Rabu, 19 November 2008

PERANAN BPK-RI DALAM AUDIT SEKTOR PUBLIK ATAS PEMERINTAH DAERAH

Cris Kuntadi, MM, CPA
Sekretaris IAI Wilayah DKI Jakarta

Gelombang reformasi telah mengakibatkan pemerintah pusat melakukan berbagai tahapan perubahan termasuk perubahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dengan terbitnya PP Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dalam PP tersebut dipersyaratkan bahwa setiap pemerintah daerah wajib menghasilkan laporan keuangan yang terdiri atas Neraca, Laporan Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Pelaporan keuangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pertanggungjawaban kepala daerah kepada masyarakat (public accountability).

Semangat reformasi tersebut telah mewarnai pendayagunaan aparatur daerah dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi keuangan daerah yang mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsip-prinsip pengelolaan yang baik (good governance). Selain itu, masyarakat menuntut agar pemerintah daerah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and services sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.

Untuk mendukung keberhasilan tersebut, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara wajib dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangan, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan Keuangan Negara disini adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sedangkan tanggung jawab keuangan negara adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara.

Untuk meyakinkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berjalan sesuai kriteria yang ditetapkan, perlu dilakukan oleh suatu badan pemeriksa yang profesional, efektif, efisien, dan modern. Sehubungan dengan hal tersbeut, dibentuklah Badan Pemeriksa Keuangan yang bertugas melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana UU No. 15 tahun 2004 atau dikenal dengan UU Pemeriksaan Keuangan Negara.

Materi ini disampaikan dalam kuliah umum mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas IBA Palemnang beberapa waktu yang lalu.
AUDIT SEKTOR PUBLIK MENURUT PERATURAN PERUNDANGAN
Salah satu transpormasi paradigmatik dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah adalah adanya ketentuan dilakukannya audit oleh BPK-RI. Audit yang dilakukan oleh BPK-RI sebagaimana UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara meliputi (a) pemeriksaan keuangan, (b) pemeriksaan kinerja, dan (c) pemeriksaan dengan tujuan tertentu atas seluruh unsur keuangan negara. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas sedangkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

Untuk pemeriksaan keuangan, UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mensyaratkan laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) sebelum disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Audit oleh BPK-RI tersebut merupakan proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Indra Bastian dalam Audit Sektor Publik menyatakan bahwa tujuan audit laporan keuangan adalah untuk menunjukkan, dengan dasar yang cukup dan tepat dari bukti-bukti audit, apakah laporan keuangan disajikan secara benar dan wajar dari posisi keuangan Pemerintah Daerah, sebagai hasil dari operasi dan perubahan-perubahannya sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.

Laporan keuangan Pemerintah daerah yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut disampaikan kepada DPRD sebagai sebagai salah satu bahan evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah. Pasal 21 Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara antara lain menyatakan bahwa:
(1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.
(2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan.
(3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3).

Dalam UU 15 tersebut BPK diberi kebebasan dan kemandirian dalam penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan. Meskipun demikian, BPK-RI menerima masukan dari Lembaga Perwakilan dan masyarakat apabila terdapat indikasi penyimpangan yang ditemui berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara/daerah. Untuk itu, BPK-RI setiap tahun menganggarkan belanja pemeriksaan atas permintaan (on-call audit) yang akan dilaksanakan apabila ada permintaan dari DPRD maupun masyarakat.

Setelah selesai audit, auditor diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan laporan hasil audit secara tepat waktu. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD dan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.

AUDIT INVESTIGASI ATAS INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
Berdasarkan Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
1) pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
2) pasal 3:
“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat . Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.
Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.
Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.

Kerugian Negara yang dihitung oleh auditor Investigasi adalah kerugian yang didasarkan kepada perhitungan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi. Hal ini karena berkaitan kompetensi yang dimilki oleh BPK dalam melakukan audit yang didasari kepada prinsip-prinsip Akuntansi. Berdasarkan berbagai putusan hakim terhadap ada atau tidaknya suatu kerugian negara dapat secara sederhana dirumuskan pengertian kerugian negara, yaitu:
a. Berkurangnya asset dari suatu entitas Pemerintahan.
b. Bertambahnya pengeluaran Keuangan Negara atas prestasi yang tidak diperoleh suatu entitas Pemerintah.
Setiap audit investigasi hendaklah mengandung prinsip sabagai berikut:
a. Audit investigasi tidak seperti audit keuangan dimana auditor memfokuskan pada perkecualian, kejanggalan, ketidakberesan akutansi, dan pola tindakan bukan hanya pada kesalahan biasa dan kelalaian.
b. Indikasi korupsi cenderung mengarah pada struktur teori sekitar motivasi, kesempatan dan keuntungan sehingga sering kali korupsi dilakukan untuk alasan ekonomi, egosentris, ideologi dan psikotik.
c. Indikasi korupsi dalam lingkungan yang menggunakan komputer dapat terjadi pada setiap tahap sistem: masukan, pengolahan dan keluaran.
d. Korupsi lebih disebabkan ketiadaan pengendalian dari pengendalian yang lemah. Dengan demikian pencegahan indikasi korupsi adalah masalah pengendalian yang memadai dan suatu lingkungan kerja yang menetapkan penghargaan yang tinggi atas kejujuran pribadai dan perlakuan yang adil.

Pendekatan audit investigasi yang dalam pelaksanaannya dikaitkan dengan teori atas Indikasi Tindak Korupsi, meliputi beberapa hal yaitu:
a. Analisa terhadap data yang tersedia.
Sebelum sebuah audit investigasi dilakukan, dimana berkaitan dengan interview atau bentuk-bentuk lanjutan dari investigasi, maka perlu dilakukan analisa terhadap data yang ada untuk menentukan data yang diketahui. Jika diperlukan audit pendahuluan maka audit tersebut dilakukan terlebih dahulu.
b. Menciptakan sebuah hipotesa.
Yang dimaksud dengan hipotesis di sini adalah suatu skenario kasar yang dibuat dari data-data yang diperoleh. Dalam hal ini dibuatkan bentuk-bentuk dugaan tindakan melawan hukum yang terjadi, bagaimana modus operandi terjadinya dan perkiraan pihak-pihak yang terkait
c. Menguji Hipotesa.
Yang dimaksud dengan menguji hipotesis adalah membuat skenario “bagaimana jika”. Sebagai contoh jika dalam sebuah bagian dari hipotesa, suatu tindakan penyuapan dari bagian pengadaan dicurigai terjadi, seorang auditor investigasi melakukan untuk mendapat beberapa fakta-fakta:
3) Hubungan personal antara pembeli dan rekanan.
4) Kemampuan dari bagian pengadaan untuk mengendalikan agar proses pengadaan memenangkan rekanan tertentu.
5) Pelaksanaan pembelian terhadap barang yang harganya mahal dengan kualitas yang rendah.
6) Pengeluaran-pengeluaran yang berlebih dari kebutuhan oleh bagian pengadaan.
d. Menyempurnakan dan melakukan penyesuaian atas Hipotesa.

Dalam melakukan pengujian terhadap hipotesa, Auditor Investigasi seringkali menemukan bahwa fakta-fakta yang ditemukan ternyata tidak bersesuaian dengan skenario kasar yang telah diperkirakan. Dalam hal ini, maka skenario harus direvisi dan kemudian dilakukan pengujian ulang, namun pada banyak kasus jika kenyataanya fakta yang diproleh tidak sesuai dengan skenario awal bisa saja menunjukkan hasil tidak dapat membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi, atau tidak dapat dibuktikan.

AUDIT SEKTOR PUBLIK DAN GOOD GOVERNENCE
Indra Bastian (2003: 4) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang mendasari kebutuhan akan penyiapan proses auditing yaitu:
a. Kendali saat ini ada di tangan masyarakat. Masyarakat memiliki hak yang bebas untuk mengakses informasi mengenai pengelolaan sumber daya ekonomi publik.
b. Kompleksitas laporan keuangan. Semakin kompleks laporan keuangan yang dihasilkan, tingkat kesalahan semakin tinggi pula. Walaupun sekarang ini masyarakat semakin mampu membaca laporan keuangan, tetapi mereka tetap membutuhkan orang yang memiliki keahlian profesional untuk menguji informasi dalam laporan keuangan tersebut.
c. Pihak manajemen pemerintah daerah memiliki kecenderungan ingin sukses dan meminimalisir kesalahan pemerintahannya sehingga perlu diverifikasi kebenaran laporan keuangan yang disajikan oleh mereka.
d. Kontrol dan kredibilitas. Audit akan menambah kontrol dan kredibilitas laporan keuangan. Untuk itu, sangat penting melakukan pemeriksaan atas informasi keuangan untuk menghindari adanya kesalahan penyajian dan pengungkapan.
e. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan. Proses audit akan memberikan nilai tambah bagi pemenuhan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan.
f. Identifikasi terhadap kelemahan sistem. Walaupun pemerintah daerah memiliki berbagai pengendalian internal untuk pengendalian organisasi, namun mereka juga perlu mengetahui adanya kelemahan dalam sistem mereka. Jadi, auditor dibutuhkan dalam mereview sistem tersebut.

Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK-RI sebelum laporan keuangan tersebut diserahkan kepada DPRD dilakukan sehubungan dengan fungsi DPRD adalah fungsi pengawasan bukan pemeriksaan. Pasal 96 Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 menyatakan bahwa untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, DPRD melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan APBD. Pengawasan tersebut bukan bersifat pemeriksaan. Dengan pelaksanaan audit oleh BPK-RI tersebut diharapkan DPRD dapat langsung melakukan analisa dan menggunakan laporan keuangan dalam pengambilan keputusan.

Proses penyelenggaraan kekuasaan negara/daerah dalam melaksanakan penyediaan public goods and services disebut governance (pemerintahan atau kepemerintahan). Praktek terbaiknya disebut good governance (kepemerintahan yang baik). Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Dalam rangka itu, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggung jawab, serta bebas dari KKN. Perlu diperhatikan juga adanya mekanisme untuk meregulasi akuntabilitas pada setiap instansi pemerintah dan memperkuat peran dan kapasitas institusi parlemen (DPR/DPRD), serta tersedianya akses yang sama pada informasi bagi masyarakat luas (transparency).

Akuntabilitas dan transparansi keuangan daerah merupakan tujuan penting dari reformasi sektor publik. Hal ini karena secara definitif, kualitas kepemerintahan yang baik (good governance) dan kepemerintahan yang bersih (clean governance) ditentukan oleh kedua hal tersebut ditambah dengan peran serta masyarakat dan supremasi hukum. Akuntabilitas publik keuangan daerah merupakan pemberian informasi dan pengungkapan (disclose) atas aktivitas dan kinerja keuangan daerah kepada semua fihak yang berkepentingan (stakeholder) sehingga hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be kept informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to) dapat dipenuhi.

Mardiasmo (2004) menjelaskan bahwa akuntabilitas publik mempunyai empat komponen yaitu (1) adanya sistem pelaporan keuangan, (2) adanya sistem pengukuran kinerja, (3) dilakukannya pengauditan sektor publik, dan (4) berfungsinya saluran akuntabilitas publik (channel of public accountability). Dari komponen tersebut, ternyata pengauditan sektor piublik merupakan salah satu komponen kunci dalam menjamin akuntabilitas publik atau dengan kata lain perlu dilakukan audit atas laporan keuangan daerah agar akuntabilitas publik keuangan daerah bisa terjamin dan pada akhirnya terwujud good governance.

Akuntabilitas terkait juga dengan apakah prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik. Akuntabilitas dalam pemerintahan daerah dapat diwujudkan melalui pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah dari sudut biaya. Audit terhadap akuntabilitas pemerintah daerah meliputi pemeriksaan terhadap kecukupan sistem akuntansi manajemen, prosedur administrasi, dan struktur organisasi pemerintah daerah. Perlunya audit akuntabilitas pemerintah daerah adalah untuk memeriksa ada tidaknya mark-up dan pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan yang mengakibatkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambatan dalam proses pelayanan tersebut.

Berkaitan dengan transparansi, audit atas laporan keuangan daerah juga diharapkan dapat terpenuhi dengan adanya kewajiban bagi daerah untuk menyatakan dokumen tertentu sebagai dokumen publik. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah diaudit oleh BPK juga merupakan salah satu dokumen publik yang dapat diketahui oleh seluruh stakeholders. Hal ini ditegaskan dalan UU No. 15/2004 bahwa dalam rangka memenuhi unsur transparansi dan peningkatan partisipasi publik, setiap laporan hasil pemeriksaan yang sudah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum, artinya dapat diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat. Sayangnya, sampai dengan saat ini, publikasi hasil pemeriksaan tersebut belum secara fulgar dipublikasikan oleh BPK-RI karena alasan-alasan tertentu. Publikasi sementara ini sebatas dilakukan oleh Anggota BPK.

Pengauditan sektor publik diharapkan juga dapat meningkatkan akuntabilitas publik dengan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. Sehubungan dengan itu, BPK terus memantau dan menginformasikan hasil pemantauan atas tindak lanjut tersebut kepada DPR/DPD/DPRD. Dengan adanya pemantauan tindak lanjut ini, setiap penyimpangan dapat dibenahi, kerugian negara dapat dikembalikan, dan sanksi dapat diterapkan bagi pelaku pelanggaran.

REFERENSI:
Alexander, Harry, Kamus Keuangan Daerah dan Negara Menurut Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, XSYS Solusindo, Jakarta, 2004.
Bastian, Indra, Audit Sektor Publik, Yogyakarta, 2003
Handjari, J, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Makalah Sosialisasi DPRD se-Sumatera Bagian Selatan, Palembang, 2003.
LAN dan BPKP, Akuntabilitas dan Governance, Jakarta, 2003.
Marbun, BN, DPRD dan Otonomi Daerah Setelah Amandemen UUD 1945 dan UU Otonomi Daerah 2004, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
Mardiasmo, Membangun Akuntabilitas Publik Keuangan Daerah, Makalah Seminar, Jakarta, 2004.
Mohamad, Ismail, Sjahruddin Rasul, dan Haryono Umar, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2004.Ratnawati, Tri, Masalah Kinerja dan Akuntabilitas Kepala Daerah dan DPRD di Era Otonomi Daerah, dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, LIPI Press, Jakarta, 2005.



2 komentar:

Anonim mengatakan...

nah...tadi baru liat ksimpulan UJDIH ttg TKI DPRD, sekarang mau nanya, mang pemerintah dah ngatur tata cara pengembalian TKI DPRD itu??

yang saya khawatirkan pada saat 2009, mereka pada gak akan mau ngembaliin nya...bukti beberapa TKI atas anggota DPRD yang meninggal, TKI-nya blum ditarik...padahal..seharusnya dikembalikan oleh ahli warisnya(dici2l ato skaligus-versi yang saya baca di pp)...

klo ada aturan tata cara pengembaliannya, trus siapa yang pungut, dll yang jelas..tolong konfirm pak...takutnya saat meriksa ditanyain bgm cara balikinnya...apalagi indonesia masih ada rasa "segan dan kasihan"...

Anonim mengatakan...

Pengembalian tersebut sudah diatur dalam PP tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD yaitu satu bulan sebelum masa bakti habis. Yang bertanggung jawab menagih adalah Kepala Daerah (bisa diwakili Sekwan). Sebaiknya dipotong setiap bulannya sehingga pada akhir periode, sudah lunas. Jika tidak, maka ditagihkan langsung (tapi kayaknya sulit). Jika setelah masanya belum lunas, diajukan ke Kejaksaan untuk ditagih. Jika sudah meninggal, tetap ditagihkan kepada ahli waris. Jika tidak mau.... urusan di akhirat.