Rabu, 12 November 2008

KEGALAUAN PEMDA DALAM PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN

Oleh : DR Soepomo Prodjoharjono, MSc, Akt.

1. Reformasi Keuangan Daerah

Reformasi bidang manajemen pemerintahan telah bergulir sejak tumbangnya orde baru pada tahun 1997. Pemerintahan yang pada era orde baru bernuansa sentralistik telah diubah oleh para reformis menjadi pola desentralistik. Hal ini ditandai dengan digulirkannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Reformasi ke arah desentralisasi pemerintahan pada waktu itu juga disertai dengan upaya perubahan pola manajemen pemerintahan yang semula sangat tertutup untuk diubah menjadi berasaskan tata pemerintahan yang baik (good governance).


Demikian pula reformasi (lebih tepat disebut revolusi) bidang keuangan negara dan daerah telah digulirkan. Anehnya, reformasi pengelolaan keuangan ini dimulai justru di tingkat pemerintah daerah, yaitu ditandai dengan lahirnya beberapa Peraturan Pemerintah di bidang pengelolaan keuangan daerah pada tahun 2000 sebagai pelaksanaan UU 22/21999 dan UU 25/1999. Yang menonjol di antara PP-PP tersebut adalah PP 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang telah memperkenalkan perencanaan stratejik yang bertumpu pada pertanggungjawaban satuan kerja perangkat daerah (SKPD), anggaran berbasis kinerja, struktur APBD pola baru, pembukuan berpasangan, introduksi pelaporan keuangan yang berupa neraca, laporan aliran kas, laporan perhitungan APBD dan nota perhitungan APBD berdasarkan standar akuntansi pemerintahan daerah, dan lain sebagainya. PP ini kemudian dijabarkan lagi dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Sayangnya, pelaksanaan PP dan Kepmendagri ini layu sebelum berkembang karena segera disusul dengan lahirnya paket undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Meskipun pelaksanaan Kepmendagri 29/2002 belum optimal dan masih dalam proses pembelajaran, akan tetapi paling tidak selama dua tahun pemerintah daerah telah diperkenalkan dengan format baru pengelolaan keuangan daerah, sebagai pengganti sistem pengelolaan keuangan Daerah berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) yang dikeluarkan Departemen Dalam Negeri pada Tahun 1980.
UU 17/2003 tentang Keuangan Negara mengatur pelaporan keuangan daerah tidak jauh menyimpang dari pengaturan berdasarkan PP 105/200, yang juga mengamanatkan kepada kepala daerah untuk menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggung jawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD tersebut berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. Selanjutnya, Pasal 32 mengamanatkan bentuk dan isi laporan keuangan APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP) yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari BPK. Standar akuntansi tersebut disusun oleh suatu komite standar yang independen yang organisasi dan susunan anggotanya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP) yang ada pada saat ini adalah KSAP yang dibentuk pertama kali berdasarkan Keppres 84/2004 sebagaimana telah diubah dengan Keppres 2/2005. KSAP beranggotakan kalangan profesional yang berasal dari lingkungan pemerintah, praktisi akuntansi, asosiasi profesi akuntan, dan akademisi yang kompeten di bidang akuntansi sektor publik. Dalam melaksanakan tugasnya, KSAP bekerja sama dengan lembaga pemerintah, swasta, dan lembaga pendidikan atau pihak terkait lainnya. SAP yang telah dihasilkan oleh KSAP ini adalah Kerangka Konseptual (KK) dan 11 (sebelas) Pernyataan SAP yang berbasis ”kas menuju akrual”. SAP ini ditetapkan dengan PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Perubahan masih belum berhenti disini. Sejalan dengan disempurnakannya UU 22/1999 dan UU 25/1999 menjadi UU 32/2004 dan UU 33/2004, maka Kepmendagri 29/2002 pun disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13/2006 (sekarang sudah disempurnakan lagi dengan Permendagri 59/2007). Permendagri ini oleh sementara fihak dianggap kontroversial karena dalam beberapa hal mengabaikan materi SAP.
Dari perjalanan sekilas revolusi pengelolaan keuangan daerah diatas, sudah dapat dibayangkan betapa pemerintah daerah dibuat kalangkabut dalam mengikuti peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan daerah yang satu sama lain kurang atau tidak sekuensial dan tidak sinkron sama sekali. Lagi pula, akuntansi pemerintahan merupakan barang baru bagi mereka yang tidak mereka kenal sampai dengan akhir abad ke 20. Ironisnya, sebagaimana para pakar akuntansi sadar, akuntansi pemerintahan adalah jauh lebih sulit dibanding dengan akuntansi komersial yang relatif sederhana dan by default memang berbasis akrual.

2. Dua Matahari

Berdasarkan tradisi lama, pengaturan pengelolaan keuangan daerah sampai dengan lahirnya Kepmendagri 29/2002 hanya dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, sebagai bagian dari pemberian bimbingan pemerintahan daerah. Namun sejak diterbitkannya paket undang-undang keuangan negara, pemerintah daerah seakan mempunyai 2 (dua) induk, yaitu Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Dalam beberapa hal, kedua departemen dalam mengeluarkan peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan daerah kurang berkoordinasi satu sama lain, sehingga pemerintah daerah menjadi bingung harus mengacu pada peraturan perundangan yang mana.
Sebagai contoh, UU 17/2003 mengamanatkan penyusunan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang disampaikan kepada DPRD, sedangkan UU 32/2004 disamping mengamanatkan laporan keuangan yang sama denagn UU 17/2003, juga mengamanatkan laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah (LKPJ) yang juga disampaikan kepada DPRD. Bagaimana hubungan kedua laporan tersebut sampai dengan saat ini tidak jelas. Hal ini diperparah dengan adanya keharusan menyusun Laporan Kinerja, yang berdasarkan UU 17/2003 merupakan bagian dari Catatan atas Laporan keuangan, sedangkan berdasarkan UU 32/2004 LKPJ adalah laporan kinerja yang salah satu elemennya adalah laporan keuangan pemerintahan daerah.
Kegalauan pemerintah daerah dalam menerapkan akuntansi semakin diperparah dengan kurangnya sumber daya manusia yang mereka miliki yang mempunyai pengetahuan akuntansi, meskipun di tingkat paling dasar. Selama ini, pemerintah daerah membukukan transaksi keuangannya dengan teknik pembukuan tunggal dan berdasarkan kas masuk dan kas keluar pada rekening Kas Daerah. Bagi staf pemerintah daerah yang non-akuntan, jelas sistem ini adalah yang paling mudah untuk dilaksanakan. Namun karena sistem pembukuan berbasis kas ini hanya akan memproduk laporan keuangan berupa laporan realisasi anggaran dan tidak akan pernah menghasilkan laporan neraca, maka sistem ini dianggap tidak sempurna karena tidak dapat menyajikan laporan keuangan yang menunjukkan kekayaan dan kewajiban pemerintah daerah.
Konsekuensinya, penyusunan laporan keuangan yang antara lain berisi neraca harus dikerjakan oleh orang profesional di bidang akuntansi. Menurut perhitungan kasar, apabila setiap satuan kerja pemerintah daerah minimal dibutuhkan 2 orang saja yang faham akuntansi, maka kebutuhan staf akuntansi di seluruh Indonesia kira-kira berjumlah (2 org x 484 pemda x 40 SKPD) = 38.720 orang, jumlah yang sangat fantastis yang tidak mungkin disiapkan dalam kurun waktu satu dekade sekalipun. Padahal akuntansi pemerintahan, sebagaimana disebutkan diatas, jauh lebih sulit dibandingkan dengan akuntansi komersial. Oleh karena itu sangat wajar kalau sampai dengan saat ini tidak banyak pemerintah daerah yang benar-benar melaksanakan sistem akuntansi sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan.

3. Peran Lembaga Swasta

Kegalauan pemerintah daerah dalam menerapkan akuntansi pemerintahan ini agaknya ditangkap oleh lembaga pendidikan negeri maupun swasta atau lembaga swadaya masyarakat dengan baik. Mereka (sebagai rent seekers) berlomba-lomba mendekati pemerintah daerah yang masih accounting and information technology illiterate untuk menawarkan diri menjadi konsultan mereka, yang tentu saja dengan harga yang sangat tinggi. Bidang-bidang yang mereka tawarkan antara lain adalah sosialisasi peraturan perundangan, pelatihan dan pendampingan sistem akuntansi, pemasangan software dan hardware sistem akuntansi, dan sebagainya.
Konyolnya, banyak diantara lembaga-lembaga tersebut yang sebenarnya tidak mempunyai latar belakang akuntansi dan hanya mengandalkan pengetahuan tehnonogi informasi yang kadang-kadang hanya sepotong-sepotong. Mereka menganggap bahwa mekanisme akuntansi dapat digantikan dengan mekanisme piranti tehnologi informasi, anggapan yang tentu saja sangat memprihatinkan. Lebih konyol lagi, hal ini juga didukung oleh adanya staf pemerintah daerah yang ingin mencari keuntungan sendiri (joy rider) dengan menaikkan tawaran harga dari lembaga tersebut dengan lipat dua atau tiga kali dari harga normal. Akibatnya, kelemahan-kelemahan sistem akuntansi yang dipasok oleh lembaga tersebut tidak pernah terungkap ke permukaan, karena mengungkap kekurangan tersebut berarti membuka borok (baca: korupsi) staf pemerintah daerah sendiri.
Berkaca dari pengalaman tersebut, maka wajar kalau pemerintah cq Departemen Dalam Negeri pada waktu meluncurkan Permendagri 13/2006 sempat melarang pemerintah daerah untuk memenuhi undangan sosialisasi atau pelatihan dalam bentuk apapun dari lembaga-lembaga tersebut selain Departemen Dalam Negeri. Di satu sisi, larangan tersebut mempunyai arti positif karena mencegah pemerintah daerah menjadi sapi perahan lembaga-lembaga dengan kualitas rendah dan tidak bertanggungjawab.
Namun di sisi yang lain, kebijakan ini justru menghambat pengembangan akuntansi di pemerintah daerah karena, diakui atau tidak, sumber daya manusia di Departemen Dalam Negeri dalam bidang akuntansi pemerintahan juga sangat memprihatinkan. Jelasnya, jumlah pejabat/staf di Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Negeri yang benar-benar faham akuntansi pemerintahan daerah sangat sedikit, padahal praktek akuntansi tidak dapat diajarkan di dalam kelas saja, melainkan harus melalui proses pendampingan secara kontinyu di tempat kerja, day by day. Jumlah pemerintah daerah yang harus didampingi adalah 484, suatu jumlah yang sangat tidak seimbang antara pembimbing dan yang dibimbing. Oleh karena itu aliansi stratejik dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti BPK, BPKP, KSAP, dan universitas negeri lokal sangat dibutuhkan agar pengembangan akuntansi di daerah dapat segera diakselerasi.

4. Akuntansi Berbasis Akrual

Pengetahuan pejabat dan staf keuangan di hampir semua pemerintah daerah di bidang standar akuntansi pemerintahan (SAP) sangat minim. Mereka menganggap standar akuntansi merupakan pelaksanaan akuntansi yang distandarisir (standardized accounting system). Karena pengetahuan terbatas, maka dalam menyusun kebijakan akuntansi bagi pemerintah daerah, mereka hanya menyusun sebagai syarat formalitas, meniru dari pedoman peraturan perundangan yang ada, atau hanya mengkopi dari pemerintah daerah yang lain, tanpa mengetahui makna sebenarnya apa itu kebijakan akuntansi. Kalau itu yang terjadi, jangankan pemerintah daerah dapat melaksanakan amanat Pasal 36 ayat (1) UU 17/2003, yang intinya mengamanatkan bahwa basis akrual dimulai tahun 2008 baik untuk penyusunan maupun pelaksanaan anggaran, dengan standar yang sekarang berjalan saja (yang berdasarkan ”Kas Menuju Akrual”) pemerintah daerah belum dapat melaksanakan dengan baik.
Dalam beberapa hal, pejabat pemerintah daerah pun dibuat bingung dengan istilah ”Basis Kas Menuju Akrual” karena istilah ini hanya dikenal di PP 24/2005 tentang SAP dan tidak dikenal baik di paket undang-undang keuangan negara maupun di peraturan pemerintah lainnya.
Para pakar akuntansi sektor publik (misalnya Andrew F Urban) menyarankan agar pemerintah (baik pusat maupun daerah) memperbaiki laporan yang berlaku sekarang terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk migrasi ke akuntansi berbasis akrual. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa akuntansi merupakan barang baru yang sumber dayanya juga masih minim, sehingga perubahan dari basis kas ke basis akrual akan menghambat program reformasi itu sendiri.

5. Saran

Kegalauan pemerintah daerah sebagaimana dipaparkan diatas dapat kita maklumi karena perjalanan revolusi pengelolaan keuangan daerah yang tidak konsisten dan sekuensial. Sudah saatnya Pemerintah Pusat mengintrospeksi diri dalam kebijakan keuangan baik di Pusat maupun daerah. Penataan ulang kebijakan pengelolaan keuangan daerah sangat diperlukan dengan meninggalkan kepentingan sektoral dan berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabel pemerintah daerah. Peraturan perundangan yang kurang sinkron satu sama lain serta sering bergantinya peraturan perundangan sungguh membuat gamang pemerintah daerah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan daerah. Sangat disarankan agar diadakan penataan ulang semua peraturan perundangan yang menyangkut baik keuangan pemerintah pusat maupun daerah.
Aliansi stratejik harus segera dilaksanakan agar pemberdayaan pejabat/staf pemerintah daerah di bidang akuntansi dapat segera terwujud. Dan, above all, nawaitu kita untuk membenahi pengelolaan keuangan daerah tanpa pamrih apapun akan sangat bermanfaat tidak hanya bagi pemerintah daerah, tapi juga bagi negara dan bangsa Indonesia.

Jakarta, 7 Desember 2008


2 komentar:

aremania mengatakan...

Terima kasih pak Pompi. Kalo yang ngomong Doktor emang lain isinya he he...
Pak, saya baca draft final SAP, ada tujuh macam laporan yg harus dibuat pemda. Apa ga tambah mabok itu ya pak. Bikin laporan yg cash basis aja setengah mati, apalagi 7 laporan yang campuran cash dan accrual basis. Saya yg bodoh ini hanya membayangkan kalo laporan keuangan pemda ga selsei on time, DAU terlambat, pembangunan macet. Kalo seluruh perangkat peraturan penunjang accrual basis, diterbitkan secara bersamaan, sehingga perubahannya/peyesuaian yg dilakukan Pemda sekali saja dan konsisten, mungkin ga pak? Misalnya, draft SAP masih mengakomodasi Budget yg berbasis kas, sedangkan saya baca ada wacana untuk membuat Budget yang berbasis akrual ke depannya. Apa tidak lebih baik, semuanya berjalan simultan. Begitu pak. Mohon pencerahannya pak.
Matur nuwun pak Cris, numpang ngobrol..

Unknown mengatakan...

@Mas Aremania: saya kan sudah bilang, beresin dulu pelaporan berbasis kas, bary setelah itu migrasi ke akrual. tapi wong ya pendapat kan berbeda2. ada yang sangat over ambitious menerapkan akrual, ada yang realistis. PErtanyaan: saya termasuk yang mana ya?

mangga wedangnya diminum dulu ya ..