Selasa, 23 Desember 2008

SEDIKIT ORANG BAIK DI REPUBLIK YANG LUAS

Tempo memilih sepuluh bupati dan wali kota sebagai Tokoh 2008. Banyak inovasi dan terobosan. Banyak calon pemimpin yang menjanjikan.
Sumber: Majalah Tempo Interaktif


SEBUAH gagasan yang agak mustahil: mencari 10 bupati atau wali kota sebagai Tokoh Tempo 2008. Bukan karena majalah ini meragukan kecakapan pemimpin daerah. Soalnya, tak mudah memilih yang sedikit itu dari 472 kabupaten dan kota di seantero Tanah Air. Kesulitan datang ketika menetapkan kriteria. Kalau hanya melihat pendapatan asli daerah, sebagai misal, bukankah ini hanya menguntungkan kabupaten yang dari "sono"-nya memang kaya--daerah yang mungkin diciptakan ketika Tuhan tersenyum, seloroh awak redaksi kami. Bupati berprestasi di daerah miskin pasti tak akan terpilih. Kalau memakai ukuran indeks pembangunan manusia saja, hasilnya akan bias karena ada bupati yang baru memimpin tiga tahun dan ada yang sudah hampir sepuluh tahun. Alhasil, tak mudah mencari sedikit "orang baik" itu.

Ketika riset awal selesai, kegamangan kami makin menjadi-jadi. Departemen Dalam Negeri mencatat, pada 2004-2006, keluar 67 izin pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya. Sampai Maret 2007 sudah 61 kepala daerah menjadi terpidana. Seorang bupati masuk hotel prodeo. Berbagai anggapan miring tentang otonomi daerah seakan menemui pembenaran: desentralisasi korupsi, kontes yang memunculkan raja-raja kecil. Begitu burukkah?

Seperti juga tahun lalu, ketika kami memilih Tokoh 2007 dari kalangan pejabat birokrasi yang pada umumnya diberi stempel buruk oleh publik, kami yakin masih ada orang yang bekerja bersih dan jujur. Kami sangat yakin bisa menemukan pemimpin daerah yang layak menyandang Tokoh Tempo tahun ini.

Kehadiran dewan juri membantu menebalkan keyakinan itu. Tapi tetap tak gampang menemukan kelebihan tokoh satu dibandingkan yang lain. Ada yang prestasinya menjulang tapi terbelit korupsi, kami pun mencoretnya.

Salah satu juri, Andi Mallarangeng, punya definisi: bupati yang baik harus mampu menggunakan kewenangan untuk menciptakan perbaikan pelayanan publik, pemberdayaan warga, meningkatkan kapasitas daerah. Doktor ilmu politik dari Northern Illinois University, Amerika Serikat, itu banyak terlibat dalam persiapan undang-undang otonomi daerah pada 1999. Anak Makassar 45 tahun yang kini juru bicara Presiden itu mengenal hampir semua bupati atau wali kota yang kami jaring dalam seleksi awal.

Andi malam itu "dipimpin" oleh Agung Pambudi, Sekretaris Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang terpilih secara aklamasi sebagai ketua dewan juri. Doktor Sondi Anwar, staf ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, juga datang sebagai juri. Prof Robert Simanjuntak dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Utama Kajo dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia merupakan anggota juri yang lain.
Juri setuju dengan tiga kriteria kami: pelayanan publik, transparansi, dan keramahan pada dunia usaha. Kami memang mementingkan proses, lebih dari hasil. Setelah kriteria didapat, pembahasan selanjutnya mengalir lancar dan menarik. Para juri benar-benar "memukau" dengan pengetahuan "basah" mereka tentang tokoh bupati atau wali kota yang umumnya sudah mereka kenal bertahun-tahun.

Menjelang tengah malam, sebulan lalu di kantor kami, setelah berdiskusi hangat lebih dari empat jam—diselingi gelak tawa, kacang rebus, dan keripik—dewan juri berhasil memilih 10 tokoh itu. Nilai yang didapat tokoh itu juga sangat rapat sehingga kami memutuskan kesepuluh tokoh ini mendapat halaman yang sama dalam edisi khusus kali ini. Namun dewan juri memberikan penghargaan khusus dan nilai lebih pada Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur. Itu sebabnya kami menempatkannya di halaman pertama edisi khusus kali ini. Jusuf dan sembilan bupati atau wali kota merupakan Tokoh Tempo 2008. Bagi kami, mereka merupakan a few good men....

Kami punya alasan memilih bupati atau wali kota sebagai tokoh tahun ini. Otonomi daerah segera memasuki tahun kesepuluh. Inilah keputusan politik besar yang benar.
Ada begitu banyak pelajaran dari sepuluh tokoh ini. Yang terpenting, Jakarta perlu percaya bahwa daerah bisa mengurus diri sendiri. Banyak tokoh lokal yang ternyata mampu melahirkan terobosan dan inovasi—yang tak muncul pada masa kepala daerah "diterjunkan" dari atas. Mereka menolak fenomena klasik birokrasi: korupsi, inefisiensi, bekerja tanpa visi. Sepuluh orang ini menempatkan teladan dan kejujuran di urutan pertama. Mereka percaya, komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan, bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja mencapainya.

Seperti kata Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, negara kesatuan ini memang harus dibangun dari daerah. Dokter ini pun menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi "Singapura kecil" dalam waktu sepuluh tahun. Sebelum era otonomi, Jusuf mengaku tak ubahnya seorang satpam yang hanya melaksanakan perintah atasan.

Seorang Untung Sarono Wiyono Sukarno dengan kegairahan luar biasa pada teknologi informasi menghubungkan semua desa di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dengan jaringan Internet. Di tangan pengusaha minyak dan gas itu efisiensi pemerintahan meningkat pesat.
Wali Kota Solo Joko Widodo—yang di daerahnya disapa Jokowi—mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mengundang makan para pelaku sektor informal itu. Ia tak memilih jalan pintas: mengerahkan aparat atau membakar lokasi. "Setelah makan, ya, saya suruh pulang lagi," kata Jokowi. Setelah undangan makan yang ke-54, baru ia yakin pedagang siap dipindahkan. Acara pemindahan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Para pedagang gembira ria, mereka menyediakan tumpeng sendiri.

Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mendapat julukan "Wagiman" alias wali kota gila taman. Tapi ia tak peduli. Ia terus berjalan, membeli lahan-lahan kosong hanya untuk taman. Yogya terasa segar, karena taman bertambah dari 9 menjadi 22 hektare.

Bertahun-tahun Lapangan Karebosi di Makassar menjadi milik para waria pada malam hari. Kemudian datanglah wali kota baru, Ilham Arif Sirajuddin, 43 tahun, yang dengan berani mengubah lapangan itu. Ia yakin, warga Makassar perlu lebih banyak ruang terbuka. Ia dilawan, didemo, tapi ia tahu bahwa kepentingan publik nomor satu. Lapangan kumuh dan kerap direndam banjir itu akhirnya menjelma menjadi tempat yang megah tanpa kehilangan label sebagai tempat rendezvous penduduk.

Di Blitar, Jawa Timur, Djarot Saiful Hidayat memulai pekerjaan dengan mereformasi birokrasi yang tambun dan lamban. Dengan begitu, "Anggaran belanja daerah pasti cukup, asal jangan dikorupsi," kata penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional ini. Ia tak mengganti mobil dinasnya, Toyota Crown tahun 1994, sejak hari pertama menjabat. "Modal saya hati. Saya ingin warga Blitar maju dan sejahtera," ujar Djarot, yang sudah dua periode menjabat.

David Bobihoe meruntuhkan pagar rumah dinasnya di Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo. Pos jaga ia ratakan dengan tanah. Tamu dari mana saja bebas duduk-duduk di teras rumah, tanpa terhadang aturan protokol ketat. Dia rajin berkeliling daerah, mendengar kemauan orang banyak. Ia sukses mengajak rakyat membangun, menanam jagung, dan mengekspor hasilnya.

Bupati Badung, Bali, Anak Agung Gde Agung, punya masalah berat: ekonomi penduduk timpang. Di daerah selatan, Kuta dan sekitarnya, masyarakat makmur karena pariwisata. Tapi petani di utara miskin. Sekolah pertanian ia bangun. Agrobisnis dikembangkan. Ia berhasil. Badung sekarang sanggup menyumbangkan sebagian pendapatan untuk enam kabupaten lain di Bali.

Nun jauh di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Bupati Andi Hatta Marakarma menghadapi daerah pemekaran dengan potensi bagus tapi miskin prasarana. Ia membangun desa, termasuk jalan, dan membiarkan kantornya sangat sederhana. Resepnya jitu. Ekonomi rakyat berkembang. "Dulu ongkos angkut satu karung gabah Rp 9.000, sekarang hanya Rp 2.000," kata salah seorang ketua kelompok tani di Luwu.

Bupati Jombang Suyanto mengundang dokter-dokter spesialis berpraktek di puskesmas. Protes datang dari instansi kesehatan karena ia dinilai melecehkan dokter spesialis. Ia jalan terus dan sekarang puskesmas menyandang tingkatan ISO. Ia juga menggratiskan sekolah sampai sekolah lanjutan atas. "Pemimpin itu tak perlu cerdas sekali. Yang penting lurus hati, mulai berpikir sampai berbuat," ujar bupati yang mengaku hanya menghabiskan Rp 40 juta untuk pemilihan kepala daerah itu.

Di antara miskinnya stok pemimpin di tingkat nasional, otonomi daerah terbukti sudah memunculkan talenta-talenta baik, muda, kreatif, dan tahu benar cara memikat hati rakyat. Mereka tidak hanya berasal dari birokrasi, tapi juga datang dari kalangan pengusaha atau pendidik. Mereka lahirkan kejutan yang asyik. Satu yang membanggakan: mereka tidak terkena virus korupsi.

Kami yakin, masih banyak lagi tokoh berprestasi yang luput dari radar kami. Tapi 10 Tokoh Tempo 2008 ini agaknya mewakili satu kenyataan: masih banyak orang yang bekerja dengan hati, untuk Indonesia yang lebih baik.


Tidak ada komentar: