Jumat, 27 Februari 2009

Perjalanan Audit Pajak oleh BPK-RI

Ada tiga periode pemeriksaan BPK-RI atas penerimaan pajak serta kegiatan operasional pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Sebelum 2001
Meliputi pemeriksaan terhadap tugas pokok yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP), yang dapat mengakses seluruh data perpajakan, kecuali data hasil pemeriksaan terhadap Wajib Pajak (WP) tertentu yang dilakukan oleh petugas pajak berupa Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) dan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP).
Objek pemeriksaan antara lain:
a. Administrasi pelaporan penerimaan pajak
BPK dapat menguji pelaporan penerimaan pajak yang meliputi data pembayaran yang dilakukan oleh WP berupa Surat Setoran Pajak (SSP).
b. Administrasi pemeriksaan pajak
Pengujian terhadap pemeriksaan pajak, hanya meliputi administrasi pelaksanaan pemeriksaan pajak berupa pengujian administrasi terhadap penyelesaian Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3), Laporan Equalisasi Peredaran Usaha (omzet) antara Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) termasuk nilainya. Dokumen yang diperoleh hanya Buku Register SP3. Sedangkan hasil pemeriksaan berupa LPP dan KKP tidak dapat diakses oleh BPK karena termasuk kerahasian WP.
c. Administrasi penyelesaian keberatan/Peninjauan Kembali (PK)
Pengujian terhadap penyelesaian keberatan/PK meliputi administrasinya saja. Dokumen yang diperoleh hanya Buku Register Penyelesaian Keberatan/PK. BPK tidak dapat mengakses dokumen hasil penelitian atau pemeriksaan fiskus sebagai dasar keputusan keberatan/PK.
d. Administrasi Tunggakan dan Penagihan Pajak.
Pengujian administrasi tunggakan pajak meliputi pengujian administrasi data utang pajak per WP dan kegiatan penagihan yang telah dilakukan. Data yang diperoleh meliputi laporan perkembangan tunggakan pajak, laporan kegiatan penagihan dan kartu utang pajak per WP termasuk nilainya.

2001- 2005
Pemeriksaan BPK dapat mengakses seluruh data perpajakan termasuk data mengenai hasil pemeriksaan terhadap WP tertentu yang dilakukan oleh petugas pajak berupa LPP dan KKP. Untuk memperoleh data ini, prosedur yang ditempuh melalui izin prinsip dari Menteri Keuangan. Setelah memperoleh izin dari Menkeu, BPK memberikan data nama WP yang akan diuji ke DJP sebagai delegasi yang berwenang memberi izin.
Pada periode ini BPK dapat melakukan pengujian terhadap seluruh tugas pokok KPP dan Kanwil. Pemeriksaannya meliputi: pemeriksaan pemberian restitusi terhadap 35 KPP, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan kegiatan operasional dan penerimaan pajak, dan pemeriksaan PPN dan PPh.

2006 - Sekarang
Masa paling sulit untuk dapat melakukan pemeriksaan DJP. BPK dibatasi untuk dapat mengakses data WP. Data yang dapat diperoleh merupakan data umum. Data mengenai administrasi pajak yang mengarah ke WP tertentu tidak diperoleh. Pada periode ini setiap melakukan pemeriksaan, BPK juga menempuh prosedur meminta izin ke Menkeu untuk dapat mengakses data WP. Namun sampai dengan pemeriksaan berakhir surat izin tersebut tidak pernah diperoleh. Imbasnya, data yang didapat dari DJP hanya berupa data umum yang tidak dapat dirinci sampai detil menyangkut WP.
Pemeriksaan pada periode ini: (1) Pemeriksaan indikasi pemanfaatan dan penerbitan faktur pajak fiktif (pemeriksaan lanjutan); (2) Pemeriksaan sistem dan prosedur administrasi perpajakan; (3) Pada pemeriksaan terakhir yaitu pemeriksaan penerimaan pajak atas 12 KPP, dilakukan dilakukan prosedur alternatif berupa mencari data sekunder ke Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk mendukung keterbatasan data yang ada. Data yang diperoleh adalah data pembayaran/setoran yang dilakukan WP dan data restitusi dan imbalan bunga yang diterima WP.

(Bestantia)
Sumber: Seksi II.A.2.2



Read More......

Pentingnya Audit Pajak

Undang-Undang Keuangan Negara menyebutkan, penerimaan Negara termasuk dalam definisi keuangan Negara. Sehingga BPK memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas sektor perpajakan. Sebagaimana dilaporkan pemerintah dalam LKPP tahun 2006, nilai kontribusi penerimaan Negara dari sektor perpajakan tahun 2006 mencapai lebih dari 70% dari total penerimaan Negara. Nilai ini memberi alasan kuat bagi BPK melakukan pemeriksaan atas penerimaan pajak.

Salah satu alasan pemberian opini disclaimer atas LKPP Tahun 2006 adalah adanya pembatasan akses data WP oleh pemerintah. Sehingga BPK tidak dapat meyakini nilai penerimaan pajak tahun 2006 dan adanya piutang pajak yang tidak dapat diyakini kewajarannya. Apabila pembatasan informasi terus diberikan pemerintah didasarkan atas pasal 34 UU KUP. maka opini BPK atas LKPP untuk tahun-tahun ke depan tidak akan berubah dari status disclaimer.
Mengingat data WP yang secara best practice diperlakukan rahasia, maka BPK juga menyadari untuk menjamin kerahasiaan data wajib pajak untuk mengamankan pembayaran pajak dari WP. Hasil audit harus dilaporkan secara transparan kepada stake holder (DPR) dan setelahnya dapat diakses oleh publik, namun BPK terikat dengan standar pelaporan informasi rahasia sebagaimana telah ditetapkan dalam SPKN.

Setiap auditor BPK juga terikat dengan tanggung jawab pemeriksa yang diatur dalam SPKN, yakni …..”Pemeriksa harus bersikap jujur dan terbuka kepada entitas yang diperiksa dan para pengguna laporan hasil pemeriksaan dalam melaksanakan pemeriksaannya dengan tetap memperhatikan batasan kerahasiaan yang dimuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemeriksa harus berhati-hati dalam menggunakan informasi yang diperoleh selama melaksanakan pemeriksaan. Pemeriksa tidak boleh menggunakan informasi tersebut diluar pelaksanaan pemeriksaan kecuali ditentukan lain”. Dalam UU No 15 Tahun 2004 telah diatur sanksi yang tegas atas pemeriksa BPK RI yang melanggar kode etik pemeriksa.





Read More......

Fungsi Referencer dalam Menjaga Kualitas Laporan Audit

Oleh: Ikhtaria Syaziah

Sewaktu mengikuti International Auditor Fellowship Program yang diprakarsai oleh GAO di Washington DC selama lebih dari lima bulan, banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang dapat dipetik dari kegiatan audit yang dilakukan oleh auditor di negeri Paman Sam itu. Terutama yang menarik perhatian adalah bagaimana mereka menjaga kualitas laporan audit mereka agar benar-benar objektif dan reliable.

Selain struktur tim audit yang menunjang, yaitu dalam tiap tim yang terdiri dari beberapa analyst (kata lain auditor), senior analyst, asisten direktur dan direktur dari bagian yang bersangkutan dengan tim juga didampingi oleh konsultan hukum, stakeholder yang berasal dari tim lain sebagai pemberi masukan dan saran, statistician (ahli statistik) dari ARM, serta expertise (ahli) apabila audit menyangkut hal yang spesifik.

Hubungan antara tim dengan tim penunjang audit ini sangat intens karena memang telah ada penetapan pada saat pembentukan tim. Pada saat pelaksanaan audit, pertemuan dengan tim penunjang audit ini dilakukan secara rutin untuk menghindari hal-hal yang bisa menghambat kelancaran pelaksanaan audit. Jika ada masalah yang perlu dibahas, tim akan segera melakukan pertemuan dan memberikan saran untuk penyelesaian masalah yang timbul.

Setelah draft selesai, dilakukan “Message Agreement Meeting” dengan asisten direktur dan/atau direktur tim yang bersangkutan. Dalam meeting ini, direktur akan menanyakan temuan-temuan yang penting dan kesepakatan tim jika misalnya ada temuan yang akan di-drop atau harus diperdalam lagi. Setelah draft disepakati, tim menyampaikan draft ke auditee guna mendapatkan tanggapan. Draft harus dilakukan indexing dengan kertas kerja pendukungnya oleh tim sebelum diserahkan kepada referencer yang ditunjuk melakukan referencing.
Referencing adalah proses yang dilakukan auditor senior independen untuk melakukan: (1) verifikasi terhadap pernyataan dan fakta yang ada dalam draft laporan audit termasuk gambar, grafik, tanggal, dan nama; (2) Verifikasi terhadap temuan apakah telah didukung dengan dokumentasi evidence yang memadai oleh tim; (3) Membantu tim untuk menguatkan temuan dengan memberikan saran dokumen yang dibutuhkan untuk mendukung temuan, simpulan, dan saran audit.

Mengapa Referencing ini penting bagi GAO?
Setiap auditor tentunya mengharapkan laporan audit yang bermutu, memenuhi harapan pemberi penugasan, dan dapat memberikan sumbangan perbaikan manajemen keuangan dan kinerja auditee. Sayangnya, hal tersebut sering terkendala situasi dan kondisi pekerjaan yang kompleks serta kurangnya waktu pemeriksaan. Dan biasanya kita tidak mampu untuk mereview pekerjaan kita sendiri apakah telah memenuhi standar atau belum. Di sinilah fungsi referencer sebagai orang independen untuk mereviu pekerjaan tim sebelum laporan disampaikan kepada stakeholders. Prinsip kehati-hatian dalam menjaga kualitas produk dan nama besar memang dipertaruhkan untuk institusi audit seperti GAO dan BPK.

Pentingnya referencing dalam proses penyelesaian audit adalah untuk mmbantu meyakinkan kualitas produk audit, memenuhi persyaratan standar audit (generally accepted government auditing standard (Indonesia: SPKN)), melindungi kredibilitas lembaga Audit, dan bagian dari aspek quality assurance framework GAO. Syarat menjadi referencer, yaitu:
• independen (tidak memiliki opini pribadi atau keyakinan pribadi yang dapat mempengaruhi fungsinya sebagai referencer)
• bersikap objektif
• mempunyai pengalaman audit yang cukup
• memiliki kemampuan analisa dan berfikir kritis
• memiliki Pengetahuan atas standar bukti audit, standar pelaporan, dan kebijakan di GAO

Apa saja yang harus diperhatikan oleh Referencer?
Referencer harus menggunakan kemampuan analisis dan berpikir kritis serta menggunakan professional judgment agar dapat melakukan proses referencing yang berkualitas. Referencer harus meyakinkan laporan audit mempunyai nilai tambah yaitu lebih akurat, masuk akal, dan tidak cacat logika. Untuk itu seorang referencer harus melakukan langkah kerja sebagai berikut:
• membaca draft laporan dengan hati-hati untuk memahami dan mengecek alur logikanya,
• mengecek semua bukti audit (audit evidence) atau hasil reviu supervisor dan mengingatkan bila ada dukungan audit yang belum direviu supervisor,
• melakukan penelusuran atas fakta, tabel, grafik, dan tanggal yang ada di laporan ke dokumen sumbernya dan meyakinkan kebenarannya,
• meyakinkan bahwa KKP telah menyediakan bukti audit yang memadai, kompeten, dan relevan dalam mendukung temuan, simpulan, dan rekomendasi audit,
• memberikan masukan, saran atau hal-hal lain yang dianggap perlu, dan
• menandatangani dokumen referencing dan form lain sehubungan dengan penugasan sebagai referencer sebagai syarat dalam quality assurance framework.
Dalam suatu penugasan khusus atau membutuhkan waktu yang singkat, dapat dimungkinkan referencer terdiri dari beberapa orang, dan akan ditetapkan seorang referencer leader dalam tim referencer tersebut. Dalam proses referencing ini, tim harus bekerjasama dengan referencer dalam arti menyediakan secara cepat data-data yang diminta dan melakukan koreksi sesuai saran referencer atau berdiskusi dengan referencer bila ada permasalahan. Jika tidak ada kesepakatan antara tim dengen referencer mengenai hal tertentu, maka dapat diputuskan oleh direktur selaku penanggung jawab yang akan menandatangani laporan audit tersebut.
Mengingat pentingnya peran seorang referencer dalam quality assurance framework, khususnya untuk kualitas Laporan hasil pemeriksaan, mungkin sudah saatnya bagi BPK untuk memformalkan tugas referencer ini sebagai bagian integral dalam tim audit. Apalagi dengan tuntutan kerja dan tanggung jawab yang demikian besar ditambah lagi dengan semakin kritisnya auditee dan masyarakat dalam menilai kinerja BPK, sudah sewajarnya bila BPK mulai memikirkan sistem penjaminan mutu yang built-in dalam quality assurance framework yang andal. Semoga dengan adanya referencer dalam tim audit akan menambah kualitas laporan hasil pemeriksaan BPK. Maju terus BPK-ku!


Read More......

Menjaga Keharmonisan Rumah Tangga

By Dian Desilia (Staf Humas BPK RI)

Hidup berumah tangga bukanlah sesuatu yang instan. Ini merupakan proses panjang yang perlu terus-menerus dijaga dan dipupuk. Tujuannya, tentu saja, agar kehidupan pernikahan terasa indah dan hangat dari waktu ke waktu. Namun, upaya untuk menjaga kelanggengan hubungan rumah tangga ternyata juga bukan hal yang mudah.

Tali pernikahan yang langgeng akan terjadi tatkala ada kesadaran dan kemauan tiap pasangan suami istri. Kesadaran untuk saling menghormati, menghargai dan berbagi dalam suka maupun duka. Sementara itu diperlukan juga adanya kemauan untuk selalu menjaga keharmonisan rumah tangga. Sayangnya, tak semua pasangan memiliki kemauan itu. Akibatnya, lantaran tak pernah dipupuk, perkawinan menjadi gersang, dan lama-lama layu. Perceraian pun tak terelakkan lagi.

Bila usia pernikahan telah berlangsung cukup lama, biasanya riak-riak konflik kerap datang menghampiri. Mulai dari hal-hal sepele hingga masalah besar yang mengganggu kehidupan rumah tangga. Terlebih jika keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Semua permasalahan yang terjadi dalam tiap rumah tangga merupakan hal yang wajar. Hal ini pernah ditegaskan oleh psikolog A. Kasandra Putranto, dimana konflik biasanya lebih sering muncul pada pasangan suami istri yang sama-sama sibuk. Banyak hal bisa dilakukan untuk menjaga bahtera rumah tangga Anda yang senantiasa harmonis.

Ciptakan hobi bersamaSesibuk apapun jangan pernah lupa untuk meluangkan waktu untuk pasangan. Cobalah untuk mencari tahu hobi pasangan, lalu berusahalah untuk ikut ambil bagian dalam melewatkan waktu bersama pasangan dan melakukan hobi tersebut bersama-sama. Atau setidaknya ciptakan hobi yang sama, atau berusaha menciptakan aktivitas baru yang bisa dilakukan bersama-sama.


Biasanya setelah beberapa tahun menikah, mungkin Anda akan semakin menyadari sedikitnya persamaan antara Anda dan pasangan. Oleh sebab itu keharmonisan rumah tangga akan lebih terjaga dengan adanya satu minat yang sama. Ketika Anda dan pasangan telah menemukannya, maka kembangkan minat itu. Dengan demikian komunikasi dengan pasangan akan terbina dengan lebih baik tatkala meluangkan waktu bersama dalam kondisi santai dan rileks.

Sentuhan untuk mempererat hubungan
Sentuhan sayang terhadap orang yang kita cintai ternyata bisa memberi efek positif dalam sebuah hubungan. Memulai percakapan dengan sebuah sentuhan mesra tentu akan membuat komunikasi dengan pasangan menjadi lebih baik. Jadi, jangan pernah lupa untuk memberikan sentuhan-sentuhan kecil pada pasangan kita. Anda bisa memulainya dari hal-hal kecil, seperti menggandeng tangan pasangan saat akan berjalan bersama.

Ini namanya menciptakan aura yang positif dalam rumah tangga. Sentuhan yang muncul dengan segenap rasa sayang akan mendatangkan perasaan nyaman bagi pasangan. Selain itu, Anda dan pasangan saling menghargai hubungan yang telah dibina dengan susah payah. Biasanya, setelah menikah kadang Anda dan pasangan lupa untuk saling berbagi kehangatan. Padahal, di dalam rumah tangga hubungan intim tidak selamanya harus dilakukan. Sebab, dengan saling berpelukan atau bergandengan pada saat bertemu dapat menciptakan nuansa tersendiri.
Beberapa buku tentang menjaga hubungan dalam rumah tangga selalu mengatakan, peluklah pasangan ketika Anda bertemu kembali setelah pulang bekerja. Karena dengan saling bersentuhan kulit Anda memiliki "ingatan" tentang sentuhan yang menyenangkan (cinta), sentuhan yang tidak menyenangkan (disakiti), atau absennya sebuah sentuhan.

Ungkapkan perasaan
Mulailah pagi hari Anda dengan kalimat, ”Aku cinta kamu.” Bagi beberapa orang mungkin hal ini tak mudah untuk dilakukan. Karena, budaya dalam masyarakat kita tidak terbiasa mengungkapkan perasaan secara spontan. Padahal hal ini sangat penting untuk membina komunikasi yang baik dalam hubungan rumah tangga.
Selain kata-kata sayang, Anda bisa juga mengucapkan "Selamat bekerja" ketika pasangan akan berangkat bekerja. Walau tampak tak berguna, kata-kata remeh seperti itu bisa memberikan kesabaran dan ketabahan pasangan dalam menghadapi perjuangannya pada hari itu, seperti jalanan yang macet, atasan yang sedang tak enak hati, dan hal-hal menjengkelkan lainnya. Ingat, kata-kata yang menyejukkan dan romantis bisa memperkuat keharmonisan keluarga.

Jangan besar-besarkan masalah kecil
Permasalahan kecil yang dibesar-besarkan akan membuat kita gelisah. Permasalahan kecil dalam rumah tangga hendaknya disikapi dengan ketenangan. Redam emosi masing-masing dan jangan biarkan menghadapi masalah dengan hati panas. Lakukan pembicaraan dari hati ke hati bersama pasangan dalam menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi.

Hindari menghitung untung-rugi
Bukan rahasia lagi jika kebanyakan istri lebih banyak melakukan pekerjaan rumah dan mengasuh anak daripada suami. Bahkan, pekerjaan mencuci piring, pakaian dan merapikan rumah pun tetap dilaksanakan, meskipun sang istri juga bekerja di luar rumah. Biasanya masalah-masalah seperti inilah yang akan banyak 'meramaikan' hubungan keluarga. Kebanyakan pasangan berpikir kalau mereka harus membagi kewajiban keluarga secara fifty-fifty.

Dalam sebuah hubungan yang baik, pasangan harus melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak boleh berhitung untung atau rugi pada satu sama lain, dan tetap harus saling menghormati jika memang pasangan lebih banyak memberi tugas yang berbeda dari Anda.



Read More......

Selasa, 24 Februari 2009

MENGUSUNG SEBUAH PERUBAHAN DALAM PENYUSUNAN RENCANA KERJA

BPK selalu tersandung permasalahan yang sama setiap penyusunan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS). Persoalan tersebut adalah bagaimana mengemas banyaknya hasil pemeriksaan dari berbagai entitas yang diperiksa (dengan jenis dan tujuan pemeriksaan yang beragam) ke dalam suatu format IHPS yang lebih ringkas, jelas, dan mudah dipahami oleh para pemilik kepentingan. Terakhir, diupayakan dengan mengemas dalam IHPS yang lebih diarahkan pada rangkuman masalah yang lebih bersifat kompilasi daripada penyampaian esensi.

Hal ini terjadi lebih disebabkan karena pola perencanaan pemeriksaan yang tidak berfokus pada isu-isu strategis yang sedang berkembang di masyarakat. Hal lainnya adalah selama ini proses penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) BPK belum dikelola secara memadai. Meskipun upaya penjabaran isu srategis dalam bentuk arahan Badan telah dilaksanakan pada setiap ritual RKT, namun belum dikemas secara sistematis dan terstruktur. Akibatnya, implementasi RKT belum mengarah pada apa yang diharapkan dan merefleksikan jawaban atas permasalahan yang sedang berkembang.

Melihat kondisi tersebut, Direktorat Utama Perencanaan, Evaluasi, dan Pengembangan (Ditama Revbang), sesuai arahan Badan, telah mengupayakan suatu perubahan dalam penyusunan RKP dengan mengusung tema-tema pemeriksaan yang menampung isu strategis. Perubahan tersebut dimulai pada saat Rapat Kerja (Raker) Semester II Tahun 2007 di Magelang. Hal paling mendasar pada pemeriksaan tematik adalah upaya untuk mewujudkan suatu pola pemeriksaan yang sinergi, terpadu, dan terarah pada tema tertentu dengan mengoptimalkan sumber daya pemeriksaan yang dimiliki.


Penyempurnaan perencanaan pemeriksaan ini sedikit banyak akan berpengaruh pada kualitas hasil pemeriksaan. Pada gilirannya, IHPS menjadi lebih baik dan lebih mempunyai ”nilai jual”. Tujuannya, IHPS bukan sekadar kompilasi hasil pemeriksaan, melainkan menjadi lebih memiliki ”bunyi” dalam menyampaikan isu strategis yang berkembang.

Cikal Bakal Penyusunan Tema Pemeriksaan
Pertengahan Juni 2007, sebulan sebelum digelarnya Raker Semester II Tahun 2007 di Magelang, Ditama Revbang membentuk tim untuk menyiapkan, dan mendiskusikan perbaikan RKT Tahun 2007 pada raker semesteran. Tim diberi tugas untuk mengembangkan ide perbaikan RKT 2007 melalui penyusunan tema-tema pemeriksaan yang akan dituangkan dalam RKP Semester II Tahun 2007. Dalam hal ini, Tim tidak hanya merubah rencana yang ada begitu saja, tetapi juga mengembangkan suatu pola penyusunan dengan metodologi dan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, tema-tema tersebut layak menjadi pemeriksaan tematik dan harus dipedomani dalam penyusunan RKP.

Ini merupakan sebuah proses pembelajaran yang baik bagi tim khususnya dan BPK pada umumnya dalam memperbaiki sesuatu melalui cara-cara yang sistematis dan terarah. Semua aktivitas tim dilakukan secara saksama supaya menghasilkan output yang memadai. Di sisi lain, disadari adanya keterbatasan waktu dan pemahaman yang ada. Namun, tim tetap berupaya menghasilkan usulan pemeriksaan tematik.
Berbekal tujuan dan arahan tersebut tim mengkaji pola kerja penyusunan rencana pemeriksaan tematik melalui identifikasi, validasi, dan formulasi tema-tema pemeriksaan. Identifikasi merupakan langkah awal dalam menginventarisasi permasalahan yang ada melalui kajian atas dokumen penting yang terkait dengan penyusunan rencana kerja pemeriksaan. Dokumen tersebut antara lain Renstra BPK 2006-2010, Implementasi Renstra BPK 2006-2010, RKT Tahun 2007, Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP, serta kumpulan berita media massa. Berdasarkan identifikasi tersebut, tim mengklasifikasikan besaran masalah yang ada ke dalam tema-tema yang terpilih.

Proses selanjutnya adalah validasi masalah dengan menggunakan SWOT Analysis. Analisa ini bertujuan untuk memilah tema-tema masalah yang dapat diajukan dengan memperhatikan kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki BPK. Simulasi ini memang belum sepenuhnya sempurna dalam menghasilkan tema yang paling tepat dan relevan sebagai tema dalam pemeriksaan tematik, namun setidaknya tim ingin menunjukkan bahwa ada suatu proses yang sistematis dan jelas dalam penentuan topik-topik tersebut.
Akhirnya, tim melakukan formulasi delapan pemeriksaan tematik yang mencakup: (i) Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Keuangan Negara/Daerah; (ii) Pemeriksaan atas Manajemen Utang; (iii) Pemeriksaan atas Pendapatan Negara/Daerah; (iv) Pemeriksaan atas Pelayanan Publik; (v) Pemeriksaan atas Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan; (vi) Pemeriksaan atas Manajemen Kas dan Asset; (vii) Pemeriksaan atas Subsidi; dan (viii) Pemeriksaan atas Belanja ke Daerah.

Formulasi tersebut dilengkapi dengan tujuan pemeriksaan, sasaran pemeriksaan, entitas yang diperiksa, Tortama yang terlibat (termasuk leading programnya), dan waktu pemeriksaannya. Pemeriksaan tematik tersebut disetujui dalam Sidang BPK dan harus dijadikan pedoman dalam proses penyusunan Rencana Kerja Semeter II Tahun 2007 di Magelang pada bulan Juli 2007.

Pertemuan yang Sinergis dan Berharga
Semua pejabat dan satuan kerja terkait harus berduyun-duyun datang ke Magelang sebagai perjalanan sebagai upaya merubah pola penyusunan rencana pemeriksaan. Sadar atau tidak, kita memulai hal tersebut di sebuah kota di mana pertama kali BPK didirikan 61 tahun lalu. Kita harapkan ini merupakan satu pertanda BPK memulai suatu perubahan yang lebih baik dalam menghasilkan pekerjaan mulia untuk mengawal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Dalam Rapat Kerja Semeter II Tahun 2007, yang dihadiri Ketua BPK-RI, Wakil Ketua BPK-RI, dan Para Anggota BPK, dijelaskan pola dan mekanisme pembahasan penyusunan rencana kerja tahunan yang terdiri dari Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) dan Rencana Kerja Setjen dan Penunjang (RKSP) oleh Bapak M. Daeng Nazier selaku Kepala Ditama Revbang. Raker juga diisi diskusi panel yang menghadirkan Dirjen DJPK, Direktur BI, dan Dirjen Pajak untuk memberikan tambahan wawasan bagi peserta dalam menyusun RKP dan RKSP.

Pembahasan penyusunan Rencana Kerja Tahunan (RKT) terbagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan tematik-tematik yang telah ditetapkan sebelumnya. Diskusi kelompok tematik berlangsung cukup baik karena telah dibekali formulasi yang disediakan oleh tim kecil, sehingga pembahasan lebih diarahkan pada validasi data yang telah ada. Melalui kelompok tematik tersebut sinergi antar-Tortama dan unit kerja dirasakan lebih hidup karena ada saling keterkaitan program dan kegiatan kerja yang harus dilaksanakan dalam satu semester ke depan.

Memang ada rasa ketidakpuasan dalam penyusunan pemeriksaan tematik. Ketidakpuasan tersebut lebih mengarah pada belum matangnya formulasi yang telah disiapkan oleh tim kecil. Ke depan, hal tersebut harus menjadi cambuk berharga dalam menyiapkan bahan dan data yang dapat diandalkan serta dikerjakan dalam suatu proses yang lebih lama dan matang, terutama dalam menjaring isu-isu dasar yang berkembang di masyarakat.
Beberapa pengalaman berharga didapat ketika pertemuan antarkelompok tematik yang dihadiri para eselon I. Di sini semua hasil diskusi kelompok mengerucut menjadi rencana terpadu dengan memasukan kemampuan sumber data pemeriksaan yang dimiliki BPK. Perdebatan terjadi dalam memastikan finalisasi pemeriksaan tematik yang didukung sasaran dan tujuan pemeriksaan serta sumber daya yang relevan. Ada implikasi nyata di mana alokasi dan distribusi sumber daya pemeriksaan diarahkan pada isu-isu tematik yang ada. Artinya, ada Tortama yang memiliki pemeriksaan tematik yang lebih banyak dibandingkan Tortama lain. Inilah pelajaran berharga sebuah sinergi dan koordinasi pemeriksaan.

Bagaimana Implementasi Pemeriksaan Tematik
Apa yang diharapkan Raker Magelang ternyata belum sepenuhnya sesesuai dengan rencana pemeriksaan tematik yang menekankan sinergi serta keterpaduan dalam perencanaan pemeriksaan dan alokasi sumber daya pemeriksaan. Setelah Tortama kembali dari Magelang mereka mengajukan RKP Semeter II yang berpedoman pada pemeriksaan tematik yang ditetapkan di Magelang. Hasil rekapitulasi yang dihimpun oleh Ditama Revbang menunjukkan bahwa RKP yang diajukan mempunyai berbagai versi yang mengacu pada delapan pemeriksaan tematik (beberapa RKP sama sekali tidak berhubungan).

Fakta tersebut memberikan pelajaran berharga bahwa persiapan tematik isu dalam rencana pemeriksaan harus lebih matang. Dengan demikian, dapat dipastikan ada argumentasi logis dan mendasar mengenai pilihan-pilihan yang ditetapkan sebagai pemeriksaan tematik. Contoh kasusnya adalah pemeriksaan dana perimbangan sebagai salah satu pemeriksaan tematik. Pemeriksaan ini mempunyai landasan pijak, antara lain materialitas dana yang disalurkan dari pemerintah pusat ke daerah, adanya kasus penyimpangan dana perimbangan di daerah, serta belum transparannya laporan penggunaan dana perimbangan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.

Namun demikian, perlu juga ditekankan pemahaman Tortama dalam mengajukan RKP. Pengajuan harus lebih terbuka dan komprehensif sehingga penetapan tujuan pemeriksaan harus dapat ditarik pada lingkup yang lebih strategis. Dalam konteks ini, tidak dimaksudkan mengkotak-kotakkan isu pemeriksaan terbatas pada entitas yang berada dibawah penangannan masing-masing Tortama, namun harus lebih melihat adanya lintas sektor dan fungsi yang dapat ditarik garis merahnya.

Perbaikan ke Depan

Sejalan dengan tranformasi BPK menuju BPK yang lebih independen dan profesional, ritual Rapat Kerja penyusunan RKP setiap tahun dan semester harus didudukkan pada porsi yang lebih baik dan dapat ditanggungjawabkan. Artinya, kapabilitas kelembangaan yang mendukung terciptanya rencana pemeriksaan yang matang harus benar-benar dipersiapkan, seperti adanya waktu untuk melakukan survei dan kajian tentang pilihan tema-tema pemeriksaan yang akan diajukan dalam raker.

Di sisi lain, proses penyusunan itu sendiri harus memiliki metodologi yang jelas serta dapat dilaksanakan secara konsisten dan sistematis, sehingga memudahkan proses monitoring dan evaluasi atas proses tersebut setiap waktu. Tujuannya, untuk mempertahankan mutu perencanaan pemeriksaan setiap tahunnya. Dengan demikian, kualitas hasil pemeriksaan dapat dicapai dan menjawab permasalahan startegis yang berkembang dalam kehiduapan bermasayarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tidak ada kata terlambat dalam suatu perubahan menuju masa depan yang lebih baik. Kata kuncinya adalah selalu belajar dari proses yang telah dilalui dan mencoba mencari solusi terbaik sesuai dengan kemampuan dan kapabiliatas yang kita miliki.



Read More......

Selasa, 17 Februari 2009

Merenovasi Senjata Pemeriksaan dari Bayangan di Balik Cermin

M. Yusuf John (Auditor BPK RI)

Tulisan ini hanyalah penilaian personal dari pengalaman dan pengamatan penulis atas kondisi yang terjadi. Penilaian ini sangat kental dengan pendapat penulis dan memang tidak diperuntukkan untuk menilai secara khusus. Tetapi mudah-mudahan membuat kita sedikit menyadari bahwa ada yang mengamati dan berpendapat seperti penulis. Semoga bermanfaat dan dapat melahirkan inovasi maupun renovasi.

Melihat Perubahan secara Jernih
Sejak awal keberadaannya, BPK diberi amanat UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Pengalaman telah memberi banyak pembelajaran pemeriksaan. Namun masih saja kita menemukan adanya kelemahan dan kekurangan yang dipandang wajar. Kelemahan dan kekurangan itu tidaklah harus dipandang sebagai kesalahan semata. Oleh karenanya, kita harusnya bijak dalam memandang kelemahan dan kekurangan tersebut yang dapat terjadi karena faktor berikut.
1. Perubahan situasi dan kondisi lapangan termasuk dinamika ketentuan peraturan perundang-undangan. Harus diakui, peraturan perundang-undangan belum mencapai titik keseimbangan pascapenerapan konsepsi reformasi keuangan. Situasi ini memang sangat mendukung terjadinya perbedaan perlakuan setiap tahunnya. Namun di sisi lain, dinamika ini sangat riskan terjadinya multi interpretasi sekaligus ketidaksiapan atas cepatnya perubahan.
2. Perubahan atas harapan publik. Publik terus memberikan adanya harapan atas transparansi dan akuntabilitas. Banyaknya pengaduan yang beragam dan terungkapnya berbagai kasus merupakan faktor yang menjadi makin lebarnya “gap” antara apa yang disediakan pemeriksa dengan kebutuhan publik. Harus disadari bahwa mungkin pemeriksa telah bekerja keras dalam meningkatkan kualitas pemeriksaanya. Namun kecepatan perubahannya masih belum lebih cepat dari kecepatan tuntutan kepadanya.
3. Perubahan pengetahuan dan pembelajaran dari pengalaman. Hal ini adalah sangat wajar selama manusia sebagai pembelajar masih hidup. Perubahan ini terjadi bagi pemeriksa, pihak yang terperiksa, maupun publik. Sekarang mungkin, para pihak tersebut telah menimba banyak pengetahuan dan pengalaman, sehingga nilai-nilai yang dianut menjadi lebih maju atau dengan kata sederhana, sekarang makin banyak yang jadi pintar. Oleh karenanya, ukuran keberhasilan suatu masa perlu dilihat dari historinya. Kita tidak bisa melihat hasil karya masa lalu dari kaca mata masa kini.

Oleh karenanya tidak ada salahnya kita kembali bercermin atas apa yang telah dilakukan. Jika memang yang telah dilakukan ada salahnya, lemahnya, dan kurangnya tidaklah salah kita menyadarinya. Sadar bukan hanya sekedar tahu tetapi ada upaya merenovasinya untuk mengungkap misteri masa depan dengan bercermin pada histori masa lalu.

Tiga senjata pemeriksa dalam pemeriksaan
Dalam suatu pemeriksaan, pemeriksa memerlukan tiga hal yang harus dipahami, yaitu Standar Pemeriksaan, Sistem Pemeriksaan, dan Kriteria Pemeriksaan. Dari ketiga hal tersebut, pemeriksa masih kritis dari sisi pemahaman atas kriteria pemeriksaan. Ini bukan berarti bahwa kita tidak memiliki masalah Standar dan sistem pemeriksaan. Standar dan sistem pemeriksaan bersifat unik, dan BPK memiliki kemandirian untuk mengaturnya. Namun kriteria pemeriksaan sangat beragam dan pihak terperiksa adalah pihak yang melaksanakannya sehari-hari. Jika demikian, wajarlah pemeriksa memiliki kemampuan yang tidak lebih dari pihak terperiksa untuk kriteria pemeriksaan. Inilah sebabnya di dalam prosedur pemeriksaan harus dilakukan pemahaman atas entitas yang terperiksa. Apapun namanya ini adalah pemeriksaan yang dilakukan lebih dahulu sebelum pemeriksaan utamanya. Saya sebenarnya “malas” membicarakan perdebatan penggunaan istilah interim atau pendahuluan, atau dukungan. Bagi saya, apapun namanya, tujuannya adalah memahami kriteria pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan utamanya.

Standar Pemeriksaan
Banyak yang mengira bahwa setelah kita berhasil melahirkan SPKN dengan peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007, maka masalah standar telah selesai. Lahirnya SPKN dapat dipandang sebagai awal dari semua permasalahan maupun satu solusi jitu. Tergantung kita memandang. Namun bagi saya, lebih bermasalah, jika SPKN tidak juga diterbitkan. Permalasahan timbul dari pemahaman pemeriksa yang belum utuh, atau justru SPKN memang menimbulkan multi interpretasi, atau bahkan kita alergi menggunakan SPKN. Memang ada sebagian dari pemeriksa kita yang mengharapkan untuk kembali mengikuti SPAP agar tidak menjadi polemic perdebatan yang belum berakhir. Namun, saya tetap berpendapat untuk selalu optimis. SPKN harusnya mengatur sendiri selama sector public dan sector privat masih berbeda. Sector public kita (dhi pemerintahan) akan sangat berbeda pula dengan Negara lain. Oleh karenaya jangan takut untuk berbeda.

Sistem Pemeriksaan
Sistem pemeriksaan di BPK diatur dalam (1) Panduan Manajemen Pemeriksaaan (PMP) serta (2) Petunjuk Pelaksnaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). PMP seharusnya telah dapat menyelesaikan semua keraguan atas prosedur manajerial pemeriksaan. Sedangkan prosedur pemeriksaannya sendiri harusnya lengkap dan detail (tidak global) setalah diatur dalam Juklak dan Juknis. Ada dilematis memang dalam penyusunan system pemeriksaan ini. Apakah mau digunakan konsepsi pengaturan yang umum saja, atau justru detail. Bagi saya, pengaturan detail memang lebih baik untuk kondisi saat ini. Dengan kompleksitas yang ada saat ini, system ini tidak dapat lagi dibiarkan berjalan secara manual. Mulai dipikirkan suatu aplikasi yang bisa menjalankan sistem pemeriksaan ini. Oleh karenanya, pengaturan global tidak dapat lagi. Penyusunan aplikasi membutuhkan prosedur detail bukan global. Kita lihat saja, apakah produk yang telah ada saat ini dapat langsung dibuatkan aplikasinya, tanpa harus ada sentuhan detail lagi.

Kriteria Pemeriksaan
SPKN mendefinisikan kriteria pemeriksaan sebagai standar ukuran harapan mengenai apa yang seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum atau pada saat dimulainya pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan merupakan hasil pemahaman pemeriksa atas entitas yang diperiksa. Hal yang perlu dipahami atas entitas yang diperiksa adalah meliputi semua aspek. Aspek tersebut antara lain meliputi (1) Aspek yuridis. Inilah bedanya dengan privat. Aspek yuridis atas keberadaan organisasinya, atas pengelolaannya, dan pertanggungjawabannya. (2) Struktur organisasinya; dan (3) Sistemnya termasuk SPI.

Dengan pemahaman atas kriteria pemeriksaan, BPK seharusnya telah dapat membedakan antara entitas pemeriksaan dan objek pemeriksaan. Dengan pemahaman atas entitas pemeriksaan seharusnya dapat secara jelas mana entitas pelaporan dan entitas akuntansi.
BPK memiliki pengaruh untuk menilai kriteria pemeriksa. UU memberikan kewenangan kepada BPK untuk memberikan pertimbangan atas SAP dan ketentuan SPI. Terlebih besar lagi kewenangan pemeriksaan BPK adalah senjata ampuh memperbaiki tata kelola ini. Jangan malu dan takut menggunakannya.

Alasan Pemeriksa Perlu Memahami Tiga Senjata Pemeriksa
1. Agar dapat memenuhi harapan pengguna dan meningkatkan kepercayaan. Siapa pengguna? Yaitu orang yang beragam, dan belum tentu tahu tentang akuntansi dan pemeriksaan. Artinya (1) hasil pemeriksaan harus dapat disampaikan secara sederhana dengan bahasa umum, (2) saran/rekomendasi harus jelas dan jika bisa detail secara teknis.
Di sisi lain, usaha membangun Kepercayaan tersebut diminta UU dengan berbagai pengaturan.
a. SPKN dibuat dengan peraturan BPK dan dimuat dalam LN sehingga dapat diakses dan dipelajari semua pihak
b. LHP dipublikasikan setelah ke lembaga perwakilan. Dengan demikian pengguna dapat membandingkan antara standar dengan hasil pemeriksaannya
c. Ketentuan kode etik dan pembentukan majelis kode etik
d. Aktivitas pemeriksaan BPK dilakukan peer review secara berkala.
e. Aktivitas pengelolaan keuangan BPK harus diperiksa KAP.
2. Agar pemeriksaan kita harmonis, sinkron dan tidak berbeda-beda. Meski belum ada penelitian khusus tentang hal ini. Saya berpendapat bahwa sangat mungkin terjadi masih ada kasus yang sama diperlakukan berbeda dan atau kondisi pada beberapa entitas ada yang berhasil terungkap dan ada yang tidak terungkap. Kita tidak dapat berlindung terus dibalik konsepsi sampling dan materialitas. Oleh karenanya BPK harus punya prosedur manajerial yang simple dan prosedur pemeriksaan yang jitu sekaligus system pengendalian mutu yang andal. Untuk sementara, memang hal ini dapat diatasi dengan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) atau apapun namanya. Tetapi rakornis tidak dapat menjamin konsistensi penerapan prosedur manajerial dan prosedur pemeriksaan. Oleh karenanya, saya berpendapat perlu dibangun suatu Sistem Aplikasi Pemeriksaan (SiAP) yang andal dan terintegrasi dengan sistem aplikasi terkait.
3. Agar hasil pemeriksaan tepat dan jelas sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Pemahaman ini untuk menghindari bahwa apapun pemeriksaannya, temuan adalah utamanya, pemeriksa hanya cari-cari masalah. Agar hasil ini tepat. BPK tidak lagi punya alasan, UU telah memberikan fasilitas konstitusi antara lain:
a. BPK susun Standar Pemeriksaan sendiri
b. BPK berwenang menentukan secara mandiri pemeriksaannya mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporannya
c. Jika BPK kurang sumber daya pemeriksa, BPK bisa gunakan pemeriksa dari luar BPK. Hal ini dimaksudkan menggunakan secara outsourcing bukan membuat orang luar semua jadi pelaksana BPK.
d. Jika BPK tidak punya ahli, BPK dapat gunakan ahli dari luar BPK.

Membangun Pemahaman atas Tiga Senjata Pemeriksa
Untuk memenuhi semua tujuan dari penggunaan senjata itu, perlu dilakukan:
1. Membangun pemahaman pemeriksaan yang diawali dengan standar pemeriksaan yang dibungkus dalam 3 dimensi; yuridis, empiris, dan teoritis.
2. Membangun sistem yang terintegrasi dan tidak multi interpretasi. Sistem itu mulai dirancang dari rancangan organisasi dan tugas fungsi, mekanisme majaerial dan mekanisme pemeriksaan sampai dengan pembangunan aplikasi. Inilah contohnya keberadaan Camis, dan SiAP. Saya melihat bahwa struktur organisasi dirancang BPK saat ini, telah cukup membagi-bagi fungsi ke dalam pemenuhan pencapaian pemeriksa yang baik. Masalah dilengkapi dengan infrastruktur yang andal dan aplikatif serta mau dilaksanakan atau tidak, hal itu masalah lain. Lihatlah:
a. Fungsi Biro SDM menyediakan pemeriksa yang memiliki kualifikasi ok. Namun sampai saat ini setiap kali surat tugas pemeriksaan mau diterbitkan biro SDM seolah hanya menjalankan fungsi rekruitmen, penempatan dan mutasi promosi. Tapi tidak dapat menyediakan informasi kualifikasi pemeriksa yang termukthair. Atau memang tusinya demikian saya belum mempelajarinya.
b. Setelah pemeriksa tersedia, litbang menyediakan senjata dan amunisi untuk melaksanakan pemeriksaan. Masalah senjata dan amunisinya tidak tepat dan tidak muktahir itu lain persoalan.

c. Setelah ada pemeriksa dan senjata/amunisinya, pemeriksa ini perlu diberikan pembelajaran bagaimana menggunakan senjata dan amunisi yang ada. Disinilah peran Diklat. Oleh karenanya diklat harus focus mendidik pemeriksa dengan amunisi yang tepat. Jangan yang didiklat lain dengan yang dikonsepkan untuk dilaksnakan saat pemeriksaan.
d. Setelah pemeriksa dididik menggunakan amunisi dan senjata, dia akan praktik pemeriksaan di lapangan dibawah kendali AKN. Jika AKN tidak menegndalikan (salah satunya supervise) itu adalah penjalanan tusi yang tidak optimal.
e. Setelah pemeriksaan diakhiri dapat dilakukan
1) review tentang apa yang telah dilakukan sesuai dengan konsep senjatanya atau tidak. Inilah peran irtama.
2) Evaluasi tentang apakah tujuan dan SS BPK telah tercapai. Apakah senjatanya telah tepat atau tidak. Termasuk menyimpulkan kondisi entitas yang diperiksa untuk mengambil simpulan total atas hasil pemeriksaan BPK. Evaluasi bukan lagi untuk menilai kualitas hasil pemeriksaan seperti yang dilakukan irtama.
f. Berdasarkan hasil review dan evaluasi, semua pihak sebelumnya instropeksi, apakah pemeriksa masih kompeten, dan ditempatkan secara tepat, senjatanya sudah tepat untuk kondisi yang ada, dan apakah semua dilaksanakan dengan baik
g. Tanpa menguragi unsur unit lain yang mendukung, pembahasan unit kerja di sini hanyalah yang terkait dengan tulisan ini.
3. Meningkatkan pemahaman pemeriksa atas pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan. Hal ini akan mendorong penyusunan hasil pemeriksaan yang tepat; dan memberikan rekomendasi yang tepat. Peran pengawasan oleh irtama, peran pengendalian oleh AKN, peran evaluasi oleh EPP.
4. Mendorong entitas dan lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan secara tepat. BPK hanyalah menjalankan peran sebagai pemantau tindak lanjut. Sebagai pemantau, BPK lebih banyak pasif. Namun sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap tata kelola Negara ini, BPK dapat secara proaktif mendorong pihak pemerintah dan lembaga perwakilan menindaklanjti hasil pemeriksaan BPK. Caranya, saya rasa sederhana:
a. Buatlah hasil pemeriksaan yang jelas dengan rekomendasi yang jelas juga.
Rekomendasi ini seharusnya dipandang tidak hanya sebagai penghilang sebab (artinya harus teridentifikasi sebab) tetapi juga harus dipandang sebagai pengurang dampak dari akibat (artinya harus teridentifikasi akibat) dan peningkatan kualitas pengelolaan dan tanggung jawab. BPK seharusnya cukup yakin bahwa hasil pemeriksaannya dapat mengubah pengelolaan yang amburadul ke pengelolaan yang baik. Jangan karena ketentuan pengelolaan keuangan telah ada, maka BPK ikut saja tanpa mengoreksinya. Media koreksinya jelas dari pemeriksaan BPK. Saya berpendapat kita jangan membangun media baru selama media yang ada dapat digunakan secara baik. BPK harusnya dapat menunjukkan kelemahan pengelolaan yang ada (termasuk akibat menjalankan ketentuan perundang-undangan) sehingga dapat merekomendasikan untuk revisinya.
b. Efektifkanlah media konsultasi dan pemberian pendapat kepada pihak terperiksa.
Konsultasi antara BPK dengan lembaga perwakilan telah dilengkapi dengan Mou antara BPK dan lembaga perwakilan. Namun pemberian pendapat dengan pihak yang terperiksa masih dilindunsgi dengan pasal 11 UU BPK. Mengefektifkan ini adalah bagaimana BPK memberikan informasi jitu kepada lembaga perwakilan maupun pihak terperiksa bagaimana seharusnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Memberikan pendapat atas suatu hal dalam berbagai media termasuk media konsultasi ini adalah diperbolehkan oleh UU. Bahkan UU meminta BPK memberikan pertimbangan atas Standar akuntansi dan ketentuan tentang pengendalian internal. Saya berpendapat, menjadi picik BPK, jika masih berpikir bahwa memberi pendapat atas pengelolaan keuangan akan mengganggu independensi BPK. Janganlah karena kita tak mampu, lantas kita berlindung di balik kata independen. Saya kira, satu langkah bagus yang dilakukan BPK saat ini dengan mendengungkan penyusunan rencana Aksi.

Rencana Aksi Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK
Rencana aksi haruslah dipandang sebagai langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Jadi janganlah diartikan rencana aksi sebagai pendetailan atas rekomendasi BPK. Jika mau jujur, saya berpendapat, pendetailan rekomendasi dengan rencana aksi sama saja menunjukkan bahwa BPK tidak mampu menyusun rekomendasi secara tepat. Oleh karenanya, saya berpendapat bahwa rencana aksi tersebut adalah langkah yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan.

Mengacu pada berbagai fakta yang mungkin terjadi, terdapat tiga bentuk alternative untuk merealisasikan rencana aksi ini, yaitu:
1. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Dan rencana aksi tersebut menjadi komitmen pemerintah yang dituangkan dalam komitmen pemerintah itu sendiri.
2. Menyusun rencana aksi pihak terperiksa yang dilakukan bersama antara pihak terperiksa dengan BPK. Rencana aksi ini dituangkan dalam bentuk komitmen pihak terperiksa kepada BPK sehingga seolah-olah dibentuk suatu perjanjian.
3. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Rencana aksi tersebut dibahas bersama antara pihak terperiksa dengan lembaga perwakilan. Selanjutnya kesepakatan antara rencana aksi pihak terperiksa dengan lembaga pewakilan tersebut diformalkan dalam UU dan Perda tentang pertenggungjaeaban pelaksanaan Anggaran. Dengan kata lain, saya berpendapat seharusnya di dalam UU tentang pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan Perda tentang Pertanggungjawaban pelaksnaan APBD harus memuat klausul pasal sebagai berikut;
a. Ketentuan bahwa LKPP dan LKPD telah diperiksa BPK
b. Ketentuan yang menyebutkan jenis opini yang diberikan BPK
c. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mempertahankan dan atau memperbaiki opini atas LK. Inilah yang sebenarnya penuangan dari rencana aksi tersebut.

Dari ketiga bentuk pendekatan yang meminta adanya rencana aksi, bagi saya format yang ketigalah yang lebih tepat. Di samping pentingnya formalitas dari bentuk rencana aksi, perlu ditekankan bahwa perubahan tersebut selalu berasal dari tiga aspek atau saya lebih suka dengan menyebutnya sebagai tiga prasyarat perbaikan pengelolaan keuangan yaitu (1) SDM yang Kompeten; (2) Organisasi yang mapan; dan (3) Infrastruktur yang andal. Akhirnya, apapun rencana yang telah disusun, hanyalah fakta bahwa rencana itu dilaksanakan yang akan menentukan keberhasilan. Oleh karenanya, saya berharap MULAILAH!!!.





Read More......

Adakah Pengaruh Sistem Pengendalian Intern pada Pemberian Opini Atas Laporan Keuangan?

Imammudin Achmad
Staf pada Sub Dit Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja BPK RI

Petunjuk Teknis Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Daerah LKPD dan LKPP baru saja terbit Tahun 2007. Namun, langsung muncul berbagai pertanyaan yang menyangkut isi dari juknis tersebut. Salah satu pertanyaan terkait dengan pengaruh sistem pengendalian intern terhadap opini atas laporan keuangan. Artikel ini akan menyoroti dua hal paling penting dari pemeriksaan keuangan yakni mengenai jenis opini dan flowchart penentuan opini atas laporan keuangan.

Jenis Opini
Opini atas laporan keuangan menjadi tujuan utama pemeriksaan keuangan. Menurut UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara, opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. UU tersebut menyebutkan ada empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa yakni opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), opini tidak wajar (adversed opinion), dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Pembagian jenis ini juga dijadikan acuan oleh Juknis Pemeriksaan LKPD dan LKPP.

Sementara, jika mengacu pada SPAP (IAI, 2003) dan buku-buku teks audit terbaru seperti dari Boynton&Raymond (2006), ada satu jenis opini lagi yang belum tercantum yaitu opini wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas. Di bawah ini tabel yang menggambarkan lima bentuk opini dan dasar penetapan opini berdasarkan buku audit tersebut:

Jenis Opini Dasar Penetapan Opini
Wajar tanpa pengecualian Laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan PABU di Indonesia.

Wajar tanpa pengecualian dengan paragraf penjelas Laporan bentuk baku dengan bahasa penjelasan (tidak ada dalam UU No.15 Tahun 2004 dan Juknis Pemeriksaan LKPD/LKPP) mempunyai karakteristik bahwa opini memberikan pendapat tanpa pengecualian (unqualified opinion) karena Laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan PABU di Indonesia, namun keadaan tertentu mengharuskan auditor menambahkan paragraf penjelas atau bahasa penjelas lainnya dari laporan bentuk baku. Auditor memperhatikan keadaan berikut:
1. Entitas memilih merubah prinsip akuntansi dari yang berterima ke yang lain
2. Auditor mendapatkan kesimpulan bahwa gangguan yang substansial atas keberlanjutan usaha klien
3. Auditor berharap untuk menegaskan informasi yang berisi catatan atas laporan keuangan seperti transaksi dengan pihak hubungan istimewa
4. Auditor juga memodifikasi bahasa dalam laporan audit ketika ada aspek signifikan dalam audit seperti mengandalkan hasil audit dan opini auditor lain.

Wajar dengan pengecualian Laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan PABU di Indonesia kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Hal ini disebabkan antara lain:
1. Laporan keuangan mengandung salah saji material dari PABU
2. Keadaan yang memaksa pembatasan ruang lingkup secara material
Tidak wajar Laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan PABU di Indonesia. Hal ini disebabkan laporan keuangan mengandung salah saji yang sangat material (extremely material departure).

Tidak memberikan pendapat Auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan. hal ini disebabkan:
1. Keadaan memaksa pembatasan ruang lingkup secara sangat material
2. Entitas memaksa pembatasan ruang lingkup yang material, contoh: auditor tidak independen

Flowchart Opini
Petunjuk Teknis LKPD dan LKPP Tahun 2007 menyatakan bahwa dasar penetapan opini (menyadur dari UU No 15 tahun 2004) yaitu: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclousure), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, efektivitas sistem pengendalian intern. Di samping itu, di dalam penetapan opini pemeriksa, pemeriksa mempertimbangkan SPKN, pembatasan lingkup pemeriksaan oleh pemerintah atau kondisi, keandalan SPI, ketidaksesuaian dan ketidakcukupan pengungkapan LKPD dengan SAP dikaitkan dengan tingkat materialitas yang telah ditetapkan, dan tanggapan pemerintah daerah atas hasil pemeriksaan. Juknis juga menggambarkan diagram alur (flowchart) penetapan opini.


Flowchart opini berdasarkan Juknis menggambarkan alur penetapan opini berdasarkan kondisi-kondisi yang ada. Sistem pengendalian intern (SPI) yang memadai menjadi salah satu kondisi yang dipertanyakan sebelum menentukan opini. Jika SPI tidak memadai maka harus ada prosedur pemeriksaan lain. Ketika prosedur pemeriksaan lain tidak bisa dilakukan, maka opini disclaimer diberikan. Namun, jika SPI memadai maka masuk ke kriteria lainnya yaitu apakah Laporan Keuangan sesuai dengan PABU atau tidak. Di sinilah letak permasalahannya, yaitu apakah benar SPI yang tidak memadai akan ikut menentukan jenis opini atas laporan keuangan?
Konrath (2002) dan Boynton&Raymond (2006) menjelaskan bahwa penilaian atas sistem pengendalian intern bukanlah untuk menentukan jenis opini yang akan diberikan. Konrath (2002) menyatakan bahwa berdasarkan standar pekerjaan lapangan audit kedua, mengharuskan auditor memperoleh pemahaman yang memadai atas SPI auditee guna merencanakan audit dan menentukan sifat, waktu dan luas pengujian yang akan dilakukan. Tujuannya adalah auditor mampu mengevaluasi kemungkinan adanya salah saji material pada laporan keuangan auditee.


Pengujian pengendalian dilakukan hanya untuk menentukan risiko pengendalian (control risk) setelah menentukan risiko melekat (inherent risk) pada pemeriksaan awal/pendahuluan. Kemudian jika dilakukan pengujian pengendalian diketahui bahwa SPI lemah sehingga risiko pengendalian tinggi maka perlu dilakukan pengujian selanjutnya yang lebih luas dari biasanya.
Penilaian risiko pengendalian bersama risiko melekat menjadikan auditor menentukan risiko deteksi dan membuat program pengujian substantif berdasarkan penilaian tersebut (risk assesment). Misalnya jika dalam penilaian resiko diketahui bahwa SPI lemah maka prosedur audit pada pengujian substantif harus menggunakan jumlah sampel yang semakin besar untuk bisa mendapatkan bukti audit yang cukup dan kompeten.

Selain itu, SPI yang lemah akan diakomodasikan ke dalam opini atas Laporan sistem pengendalian intern tersendiri (Boynton&Raymond, 2006). Laporan SPI juga memuat kondisi-kondisi tertentu tentang materialitas SPI dan menentukan opini atas SPI Auditee. Jadi pengguna laporan keuangan harus paham bahwa mungkin auditor memberikan opini tidak wajar (adverse opinion) atas efektifitas SPI tetapi mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) atas laporan keuangan. Jadi, meskipun SPI lemah, namun jika penyajian angka dalam laporan keuangan diyakini wajar, auditor masih bisa memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian. Kondisi ini bisa terjadi jika auditee menemukan sendiri angka saldo yang salah saji kemudian memperbaikinya atau jika auditee menerima jurnal koreksi dari auditor.

Opini atas laporan keuangan menurut buku-buku audit akan dipengaruhi oleh pembatasan ruang lingkup (apakah disengaja oleh auditee atau hanya karena kondisi diluar kendali auditee dan auditor), materialitas, dan kesesuaian dengan PABU. Opini diawali dengan pertanyaan apakah ada pembatasan ruang lingkup atau tidak. Jika ya maka kita lihat materialitasnya. Jika pembatasan tersebut material apakah dilakukan dengan sengaja oleh auditee atau tidak. Jika ya auditee membatasi pemeriksaan maka opini disclaimer wajib diberikan. Namun, jika tidak maka barangkali kondisi diluar kendali auditee dan auditor yang membatasi. Oleh karena itu perlu dilakukan alternatif prosedur yang memadai. Jadi prosedur pemeriksaan lain dilakukan bukan karena SPI yang lemah (tidak memadai) tetapi karena adanya pembatasan ruang lingkup yang material.

Pada intinya, SPI yang lemah tidak akan sampai berpengaruh langsung terhadap opini atas laporan keuangan. Pengujian SPI apakah memadai atau tidak, hanya merupakan pengujian awal pemeriksaan untuk menentukan keluasan pengujian selanjutnya (saldo dan substantif). Pemberian opini terkait dengan keyakinan memadai (reasonable assurance) yang diperoleh pemeriksa mengenai kewajaran suatu laporan keuangan. Semoga bermanfaat.

Referensi:
BPK RI. 2007. Juknis Pemeriksaan atas LKPD. Jakarta
BPK RI. 2007. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Jakarta
Boynton, William C. Johnson, Raymond N. 2006. Modern Auditing: Assurance Services, and the integrity of Financial Reporting. John Willey&Sons. Nem Jersey
IAI.2003.Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Jakarta
Konrath, Larry F. 2002. Auditing: A Risk Analysis Approach-5th edition. The Thomson Learning. Ohio
UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara





Read More......

Antara Migas dan Batubara: Bagaimana Negara Berbisnis untuk Rakyatnya

Aep Saefuddin Rizal (Tenaga Ahli BPK)

Polemik berkepanjangan antara pemerintah dengan kontraktor pertambangan batubara mencapai puncaknya dengan tindakan represif Pemerintah melakukan pencekalan terhadap 6 pimpinan perusahaan tambang batubara yang dengan sadar memotong hak royalti negara dari hasil penambangan batubara.

Tulisan ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana negara melaksanakan penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD 1945, dengan membandingkan perlakuan negara dalam menguasai dan mengusahakan minyak dan gas bumi (migas) yang berbeda dengan perlakuan negara terhadap batubara dan tambang umum lainnya.
Walaupun hak penguasaan dan pengusahaan negara datang dari dasar filosofis yang sama yaitu Pasal 33 UUD 1945, dan dilaksanakan oleh institusi yang sama pula yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, tetapi dalam operasionalisasi kebijakannya sungguh berbeda.

Persamaan mendasar dari penguasaan oleh negara terhadap kedua jenis tambang strategis tersebut adalah tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tidaklah mudah untuk mencapai tujuan tersebut karena terkait dengan kebijakan publik yang harus memenuhi rasa keadilan semua pihak, oleh karena itu menjadi tugas Pemerintah untuk selalu berdiri di atas kepentingan seluruh rakyat Indonesia termasuk kepentingannya dalam penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam milik bangsa Indonesia.


Apabila saat ini masih ada suara sumbang tentang kebijakan publik yang pro pengusaha, pro investor dan mengabaikan hak-hak dasar warga negara tentu hal ini harus dikoreksi sesuai tujuan filosofisnya apakah penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam tersebut telah dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau kemakmuran pengusaha. Kalau untuk kemakmuran rakyat, rakyat yang mana?

Kenyataannya rakyat negeri seberang kotanya lebih gemerlap dan listriknya lebih terjamin karena lancarnya pasokan kontrak jangka panjang LNG dan batubara dari bumi pertiwi, sungguh ironis dibandingkan nasib rakyat pemilik sumber energi tersebut yang listriknya byarr-pet, bahkan diperintahkan untuk semakin berhemat pula. Anjuran untuk berhemat adalah mulia tetapi lebih tepat dialamatkan kepada mereka yang boros energi atau pengguna energi yang tidak produktif. Diantara bangsa-bangsa Asia, angka rata-rata konsumsi energi primer negeri ini dalam ton oil equivalen*) hanya 0,469 ton perkapita pertahun, sedikit diatas Pakistan(0,337) dan Philipina(0,255) tetapi jauh dibawah Bangladesh (1.251) apalagi Singapura (10.851), negara yang tidak memiliki kekayaan alam energi bersumberkan fosil.

Demikian pula diantara bangsa-bangsa dunia, rakyat kita termasuk bangsa yang hemat energi. Persamaan berikutnya dari kedua komoditas tersebut adalah bahwa keduanya merupakan sumber energi yang tidak terbarukan. Dengan cadangan terbukti yang dimiliki dan tingkat eksploitasi yang massif seperti sekarang ini keberadaannya di bumi Indonesia hanya tinggal beberapa tahun lagi*) (minyak 12,4 tahun, batubara 25 tahun; cadangan dunia: minyak 41,6 tahun; batubara 133 tahun). Sungguh menyedihkan, saat negara lain masih berjaya dengan kekayaan energinya, kita akan menjadi bangsa yang tergantung dan menjadi penonton.

Tanpa upaya yang sungguh-sungguh untuk menemukan cadangan baru, wajar apabila sebagian warga negara mulai mempertanyakan bagaimana hak anak-cucu kita terhadap kekayaan alam ini apabila kakek-buyutnya melakukan pengurasan besar-besaran pada masanya. Para pemuja romantisme kehidupan ini menyatakan bahwa kita hanya meminjam bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dari generasi yang akan datang, tentunya sebagai peminjam kita harus lebih tahu diri.

Uraian diatas membahas bagaimana persamaan pemahaman kita terhadap kedua jenis komoditas tambang yang tergolong strategis ini, tetapi sebagaimana diuraikan terdahulu, walaupun dikelola oleh kementerian yang sama (Departemen ESDM) nyatanya perlakuan terhadap minyak dan gas bumi jauh berbeda dibandingkan perlakuan terhadap batubara dan tambang lainnya. Perbedaan tersebut adalah sebgai berikut.

1. Pola Hubungan Negara dengan Kontraktor


Minyak dan Gas Bumi
Seluruh kontrak pertambangan migas sejak awal tahun 70-an dilakukan dengan pola bagi hasil (production sharing contract atau PSC), walaupun sekarang namanya Kontrak Kerja Sama, tetapi hakekatnya adalah sama sebangun karena yang dibagi adalah hasil fisik barang tambang migas setelah dikurangi dengan penggantian biaya-biaya (cost recovery) yang ditalangi terlebih dulu oleh kontraktor.

Secara garis besar, negara mendapat 65% dan kontraktor 35%, setelah diperhitungkan pajak, negara memperoleh 85% dan kontraktor 15%. Migas telah mengakhiri model kontrak karya warisan pemerintahan colonial. Kita boleh berbangga karena konsep PSC ini lahir dari bumi Indonesia yang sekarang merebak ke hampir seluruh negara penghasil minyak dunia dengan berbagai modifikasi sesuai dengan kondisi dan kepentingan nasionalnya masing-masing. Sayangnya kita sebagai penemu dan penggagas kurang piawai dalam memodifikasi PSC sesuai kebutuhan jaman dan kepentingan nasional. Kita lebih suka bongkar pasang institusi ketimbang merancang perbaikan sistem untuk menyesuaikan dengan kebutuhan. Sudah saatnya kita belajar kepada negara lain para pengikut model PSC dalam memperbaiki fiscal terms untuk memelihara iklim investasi sambil tetap meminimalkan risiko usaha bagi negara.

Pengendalian terhadap cost recovery merupakan bahasan yang terus berlanjut, ini terkait dengan terbukanya ruang lebar “kepantasan” baik dalam jenis biaya maupun kegiatan yang kadang dianggap tidak terlalu perlu dalam operasi perminyakan sehingga tidak dapat diatur dalam PSC. Kondisi ini dapat dimanfaatkan kontraktor untuk mencari keuntungan sepihak. Mengatasi kondisi ini, beberapa negara penghasil migas melakukan pembatasan dalam bentuk ceiling atau plafond biaya terhadap pengeluaran biaya yang dapat di recovered. Di beberapa negara lain para pengikut model PSC ini memodifikasi PSCnya dengan mengkombinasikannya dengan model service contract.

Batubara dan Tambang Lainnya
Penguasaan dan pengusahaan tambang batubara dilakukan melalui Kontrak Perjanjian Kerjasama Perusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) atau Kuasa Pertambangan (KP) dari Pemerintah Daerah. Bentuk kontrak ini sama dengan model kontrak karya atau pemberian konsesi wilayah kepada kontraktor . Istilah konsesi karena dianggap terlalu memberi peran yang kuat kepada pihak kontraktor kemudian diubah menjadi Kuasa Pertambangan. Tapi apalah artinya istilah, dominasi kontraktor terhadap wilayah kerja kuasa pertambangannya tetap kuat dan dominan yang kadangkala menjadi friksi dengan hak ulayat rakyat setempat.

Secara umum kewajiban pemegang konsesi atau Kuasa Pertambangan harus membayar kepada negara berupa sewa tanah sesuai tarif (sangat murah sehingga WALHI mau menyewanya) serta royalti dari produksi (sebesar 13,5% untuk batubara), di samping juga harus membayar pajak perusahaan. Para pejabat di Departemen ESDM berkilah bahwa rendahnya royalti untuk batubara karena kontraktor PKP2B dikenakan pajak penghasilan sebesar 35% untuk 10 tahun pertama dan 45 % setelahnya. Sayangnya mereka kurang memahami bahwa pajak itu dikenakan dari hasil hitung-hitungan akuntansi besaran Penghasilan Kena Pajak, bukan dari fisik kekayaan alam Indonesia yang digali kontraktor. Oleh karenanya besar kecilnya Penghasilan Kena Pajak dapat disetel tergantung jujur tidaknya pengusaha melalui rekayasa akuntan perusahaan dalam memanfaatkan celah hukum perpajakan, yang penting tidak ketahuan petugas pajak. Praktik-praktik transfer pricing, pembebanan biaya yang tidak wajar serta pembebanan bunga pinjaman kepada pemilik perusahaan merupakan praktik yang banyak dilakukan untuk memperkecil angka penghasilan kena pajak.

Transfer Pricing dilakukan dengan melakukan transaksi penjualan kepada perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga dibawah harga pasar. Perusahaan afiliasi kemudian meneruskan penjualan tersebut kepada pelanggan sesuai dengan harga yang sebenarnya. Praktik ini dilakukan baik melalui penjualan barang secara fisik atau hanya dokumennya saja yang lewat perusahaan afiliasi. Akibat dari praktik ini maka laba perusahaan di dalam negeri menjadi kecil bahkan mungkin rugi sehingga Direktorat Jenderal Pajak gigit jari. Sebaliknya perusahaan afiliasi diluar negeri akan memperoleh laba, boleh dibilang tanpa keringat, hanya dari aliran dokumen yang lewat saja, dan otoritas pajak di negara tersebut akan meraup penerimaan pajak yang besar untuk kemakmuran rakyatnya.

Pembebanan biaya yang tidak semestinya dilakukan antara lain dengan membebankan biaya modal sebagai biaya operasi, mempercepat penyusutan suatu aset, atau amortisasi biaya yang tidak jelas asal-usulnya. Disamping itu karena penyusunan laporan keuangan bersifat konsolidasian, maka kerugian anak perusahaan lain yang tidak berhubungan dengan usaha tambang di Indonesia dapat dibiayakan yang akhirnya menjadikan laba konsolidasian menurun.

Pembebanan bunga oleh pemilik biasanya dilakukan dengan membuat utang melalui perusahaan afiliasi atau suatu perusahaan yang dibentuk untuk tujuan khusus (Special Purpose Vehicles=SPV). Umumnya SPV ini didaftarkan di negara bebas pajak seperti Bahama atau Cayman Island. Perusahaan melalui SPVnya menerbitkan surat utang (Commercial Papers) bernilai besar dan tingkat bunga yang cukup tinggi dengan melibatkan konsultan keuangan terkenal sebagai arranger atau trustee. Kemudian dana hasil penjualan surat utang tersebut digunakan oleh SPV lainnya untuk membeli piutang perusahaan. Hasil bersih dari rekayasa keuangan seperti ini adalah legitimasi keluarnya uang perusahaan dalam bentuk bunga kepada pemegang surat utang yang tak lain adalah pemilik perusahaan itu sendiri. Didalam perusahaan tidak ada arus uang masuk karena perusahaan memang tidak membutuhkan pinjaman.

2. Pengendalian terhadap kontraktor
Keterlibatan negara dalam pengendalian/pengawasan kegiatan oleh kontraktor minyak dan gas bumi jauh lebih ketat dibandingkan dengan pengendalian terhadap para pengusaha/kontraktor pertambangan batubara atau pertambangan umum lainnya. Rencana Kerja dan Anggaran (Work Program and Budget) kontraktor migas (PSC) harus disetujui terlebih dulu oleh Pemerintah, termasuk Plan of Development suatu lapangan migas harus disetujui Menteri ESDM. Pemikiran logisnya adalah bahwa minyak dan gas bumi merupakan kekayaan alam yang dikuasai negara, tugas kontraktor hanyalah mengeluarkan migas dari perut bumi Indonesia, konsekwensinya semua biaya yang berhubungan dengan kegiatan kontraktor akan menjadi biaya negara melalui cost recovery sehingga harus disetujui Pemerintah.

Hal ini sangat berbeda dengan perusahaan pertambangan batubara, Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan sebagaimana umumnya sebuah Perseroan Terbatas, hanya memerlukan pengesahan oleh Rapat Umum Pemegang Saham. Oleh karena itu rencana produksi, rencana penjualan (termasuk proyeksi harga jual) serta anggaran biaya yang akan dikeluarkan sudah bisa dirancang tanpa keterlibatan Pemerintah sebagai pemegang mandat “ kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Begitupun pengendalian pada tahap pelaksanaan anggaran, semua ketentuan yang berlaku dilingkungan pemerintah berlaku pula untuk kontraktor Migas, sebagai contoh pelaksanaan tender/lelang pengadaan barang dan jasa untuk operasi perminyakan dan gas bumi harus tunduk kepada ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden RI nomor 80 Tahun 1983. Hal ini tidak berlaku untuk kontraktor pertambangan batubara, mereka bebas untuk melakukan pengadaan barang dan jasa dengan cara apapun.

Pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak migas dilakukan secara berlapis. Untuk kepentingan internal, pengawasan dilakukan oleh internal audit perusahaan, untuk kepentingan pemerintah dilakukan oleh Satuan Pengawasan Intern BP Migas bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, sedangkan dalam rangka pertanggung jawaban keuangan negara dilakukan pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Di lain pihak pengawasan terhadap kontraktor PKP2B disamping dilakukan oleh internal audit perusahaan juga oleh Pemerintah yaitu Departemen ESDM cq Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi sebagai pemegang Kuasa Pertambangan melalui berbagai perangkat administrasi pelaporan, antara lain laporan produksi sebagai dasar penetapan PNBP dalam bentuk royalti maupun oleh pemerintah daerah. Pemeriksaan PNBP untuk kepentingan intern pemerintah dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, sedangkan Pemeriksaan dalam rangka pertanggung jawaban keuangan negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Pemeriksaan terhadap pertanggung jawaban keuangan perusahaan secara keseluruhan dilakukan oleh auditor ekstern yaitu Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk Rapat Umum Pemegang Saham.

Perlakuan terhadap aset kontraktor migas yang digunakan dalam operasi perminyakan dianggap sebagai kekayaan milik negara, oleh karenanya aset migas sebesar Rp232,4 Triliun dimasukan dalam Neraca (Laporan Keuangan) Pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia. Perlakuan terhadap aset PSC tersebut didasarkan ketentuan dalam kontrak bahwa seluruh aset yang dibeli (baik melalui impor atau pengadaan dalam negeri) oleh kontraktor, begitu mendarat (landed) di wilayah hukum Indonesia menjadi milik Pemerintah Indonesia, tanpa perlu gejolak politik (demo) untuk Nasionalisasi Aset !!!

Oleh karena dianggap sebagai barang milik negara, maka semua beban Pajak, Bea Masuk dan pungutan lain yang sah berkaitan dengan pengadaan barang tersebut di reimburse oleh negara. Hal ini sangat berbeda dengan kontraktor Pertambangan batubara dan tambang umum lainnya, tidak ada satu potongpun aset kontraktor Batubara (PKP2B) atau tambang umum lainnya, misal aset yang digunakan PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, PT Adaro, PT Freeport, PT Newmont, PT Inco, yang tercatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah, bahkan dijadikan lampiran Laporan Keuangan (sebagaimana halnya aset BUMN) juga tidak, artinya aset tersebut tidak dipertanggung jawabkan oleh Pemerintah, karena dianggap bukan kekayaan milik negara.

Tetapi dalam hal tuntutan kepada negara, ada kesamaan dari kedua kontraktor pertambangan ini, yaitu tuntutan reimbursemen pajak (PPN) masukan, sayangnya untuk kontraktor PKP2B mekanisme penggantiannya belum diatur sehingga mendorong mereka melakukan tindakan sepihak, memotong langsung dari Royalti bagian Pemerintah. Alasan logisnya adalah apabila PPN tersebut dikenakan terhadap Barang Milik Negara, maka pungutan PPN tersebut harus dikembalikan ( di reimburse) karena Negara bukan subjek pajak, tetapi apabila PPN tersebut dikenakan terhadap pengadaan barang milik perusahaan swasta, maka Pemerintah tidak memiliki dasar untuk melakukan pengecualian dengan mengembalikan pungutan PPN tersebut.

Pasal 6 ayat (2)a UU No. 22 Tahun 2001 menyatakan: Kepemilikan sumber daya alam minyak dan gas bumi adalah tetap ditangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Kalaupun minyak bumi itu digunakan untuk keperluan didalam negeri, maka kepemilikan negara atas minyak bumi tersebut berakhir di flow meter Kilang Pertamina atau flow meter tanker pembeli. Hal ini berbeda dengan kepemilikan negara terhadap batubara, walaupun berdasarkan pasal 15 Undang-undang nomor 11 Tahun 1967 kepemilikan itu tetap ditangan negara. Kuasa Pertambangan hanyalah kekuasaan untuk melaksanakan usaha pertambangan dan tidak memberikan hak pemilikan pertambangan kepada pemegang kuasa pertambangan. Tetapi apabila kita cermati Laporan Keuangan Perusahaan Batubara, persediaan yang masih ada di Stockpile ternyata sudah diakui sebagai milik Perusahaan. Hal ini terjadi karena berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah nomor 75 tahun 2001 sebagai pelaksanaan dari UU 11 Thn 1967 menyatakan bahwa kepemilikan beralih kepada kontraktor pada saat batubara ditambang.

Dampak Kebijakan
Cara pengelolaan kebijakan yang berbeda tentu mengakibatkan hasil yang berbeda pula. Demikian pula dalam pengelolaan kekayaan alam oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan, yang merupakan amanah rakyat Indonesia. Dampak tersebut bisa bersifat ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan lainnya. Untuk kepentingan perbandingan diantara dua model pengelolaan kekayaan alam oleh pemeritah, maka diperlukan alat ukur untuk menjelaskan bahwa model yang satu mengungguli yang lainnya. Untuk itu dampak ekonomi keuangan lebih mudah diukur karena datanya lebih banyak tersedia. Berangkat dari pemikiran tersebut, akun yang tersedia adalah seberapa besar kontribusi dari kedua jenis hasil tambang yang dikuasai negara terhadap penerimaan keuangan negara.

Nilai kemaslahatan untuk keuangan negara seperti diuraikan diatas tentunya mengundang pertanyaan tentang siapa yang paling diuntungkan dari bisnis batubara ini, kalau bunda pertiwi yang selama ini mengandung kekayaan alam untuk anaknegerinya hanya mendapatkan 11% bahkan mungkin kurang, lantas siapa yang menikmati 89% lainnya? Dimana peran negara untuk menciptakan keadilan dan melindungi sebagian besar warganya yang semakin terpinggirkan ini? Kiranya para pembuat kebijakan di negeri ini harus segera menentukan pilihan Kontrak Karya atau Kontrak Bagi Hasil.

Referensi:

*) Sumber data diolah dari BP Statistical Review of World Energy 2008
**) Sumber data Konsolidasi laporan keuangan Kontraktor Kerjasama, BP Migas
* Produksi batubara berdasarkan data warehouse Departemen ESDM
** Rata rata harga jual batubara thn 2006 US$ 35.88/ton , thn 2007 US$ 40,87 dihitung berdasarkan Annual Report PT Bumi Resouce 2007.
Berdasarkan Tex Energy Report harga rata-rata batubara asal Indonesia yang diimpor Jepang selama bulan Juni 2008 adalah US$103,74 per ton. lebih murah dibandingkan batubara asal China $126,57, Australia $134,56





Read More......