Rabu, 08 Oktober 2008

Menyoal Kewenangan DPD-RI atas APBD

Penulis, mewakili masyarakat “angkat topi” dengan inisiatif salah satu Anggota DPD-RI asal Sumatera Selatan (Ruslan Wijaya) untuk mempublikasikan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sumatera Selatan tahun 2004 yang dapat merangsang proses pencerdasan masyarakat atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Akan tetapi, publikasi tersebut hendaknya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai proses pencerdasan tersebut berubah menjadi proses pembodohan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk semakin apatis dan anarkis melihat nilai penyimpangan yang sangat spektakuler dan ternyata kurang tepat dalam arti nilai kerugian tersebut tidak sebesar yang diungkapkan.

Harian Umum Sumatera Ekspres (Sumeks) tanggal 13 Januari 2006 menyajikan berita “Diduga Rugikan Negara Rp678 M” terkait dengan Hasil Audit BPK-RI atas APBD Sumsel 2004. Berita tersebut diungkapkan oleh salah seorang Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) asal Sumatera Selatan, Ruslan Wijaya. Atas pemberitaan tersebut, kami selaku warga masyarakat memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas upaya pencerdasan kepada masyarakat dengan mempublikasikan hasil audit BPK. Hal tersebut mengingat UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan bahwa Hasil Pemeriksaan BPK yang telah disampaikan kepada Lembaga Perwakilan (DPR/DPD/DPRD) dinyatakan terbuka untuk umum.
Pada media yang sama tanggal 16 Januari 2006, saya selaku Pengamat Kebijakan Publik dan Ketua Harian IAI Sumsel bermaksud menempatkan permasalahan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Nilai kerugian sebesar Rp678,3 Milyar terkesan sangat fantastis jika dibandingkan dari APBD 2004 yang kurang dari satu Triliun rupiah. Setelah melihat poin-poin temuan BPK ternyata apa yang diungkapkan dalam judul memang kurang tepat karena ternyata nilai kerugian Negara tidak sebesar yang disebutkan.
Terlepas dari kesalahan pengungkapan tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas kewenangan DPD-RI mempublikasikan dan/atau melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. Banyak pihak menyangsikan kewenangan DPD atas APBD karena dari nomenklaturnya, perwakilan daerah, berarti anggota DPD asal Sumsel seharusnya membantu daerah dalam memperoleh dana perimbangan yang lebih besar dari APBN. Sepertinya tidak ada kaitan antara DPD dengan perumusan APBD dan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD.
Berikut tinjauan peraturan perundang-undangan tentang kewenangan DPD dalam kaitannya dengan APBD dan pelaksanaan kewenangan Pemerintah daerah dengan harapan dapat menempatkan DPD sesuai dengan maksud pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

KEWENANGAN DPD DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 22D UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa DPD dapat mengajukan dan membahas Rancangan Undang Undang (RUU) serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU terkait dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa wewenang DPD lebih ditekankan pada APBN dan pelaksanaan APBN dan isyu-isyu daerah yang mempunyai keterkaitan dengan Pemerintah Pusat. Tidak ada dasar kuat yang menetapkan adanya kewenangan DPD untuk mengusulkan dan membahas Raperda APBD, maupun melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. RUU tentang pajak, pendidikan, dan agama juga merupakan kewengangan Pemerintah Pusat yang tidak dilimpahkan kepada Pemerintah daerah, sehingga menegaskan porsi kewenangan DPD atas APBN dan kegiatan Pemerintah Pusat.
Dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dijelaskan bahwa DPD mempunyai fungsi mengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu dan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu (pasal 41). Bidang legislasi tertentu tersebut dijabarkan dalam beberapa pasal berikutnya yang intinya tidak berbeda dengan yang disebutkan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 47 UU yang sama disebutkan bahwa DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.
Dari UU 22 tersebut, jelas bahwa DPD mempunyai kewenangan dalam bidang APBN dan urusan Pemerintah Pusat dan tidak ada (sedikit sekali) kaitannya dengan APBD dan urusan Pemerintah daerah. Penerimaan hasil audit BPK oleh DPD secara tegas dimaksudkan untuk dapat memberikan pertimbangan tentang RUU yang berkaitan dengan APBN dan bukan APBD. Ini berarti bahwa DPD dapat mempublikasikan hasil audit BPK yang berkenaan dengan APBN dan tidak mempunyai kewenangan mempublikasikan hasil audit BPK yang berkenaan dengan APBD.
Kewenangan DPD terkait dengan hasil audit BPK lebih tegas diatur dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa Laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD. Ayat (2) menyatakan bahwa LHP atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) disampaikan oleh BPK kepada DPRD. Dua ayat dalam pasal 17 tersebut jelas membedakan kewenangan dalam menerima LHP BPK. LHP BPK atas LKPP disampaikan kepada DPR dan DPD, sedangkan LHP BPK atas LKPD disampaikan kepada DPRD. Ini berarti bahwa yang berhak menerima LHP BPK atas LKPD dan menindaklanjuti temuan BPK yang diungkapkan dalam LHP adalah DPRD dan bukan DPD.
Memang dalam Pasal 18 menyatakan bahwa Ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPD/DPRD). Hal ini IHPS yang merupakan ringkasan hasil pemeriksaan BPK selama satu semester atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMN disampaikan kepada seluruh lembaga perwakilan (termasuk DPD). Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan UU 22 tahun 2003 maka maksud disampaikannya IHPS tersebut agar DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR terkait dengan RUU APBN.

SIMPULAN & SARAN
Penulis, mewakili masyarakat “angkat topi” dengan inisiatif salah satu Anggota DPD-RI asal Sumatera Selatan (Ruslan Wijaya) untuk mempublikasikan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sumatera Selatan tahun 2004 yang dapat merangsang proses pencerdasan masyarakat atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Akan tetapi, publikasi tersebut hendaknya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai proses pencerdasan tersebut berubah menjadi proses pembodohan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk semakin apatis dan anarkis melihat nilai penyimpangan yang sangat spektakuler dan ternyata kurang tepat dalam arti nilai kerugian tersebut tidak sebesar yang diungkapkan.
LHP BPK setelah disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPD/DPRD) dinyatakan terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa LHP BPK dapat diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat. Akan tetapi menilik dari peraturan perundangan yang lebih menekankan kewenangan DPD pada pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN dan kegiatan Pemerintah Pusat, maka DPD seharusnya mendorong DPRD yang mempunyai kewenangan pengawasan pelaksanaan APBD untuk memaksimalkan perannya. Hak untuk tahu (right to know) masyarakat harus dipenuhi dengan meningkatnya peran DPRD (bukan DPD) menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK dan mempublikasikan Hasil Pemeriksaan BPK tersebut kepada masyarakat.


Tidak ada komentar: