Minggu, 21 Desember 2008

GENDIT JADI DOKTER PUSDIKLAT

Oleh Cris Kuntadi, MM, CPA

Rabu 8 Oktober 2008 adalah saat pertama Gendit mengikuti Diklat Teknik Audit Berbantuan Komputer (TABK) berbasis Ms Access di Pusdiklat Kalibata. ‘duo bomber’ Biro TI, Wandi & Iwan AW, cukup enerjik & helpful membimbing peserta diklat dari AKN II, khususnya Sub Auditorat II.B.2. Gendit memang sering mengajar TABK untuk junior auditor, tetapi tanpa ragu menjadi peserta nomor urut pertama karena Rasulullah Muhammad SAW menyatakan “dan tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.”
Sesi pertama (08.00 – 10.00) selesai dan disusul dengan rehat I untuk menyantap kudapan kue lapis dan resoles. Karena tidak mendapat tempat duduk, Gendit celingak-celinguk mencari posisi tepat untuk menikmati kue dan kopi. Ya, Rasulullah mencontohkan bagi pengikutnya untuk senantiasa makan sambil duduk, sehingga Gendit harus mengikuti sunnah tersebut. Ketika dilihatnya ada sofa di poliklinik, segeralah Gendit duduk santai sambil menikmati kopi.
Tidak berapa lama, masuklah dua peserta Diklat Auditor Ahli dengan baju putih dan rok hitam. Sebut saja, Ratna dan Dewi. Tanpa pikir panjang, kedua siswi tersebut menghampiri Gendit. “Maaf pak, teman saya mau berobat karena pusing dan mual-mual.” Kata Ratna menjelaskan maksud kedatangannya.
Rupanya, Ratna dan Dewi mengira kalau Gendit adalah dokter praktek di Pusdiklat karena terlihat duduk di Poliklinik menunggu pasien datang. “Wah maaf dek, saya bukan dokter. Memang cita-cita saya sejak kecil kepingin menjadi dokter. Suatu cita-cita mulia karena suka menyembuhkan orang sakit. Tetapi karena tersesat di Jurangmangu (kampus STAN) maka sekarang saya cita-citanya beralih menjadi Doktor, bukan dokter.” Gendit menjawab sekenanya.
“Emang, dokternya pada kemana?” Tanya Ratna dan Dewi hampir bersamaan.
“Wah gak tahu tuh. Infonya sih mereka sedang ngembek eh ngambek karena tunjangannya dipotong akibat tidak absen sidik jari. Padahal, dokter-dokter tersebut sedang berpraktek di Pusdiklat, maka mereka tidak absen sidik jari di Kantor Pusat. Jadinya, mereka dianggap membolos.” Gendit menjelaskan berdasarkan info dari sumber Pusdiklat yang, mungkin, tidak dapat dipercaya.


“Kok begitu sih. Masa, kepentingan kami dikalahkan oleh potongan? Mestinya, tugas mulia ini jangan diabaikan demi sekedar potongan. Mereka bisa mengurus potongan dengan tetap melaksanakan kewajibannya sebagai dokter yang mulia. Kalau kerena saya sakitnya parah dan tidak tertolong, siapa yang bertanggung jawab, coba!” Dewi marah-marah ke Gendit karena sakitnya menjadi bertambah akibat luapan emosi.
“Ya, kita jangan menyalahkan ke dokter doang dong. Biro SDM juga perlu dikritisi karena menerapkan sistem yang kurang ocre. Bisa dibayangkan, dokter yang unit kerjanya juga di Biro SDM saja, bisa kena kesalahan tersebut, apalagi yang di unit lain. Sistem absensi juga di sana. Kok ya bisa sampai kecolongan memotong tunjangan stafnya yang tidak salah.” Gendit berusaha proporsional.
“Ya, tapi kalau seperti ini terus-terusan, kapan kesehatan pegawai terjamin? Sampai kapan para dokter yang mulia akan kembali berpraktek? Menunggu Biro SDM memperbaiki sistem atau menunggu para dokter menerima pengembalian tunjangan yang dipotong? Dewi dan Ratna terus menyerocos.
“Jangan kuatir, hari Jum’at 10 Oktober pasti udah ada dokter yang akan praktek. Soalnya, dokter Heny udah bilang akan praktek di Pusdiklat sesuai jadualnya.” Gendit menjelaskan dan meyakinkan.
“Lho kok Gendit tahu kalau dokter Heny akan praktek besok lusa?” Selidik Ratna dan Dewi dengan nada curiga.
“Ya tahu lah, masa ya tahu dong. Soalnya, sekarang kan sudah lewat dari 10 Oktober dan dokter Heny memang sudah kelihatan praktek di Pusdiklat.” Gendit menyingkirkan syak wasangka dua CPNS tersebut.




Tidak ada komentar: