepatuhan menjadi dominan dalam menentukan tujuan pemeriksan. Dapat terlihat juga bahwa Audit Lingkungan merupakan unsur tingkatan proyek, mengingat audit ini merupakan tindakan yang diambil oleh pelaksana/perusahaan baik secara sukarela ataupun diminta. Faktor terakhir ini yang menjadi pembeda dari Pemeriksaan Perspektif Lingkungan BPK-RI.
Pada level ekosistem, pada umumnya berupa program kegiatan yang bertujuan melestarikan suatu komponen lingkungan secara komprehensif. Dengan demikian karakteristik program biasanya mengacu pada interaksi antar sub-komponen dalam lingkungan hidup. Beberapa contoh program Program Langit Biru, Adipura, Program DAS Kritis, Prokasih, Program Pantai dan Pesisir, Keanekaragaman Hayati, dan lain-lain.
Pada level global atau internasional, instrumen yang ada mengacu pada beberapa konvensi atau perjanjian internasional terkait pengelolaan lingkungan hidup misalnya Protokol Kyoto, Konvensi Bazel, Protokol Montreal, atau Protokol Cartagena. Pada umumnya Pemerintah Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional tersebut, sehingga BPK dapat melakukan penilaiannya atas implementasi komitmen Pemerintah terhadap perjanjian-perjanjian tersebut.

7. Penetapan metodologi pemeriksaan
Metodologi pemeriksaan ditentukan berdasarkan kebutuhan auditor untuk menjawab tujuan pemeriksaan. Pada umumnya, metodologi yang biasa dilakukan adalah uji petik (sampling), review dokumen, wawancara dan observasi fisik. Auditor harus dapat menentukan dan merencanakan metodologi pemeriksaan secara benar, cermat dan efektif, karena pada tahapan inilah letak pertaruhan profesionalisme BPK RI.

Tabel 5.

8. Pemilihan perangkat kerja
Perangkat (tools) pemeriksaan merupakan sarana penunjang efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pemeriksaan. Auditor diharapkan memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas tools yang akan digunakannya. Sebagai contoh, jika menghadapi kegiatan atau entitas yang berkerja dengan highlycomputerized database, maka auditor harus melengkapi dirinya dengan peralatan yang sesuai dengan kegiatan yang akan diaudit, misalnya dengan menerapkan ACL atau IDEA untuk mengolah data pemeriksaan. Dalam pemeriksaan di lingkungan pertambangan umum, auditor Sub IV.B.1 menggunakan GPS (Global Positioning System) sebagai upaya untuk meyakinkan kesesuaian lokasi reklamasi dengan yang tercantum dalam dokumen perencanaan dan laporan pertanggungjawaban. Lebih lanjut Sub Auditorat IV.A.2, dalam pemeriksaannya atas manajemen kehutanan di wilayah NAD, menganalisis data geografis dengan memanfaatkan Geographic Information System (GIS).

9. Bantuan Konsultan
Kegiatan audit tidak terlepas dari analisis yang seringkali bersifat teknis yang sering di luar pengetahuan auditor. Seringkali pula cakupan kegiatan terlampau luas untuk dicakup oleh Tim Audit namun sangat signifikan, sehingga auditor perlu memperoleh datanya. Bantuan pihak lain di luar Tim dapat menjadi pilihan dan diatur oleh BPK RI, dimana mereka akan bekerja untuk dan atas nama BPK RI. Penanggung Jawab audit dapat menerbitkan Surat Tugas tersendiri mengenai penugasan Konsultan, sehingga hasil kegiatan Konsultan menjadi bagian dari hasil kegiatan Tim Audit BPK RI.

Pelaksanaan pemeriksaan

Berikut contoh langkah audit atas pengendalian pencemaran udara yang telah dilaksanakan oleh Perwakilan-perwakilan BPK di Bandung, Medan, Makassar dan Surabaya. Melalui pendekatan PDTT, BPK berupaya menggambarkan kondisi pengendalian pencemaran udara dengan menilai masing-masing komponen pengendalian.

Tabel 6.

Pelaporan

Format dan mekanisme penyampaian laporan pada umumnya mengikuti ketentuan yang berlaku di BPK.

Pada akhirnya, pemenuhan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup melalui keseimbangan pola konsumsi dan investasi diyakini mampu mengalokasikan sumber daya alam pada tingkatan yang sustainable. Pemeriksaan perspektif lingkungan tidak berbeda dengan pemeriksaan lainnya, dimana auditor dihadapkan pada suatu proses logika analisis dan pengungkapan kuantitas dan kualitas pengelolaan lingkungan hidup dalam suatu tatanan pengendalian dan pelaksanaan kebijakan kepemerintahan.
BPK telah menetapkan arah kebijakannya untuk mendalami kebijakan dan masalah publik, serta melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi peningkatan efektivitas dan efisiensi kebijakan Pemerintah serta ketaatan atas aturan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Tantangan tersebut perlu dijawab melalui pemahaman yang holistik dan sistemik, perencanaan kebijakan yang matang, serta implementasi pemeriksaan yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesi.


Read More......