Rabu, 26 November 2008

PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF OLEH BPK SEBAGAI ALAT PENDETEKSIAN KECURANGAN (FRAUD)

Cris Kuntadi, SE, MM, CPA, Ak.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya, Malang

Gerakan reformasi menginginkan terlaksananya demokratisasi, good governance dan desentralisasi. Sentralisasi kekuasaan dan kesenjangan sosial yang lebar dalam struktur masyarakat turut menyuburkan hubungan patron-klien yang memberikan kontribusi besar bagi tumbuh kembangnya budaya korupsi di masyarakat. Hubungan patron-klien ini memberikan keleluasaan kepada segelintir orang (elit politik dan kroni bisnisnya) untuk mengakses dan mengekploitasi sumber daya alam dan keuangan negara untuk kepentingan kelompoknya.
Upaya pemberantasan korupsi, tingkat keberhasilannya di samping ditentukan oleh berapa besarnya keterlibatan masyarakat, juga sangat ditentukan oleh peran dari institusi negara yang terkait seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian, Aparat Pemeriksaan Intern Pemerintah (BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen) dan Badan Pemeriksa Keuangan. Selain secara institusional didukung, juga harus ada kesadaran yang tinggi dari berbagai pihak terutama pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan keuangan milik negara melalui kesadaran untuk bersikap aktif dalam melakukan pencegahan, pendeteksian dan tindak lanjut atas penyimpangan-penyimpangan yang berakibat pada kerugian negara. Internal Auditor adalah unit yang sangat penting dalam sistem pengendalian manajemen sebuah perusahaan karena merupakan benteng terujung dalam pencegahan dan pengungkapan serta tindak lanjut dari penyimpangan.

Praktek korupsi di berbagai entitas Pemerintah (Pusat dan Daerah serta BUMN/BUMD) yang merajalela sekarang ini, tidak bisa tidak upaya pemberantasannya harus melibatkan segala komponen yang ada. Bila hal ini hanya diserahkan kepada aparat (Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan korupsi, maka hasilnya akan mengecewakan masyarakat. Mengapa ini terjadi? Karena kedua lembaga ini hanya mengandalkan informasi yang sangat terbatas dan bersifat lebih banyak menunggu dari pada secara proaktif melakukan upaya pengungkapan Korupsi, sementara itu bentuk korupsi yang berakibat kerugian negara yang sangat besar, dalam era otonomi daerah, banyak terjadi pada Pemerintah Daerah.


Kondisi ini menjadi suatu tantangan bagi Auditor untuk dapat berperan lebih nyata dan signifikan dalam mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti temuan-temuan berupa penyimpangan-penyimpangan yang merugikan negara/daerah. Keinginan untuk dapat berperan optimal perlu dibekali dengan kemampuan melakukan audit investigatif dalam upaya untuk menindaklanjuti penyimpangan yang terjadi harus diikuti dengan upaya meningkatkan kemampuan. Pemahaman yang baik diikuti dengan “awareness” dari setiap auditor akan dapat menjadi sebuah kombinasi handal dalam implementasi.

Namun, untuk melakukan investigasi bukan semudah membalikkan tangan. Keinginan level pengambil kebijakan harus diikuti kesiapan auditornya dalam melakukan Audit Investigatif untuk membongkar kasus korupsi. Tanggung jawab auditor dalam melakukan audit jika menemukan indikasi tindak pidana korupsi (TPK), adalah segera melakukan upaya awal yang bersifat antisipatif yaitu men”secure” kondisi yang ada sehingga dapat ditindaklanjuti dengan audit investigatif. Temuan yang berindikasi TPK tersebut harus dievaluasi dan diuji terlebih dahulu sebelum ditindaklanjuti dengan audit investigatif.

Bagi auditor yang selanjutnya ditugaskan untuk melakukan audit investigatif atas kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi harus memiliki pemahaman yang baik mengenai metode audit investigatif. Selain mengetahui metode audit investigatif, juga integritas moral yang tinggi merupakan hal lain yang harus dipunyai dan terus menerus dijaga serta ditingkatkan.

1. TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KERUGIAN NEGARA

Berdasarkan Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
1) pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
2) pasal 3:
“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
a. Setiap Orang
b. Secara Melawan Hukum
c. Melakukan Perbuatan
d. Memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi
e. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-undang No 31 tahun 1999, yang dimaksud dengan setiap orang adalah:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
b. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat .
Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.
Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.
Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara. Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat maupun tingkat daerah.
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian negara.

Disamping itu juga perlu ditegaskan tindakan melawan hukum seperti yang diatur dalam KUHP jika dilakukan oleh setiap orang dan berakibat kepada kerugian bagi keuangan negara sebagaimana di uraikan di atas, maka termasuk tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana dalam KUHP yaitu pada pasal 209; Pasal 210; Pasal 387; Pasal 388; Pasal 415; Pasal 416; Pasal 417; Pasal 419; Pasal 420; Pasal 423; Pasal 425; dan Pasal 435.
Kerugian Negara yang dihitung oleh auditor Investigatif adalah kerugian yang didasarkan kepada perhitungan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi. Hal ini karena berkaitan kompetensi yang dimilki oleh BPK dalam melakukan audit yang didasari kepada prinsip-prinsip Akuntansi. Berdasarkan berbagai putusan hakim terhadap ada atau tidaknya suatu kerugian negara dapat secara sederhana dirumuskan pengertian kerugian negara, yaitu:
a. Berkurangnya asset dari suatu entitas Pemerintahan.
b. Bertambahnya pengeluaran Keuangan Negara atas prestasi yang tidak diperoleh suatu entitas Pemerintah.

2. PRINSIP AUDIT INVESTIGATIF DAN SYARAT SERTA KOMPETENSI AUDITOR INVESTIGATIF

Setiap audit investigatif hendaklah mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Auditor memfokuskan pada perkecualian, kejanggalan, ketidakberesan akutansi, dan pola tindakan bukan hanya pada kesalahan biasa dan kelalaian.
b. Dari prespektif audit, indikasi korupsi adalah salah penyajian fakta keuangan dari keadaan sebenarnya secara disengaja.
c. Jenis indikasi korupsi akuntasi lebih sering disebabkan ketiadaan pengendalian dari pada pengendalian yang lemah.
d. Indikasi korupsi akuntansi diketahui lebih sering karena kebetulan bukan tujuan atau hasil rancangan suatu audit finansial tertentu.
e. Pencegahan indikasi korupsi adalah masalah pengendalian yang memadai dan suatu lingkungan kerja yang menetapkan penghargaan yang tinggi atas kejujuran pribadai dan perlakuan yang adil.

Agar menjadi auditor investigatif yang efektif, maka ia harus mampu melakukan hal-hal berikut ini secara kompeten:
a. Melaksanakan telaahan atas pengendalian intern dan menentukan kekuatan dan kelemahan pengendalian intern;
b. Merancang skenario kerugian dari indikasi korupsi yang terjadi berdasarkan kelemahan pengendalian intern yang telah teridentifikasi;
c. Mengidentifikasi situasi/transaksi yang mencurigakan dan tidak biasa dalam pembukuan/laporan;
d. Membedakan antara kesalahan manusia (human error) biasa dan kelalaian dengan indikasi korupsi;
e. Meruntut arus dokumen dan arus uang yang mendukung transaksi-transaksi ;
f. Mencari dan menelaah dokumen yang mendukung yang mendasari transaksi yang mencurigakan;
g. Mendokumentasikan dan melaporkan suatu kegiatan indikasi korupsi untuk tuntutan kriminal, perdata atau asuransi;

3. AUDIT YANG DILAKUKAN OLEH BPK-RI

Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E UUD 1945. Pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara. Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni:
a. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
b. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.

Untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, memperhatikan masukan dari pihak lembaga perwakilan, serta informasi dari berbagai pihak. Sementara itu, kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan antara lain meliputi kebebasan dalam penentuan waktu pelaksanaan dan metode pemeriksaan, termasuk metode pemeriksaan yang bersifat investigatif. Selain itu, kemandirian BPK dalam pemeriksaan keuangan negara mencakup ketersediaan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai.
Dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik, Undang-Undang No. 15/2004 menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang sudah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan, antara lain melalui publikasi dan situs web BPK.
Pasal 7 UU No. 15 tahun 2004 menegaskan bahwa BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan dengan mengadakan pertemuan konsultasi. BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk hasil penelitian dan pengembangan, kajian, pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.
Auditor BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana (Pasal 13). Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah (Pasal 14). Berkaitan dengan padal ini, BPK telah melakukan MoU dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sayangnya, MoU tersebut hanya sampai pada tingkatan pimpinan pusat saja dan belum diteruskan untuk Perwakilan BPK di daerah. Seharusnya MoU tersebut juga berlaku bagi Perwakilan BPK untuk dapat menyampaikan laporan indikasi kerugian daerah dan/atau unsur pidana kepada Kepolisian Daerah dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.
Langkah maju yang dirasa akan dapat meningkatkan “kewaspadaan” para pengelola keuangan negara antara lain ketentuan mengenai LHP BPK-RI yang menjadi dokumen publik atau dinyatakan terbuka untuk umum setelah disampaikan kepada lembaga perwakilan (Pasal 19 ayat 1). Langkah maju karena masyarakat dapat mengakses secara langsung temuan-temuan pemeriksaan yang didalamnya termasuk permasalahan tipikor. Dengan demikian, konsekuensi hukum terhadap dampak hasil audit tidak hanya menjadi beban BPK saja tetapi telah beralih menjadi tanggung jawab bersama.
Mekanisme penyampaian LHP menjadi dokumen publik tersebut s.d. saat ini belum jelas siapa yang harus mempublikasikan, apakah BPK, entitas yang diperiksa, atau DPR/DPRD/DPD. Pasal tersebut kemudian juga dibatasi dengan ayat (2) yang menyatakan bahwa LHP tersebut tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ayat tersebut tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan laporan yang memuat rahasia Negara yang tidak boleh dipublikasikan.
Akan tetapi, pada prinsipnya, BPK-RI bertanggung jawab atas terjadinya kerugian negara berdasarkan hasil auditnya atau hasil audit aparat pengawas internal atau laporan dari pemerintah sendiri. Dalam hal terjadi kerugian negara pada suatu instansi pemerintah maupun BUMN/BUMD dan termasuk yayasan yang didirikan oleh entitas pemerintah maka Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/- walikota/direksi perusahaan negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud. BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
Auditor BPK juga diancam dengan sanksi yang cukup berat sebagaimana Pasal 26 yang menyatakan bahwa auditor yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500,00 juta rupiah.
Berkaitan dengan pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan oleh BPK-RI, terdapat beberapa kendala yang dapat menghambat atau mempengaruhi penyelesaian suatu tindak pidana korupsi antara lain:
1. Penanganan masih tersentralisasi termasuk di BPK dimana setiap Hasil Pemeriksaan yang mengandung indikasi tipikor harus diserahkan ke BPK pusat baru dilimpahkan ke Kejagung. Mestinya dari Perwakilan dapat melimpahkan ke Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.
2. Indikasi tipikor yang ditemukan dalam audit keuangan dan/atau audit kinerja harus dilaksanakan audit investigatif terlebih dahulu baru kemudian dilimpahkan ke Kejakgung. Hal ini memperpanjang jalur penanganan tipikor. Seharusnya, hasil audit yang berindikasi kuat dengan tipikor, dapat langsung diajukan ke Kejaksaan untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Dan anehnya, apabila BPK menemukan indikasi tipikor, malah menyarankan kepada pihak yang diaudit untuk melimpahkan permasalahan tersebut kepada kejaksaan.
3. Biaya audit bagi auditor investigatif sama dengan lumpsum audit biasa bahkan biaya untuk peralatan yang diperlukan untuk audit investigatif harus dipenuhi dari uang lumpsum tersebut, seperti tape recorder, handy cam, tenaga ahli dan lain-lain. Hal ini akan menyulitkan pada saat auditor harus berhadapan dengan kebutuhan audit (belum lagi yang terkait dengan resiko audit). Masalah moralpun menjadi ancaman yang sangat kuat bagi auditor BPK meskipun untuk saat ini, pemilihan auditor yang akan melakukan audit investigatif benar-benar diseleksi bagi orang yang relatif baik.
4. Pendidikan dan pelatihan audit investigatif belum maksimal. BPK-RI saat ini memang sedang giat untuk melakukan audit investigatif. Akan tetapi hal tersebut belum diikuti oleh kebijakan pendidikan dan pelatihan bidang audit investigatif. Auditor investigatif di BPK-RI masih sangat minim.
5. Kerja sama dengan pihak terkait masih belum optimal. Masyarakat dan pihak lain yang menemukan adanya penyimpangan pada lembaga pemerintah yang berindikasi kerugian negara masih segan untuk melaporkan permasalahan yang diketahui. Hal tersebut terutama disebabkan masih apriorinya masyarakat terhadap aparat pemeriksa, termasuk di dalamnya BPK-RI.



1 komentar:

Edi Kurniawan mengatakan...

Mengenai hambatan audit investigasi no. 1
Bapak sebutkan di atas bahwa faktor yang menghambat yang pertama adalah hasil audit dari perwakilan diharuskan disampaikan dulu ke BPK Pusat.

Apakah dengan diserahkannya ke BPK Pusat dalam hal ini Anggota Badan dapat memungkinkan hasil Laporan berubah atau sedikit berubah? Dikarenakan adanya kepentingan Politik dari Badan?

Terima kasih

Edi Kurniawan
Pegawai BPK (tp bkn auditor)