M. Yusuf John (Auditor BPK RI)
Tulisan ini hanyalah penilaian personal dari pengalaman dan pengamatan penulis atas kondisi yang terjadi. Penilaian ini sangat kental dengan pendapat penulis dan memang tidak diperuntukkan untuk menilai secara khusus. Tetapi mudah-mudahan membuat kita sedikit menyadari bahwa ada yang mengamati dan berpendapat seperti penulis. Semoga bermanfaat dan dapat melahirkan inovasi maupun renovasi.
Melihat Perubahan secara Jernih
Sejak awal keberadaannya, BPK diberi amanat UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Pengalaman telah memberi banyak pembelajaran pemeriksaan. Namun masih saja kita menemukan adanya kelemahan dan kekurangan yang dipandang wajar. Kelemahan dan kekurangan itu tidaklah harus dipandang sebagai kesalahan semata. Oleh karenanya, kita harusnya bijak dalam memandang kelemahan dan kekurangan tersebut yang dapat terjadi karena faktor berikut.
1. Perubahan situasi dan kondisi lapangan termasuk dinamika ketentuan peraturan perundang-undangan. Harus diakui, peraturan perundang-undangan belum mencapai titik keseimbangan pascapenerapan konsepsi reformasi keuangan. Situasi ini memang sangat mendukung terjadinya perbedaan perlakuan setiap tahunnya. Namun di sisi lain, dinamika ini sangat riskan terjadinya multi interpretasi sekaligus ketidaksiapan atas cepatnya perubahan.
2. Perubahan atas harapan publik. Publik terus memberikan adanya harapan atas transparansi dan akuntabilitas. Banyaknya pengaduan yang beragam dan terungkapnya berbagai kasus merupakan faktor yang menjadi makin lebarnya “gap” antara apa yang disediakan pemeriksa dengan kebutuhan publik. Harus disadari bahwa mungkin pemeriksa telah bekerja keras dalam meningkatkan kualitas pemeriksaanya. Namun kecepatan perubahannya masih belum lebih cepat dari kecepatan tuntutan kepadanya.
3. Perubahan pengetahuan dan pembelajaran dari pengalaman. Hal ini adalah sangat wajar selama manusia sebagai pembelajar masih hidup. Perubahan ini terjadi bagi pemeriksa, pihak yang terperiksa, maupun publik. Sekarang mungkin, para pihak tersebut telah menimba banyak pengetahuan dan pengalaman, sehingga nilai-nilai yang dianut menjadi lebih maju atau dengan kata sederhana, sekarang makin banyak yang jadi pintar. Oleh karenanya, ukuran keberhasilan suatu masa perlu dilihat dari historinya. Kita tidak bisa melihat hasil karya masa lalu dari kaca mata masa kini.
Oleh karenanya tidak ada salahnya kita kembali bercermin atas apa yang telah dilakukan. Jika memang yang telah dilakukan ada salahnya, lemahnya, dan kurangnya tidaklah salah kita menyadarinya. Sadar bukan hanya sekedar tahu tetapi ada upaya merenovasinya untuk mengungkap misteri masa depan dengan bercermin pada histori masa lalu.
Tiga senjata pemeriksa dalam pemeriksaan
Dalam suatu pemeriksaan, pemeriksa memerlukan tiga hal yang harus dipahami, yaitu Standar Pemeriksaan, Sistem Pemeriksaan, dan Kriteria Pemeriksaan. Dari ketiga hal tersebut, pemeriksa masih kritis dari sisi pemahaman atas kriteria pemeriksaan. Ini bukan berarti bahwa kita tidak memiliki masalah Standar dan sistem pemeriksaan. Standar dan sistem pemeriksaan bersifat unik, dan BPK memiliki kemandirian untuk mengaturnya. Namun kriteria pemeriksaan sangat beragam dan pihak terperiksa adalah pihak yang melaksanakannya sehari-hari. Jika demikian, wajarlah pemeriksa memiliki kemampuan yang tidak lebih dari pihak terperiksa untuk kriteria pemeriksaan. Inilah sebabnya di dalam prosedur pemeriksaan harus dilakukan pemahaman atas entitas yang terperiksa. Apapun namanya ini adalah pemeriksaan yang dilakukan lebih dahulu sebelum pemeriksaan utamanya. Saya sebenarnya “malas” membicarakan perdebatan penggunaan istilah interim atau pendahuluan, atau dukungan. Bagi saya, apapun namanya, tujuannya adalah memahami kriteria pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan utamanya.
Standar Pemeriksaan
Banyak yang mengira bahwa setelah kita berhasil melahirkan SPKN dengan peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007, maka masalah standar telah selesai. Lahirnya SPKN dapat dipandang sebagai awal dari semua permasalahan maupun satu solusi jitu. Tergantung kita memandang. Namun bagi saya, lebih bermasalah, jika SPKN tidak juga diterbitkan. Permalasahan timbul dari pemahaman pemeriksa yang belum utuh, atau justru SPKN memang menimbulkan multi interpretasi, atau bahkan kita alergi menggunakan SPKN. Memang ada sebagian dari pemeriksa kita yang mengharapkan untuk kembali mengikuti SPAP agar tidak menjadi polemic perdebatan yang belum berakhir. Namun, saya tetap berpendapat untuk selalu optimis. SPKN harusnya mengatur sendiri selama sector public dan sector privat masih berbeda. Sector public kita (dhi pemerintahan) akan sangat berbeda pula dengan Negara lain. Oleh karenaya jangan takut untuk berbeda.
Sistem Pemeriksaan
Sistem pemeriksaan di BPK diatur dalam (1) Panduan Manajemen Pemeriksaaan (PMP) serta (2) Petunjuk Pelaksnaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). PMP seharusnya telah dapat menyelesaikan semua keraguan atas prosedur manajerial pemeriksaan. Sedangkan prosedur pemeriksaannya sendiri harusnya lengkap dan detail (tidak global) setalah diatur dalam Juklak dan Juknis. Ada dilematis memang dalam penyusunan system pemeriksaan ini. Apakah mau digunakan konsepsi pengaturan yang umum saja, atau justru detail. Bagi saya, pengaturan detail memang lebih baik untuk kondisi saat ini. Dengan kompleksitas yang ada saat ini, system ini tidak dapat lagi dibiarkan berjalan secara manual. Mulai dipikirkan suatu aplikasi yang bisa menjalankan sistem pemeriksaan ini. Oleh karenanya, pengaturan global tidak dapat lagi. Penyusunan aplikasi membutuhkan prosedur detail bukan global. Kita lihat saja, apakah produk yang telah ada saat ini dapat langsung dibuatkan aplikasinya, tanpa harus ada sentuhan detail lagi.
Kriteria Pemeriksaan
SPKN mendefinisikan kriteria pemeriksaan sebagai standar ukuran harapan mengenai apa yang seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum atau pada saat dimulainya pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan merupakan hasil pemahaman pemeriksa atas entitas yang diperiksa. Hal yang perlu dipahami atas entitas yang diperiksa adalah meliputi semua aspek. Aspek tersebut antara lain meliputi (1) Aspek yuridis. Inilah bedanya dengan privat. Aspek yuridis atas keberadaan organisasinya, atas pengelolaannya, dan pertanggungjawabannya. (2) Struktur organisasinya; dan (3) Sistemnya termasuk SPI.
Dengan pemahaman atas kriteria pemeriksaan, BPK seharusnya telah dapat membedakan antara entitas pemeriksaan dan objek pemeriksaan. Dengan pemahaman atas entitas pemeriksaan seharusnya dapat secara jelas mana entitas pelaporan dan entitas akuntansi.
BPK memiliki pengaruh untuk menilai kriteria pemeriksa. UU memberikan kewenangan kepada BPK untuk memberikan pertimbangan atas SAP dan ketentuan SPI. Terlebih besar lagi kewenangan pemeriksaan BPK adalah senjata ampuh memperbaiki tata kelola ini. Jangan malu dan takut menggunakannya.
Alasan Pemeriksa Perlu Memahami Tiga Senjata Pemeriksa
1. Agar dapat memenuhi harapan pengguna dan meningkatkan kepercayaan. Siapa pengguna? Yaitu orang yang beragam, dan belum tentu tahu tentang akuntansi dan pemeriksaan. Artinya (1) hasil pemeriksaan harus dapat disampaikan secara sederhana dengan bahasa umum, (2) saran/rekomendasi harus jelas dan jika bisa detail secara teknis.
Di sisi lain, usaha membangun Kepercayaan tersebut diminta UU dengan berbagai pengaturan.
a. SPKN dibuat dengan peraturan BPK dan dimuat dalam LN sehingga dapat diakses dan dipelajari semua pihak
b. LHP dipublikasikan setelah ke lembaga perwakilan. Dengan demikian pengguna dapat membandingkan antara standar dengan hasil pemeriksaannya
c. Ketentuan kode etik dan pembentukan majelis kode etik
d. Aktivitas pemeriksaan BPK dilakukan peer review secara berkala.
e. Aktivitas pengelolaan keuangan BPK harus diperiksa KAP.
2. Agar pemeriksaan kita harmonis, sinkron dan tidak berbeda-beda. Meski belum ada penelitian khusus tentang hal ini. Saya berpendapat bahwa sangat mungkin terjadi masih ada kasus yang sama diperlakukan berbeda dan atau kondisi pada beberapa entitas ada yang berhasil terungkap dan ada yang tidak terungkap. Kita tidak dapat berlindung terus dibalik konsepsi sampling dan materialitas. Oleh karenanya BPK harus punya prosedur manajerial yang simple dan prosedur pemeriksaan yang jitu sekaligus system pengendalian mutu yang andal. Untuk sementara, memang hal ini dapat diatasi dengan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) atau apapun namanya. Tetapi rakornis tidak dapat menjamin konsistensi penerapan prosedur manajerial dan prosedur pemeriksaan. Oleh karenanya, saya berpendapat perlu dibangun suatu Sistem Aplikasi Pemeriksaan (SiAP) yang andal dan terintegrasi dengan sistem aplikasi terkait.
3. Agar hasil pemeriksaan tepat dan jelas sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Pemahaman ini untuk menghindari bahwa apapun pemeriksaannya, temuan adalah utamanya, pemeriksa hanya cari-cari masalah. Agar hasil ini tepat. BPK tidak lagi punya alasan, UU telah memberikan fasilitas konstitusi antara lain:
a. BPK susun Standar Pemeriksaan sendiri
b. BPK berwenang menentukan secara mandiri pemeriksaannya mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporannya
c. Jika BPK kurang sumber daya pemeriksa, BPK bisa gunakan pemeriksa dari luar BPK. Hal ini dimaksudkan menggunakan secara outsourcing bukan membuat orang luar semua jadi pelaksana BPK.
d. Jika BPK tidak punya ahli, BPK dapat gunakan ahli dari luar BPK.
Membangun Pemahaman atas Tiga Senjata Pemeriksa
Untuk memenuhi semua tujuan dari penggunaan senjata itu, perlu dilakukan:
1. Membangun pemahaman pemeriksaan yang diawali dengan standar pemeriksaan yang dibungkus dalam 3 dimensi; yuridis, empiris, dan teoritis.
2. Membangun sistem yang terintegrasi dan tidak multi interpretasi. Sistem itu mulai dirancang dari rancangan organisasi dan tugas fungsi, mekanisme majaerial dan mekanisme pemeriksaan sampai dengan pembangunan aplikasi. Inilah contohnya keberadaan Camis, dan SiAP. Saya melihat bahwa struktur organisasi dirancang BPK saat ini, telah cukup membagi-bagi fungsi ke dalam pemenuhan pencapaian pemeriksa yang baik. Masalah dilengkapi dengan infrastruktur yang andal dan aplikatif serta mau dilaksanakan atau tidak, hal itu masalah lain. Lihatlah:
a. Fungsi Biro SDM menyediakan pemeriksa yang memiliki kualifikasi ok. Namun sampai saat ini setiap kali surat tugas pemeriksaan mau diterbitkan biro SDM seolah hanya menjalankan fungsi rekruitmen, penempatan dan mutasi promosi. Tapi tidak dapat menyediakan informasi kualifikasi pemeriksa yang termukthair. Atau memang tusinya demikian saya belum mempelajarinya.
b. Setelah pemeriksa tersedia, litbang menyediakan senjata dan amunisi untuk melaksanakan pemeriksaan. Masalah senjata dan amunisinya tidak tepat dan tidak muktahir itu lain persoalan.
c. Setelah ada pemeriksa dan senjata/amunisinya, pemeriksa ini perlu diberikan pembelajaran bagaimana menggunakan senjata dan amunisi yang ada. Disinilah peran Diklat. Oleh karenanya diklat harus focus mendidik pemeriksa dengan amunisi yang tepat. Jangan yang didiklat lain dengan yang dikonsepkan untuk dilaksnakan saat pemeriksaan.
d. Setelah pemeriksa dididik menggunakan amunisi dan senjata, dia akan praktik pemeriksaan di lapangan dibawah kendali AKN. Jika AKN tidak menegndalikan (salah satunya supervise) itu adalah penjalanan tusi yang tidak optimal.
e. Setelah pemeriksaan diakhiri dapat dilakukan
1) review tentang apa yang telah dilakukan sesuai dengan konsep senjatanya atau tidak. Inilah peran irtama.
2) Evaluasi tentang apakah tujuan dan SS BPK telah tercapai. Apakah senjatanya telah tepat atau tidak. Termasuk menyimpulkan kondisi entitas yang diperiksa untuk mengambil simpulan total atas hasil pemeriksaan BPK. Evaluasi bukan lagi untuk menilai kualitas hasil pemeriksaan seperti yang dilakukan irtama.
f. Berdasarkan hasil review dan evaluasi, semua pihak sebelumnya instropeksi, apakah pemeriksa masih kompeten, dan ditempatkan secara tepat, senjatanya sudah tepat untuk kondisi yang ada, dan apakah semua dilaksanakan dengan baik
g. Tanpa menguragi unsur unit lain yang mendukung, pembahasan unit kerja di sini hanyalah yang terkait dengan tulisan ini.
3. Meningkatkan pemahaman pemeriksa atas pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan. Hal ini akan mendorong penyusunan hasil pemeriksaan yang tepat; dan memberikan rekomendasi yang tepat. Peran pengawasan oleh irtama, peran pengendalian oleh AKN, peran evaluasi oleh EPP.
4. Mendorong entitas dan lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan secara tepat. BPK hanyalah menjalankan peran sebagai pemantau tindak lanjut. Sebagai pemantau, BPK lebih banyak pasif. Namun sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap tata kelola Negara ini, BPK dapat secara proaktif mendorong pihak pemerintah dan lembaga perwakilan menindaklanjti hasil pemeriksaan BPK. Caranya, saya rasa sederhana:
a. Buatlah hasil pemeriksaan yang jelas dengan rekomendasi yang jelas juga.
Rekomendasi ini seharusnya dipandang tidak hanya sebagai penghilang sebab (artinya harus teridentifikasi sebab) tetapi juga harus dipandang sebagai pengurang dampak dari akibat (artinya harus teridentifikasi akibat) dan peningkatan kualitas pengelolaan dan tanggung jawab. BPK seharusnya cukup yakin bahwa hasil pemeriksaannya dapat mengubah pengelolaan yang amburadul ke pengelolaan yang baik. Jangan karena ketentuan pengelolaan keuangan telah ada, maka BPK ikut saja tanpa mengoreksinya. Media koreksinya jelas dari pemeriksaan BPK. Saya berpendapat kita jangan membangun media baru selama media yang ada dapat digunakan secara baik. BPK harusnya dapat menunjukkan kelemahan pengelolaan yang ada (termasuk akibat menjalankan ketentuan perundang-undangan) sehingga dapat merekomendasikan untuk revisinya.
b. Efektifkanlah media konsultasi dan pemberian pendapat kepada pihak terperiksa.
Konsultasi antara BPK dengan lembaga perwakilan telah dilengkapi dengan Mou antara BPK dan lembaga perwakilan. Namun pemberian pendapat dengan pihak yang terperiksa masih dilindunsgi dengan pasal 11 UU BPK. Mengefektifkan ini adalah bagaimana BPK memberikan informasi jitu kepada lembaga perwakilan maupun pihak terperiksa bagaimana seharusnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Memberikan pendapat atas suatu hal dalam berbagai media termasuk media konsultasi ini adalah diperbolehkan oleh UU. Bahkan UU meminta BPK memberikan pertimbangan atas Standar akuntansi dan ketentuan tentang pengendalian internal. Saya berpendapat, menjadi picik BPK, jika masih berpikir bahwa memberi pendapat atas pengelolaan keuangan akan mengganggu independensi BPK. Janganlah karena kita tak mampu, lantas kita berlindung di balik kata independen. Saya kira, satu langkah bagus yang dilakukan BPK saat ini dengan mendengungkan penyusunan rencana Aksi.
Rencana Aksi Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK
Rencana aksi haruslah dipandang sebagai langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Jadi janganlah diartikan rencana aksi sebagai pendetailan atas rekomendasi BPK. Jika mau jujur, saya berpendapat, pendetailan rekomendasi dengan rencana aksi sama saja menunjukkan bahwa BPK tidak mampu menyusun rekomendasi secara tepat. Oleh karenanya, saya berpendapat bahwa rencana aksi tersebut adalah langkah yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan.
Mengacu pada berbagai fakta yang mungkin terjadi, terdapat tiga bentuk alternative untuk merealisasikan rencana aksi ini, yaitu:
1. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Dan rencana aksi tersebut menjadi komitmen pemerintah yang dituangkan dalam komitmen pemerintah itu sendiri.
2. Menyusun rencana aksi pihak terperiksa yang dilakukan bersama antara pihak terperiksa dengan BPK. Rencana aksi ini dituangkan dalam bentuk komitmen pihak terperiksa kepada BPK sehingga seolah-olah dibentuk suatu perjanjian.
3. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Rencana aksi tersebut dibahas bersama antara pihak terperiksa dengan lembaga perwakilan. Selanjutnya kesepakatan antara rencana aksi pihak terperiksa dengan lembaga pewakilan tersebut diformalkan dalam UU dan Perda tentang pertenggungjaeaban pelaksanaan Anggaran. Dengan kata lain, saya berpendapat seharusnya di dalam UU tentang pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan Perda tentang Pertanggungjawaban pelaksnaan APBD harus memuat klausul pasal sebagai berikut;
a. Ketentuan bahwa LKPP dan LKPD telah diperiksa BPK
b. Ketentuan yang menyebutkan jenis opini yang diberikan BPK
c. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mempertahankan dan atau memperbaiki opini atas LK. Inilah yang sebenarnya penuangan dari rencana aksi tersebut.
Dari ketiga bentuk pendekatan yang meminta adanya rencana aksi, bagi saya format yang ketigalah yang lebih tepat. Di samping pentingnya formalitas dari bentuk rencana aksi, perlu ditekankan bahwa perubahan tersebut selalu berasal dari tiga aspek atau saya lebih suka dengan menyebutnya sebagai tiga prasyarat perbaikan pengelolaan keuangan yaitu (1) SDM yang Kompeten; (2) Organisasi yang mapan; dan (3) Infrastruktur yang andal. Akhirnya, apapun rencana yang telah disusun, hanyalah fakta bahwa rencana itu dilaksanakan yang akan menentukan keberhasilan. Oleh karenanya, saya berharap MULAILAH!!!.
Selasa, 17 Februari 2009
Merenovasi Senjata Pemeriksaan dari Bayangan di Balik Cermin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
makasi infonya, jadi penetapan kriteria sangat penting mengingat sektor yang dia audit juga sangat bermacam-macam. kurang lebbih seperti itu ya
reply
standar, sistem, dan kriteria sudah pasti harus dikuasai oleh auditor.. bagaimana pun caranya. sehingga dimungkinkan auditor memiliki pemahaman lebih baik dari auditee karena pengalaman berhadapan dengan berbagai kasus audit.
rekomendasi jelas harus solutif. solutif tercermin dari penjabaran sebab dan akibat. jika tidak terjabarkan maka patut dipertanyakan statusnya: temuan atau sekedar ngisi laporan audit.
semua itu sebenarnya sudah dilakukan BPK hanya saja INDIKATOR KEBERHASILAN yang belum terumuskan dengan baik. Jika indikator keberhasilan dapat dirumuskan sesuai fungsinya, maka tidak perlu lagi menyandarkan perubahan pada fungsi organisatoris. fungsi organisatoris hanya sekedar merekapitulasi label prestasi auditor, namun jenis label yang harus dilekatkan pada auditor adalah hal yang perlu direnungkan.
salah satu contoh label atau indikator keberhasilan yg telah dipraktikkan di BPK adalah peran fungsional (Auditor Ahli, KTY, KTS, dll), grade remunerasi, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah: apakah label tersebut dapat mengidentifikasikan pemegang label sesuai label yang disandangnya? apakah pemegang label tingkat tertentu sudah pasti memahami tiga senjata pemeriksaan yang disebut dalam artikel?
jika belum maka secara umum BPK perlu sebuah identifikator yang memungkinkan penempatan keahlian riil, sekali lagi keahlian riil seorang auditor sebagai senjata yang tepat pada penugasan yang tepat.
Posting Komentar