Rabu, 26 November 2008

PELAKSANAAN AUDIT INVESTIGATIF OLEH BPK SEBAGAI ALAT PENDETEKSIAN KECURANGAN (FRAUD)

Cris Kuntadi, SE, MM, CPA, Ak.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi
Universitas Brawijaya, Malang

Gerakan reformasi menginginkan terlaksananya demokratisasi, good governance dan desentralisasi. Sentralisasi kekuasaan dan kesenjangan sosial yang lebar dalam struktur masyarakat turut menyuburkan hubungan patron-klien yang memberikan kontribusi besar bagi tumbuh kembangnya budaya korupsi di masyarakat. Hubungan patron-klien ini memberikan keleluasaan kepada segelintir orang (elit politik dan kroni bisnisnya) untuk mengakses dan mengekploitasi sumber daya alam dan keuangan negara untuk kepentingan kelompoknya.
Upaya pemberantasan korupsi, tingkat keberhasilannya di samping ditentukan oleh berapa besarnya keterlibatan masyarakat, juga sangat ditentukan oleh peran dari institusi negara yang terkait seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian, Aparat Pemeriksaan Intern Pemerintah (BPKP, Inspektorat Jenderal Departemen) dan Badan Pemeriksa Keuangan. Selain secara institusional didukung, juga harus ada kesadaran yang tinggi dari berbagai pihak terutama pihak yang terkait langsung dengan pengelolaan keuangan milik negara melalui kesadaran untuk bersikap aktif dalam melakukan pencegahan, pendeteksian dan tindak lanjut atas penyimpangan-penyimpangan yang berakibat pada kerugian negara. Internal Auditor adalah unit yang sangat penting dalam sistem pengendalian manajemen sebuah perusahaan karena merupakan benteng terujung dalam pencegahan dan pengungkapan serta tindak lanjut dari penyimpangan.

Praktek korupsi di berbagai entitas Pemerintah (Pusat dan Daerah serta BUMN/BUMD) yang merajalela sekarang ini, tidak bisa tidak upaya pemberantasannya harus melibatkan segala komponen yang ada. Bila hal ini hanya diserahkan kepada aparat (Kejaksaan dan Kepolisian) sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan korupsi, maka hasilnya akan mengecewakan masyarakat. Mengapa ini terjadi? Karena kedua lembaga ini hanya mengandalkan informasi yang sangat terbatas dan bersifat lebih banyak menunggu dari pada secara proaktif melakukan upaya pengungkapan Korupsi, sementara itu bentuk korupsi yang berakibat kerugian negara yang sangat besar, dalam era otonomi daerah, banyak terjadi pada Pemerintah Daerah.


Kondisi ini menjadi suatu tantangan bagi Auditor untuk dapat berperan lebih nyata dan signifikan dalam mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti temuan-temuan berupa penyimpangan-penyimpangan yang merugikan negara/daerah. Keinginan untuk dapat berperan optimal perlu dibekali dengan kemampuan melakukan audit investigatif dalam upaya untuk menindaklanjuti penyimpangan yang terjadi harus diikuti dengan upaya meningkatkan kemampuan. Pemahaman yang baik diikuti dengan “awareness” dari setiap auditor akan dapat menjadi sebuah kombinasi handal dalam implementasi.

Namun, untuk melakukan investigasi bukan semudah membalikkan tangan. Keinginan level pengambil kebijakan harus diikuti kesiapan auditornya dalam melakukan Audit Investigatif untuk membongkar kasus korupsi. Tanggung jawab auditor dalam melakukan audit jika menemukan indikasi tindak pidana korupsi (TPK), adalah segera melakukan upaya awal yang bersifat antisipatif yaitu men”secure” kondisi yang ada sehingga dapat ditindaklanjuti dengan audit investigatif. Temuan yang berindikasi TPK tersebut harus dievaluasi dan diuji terlebih dahulu sebelum ditindaklanjuti dengan audit investigatif.

Bagi auditor yang selanjutnya ditugaskan untuk melakukan audit investigatif atas kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi harus memiliki pemahaman yang baik mengenai metode audit investigatif. Selain mengetahui metode audit investigatif, juga integritas moral yang tinggi merupakan hal lain yang harus dipunyai dan terus menerus dijaga serta ditingkatkan.

1. TINDAK PIDANA KORUPSI DAN KERUGIAN NEGARA

Berdasarkan Undang-undang Nomor: 31 Tahun 1999, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
1) pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
2) pasal 3:
“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
a. Setiap Orang
b. Secara Melawan Hukum
c. Melakukan Perbuatan
d. Memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi
e. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-undang No 31 tahun 1999, yang dimaksud dengan setiap orang adalah:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
b. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat .
Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.
Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.
Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara. Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara baik tingkat pusat maupun tingkat daerah.
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian negara.

Disamping itu juga perlu ditegaskan tindakan melawan hukum seperti yang diatur dalam KUHP jika dilakukan oleh setiap orang dan berakibat kepada kerugian bagi keuangan negara sebagaimana di uraikan di atas, maka termasuk tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana dalam KUHP yaitu pada pasal 209; Pasal 210; Pasal 387; Pasal 388; Pasal 415; Pasal 416; Pasal 417; Pasal 419; Pasal 420; Pasal 423; Pasal 425; dan Pasal 435.
Kerugian Negara yang dihitung oleh auditor Investigatif adalah kerugian yang didasarkan kepada perhitungan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi. Hal ini karena berkaitan kompetensi yang dimilki oleh BPK dalam melakukan audit yang didasari kepada prinsip-prinsip Akuntansi. Berdasarkan berbagai putusan hakim terhadap ada atau tidaknya suatu kerugian negara dapat secara sederhana dirumuskan pengertian kerugian negara, yaitu:
a. Berkurangnya asset dari suatu entitas Pemerintahan.
b. Bertambahnya pengeluaran Keuangan Negara atas prestasi yang tidak diperoleh suatu entitas Pemerintah.

2. PRINSIP AUDIT INVESTIGATIF DAN SYARAT SERTA KOMPETENSI AUDITOR INVESTIGATIF

Setiap audit investigatif hendaklah mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Auditor memfokuskan pada perkecualian, kejanggalan, ketidakberesan akutansi, dan pola tindakan bukan hanya pada kesalahan biasa dan kelalaian.
b. Dari prespektif audit, indikasi korupsi adalah salah penyajian fakta keuangan dari keadaan sebenarnya secara disengaja.
c. Jenis indikasi korupsi akuntasi lebih sering disebabkan ketiadaan pengendalian dari pada pengendalian yang lemah.
d. Indikasi korupsi akuntansi diketahui lebih sering karena kebetulan bukan tujuan atau hasil rancangan suatu audit finansial tertentu.
e. Pencegahan indikasi korupsi adalah masalah pengendalian yang memadai dan suatu lingkungan kerja yang menetapkan penghargaan yang tinggi atas kejujuran pribadai dan perlakuan yang adil.

Agar menjadi auditor investigatif yang efektif, maka ia harus mampu melakukan hal-hal berikut ini secara kompeten:
a. Melaksanakan telaahan atas pengendalian intern dan menentukan kekuatan dan kelemahan pengendalian intern;
b. Merancang skenario kerugian dari indikasi korupsi yang terjadi berdasarkan kelemahan pengendalian intern yang telah teridentifikasi;
c. Mengidentifikasi situasi/transaksi yang mencurigakan dan tidak biasa dalam pembukuan/laporan;
d. Membedakan antara kesalahan manusia (human error) biasa dan kelalaian dengan indikasi korupsi;
e. Meruntut arus dokumen dan arus uang yang mendukung transaksi-transaksi ;
f. Mencari dan menelaah dokumen yang mendukung yang mendasari transaksi yang mencurigakan;
g. Mendokumentasikan dan melaporkan suatu kegiatan indikasi korupsi untuk tuntutan kriminal, perdata atau asuransi;

3. AUDIT YANG DILAKUKAN OLEH BPK-RI

Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E UUD 1945. Pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara. Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni:
a. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
b. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.

BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.

Untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, memperhatikan masukan dari pihak lembaga perwakilan, serta informasi dari berbagai pihak. Sementara itu, kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan antara lain meliputi kebebasan dalam penentuan waktu pelaksanaan dan metode pemeriksaan, termasuk metode pemeriksaan yang bersifat investigatif. Selain itu, kemandirian BPK dalam pemeriksaan keuangan negara mencakup ketersediaan sumber daya manusia, anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai.
Dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik, Undang-Undang No. 15/2004 menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang sudah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan demikian, masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan, antara lain melalui publikasi dan situs web BPK.
Pasal 7 UU No. 15 tahun 2004 menegaskan bahwa BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan dengan mengadakan pertemuan konsultasi. BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Informasi dari masyarakat termasuk hasil penelitian dan pengembangan, kajian, pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media massa, pengaduan langsung dari masyarakat.
Auditor BPK dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana (Pasal 13). Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur bersama oleh BPK dan Pemerintah (Pasal 14). Berkaitan dengan padal ini, BPK telah melakukan MoU dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sayangnya, MoU tersebut hanya sampai pada tingkatan pimpinan pusat saja dan belum diteruskan untuk Perwakilan BPK di daerah. Seharusnya MoU tersebut juga berlaku bagi Perwakilan BPK untuk dapat menyampaikan laporan indikasi kerugian daerah dan/atau unsur pidana kepada Kepolisian Daerah dan Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.
Langkah maju yang dirasa akan dapat meningkatkan “kewaspadaan” para pengelola keuangan negara antara lain ketentuan mengenai LHP BPK-RI yang menjadi dokumen publik atau dinyatakan terbuka untuk umum setelah disampaikan kepada lembaga perwakilan (Pasal 19 ayat 1). Langkah maju karena masyarakat dapat mengakses secara langsung temuan-temuan pemeriksaan yang didalamnya termasuk permasalahan tipikor. Dengan demikian, konsekuensi hukum terhadap dampak hasil audit tidak hanya menjadi beban BPK saja tetapi telah beralih menjadi tanggung jawab bersama.
Mekanisme penyampaian LHP menjadi dokumen publik tersebut s.d. saat ini belum jelas siapa yang harus mempublikasikan, apakah BPK, entitas yang diperiksa, atau DPR/DPRD/DPD. Pasal tersebut kemudian juga dibatasi dengan ayat (2) yang menyatakan bahwa LHP tersebut tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ayat tersebut tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan laporan yang memuat rahasia Negara yang tidak boleh dipublikasikan.
Akan tetapi, pada prinsipnya, BPK-RI bertanggung jawab atas terjadinya kerugian negara berdasarkan hasil auditnya atau hasil audit aparat pengawas internal atau laporan dari pemerintah sendiri. Dalam hal terjadi kerugian negara pada suatu instansi pemerintah maupun BUMN/BUMD dan termasuk yayasan yang didirikan oleh entitas pemerintah maka Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/- walikota/direksi perusahaan negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud. BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
Auditor BPK juga diancam dengan sanksi yang cukup berat sebagaimana Pasal 26 yang menyatakan bahwa auditor yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500,00 juta rupiah.
Berkaitan dengan pelaksanaan audit investigatif yang dilakukan oleh BPK-RI, terdapat beberapa kendala yang dapat menghambat atau mempengaruhi penyelesaian suatu tindak pidana korupsi antara lain:
1. Penanganan masih tersentralisasi termasuk di BPK dimana setiap Hasil Pemeriksaan yang mengandung indikasi tipikor harus diserahkan ke BPK pusat baru dilimpahkan ke Kejagung. Mestinya dari Perwakilan dapat melimpahkan ke Kejaksaan Tinggi dan/atau Kejaksaan Negeri.
2. Indikasi tipikor yang ditemukan dalam audit keuangan dan/atau audit kinerja harus dilaksanakan audit investigatif terlebih dahulu baru kemudian dilimpahkan ke Kejakgung. Hal ini memperpanjang jalur penanganan tipikor. Seharusnya, hasil audit yang berindikasi kuat dengan tipikor, dapat langsung diajukan ke Kejaksaan untuk ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Dan anehnya, apabila BPK menemukan indikasi tipikor, malah menyarankan kepada pihak yang diaudit untuk melimpahkan permasalahan tersebut kepada kejaksaan.
3. Biaya audit bagi auditor investigatif sama dengan lumpsum audit biasa bahkan biaya untuk peralatan yang diperlukan untuk audit investigatif harus dipenuhi dari uang lumpsum tersebut, seperti tape recorder, handy cam, tenaga ahli dan lain-lain. Hal ini akan menyulitkan pada saat auditor harus berhadapan dengan kebutuhan audit (belum lagi yang terkait dengan resiko audit). Masalah moralpun menjadi ancaman yang sangat kuat bagi auditor BPK meskipun untuk saat ini, pemilihan auditor yang akan melakukan audit investigatif benar-benar diseleksi bagi orang yang relatif baik.
4. Pendidikan dan pelatihan audit investigatif belum maksimal. BPK-RI saat ini memang sedang giat untuk melakukan audit investigatif. Akan tetapi hal tersebut belum diikuti oleh kebijakan pendidikan dan pelatihan bidang audit investigatif. Auditor investigatif di BPK-RI masih sangat minim.
5. Kerja sama dengan pihak terkait masih belum optimal. Masyarakat dan pihak lain yang menemukan adanya penyimpangan pada lembaga pemerintah yang berindikasi kerugian negara masih segan untuk melaporkan permasalahan yang diketahui. Hal tersebut terutama disebabkan masih apriorinya masyarakat terhadap aparat pemeriksa, termasuk di dalamnya BPK-RI.



Read More......

FORENSIC ACCOUNTING & ACCOUNTING FRAUD

IG Agung Rai, MA, Ak.
Member of Audit Board of the Republic of Indonesia (BPK RI)

It is indeed a great honor for me to be able to participate in the panel discussion on “Exploring the Dark Side and Strengthening the Bright side of Accounting “. As all of us know, our country Indonesia is still in high ranking position for the most corrupted countries in the world. Furthermore, the corruption has penetrated into all sectors and activities in our life. Since we are now combating corruption, I think we need knowledge and experience regarding FA because FA is a good tool to overcome and to disclose the impact of accounting fraud. That is why, this topic is very relevant to the current situation in our beloved country.

Before we proceed, allow me also to express my appreciation to the organizing committee that has arranged this program successfully and chosen such interesting and important topics to be elaborated and discussed.

For this opportunity, we the panelists are asked to explore some topics regarding the dark side of accounting, namely:
1. What is the Forensic Accounting (FA) and Accounting Fraud (FA);
2. The relation between FA with AF;
3. Example of AF in private sector as well as in public sector;
4. How the forensic accountant disclose the AF; and
5. How FA deals with AF.

If you see my curriculum vitae, I have spent almost all my career period as a Government Accountant, especially in auditing the public sector. As such, my presentation will address mainly the FA and AF in the public sector rather than in the private sector.

1. What is Forensic Accounting

Now let us start with the forensic accounting. The Merriam Webster’s Collegiate Dictionary (10th edition) define the word ‘forensic’ as:

1fo-ren-sic adj[L forensic public, fr. forum forum] (1659) 1: belonging to, used in, or suitable to court of judicature or to public discussion and debate 2: ARGUMENTATIVE, RHETORICAL 3: relating or dealing with the application of scientific knowledge to legal problems <~medicine~> <~science~> <~pathologist~> <~experts~>

From the above definition, we could infer that forensic covers the application of various knowledge and science into legal problems. In fact, there are already many examples of the uses of forensic in other disciplines, such forensic anthropologist, forensic chemist, and forensic dentist. Forensic accounting is another example of the use of forensic that relates to accounting discipline.

Regarding the forensic in accounting discipline, D. Larry Crumbley, editor-in-chief of Journal of Forensic Accounting, has written:

Simply put, forensic accounting is legally accurate accounting. That is, accounting that is sustainable in some adversarial legal proceeding, or within some judicial or administrative review.

D. Larry Crumbley used more general terms, i.e. legal proceedings and judicial or administrative review, to describe the use of forensic in accounting discipline. As such, forensic accounting involves three disciplines, i.e., the accountancy, the law, and the audit.

There are other terms that relate or to be perceived to have the same meaning with forensic accounting, i.e., fraud auditing, investigative accounting, litigation support, and valuation analysis. However, there are no clear definitions regarding these terms yet .

In their book1, Bologna and Lindquist explained that some traditional accountants differentiated forensic accounting from fraud auditing. According to traditional group, the forensic auditing relates to the proactive methods and approach to investigate fraud. The purpose of the fraud auditing is to obtain evidence to proof that fraud has happened. Then, the forensic accountant will be called when the evidence already gathered, or when the suspicions become allegations, complaints, or discovery.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) identified some differences between traditional audit and fraud examination (forensic accounting):

(Source: ACFE)


In Indonesia, the development of forensic accounting got its momentum when we experienced financial crisis in 1998-1999. During this period, many forensic accountings have been undertaken as part of the loan provisions. This development then accelerated when new elected government created Komisi Pemberantasan Korupsi (Corruption Eradication Commission).

In the public sector, the practice forensic accounting usually carried out by governmental institutions dealing with legal matter, such as the Police, the Attorney General, PPATK, and the Komisi Pemberantasan Korupsi. In addition to these institutions, the BPK also has authority to perform and has performed forensic accounting for several years. This authority stipulated in Law 15/2004 and Law 15/2006. According to these laws, BPK has a mandate to conduct three types of audit: Financial Audit, Performance Audit, and Special Purpose Audit. The forensic accounting comes under the definition of Special Purpose Audit.

Similar to general practices, the practice of forensic accounting in public sector deal with the fraud. The already well-known type of fraud is corruption. There many examples of corruption that will be elaborated further in the following sessions.


2. What is accounting fraud

Our understanding about the nature of accounting is the service activities, which provide quantitative information regarding business or economic activities. The objective of accounting is to provide management with financial-related information that will be used in decision making. The information is provided through a set of financial reports, which are the output of series procedures to record, summarize, and report economic transactions and activities.

We might never imagine that such well-developed process of recording and reporting transactions could be used as a tool to commit fraud.

Simply defined, fraud is a violation of the law, planned deceit, and dishonesty. It consists of various types of white collar crime, including embezzlement, larceny, concealment of information, concealment of liabilities, concealment of facts, engineering of facts, and corruption (Rezaee, 2002) .

In terms of business, frauds related to financial accounting sometimes referred to as occupational fraud and abuse. The ACFE defined this type of fraud as: The use of one’s occupation for personal enrichment through the deliberate misuse or misapplication of the employing organization’s resources or assets. The three major types of occupational fraud are: Corruption, Asset
Misappropriation, and Fraudulent Statements (which include financial statement schemes).

There are many theories explaining why people commit fraud. One of them is agency problem that derived from the agency theory. The agency theory, firstly introduced in 1976 by Jensen and Mackling , explained the principal-agent relationship between management and the owners. Referring to this theory, fraud happens because managements – the agent – behave not in the interest of the owners, but for his/her individual interest (opportunistic behaviors).

Another theory is called asymmetric information. This theory is based upon the asymmetric access to information between the principals - the owners, and the agents - managements. These differences generate two types of agent’s behaviors, i.e., hidden action and hidden information. By hiddening some actions and/or information, managements could commit fraudulent activities for their benefit.

Donald R Cressey identified three common causes that can trigger fraud. He depicted these causes in a triangle, which then is known as “the fraud triangle”.

First, there is pressure to engage in fraud, such as economical needs.

Second, there is opportunity that allows individual to commit fraud or to conceal dishonest acts.

Third, the ability to justify an act and to exploit legal loopholes to cover up/conceal fraud.
















Moreover, ACFE has identified types of fraud and presented in a chart that is called “fraud tree”



(Source: ACFE)




3. Relation between Forensic Accounting and Accounting Fraud

Referring to above explanations, we could see that forensic accounting is carried out to investigate financial statement-related fraud, by using some investigative audit techniques. Several traditional audit techniques can be used to perform investigative audit, such as physical examination, documentation review, reperformance, and inquiries.

With the increase in importance and demand, the forensic accounting/ investigative audit has emerged to be a profession. Being a certified fraud investigator, which is called Certified Fraud Examiner (CFE), give the accountants/auditors credentials that highly valued by business society. However, to be a good fraud auditors/forensic accountants need additional skills and knowledge.

Howard D Davia advised five rules that should be followed when performing forensic accountant/forensic audit:
1. Avoid becoming prematurely entangled in developing endless facts and circumstances of a case of fraud, to the exclusion of identifying a perpetrator or perpetrators, and proving their involvement.
2. Fraud auditors must constantly strive to prove a perpetrator’s intent to commit fraud.
3. Be creative, think like a perpetrator, do not predictable.
4. Fraud auditing detection procedures must take into account that much fraud involves conspiracy
5. Proactive fraud detection strategy must consider that fraud may appear in the accounting records as distinct entries or hosted entries, and in some instances may not appear in the records at all.

4. Frauds in Indonesia

Before we proceed further, let’s see where our country is in global corruption index. One of the indicators of corruption index widely used is Corruption Perception Index (CPI). This index is developed by Transparency International, a non-governmental organization concerned with the fighting against corruption in the world.


(Source: www.transparency.org)



Prof. Dr. Soemitro once estimated that the fraud in procurement process in our country could involve as much as 30% of procurement budget. However, some procurement fraud cases bring into the court indicated that the amount of money money involved could be much larger.

One of the largest fraud incidence is the distribution BI’s Liquidity Supports (BLBI) during and after financial crisis of 1997. This fraud involved as large money as Rp 650 triliun and spread over 10 years. The natures of BI’s Liquidity Support which are involving large amount of money but lacking strong controls is good conditions for fraud to happen.

There are many other examples how fraud has penetrated deeply into sectors and segments in government, such as: 1. laws; 2. defence; 3. Banking system; 4. Local governments; 5. State-owned enterprises; and 6. Parlement.


5. How the forensic accountant disclose the accounting fraud

Every perpetrator always tries to find ways to commit fraud successfully. The scheme he/she used usually follows the cycle of accountancy. This cycle can be divided into three phases, i.e., the input, the process, and the output phase.


(Source: Ilya Avianti, Transaction Fraud in Financial Statements as a Modus of Corruption, in The Audit Forum, August 2008)


In the input phase, where transaction documents are prepared and captured, the fraud scheme involve such activities as forging documents, engineering fictitious documents, creating corroborating documents, and omitting illegal transactions.

The fraud in the process phase usually committed by exploiting the weaknesses in the internal control systems, issuing internal policies to justify committed or planned fraud, changing or manipulating financial records, and misapplication of accounting principles.

In the output phase, when the financial reports are produced, the fraud usually committed by disclosing inadequately and by exploiting the loopholes in the Financial Accounting Standards.

For the governmental sector, the incidence of fraud also follows the same process. It happens in all phases of budgeting cycle. The government budgeting cycle is depicted in the following graph.

Some examples of fraud in government sector are: (1) reallocating between expenditures account, (2) not recording revenue transactions, (3) recording fake transactions, (4) overvaluing assets, and (5) inadequate disclosure.



(Source: I Gusti Agung Rai, Audit Kinerja pada Sektor Publik: Konsep, Praktik, dan Studi Kasus, Penerbit Salemba Empat, 2008)



The fundamental principle that has proven to be effective in conducting forensic accounting, that is follow the money. One example of the application of this principle is in the Bank Bali Case.


(Source: Kompas, 7 Nopember 1999)



6. How forensic accountant deals with fraud accounting

As mentioned in the beginning session, the objective of the forensic accounting is to proof whether the incidence of fraud happened or not. As such at the end of the audit, the forensic accountant/investigative auditors should be able to provide adequate, sufficient, and reliable evidence to answer the audit objective. If the auditors concluded that there is a incidence of fraud, the evidence obtained during the audit could be used for litigation.

In general, the process of identifying and then proofing the incidence of fraud is as follow (ACFE):


(Source: ACFE)


Article 14 of Law 15/2004, stated that should during the audit BPK found the indication of fraud, the BPK should report in appropriate time such incidences to the legal institutions authorized by law to deal with such incidences.



Closure

To conclude my presentation, please allow me once again to express my sincere appreciation to Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Brawijaya, The OC, and last but least, distinguished colleague panelists and dear audiences in this seminar.



Jakarta, November 26, 2008


Read More......

Selasa, 25 November 2008

TAHU SAMA TAHU dalam Pengadaan Perangkat Komputer di Perkantoran

Dwihansyah Agus Nugraha*
Auditor pada Perwakilan BPK Provinsi DKI Jakarta

Kebutuhan akan informasi saat ini bisa dikatakan sebagai kebutuhan “primer”. Salah satu jalan untuk memenuhi kebutuhan informasi dapat dicapai dengan penggunaan alat-alat teknologi informasi. Wajar saja bila saat ini bidang TI memainkan peran yang cukup besar di berbagai bidang termasuk lembaga negara atau instansi pemerintahan. Niat mulia untuk menyediakan piranti lunak dan perangkat keras TI umumnya dilaksanakan melalui berbagai proyek TI. Namun sangat disayangkan seringkali terjadi hal-hal yang “miring” dalam prosesnya. Terlepas apakah sengaja atau tidak disengaja namun seringkali pula hal tersebut terjadi berulang dan lolos dari pengamatan, pengawasan atau pemeriksaan.

Mari melihat insiden yang terjadi secara makro/nasional. Bila Rp1.000,00 saja selisih yang terjadi per daerah maka secara nasional selisih menjadi Rp 516.000,00 (33 provinsi dan 483 kabupaten/kota). Belum lagi bila dikalikan dengan jumlah instansi/lembaganya, berapa nilai selisihnya? Jadi jangan anggap enteng nilai selisih walaupun serupiah jumlahnya. Sekarang mari lihat beberapa insiden yang umum terjadi pada proyek-proyek TI (atau mungkin terjadi pula pada proyek-proyek lainnya) :

MARK UP
Minimnya wawasan bagian perencanaan, pelaksana keuangan, dan pengawas/pemeriksa dibandingkan dengan pelaksana yang secara struktural dan fungsional (sesuai tupoksi) melaksanakan dan mengelola TI menyebabkan mark up mudah terjadi.
Penetapan harga produk TI bisa saja berdasarkan standar harga yang berbeda-beda sumbernya, belum lagi kemungkinan adanya “kepentingan lain” dalam penyusunan standar harga itu sendiri. Maka menjadi wajar saja bila belanja proyek TI menjadi salah satu ladang yang aman untuk praktek korupsi. Ditambah lagi belanja TI yang cukup besar tersebut seringkali tidak dibarengi komitmen kuat untuk implementasinya secara benar dan berkelanjutan atau secara sederhananya selesai proyek, ya…“bubar jalan”.

HIGH END FEVER
Yang penting keren..! Kebiasaan konsumtif seringkali mendorong belanja TI yang mutakhir namun ternyata hanya untuk mengerjakan hal-hal sepele/ringan. Atau memilih menggunakan piranti lunak yang “wah” untuk volume pekerjaan yang sedikit. Ibaratnya membunuh nyamuk dengan meriam, nyamuk memang mati tetapi biayanya pasti lebih mahal.
Alasan yang sering dipergunakan sebagai pembenaran adalah untuk mempercepat penyelesaian pekerjaan dan tidak mudah rusak. Walaupun bisa jadi alasan tersebut dikemukakan oleh mereka yang tidak terlalu memahami TI (kompeten) dan sekedar menjadi legalisasi untuk belanja dengan harga yang lebih mahal.

PEMBOROSAN
Pengadaaan aplikasi/piranti lunak yang disertai belanja perangkat keras seperti PC atau server. Inefisiensi terjadi manakala setiap aplikasi menggunakan server sendiri-sendiri dan bukan berbagi resource dengan optimalisasi server.
Penggantian perangkat keras atau pengadaan piranti lunak tanpa kajian mendalam dan hanya berdasarkan “wangsit” termasuk dalam kelompok ini. Secara kasat mata pun jelas hal ini merupakan pemborosan anggaran dan hanya menguntungkan penyedia barang/jasa.

LICENSE TRAP
Banyak aplikasi baik operating system atau tailor made software yang mengakibatkan “ketergantungan”. Hak kepemilikan atas aplikasi yang dibangun seharusnya menjadi milik pemerintah/instansi namun yang sering terjadi adalah rekanan memegang kendali atas hidup matinya aplikasi/proyek. Sepanjang dibayar maka aplikasi/proyek berjalan namun bila sebaliknya maka wassalam..!

AROGANSI
Pembuatan atau pemilihan piranti lunak atau perangkat keras yang didesain agar berjalan hanya dengan spesifikasi yang tinggi. Walaupun belum tentu sesuai kebutuhan pengguna atau didukung oleh layanan purna jual (after sales service) yang handal.
Akibatnya pada saat implementasi massal, membutuhkan belanja yang besar dan pengguna menghadapi berbagai kendala tanpa ada yang mau bertanggung jawab terlebih rekanan sulit pula dihubungi. Jadilah semua hanya bisa menggerutu, itu kan barang yang “jatuh dari langit..!”

COPY DAN PASTE
Aplikasi yang sama/serupa yang sudah pernah diimplementasikan rekanan semisal Sistem Informasi Manajemen (SIM/SI), Rencana Induk Pengembangan, Renstra atau berbagai aplikasi tailor made lainnya namun dijadikan proyek baru di tempat yang berbeda. Syukur kalau hanya dihitung sebagai pekerjaan customized saja, yang “repot” kalau dihitung sebagai pekerjaan baru (dimulai dari awal dan dihitung dari nol) dengan alasan kondisinya sangat berbeda.
Pernahkah dilakukan upaya copy and paste terhadap aplikasi sejenis yang telah ada dan menjadi milik pemerintah/instansi kemudian dimodifikasi, sehingga biayanya akan jauh lebih murah daripada masing-masing membuat sendiri-sendiri..?

JEBAKAN TRAINING
Pelaksanaan training seringkali tidak tepat sasaran dan tidak tepat proporsinya. Bisa jadi pesertanya adalah mereka yang tidak akan menangani kegiatan tersebut atau tujuan training yang terlalu bombastis namun isinya sangat minim. Misalkan “Pelatihan Membangun Database Enterprise” yang ternyata diisi dengan pengenalan piranti lunak database “standar”.
Bisa jadi biaya yang dikeluarkan sangat besar apalagi dilaksanakan di hotel berbintang atau waktu pelaksanaannya yang lama atau penggunaan nara sumber/rekanan yang mahal.
Training yang tepat sasaran dengan tingkat efisiensi dan efektivitas tinggi tentu akan menambah kompetensi SDM. Namun apakah bermanfaat atau tidak pasca training, belum tentu menjadi topik yang sering dibahas atau dievaluasi.

PERAN SWASTA
Sudah menjadi kewajaran bila rekanan berusaha memasarkan produknya. Berbagai cara ditempuh termasuk mencari “surat sakti” dari pejabat sebagai payung hukumnya. Disinilah moril pejabat diuji dan perlu dilindungi.
Perlu dipastikan bahwa tidak ada unsur memanfaatkan posisi dan jabatan untuk sesuatu “permainan” walaupun dikemas dengan bungkus niat baik. Rekanan pun seharusnya bisa memangkas rantai distribusi barang/jasa (bukan hanya sekedar menjadi calo) atau mengurai paket perangkat keras sesuai fungsinya agar hanya yang dibutuhkan saja yang ditawarkan sehingga biaya pun menjadi jauh lebih murah.

Akhirnya, selain tersebut di atas mungkin saja masih banyak hal-hal lain yang belum diuraikan. Silahkan saja melihat kenyataan di lapangan. Sebagai informasi tambahan, perlu rasanya disampaikan sedikit uraian UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kerugian keuangan negara;
2. Suap menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi.
Sementara tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi adalah :
1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;Saksi yang membuka identitas pelapor.


Read More......

Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan Publik dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai Pilar Utama Pendukung Pengawasan atas Pengelolaan Keuangan

Oleh Prof. DR. Bambang Triadji
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya di Malang

Sektor Keuangan Publik telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu secara dinamis. Sektor Keuangan Publik mempelajari proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, karena setiap keputusan pemerintah mempunyai pengaruh yang besar terhadap kegiatan perekonomian. Untuk itu sangatlah penting bagi semua pihak untuk mengembangkan konsep-konsep dasar pengelolaan keuangan publik agar dapat dipergunakan sebagai acuan bagi seluruh fungsi manajemen keuangan negara dan daerah termasuk fungsi pengawasan. Konsep tersebut mencakup pula semua nilai-nilai perubahan yang terdapat pada reformasi manajemen keuangan negara dan daerah. Hasil dari reformasi keuangan negara dan daerah tersebut antara lain adalah lahirnya paket undang-undang di bidang otonomi daerah.

Disamping itu terjadi pula perubahan yang mendasar di bidang pemeriksaan dan pengawasan yang antara lain berupa penguatan atas keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keeberadaan BPK yang makin kuat disamping keberadaan pengawas intern yang makin kokoh akan menjamin terlaksananya pengawasan dan pemeriksaan yang makin intensif yang pada gilirannya akan mendorong pengelolaan keuangan daerah yang makin tertib.

KONSEP DASAR PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK

1. Pengertian Keuangan Publik
Keuangan Publik adalah bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari
kegiatan keuangan pemerintah.
Yang termasuk pemerintah disini adalah :
a. Seluruh unit pemerintahan
b. Institusi atau organisasi pemegang otoritas publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah.
Kegiatan keuangan pemerintah mencakup :
a. Pengelolaan pendapatan dan belanja pemerintah.
b. Pengambilan keputusan.
c. Analisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan stabilisasi ekonomi.

2. Pentingnya memahami kegiatan keuangan publik.
Keuangan publik perlu dipahami karena :
a. Jumlah uang publik semakin lama semakin besar sehingga pengelolaannya juga harus semakin baik.
b. Pengawasan oleh legislatif, aparat pengawasan fungsional, dan masyarakat dapat dilakukan dengan baik.
c. Pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah maupun organisasi dibawahnya akan dilaksanakan dengan baik
d. Akuntabilitas keuangan publik akan dapat diberikan secara transparan, efektif, efisien, ekonomis, dan tepat waktu.
e. Pembayar pajak akan memperoleh informasi yang obyektif atas pengelolaan keuangan publik sehingga mereka akan merasa puas dan rela untuk mebayar pajak secara tertib.
f. Sektor swasta akan lebih mudah untuk melakukan kegiatan perekonomian nasional karena mempunyai acuan yang jelas.

3. Kontribusi sektor publik terhadap perekonomian nasional.
Besarnya prosentase keuangan sektor publik terhadap pendapatan nasional disebagian besar negara termasuk Indonesia sangat besar, sehingga dengan berbekal keuangan sektor publik yang signifikan, maka pemerintah dapat melakukan campur tangan dalam perekonomian meskipun harus membatasi kebebasan individu. Namun campur tangan tersebut harus terbatas pada hal – hal yang tidak atau sulit dilakukan oleh sektor swasta serta dalam area yang menyangkut kepentingan umum.
Campur tangan tersebut antara lain karena adanya kelemahan dalam mekanisme pasar yaitu :
a. Adanya barang yang diperlukan masyarakat tetapi tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar.
b. Adanya risiko yang sangat besar yang tidak mungkin dikelola oleh swasta.
c. Adanya sifat monopoli dalam bidang tertentu sehingga pemerintah harus turun tangan agar monopoli tersebut tidak merugikan para pelaku ekonomi.
d. Adanya inflasi dan deflasi yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis oleh mekanisme pasar.
e. Adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku ekonomi pasar.

4. Kriteria Keberhasilan Pengelolaan Keuangan Publik
Keberhasilan dapat diukur dengan :
a. Keadilan dan kewajaran
b. Efektivitas dan efisiensi
c. Sistem pembinaan
d. Kebebasan individu
e. Stabilisasi
f. Keseimbangan

5. Fungsi dari aktivitas pemerintah dalam perekonomian
Fungsi pemerintah terdiri dari :
a. Fungsi alokasi, alokasi sumber daya
b. Fungsi distribusi, pemerataan pendapatan
c. Fungsi Stabilisasi, stabilisasi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi

6. Acuan bagi kebijakan publik yang baik
a. Didasarkan pada peraturan perundang – undangan yang berlaku.
b. Memperhatikan dan melaksanakan prinsip – prinsip good governance.
c. Demokratis, mengikutsertakan semua pihak termasuk partisipasi masyarakat yang bersifat bottom up untuk melengkapi top down.
d. Mempertimbangkan lingkungan strategis yang meliputi :
1) Kondisi dalam negeri
2) Kondisi regional
3) Kondisi global
e. Sumber kebijakan didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan ilmiah dengan memperhitungkan analisa SWOT yaitu strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity (peluang), dan threat (kendala).
f. Sistem ekonomi daerah di Indonesia harus berupa sistem ekonomi di dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia.
g. Dilaksanakannya prinsip – prinsip yang termuat dalam sistem
reinventing goverment yaitu :
1) Pemerintah katalis, pemerintah hanya sebagai katalisator atau pemicu dan tidak perlu bermain sendiri dalam bidang yang sudah dapat dilakukan oleh sektor swasta (bersifat tut wuri handayani)
2) Pemerintah milik masyarakat, semuanya adalah milik rakyat dan oleh karena itu harus bisa dipertanggung jawabkan kepada rakyat.
3) Pemerintah yang kompetitif, bisa bersaing dengan masyarakat dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
4) Pemerintah yang berorientasi pada misi yang jelas.
5) Pemerintah yang berorientasi pada hasil.
6) Pemerintah yang berprinsip wirausaha, bukan hanya pandai membelanjakan uang, tetapi juga pandai mencari dana.
7) Pemerintah antisipatif.
8) Pemerintahan desentralisasi.
9) Pemerintahan yang berorientasi pada pasar.

REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yang kemudian berlanjut dengan krisis ekonomi dan kemudian menjadi krisis multidimensi.
Krisis tersebut mengakibatkan lahirnya Orde Reformasi yang menggantikan Orde Baru
Tuntutan Orde Reformasi adalah sebagai berikut :
a. Supremasi Hukum, yang menginginkan hukum sebagai panglima dan bukan politik lagi sebagai panglima
b. Pemberantasan KKN, karena korupsi, kolusi dan nepotisme telah begitu meluas sehingga Indonesia tercatat di deretan atas sebagai negara yang terkorup di dunia sehingga KKN tersebut telah menggerogoti sendi-sendi perekonomian Indonesia.
c. Adili Suharto dan Kroni-Kroninya, karena mantan Presiden Suharto menurut Ketetapan MPR diduga telah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan orang-orang didekatnya
Namun dalam perkembangan selanjutnya mantan Presiden Suharto tidak dapat diadili dengan alasan beliau menderita sakit permanen, sedangkan kroni-kroninya tetap diadili dan sebagian telah dijatuhi hukuman.
d. Amandemen UUD 45, perlu dilakukan untuk menyempurnakan ketentuan-ketentuan yang dinilai sangat pendek dan kurang jelas Dalam perkembangan selanjutnya UUD 45 kemudian diubah sebanyak empat kali.
e. Hapus Dwi Fungsi ABRI, karena Dwi Fungsi ABRI mendudukkan militer lebih tinggi dibanding dengan sipil oleh karena itu dinilai tidak demokratis .
Dalam perkembangan selanjutnya dwifungsi ABRI kemudian
dihapuskan
f. Otonomi Daerah, dalam arti sistem pemerintahan sentralisasi diubah menjadi sistem desentralisasi.

Sebagai bagian dari reformasi tersebut diatas telah dilakukan pula reformasi dalam bidang manajemen keuangan negara dan daerah
Reformasi Manajemen Keuangan Negara dan Daerah meliputi :
1. Reformasi Landasan Hukum
Lahir Paket UU di bidang Keuangan Negara yaitu :
1) UU No. 17/2003 Tentang Keuangan Negara
2) UU No. 1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara
3) UU No. 15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara

Catatan :
Huruf a dan b pengganti UU Belanda ICW (Indische Comptabiliteitswet)
Huruf c pengganti IAR (Instructie voor Algemeine Rekenkamer )
Disamping itu lahir UU di bidang Otonomi Daerah, yaitu :
a. UU No. 22/1999 yang diganti dengan UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah
b. UU No. 25/1999 yang diganti dengan UU No. 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

2. Reformasi Perencanaan
1) Sistem Perencanaan , diadakannya :
a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
c. Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
2) Penyatuan anggaran rutin dan anggaran pembangunan
3) Semula APBN/APBD berbentuk huruf T menjadi huruf I
4) Transparan , dengan menampilkan kondisi anggaran defisit atau surplus
5) Berbasis Kinerja dalam arti semua kegiatan harus dapat diukur hasilnya
3. Reformasi Pengelolaan
Pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip :
1) Akuntabilitas, dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak terkait (stake holders), bukan hanya kepada pemilik saja (shareholders)
2) Profesionalitas, kegiatan dilaksanakan oleh yang ahli berdasarkan standar dan kode etik yang ditetapkan
3) Proporsionalitas, kegiatan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4) Keterbukaan, pengelolaan keuangan dilakukan secara transparan bagi masyarakat
5) Kehematan, biaya minimum dengan hasil maksimum
6) Efisiensi, secara baik dan tepat waktu
7) Efektivitas, tepat sasaran
8) Pemeriksaan oleh pemeriksa eksternal (BPK)
4. Reformasi Akuntansi
a. Berdasarkan UU No. 17/2003 Tentang Keuangan Negara :
1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan
2) Pembebanan anggaran berdasarkan basis kas diubah menjadi basis akrual mulai tahun 2008
3) Pembukuan dengan sistim double entry
b. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
1) Berlaku untuk Pemerintah Pusat dan Daerah
2) Meliputi akuntansi atas Laporan keuangan,Laporan realisasi anggaran,Laporan arus kas,Persediaan,Investasi,Aset tetap,Konstruksi dalam pengerjaan,Kewajiban,Koreksi kesalahan,Laporan Keuangan Konsolidasi
5. Reformasi Pertanggungjawaban
1) UU No. 17/2003, laporan keuangan terdiri dari :
a). Laporan Realisasi APBN/APBD;
b) Laporan Arus Kas;
c) Neraca;
d). Catatan tentang Laporan Keuangan yang dilampiri dengan Laporan Keuangan BUMN/BUMD.
2) Disampaikan kepada DPR/DPRD setelah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir
6. Reformasi Pemeriksaan
Reformasi Pemeriksan Keuangan Negara antara lain dengan memperkuat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan , sebagai berikut :
1) Berdasarkan Perubahan UUD 45 dan TAP MPR peranan BPK diperkuat, yaitu :
i. BPK bebas dan mandiri
ii. Satu-satunya Pemeriksa Eksternal Keuangan Negara
iii. Mempunyai Perwakilan disetiap Provinsi
iv. Memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara
2). Berdasarkan UU No. 15/2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara
i. BPK mempunyai wewenang pemeriksaan investigatif
ii. Hasil Pemeriksaan BPK setelah diserahkan kepada DPR, menjadi
dokumen publik

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN OTONOMI DAERAH

a. Penyelenggaraan pemerintahan daerah
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pada tanggal 7 Mei 1999 telah disahkan 2 buah undang-undang yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan undang-undang tersebut Pemerintah Daerah diberi wewenang untuk menjalankan pemerintahannya secara otonom.
Pemerintah Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, untuk itu Pemerintah Daerah memerlukan dana yang penggunaannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setelah itu Pemerintah Daerah wajib menyampaikan laporan atau pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

b. Otonomi Daerah
Penerimaan negara dari minyak yang makin menurun berdampak pada menurunnya anggaran pendapatan dan belanja negara. Hal ini menimbulkan kesadaran akan menurunnya kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan subsidi kepada pemerintah daerah maupun dalam membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah. Untuk itu maka pemerintah pusat bertekad untuk memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah agar melemahnya subsidi dari pemerintah pusat tidak mengganggu perkembangan ekonomi maupun jalannya pemerintahan di daerah. Dengan kata lain penurunan penerimaan negara tersebut telah mendorong meningkatnya pelaksanaan otonomi daerah yang dibarengi dengan sistem desentralisasi pemerintahan dan keuangan.
Disamping itu berkembangnya kehidupan politik dan sistem pemerintahan selama Kabinet Reformasi Pembangunan, telah menimbulkan gejolak politik di berbagai daerah dengan tuntutannya agar otonomi daerah dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan bahkan beberapa daerah menghendaki kemerdekaan untuk berdiri sebagai negara dengan pemerintahan tersendiri. Sejalan dengan perkembangan tersebut pemerintahan baru dengan Kabinet Persatuan Nasional di bawah Presiden Abdurachman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri telah membentuk sebuah kementerian negara yang bertanggung jawab terhadap pengembangan otonomi daerah. Hal ini memberikan isyarat bahwa pemerintah pada waktu itu terpanggil untuk mewujudkan otonomi daerah yang semakin luas dan mantap.
Dengan undang-undang otonomi daerah itu berarti bahwa ideologi politik dan struktur pemerintahan negara akan lebih bersifat desentralisasi dibanding dengan struktur pemerintahan sebelumnya yang bersifat sentralisasi.
Tujuan kebijaksanaan desentralisasi adalah : a) Mewujudkan keadilan antara kemampuan dan hak daerah, b) Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan pengurangan subsidi dari pemerintah pusat, c) Mendorong pembangunan daerah sesuai dengan aspirasi masing-masing daerah.
Disamping itu munculnya ide desentralisasi tentunya tidak lepas karena adanya kelemahan-kelemahan dalam sistem sentralisasi yang antara lain adalah : a) Adanya kesulitan dalam melaksanakan program pembangunan daerah secara efektif untuk negara yang sangat besar seperti Indonesia ini, b) Perlunya memasukkan pengalaman dan pengetahuan mengenai daerah ke dalam proses pembentukan atau pengambilan keputusan, c) Kurangnya kesempatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 10 ayat 3, menegaskan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.
Wewenang Pemerintah daerah meliputi desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah atau dari pemerintah provinsi kepada daerah bawahannya atau kabupaten/kota kepada desa/kelurahan untuk melaksanakan tugas tertentu.
Alokasi tugas dalam menyediakan barang publik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan membawa konsekwensi pembagian atau perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Tujuan dari alokasi keuangan tersebut adalah agar daerah otonom dapat mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya. Namun karena tidak semua sumber pembiayaan dapat diserahkan kepada daerah otonom, maka kepada daerah otonom diwajibkan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian maka pemerintah daerah otonom dapat merencanakan anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri sesuai dengan kebijakan serta inisiatifnya dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya. Setiap ada penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah baik pada saat pembentukan daerah otonom itu maupun pada saat ada penambahan urusan harus disertai dengan penyerahan sumber pembiayaannya. Selain itu untuk hal-hal umum, kepada pemerintah daerah otonom diberikan sumber-sumber pendapatan yang umum dan lazim dilakukan berdasarkan undang-undang yang mengatur tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber penerimaan daerah diatur sebagai berikut :
Penerimaan Daerah :
a. Pendapatan daerah :
1). Pendapatan Asli Daerah (PAD),
a) Pajak Daerah
b) Retribusi Daerah
c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d) Lain-lain PAD yang sah
• Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
• Jasa giro
• Pendapatan bunga
• Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
• Komisi dan potongan akibat penjualan atau pengadaan
2). Dana perimbangan,
a). Dana Bagi Hasil
b). Dana Alokasi Umum
c). Dana Alokasi Khusus
3). Lain-lain pendapatan daerah.
a). Hibah
b). Dana darurat
b. Pembiayaan :
1). Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Daerah
2). Penerimaan Pinjaman Daerah dari Pemerintah
Pusat,Pemerintah Daerah lain,Bank,Lembaga Keuangan
Bukan Bank,Masyarakat berupa obligasi daerah dalam mata
uang rupiah
3). Dana Cadangan Daerah
4). Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

Dana alokasi khusus juga berasal dari APBN dan dialokasikan ke Kabupaten/Kota untuk membiayai kebutuhan tertentu yang sifatnya khusus, tergantung pada tersedianya dana dalam APBN. Kebutuhan khusus adalah kebutuhan yang sulit diperkirakan dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Penerimaan dana dan belanjanya tersebut kemudian dituangkan dalaam bentuk Anggaran dan Pendapatan Daerah (APBD).
APBD dapat didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan Pemerintah Daerah yang disatu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam 1 tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksud.
Pada saat ini bentuk APBD didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah terutama UU No. 32 Tahun 2004, UU No.33 Tahun 2004, dan PP No. 58 Tahun 2005.
Bentuk APBD dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Penerimaan, Pengeluaran, dan Pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di era prareformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak Pemerintah Daerah, sedangkan pinjaman belum tentu menjadi hak Pemerintah Daerah. Selain itu dalam APBD mungkin terdapat surplus atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran..
Setelah anggaran tersebut dilaksanakan, maka semua transaksi harus dibukukan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah N. 24 Tahun 2004
Akuntansi keuangan daerah adalah proses identifikasi, pengukuran, pencatatan, dan pelaporan transaksi keuangan dari suatu daerah (provinsi, kabupaten, atau kota) dengan menggunakan sistem pencatatan dan dasar akuntansi tertentu sebagai informasi dalam rangka pengambilan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang memerlukan.
Pada era prareformasi, sistem pencatatan yang digunakan pada akuntansi keuangan daerah adalah sistem tata buku tunggal (single entry), atau pembukuan. Pada saat ini , sistem pencatatan yang digunakan adalah sistem ganda (double entry system) ini.
Setelah memahami sistem pencatatan, masih terdapat satu hal lagi yang penting dalam proses pencatatan, yaitu masalah pengakuan (recognition), yaitu proses memasukkan ke neraca atau laporan laba rugi.
Secara sederhana, pengakuan adalah penentuan kapan suatu transaksi dicatat. Untuk menentukan kapan suatu transaksi dicatat, digunakan berbagai sistem/basis/dasar akuntansi. Berbagai sistem/basis/dasar akuntansi tersebut antara lain basis kas (cash basis), dan basis akrual (accrual basis)


PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH
Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara, menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang tersebut, perlu dikelola dan dipertanggungjawabkan dalam suatu sistem pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Untuk mengetahui dan menilai, apakah pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara telah dilaksanakan secara memadai, perlu dilakukan pemeriksaan oleh pemeriksa ekstern yang independen.
Pengertian Pengawasan dan Pemeriksaan
a. Pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian dengan tujuan agar suatu organisasi melaksanakan fungsinya dengan baik dan berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
b. Pemeriksaan adalah suatu kegiatan dari penilaian organisasi dengan cara membandingkan antara keadaan yang sebenarnya dengan keadaan yang seharusnya.
Jenis pengawasan dapat digolongkan dalam beberapa jenis berdasarkan :
a. Organisasi :
1). Pengawasan Intern,yaitu pengawasaan yang dilakukan
oleh aparat pengawasan di dalam organisasi
2) Pengawasan Ekstern, yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh aparat pengawasan yang berada di luar organisasi
b. Waktu :
1) Pengawasan Represif, yaitu pengawasan yang dilakukan
setelah kegiatan dilakukan
2).Pengawasan Preventif, yaitu pengawasan yang
dilakukan sebelum kegiatan dilakukan
c. Manajemen
1). Pengawasan Melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh atasan langsung. Disamping itu juga pengawasan
yang dilekatkan pada sistem
2). Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang
dilakukan oleh aparat pemerintah/negara
Di Indonesia, pengawasan keuangan negara diatur dalam Pasal 23E ayat (1) dan (3) Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang mengamanatkan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri dan hasil pemeriksaannya ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan pemeriksa eksternal keuangan negara. Disamping itu terdapat pula pemeriksa internal keuangan negara, yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan pada Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND)/Lembaga, Satuan Pengawasan Intern BUMN/BUMD dan Badan Pengawasan Daerah.
Pengawasan dan Pemeriksaan Keuangan Negara yang dilakukan oleh berbagai aparat pengawasan tersebut bertujuan untuk mengetahui dan menilai apakah keuangan negara telah dikelola dan dipertanggungjawabkan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pengaturan pengawasan dan pemeriksaan diatur sebagai berikut :
a. Pengawasan Keuangan Terhadap Pemerintah Pusat
Dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 Pasal 30 dinyatakan bahwa :
1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
Selanjutnya dalam ketentuan peralihan dinyatakan bahwa, batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan berlaku mulai APBN/APBD Tahun 2006.

b. Pengawasan Keuangan Terhadap Pemerintah Daerah dan
BUMD
Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dinyatakan bahwa pemeriksaan atas pelaksanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban keuangan daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya dalam pasal 36 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan sebagai berikut :
1. Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan ABPD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2. Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atau Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat.
Dengan demikian maka pemeriksaan terhadap APBD dan BUMD dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

c. Pengawasan Keuangan Terhadap Badan Usaha Milik Negara
(BUMN)
Dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dinyatakan bahwa pada setiap BUMN dibentuk satuan pengawasan intern yang bertanggung jawab kepada Direktur Utama.
Selanjutnya dinyatakan bahwa pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum.
Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN.
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Negara terhadap keseluruhaan keuangan negara diatur dalam beberapa peraturan perundangan-undangan

a. Undang-Undang Dasar 1945 (setelah perubahan)

Pasal 23 E
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu BPK yang bebas dan mandiri.

Pasal 23 F
Anggota BPK dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan mempertimbangkan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.

Pasal 23 G
BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.


b. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemerisa Keuangan
mengatur hal-hal sebagai berikut
1. Kedudukan BPK
( dalam lingkungan Lembaga Tinggi Negara) digambarkan
sebagai berikut :







MPR


2. Organisasi BPK
dapat digambarkan sebagai berikut :











Catatan : a. Pimpinan dan Anggota BPK memegang
jabatan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
untuk satu kali masa jabatan
b. Persyaratan anggota BPK antara lain :
1). Berpendidikan paling rendah S1 atau yang setara
2). Paling rendah berusia 35 tahun
3). Paling singkat telah 2 tahun meninggalkan jabatan sebagai
pejabat di lingkungan pengelola keuangan Negara
c. Anggota BPK tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena menjalankan tugas.
d. Anggota BPK, Pemeriksa dan pihak lain yang bekerja untuk dan atas nama BPK diberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan.
e. Dalam rangka menjaga kebebasan dan kemandirian, BPK wajib :
+ Mempergunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
+ Mematuhi kode etik pemeriksaan
+ Melaksanakan sistem pengendalian mutu

3. Tugas BPK
dapat digambarkan sebagai berikut:







Catatan : 1).BPK memeriksa instansi :
a. Pemerintah Pusat
b.Pemerintah Daerah
c. Lembaga Negara
d. Bank Indonesia
e. BUMN
f. BUMD
g. Badan Layanan Umum
h. Badan/Lembaga lain pengelola keuangan Negara.
2).Pemeriksaan dapat dilakukan oleh akuntan publik yang
hasilnya disampaikan kepada BPK
3).Dalam melakukan pemeriksaan, BPK
melakukan pembahasan dengan objek yang diperiksa

4. Kewajiban BPK
adalah menyerahkan hasil pemeriksaan kepada berbagai pihak
yang dapat digambarkan sebagai berikut:














KPK



DPR

DPD










KPK



Catatan : 1). Diberikan kepada Kejaksaan/Kepolisian/KPK apabila ada
indikasi tindak pidana paling lama satu bulan sejak diketahui
adanya unsur pidana tersebut.
2). Lembaga Perwakilan (DPR, DPD, DPRD ) menindaklanjuti
hasil pemeriksaan
3). Hasil pemeriksaan yang dilakukan akuntan publik setelah
diserahkan kepada Lembaga Perwakilan dinyatakan terbuka
untuk umum.
4). BPK memantau tindak lanjut hasil pemeriksaan dan hasilnya
diberitahukan kepada Lembaga Perwakilan serta Pemerintah

5. Wewenang BPK
adalah meminta keterangan kepada berbagai pihak dan menerima hasil pemeriksaan dari aparat pengawasan intern pemerintah yang dapat digambarkan senagai berikut :











Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah

Wewenang lain :

1). Merencanakan pemeriksaan, melaksanakan, dan menyusun laporan
pemeriksaan
2). Menetapkan jenis dokumen dan informasi yang wajib disampaikan
kepada BPK
3). Menetapkan standar pemeriksaan keuangan Negara setelah berkonsultasi
dengan Pemerintah
4). Menetapkan kode etik pemeriksaan
5). Menggunakan tenaga ahli/pemeriksa dari luar BPK
6). Membina jabatan fungsional pemeriksa
7). Memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan
8) Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern
Pemerintah.
9). Memantau :
+ Pelaksanaan TP (Tuntutan Perbendaharaan ) terhadap Bendahara
+ Penyelesaian TGR (Tuntutan Ganti Rugi) terhadap PNS bukan
Bendahara
+ Pelaksanaan ganti kerugian berdasarkan putusan pengadilan.
Hasil pemantauan tersebut diberitahukan kepada Lembaga Perwakilan
10).Memberikan pendapat kepada Lembaga Perwakilan, Pemerintah
dan badan/instansi lain pengelola keuangan Negara
11).Memberikan pertimbangan atas penyelesaian TGR
12). Memberikan keterangan ahli dalam proses pengadilan mengenai
kerugian Negara/daerah

6. Fungsi BPK
dapat digambarkan sebagai berikut:








Catatan :
a. Operatif, melakukan pemeriksaan
b. Rekomendasi,memberikan saran
c. Penetapan TP, penetapan tuntutan perbendaharaan/ganti rugi terhadap
+ bendahara ,
+ pengelola BUMN/BUMD, dan
+ badan/lembaga lain pengelola
keuangan Negara
yang merugikan keuangan Negara

7. Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan tahunan BPK
dilakukan oleh akuntan publik yang ditunjuk oleh DPR atas usul BPK
dan Menteri Keuangan yang masing-masing mengusulkan 3 nama
akuntan publik.
Hasil pemeriksaannya disampaikan kepada DPR dan Pemerintah.
8. Untuk menjamin mutu pemeriksaan, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh BPK Negara lain yang ditunjuk oleh BPK setelah mendapat pertimbangan DPR.
9. Anggaran BPK diajukan oleh BPK kepada DPR untuk dibahas dan kemudian disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan APBN.

c. UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
i. Pemeriksaan adalah : Proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas,
ii. Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik, laporan
hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan
dipublikasikan.
iii. Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan yang
disusun oleh BPK, setelah berkonsultasi dengan Pemerintah
(Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan )
iv.BPK bebas dan mandiri dalam :
a). Penentuan obyek pemeriksaan
. b). Perencanaan pemeriksaan
c) Pelaksanaan pemeriksaan
d). Penentuan waktu pemeriksaan
e) Penentuan metode pemeriksaan
f) Penyusunan dan pengkajian laporan pemeriksaan
v. Dalam perencanaan pemeriksaan BPK :
a) Memperhatikan permintaan, saran , dan pendapat lembaga perwakilan. Dalam hal ini BPK dan lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi
b) Mempertimbangkan informasi dari :
1). Pemerintah
2). Bank Sentral
3). Lembaga independen antara lain :
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
KPPU (Komisi Pengawasan Persaingan Usaha)
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)

vi.BPK dapat memanfaatkan LAPIP (Laporan Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah).
vii BPK berwenang :
a) Meminta dokumen
b) Mengakses data
c) Menyegel
d) Minta keterangan antara lain dengan memanggil
f) Memotret, merekam dan mengambil sampel
viii Setelah pemeriksaan selesai , kemudian disusun :
a) Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atau
a) Laporan Interim Pemeriksaan (sementara)
ix .Hasil pemeriksaan terhadap :
a). Laporan keuangan : berupa opini
b). Kinerja berupa :
- Temuan
- Kesimpulan
- Rekomendasi
c) Tujuan tertentu berupa : kesimpulan
Tanggapan auditee (yang diperiksa) di muat dalam Laporan
Hasil Pemeriksaan (LHP)
x. Ikhtisar Hapsem (Hasil Pemeriksaan Semester) disampaikan kepada
lembaga perwakilan dan Presiden / Gubernur / Walikota selambat-
lambatnya 3 bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.
xi. LHP yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan
terbuka untuk umum kecuali laporan yang memuat rahasia negara
yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
xii. Setelah LHP disampaikan , maka :
a. Pejabat yang diperiksa wajib :
1). Menindak lanjuti rekomendasi
selambat- lambatnya 60 hari setelah LHP diterima.
Catatan : Apabila tidak melaksanakan dikenai sanksi administratif.
b. BPK wajib :
1) Memantau tindak lanjut
2) Memberitahukan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan
c. Lembaga perwakilan wajib :
1). Menindak lanjuti dengan pembahasan
2) Meminta penjelasan kepada BPK
3). Meminta penjelasan lanjutan apabila dipandang perlu
4). Meminta pemerintah untuk menindak lanjuti
xiii. Sanksi
a. Tidak menyerahkan dokumen atau menolak memberikan keterangan
- Penjara 1 ½ tahun
- Denda Rp 500 juta


b. Mencegah / menghalangi pemeriksaan :
- Penjara 1 ½ tahun
- Denda Rp 500 juta
c. Memalsukan dokumen :
- Penjara 3 tahun
- Denda Rp 1 milyar
d. Pemeriksa menyalahgunakan dokumen :
- Penjara 3 tahun
- Denda Rp 1 milyar
e. Pemeriksa menyalahgunakan wewenang :
- Penjara minimal 1 tahun, maksimal 5 tahun
- Denda Rp 1 milyar
f. Pemeriksa tidak melaporkan temuan pidana :
- Penjara 1 ½ tahun
- Denda Rp 500 juta
g. Orang yang tidak menindak lanjuti rekomendasi :
- Penjara 1 ½ tahun
- Denda Rp 500 juta

d. Surat Keputusan BPK tg. 1 Agustus 2002 No.
37/SK/I/08/2002) tentang Panduan Manajemen Pemeriksaan,
mengatur hal-hal sebagai berikut
1. Jenis pemeriksaan :
i. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
ii. Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas yang dilakukan secara objektif dan sistimatis terhadap berbagai macam bukti untuk dapat melakukan penilaian secara independen atas kinerja entitas, program, atau kegiatan yang diperiksa.
iii. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus diluar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja .
Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah :
1). Pemeriksaan investigatif yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk menyimpulkan secara akurat dan kuat adanya petunjuk penyimpangan mengenai suatu permasalahan yang ditemukan.
2). Pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah
pemeriksaan terhadap suatu proses yang dijalankan oleh
pimpinan yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai tentang keandalan pelaporan keuangan , efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3). Pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan yaitu pemeriksaan atas pos-pos tertentu dalam laporan keuangan yang bertujuan untuk menguji ketertiban dan kepatuhan kepada peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2. Persiapan pemeriksaan :
i. Telaahan umum atas atas entitas/instansi yang akan diperiksa
ii. Pemahaman atas sistem SPI
iii. Penyusunan program pemeriksaan
iv. Penyusunan program kerja perorangan
v. Persiapan administratif
3. Pelaksanaan pemeriksaan
i. Pertemuan awal (entry briefing )
ii. Pengujian efektivitas SPI
iii. Pengumpulan bukti-bukti
ii. Pengujian bukti-bukti
iii. Penyusunan Kertas Kerja Pemeriksaan
iv. Pembuatan management letter
v. Pertemuan akhir ( exit briefing )
4. Tipe Opini ( Pernyataan Pendapat Auditor ) atas laporan keuangan
i. Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),
menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi semua hal yang material, posisi keuangan, dan arus kas.
ii. Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-PP),
WTP tetapi ditambah dengan paragraph penjelasan tentang beberapa hal .
iii. Wajar Dengan Pengecualian ( WDP),
beberapa hal WTP tetapi ada beberapa hal yang lain dikecualikan
iv. Tidak Wajar (TW)
tidak menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi.
v. Tidak Memberikan Pendapat (TMP) atau Disclaimer,
tidak dapat mengemukakan pendapat karena bukti audit tidak cukup untuk membuat kesimpulan
5. Tindak lanjut pemeriksaan :
i. Pembahasan surat tanggapan
ii. Rapat pra pembahasan tindak lanjut
iii. Rapat pembahasan tindak lanjut
iv. Pemeriksaan tindak lanjut.

d. Standar Audit Pemerintahan ( Rancangan yang sudah dimintakan
pertimbangan kepada Pemerintah ),
mengatur hal-hal sebagai berikut
1. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara ( SPKN) mengatur :
a. Persyaratan Pemeriksa
b. Mutu pemeriksaan
c. Peryaratan laporan pemeriksaan
2. Tujuan SPKN : menjamin mutu pemeriksaan agar dapat mendukung peningkatan mutu pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara.
3. SPKN berlaku untuk:
a. BPK
b. Akuntan Publik atau pihak lain yang melakukan pemeriksaan untuk dan atas nama BPK..
c. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dapat mempergunakan sebagai acuan dalam menyusun standar pemeriksaannya
4. Tanggung jawab instansi yang diperiksa :
a. Mengelola keuangan Negara secara baik
b. Menyusun dan menyelenggarakan pengendalian intern yang efektif
c. Menyusun dan menyampaikan laporan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan secara tepat waktu
5. Tanggung jawab pemeriksa :
a. Merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan dengan menjunjung tinggi integritas , objektivitas dan independensi
b. Mengambil keputusan yang konsisten dengan kepentingan publik
c. Profesional
d. Memperhatikan standar teknis dan etika
e. Bebas dari benturan kepentingan
f. Melaporkan semua hal yang material dan signifikan dalam pemeriksaan
g. Membantu manajemen dan pengguna laporan.
6. Pemeriksaan harus mempertimbangkan hasil pemeriksaan sebelumnya serta tindak lanjutnya.
7. Tim pemeriksa harus disupervisi dengan baik agar tujuan pemeriksa dapat tercapai dengan baik
8. Pemeriksaan harus dapat memperoleh bukti yang cukup, kompeten dan relevan sebagai dasar yang memadai bagi temuan dan rekomendasi pemeriksaan
9. Pemeriksa harus membuat laporan pemeriksaan secara tepat waktu, lengkap, akurat,objektif, meyakinkan serta jelas dan seringkas mungkin.
Pemeriksa harus mempersiapkan dan memelihara dokumentasi .
10. Informasi pemeriksaan yang dilarang oleh peraturan perundang-uandangan tidak diungkap dalam laporan.

f. Hasil Pemeriksaan BPK terhadap Laporan Keuangan Daerah :
Pemeriksaan terhadap 30 Provinsi dan 314 Kbupaten/Kota sebagai berikut:
1). WTP 2 Prov (6,6 %) dan 12 Kb/Kota ( 3,8 %)
2). WDP 27 ,, (90 %) dan 264 ,, (84,1%)
3). WTP-PP - 4 ,, (1,3%)
4). TW - 12 ,, (3,8%)
5). TMP 1 ,, (3,4%) dan 22 ,, (7%)
Kesimpulan : hanya 2 Provinsi dan 12 Kb/Kota yang WTP
Penyebabnya :
1). Stándar Akuntansi Pemerintahan belum diterapkan sepenuhnya
2) Beberapa daerah belum memiliki Perda tentang Sistem Akuntansi
3). Sistem Pengendalian Intern Pemerintahan Daerah belum memadai
4) Masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang material.

VI. PENUTUP
Indonesia telah berusaha keras untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang baik dengan menerapkan konsep-konsep dasar pengelolaan keuangan publik, hasil reformasi manajemen keuangan negara, dan melakukan pengawasan serta pemeriksaan yang intensif, tetapi hingga sekarang keinginan tersebut belum tercapai dan malahan masih jauh dari kenyataan.
Hal ini terlihat pada hasil pemeriksaan BPK maupun lembaga pengawas internal pemerintah yang dalam laporan hasil pengawasan/pemeriksaannya selalu mencantumkan penyimpangan-penyimpangan pengelolaan keuangan negara/daerah yang cukup banyak dan dengan nilai yang amat besar. Diantaranya terdapat kasus-kasus yang berindikasi tindaak pidana.Di media masa setiap hari selalu diberitakan terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintah pusat maupun di daerah.
Kenyataan tersebut merupakan bukti bahwa peraturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dibidang keuangan negara belum ditaati dan dilaksanakan dengan baik oleh semua pengelola keuangan negara dan daerah.disamping itu masih banyak pula peraturan-peraturan yang saling tumpang tindih dan kadang-kadang bertentangan dengan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi.Juga terdapat peraturan-peraturan pelaksanaan yang terlambat dkeluarkannya.
Namun demikian, usaha kearah perbaikaan tidak boleh berhenti dan harus b diteruskan agar pengelolaan keuanagan negara’daerah makin baik sehingga dapat menciptakan good governance, clean government dan good government.

DAFTAR PUSTAKA


Suparmoko, 2002,Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit Andi ,Jogjakarta.

Amin Ibrahim, 2004, Pokok-Pokok Analisis Kebijakan Publik, CV.Mandar Maju, Bandung.

Tim Penyusun Badan Pendidikan dan Pelatihan Dep.Keu,2004, Dasar-Dasar Keuangan Publik, Lembaga Pengkajian Keuangan Publik dan Akuntansi Pemerintah BPPK, Jakarta.

Tim Penyusun Buku Tentang Keuangan Negara dan BPK, 1997, Keuangan Negara dan Badan Pemeriksa Keuangan, Sekretariat Jenderal BPK, Jakarta.

Republik Indonesia, 2004,Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahannya, Kawan Pustaka, Tangerang.

Sedarmayanti, 2003, Good Governance dalam Rangka Otonomi Daerah,CV. Mandar Maju, Bandung.

Republik Indonesia,2004, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Tim Sosialisasi Undang-Undang Bidang Keuangana Negara BPK, Jakarta.

Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang N0.15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Tim Sosialisasi Undang-Undang Bidang Keuangan Negara BPK, Jakarta.

Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Tim Sosialisasi Undang-Undang Bidang Keuangan Negara BPK, Jakarta.

Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,CV.Eko Jaya,Jakarta.

Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,CV.Eko Jaya, Jakarta.

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara,CV.Eko Jaya, Jakarta.

Republik Indonesia, 2006, Undang-Undang No.15 Taahun 2006 Tentaang Badan Pemeriksa Keuangan,Sekretariat Jenderal BPK, Jakarta.

Badan Pemeriksa Keuangan, 2002, Surat Keputusan Ketua BPK No.37 Tahun 2002 Tentang Panduan Manajemen Pemeriksaan,Sekretariat Jenderal BPK, Jakarta.

Badan Pemeriksa Keuangan, 2006, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara,Sekretariat Jenderal BPK, Jakarta.




Read More......

Rabu, 19 November 2008

PEMERIKSAAN TERHADAP PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/JASA

Cris Kuntadi, MM, CPA
Sekjen IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dimaksudkan agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan APBN dan/atau APBD dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Disamping itu juga agar terpenuhi prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Dari maksud Kepres 80/2003 tersebut berarti bahwa pengadaan barang/jasa wajib memenuhi prinsip yaitu pertama efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Ketiga terbuka dan bersaing berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan. Keempat transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya. Kelima adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun, dan keenam akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
Untuk mewujudkan prinsip tersebut, diperlukan pemeriksaan oleh auditor yang profesional, efektif, efisien, dan mandiri. Kondisi ini menjadi tantangan bagi auditor untuk dapat berperan lebih nyata dan signifikan dalam mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa yang sesuai dengan kaidah pengadaan barang/jasa. Keinginan untuk dapat berperan optimal perlu dibekali dengan kemampuan melakukan pemeriksaan dan “awareness” setiap auditor agar menjadi auditor handal.

Kandungan Pokok Kepres 80/2003
Ruang lingkup berlakunya Keputusan Presiden ini adalah untuk:
a. pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD;
b. pengadaan barang/jasa yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dari pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) yang sesuai atau tidak bertentangan dengan pedoman dan ketentuan pengadaan barang/jasa dari pemberi pinjaman/hibah bersangkutan;
c. pengadaan barang/jasa untuk investasi di lingkungan BI, BHMN, BUMN, BUMD, yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.
Dari lingkup tersebut terlihat bahwa BUMN/BUMD meskipun merupakan entitas pemerintah dan dalam lingkup keuangan negara tidak harus tunduk pada Kepres 80/2003. BUMN/BUMD dapat menyusun prosedur pengadaan barang dan jasa yang berlaku secara khusus pada perusahaan tersebut. Meskipun demikian, BUMN/BUMD dapat mengadopsi atau menjadikan Kepres 80 tahun 2003 sebagai referensi dalam menyusun prosedur pengadaan barang dan jasa yang akan diterapkan entitasnya.

PEMERIKSAAN ATAS PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH
Audit pengadaan barang dan jasa pemerintah dimaksudkan untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa pelaksanaan kegiatan khususnya pengadaan barang dan jasa telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Kriteria dimaksud adalah peraturan yang diberlakukan untuk kegiatan dimaksud, berupa Undang Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah, serta petunjuk/prosedur lain yang merupakan turunan peraturan perundang-undangan.

Pelaksanaan audit dapat dilakukan pada saat proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan/atau setelah selesainya proses pengadaan barang/jasa tersebut. Audit pengadaan barang/jasa dilakukan oleh:
1. pengguna barang/jasa, dalam hal meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa telah sesuai dengan yang ditetapkan dalam kontrak, yaitu sesuai dengan kebutuhan pengguna barang/jasa.
2. aparat pengawas intern pemerintah (APIP) dalam hal meyakinkan apakah proses pengadaan barang/jasa telah sesuai perencanaan pengadaan dan peraturan perundangan yang berlaku.
3. auditor eksternal pemerintah (BPK-RI) baik melalui audit keuangan, audit kinerja maupun audit investigasi.

Audit keuangan adalah audit yang dimaksudkan untuk menguji apakah penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Atas audit keuangan terhadap entitas pemerintah dan penerima lain bantuan keuangan pemerintah, auditor eksternal (bukan saja BPK-RI) wajib menerapkan Pernyataan Standar Audit (PSA) Nomor 62 yang diterbitkan IAI. Standar tersebut menyatakan bahwa audit atas entitas pemerintah harus meliputi audit kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepatuhan terhadap pengendalian intern. Audit pengadaan barang/jasa secara prinsip termasuk dalam jenis audit ketaatan/kepatuhan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan audit keuangan dapat juga dilakukan audit pengadaan barang dan jasa, khususnya aspek kepatuhan terhadap proses pengadaan barang dan jasa.

Audit kinerja adalah audit atas kegiatan/operasi untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan kegiatan/program tersebut telah dilaksanakan secara ekonomis, efisien, dan efektif sesuai dengan tujuan yang direncanakan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Audit kinerja pengadaan barang/jasa dilakukan terhadap seluruh aspek dari perencanaan, pemilihan penyedia barang/jasa, penetapan pemenang, penyusunan dan penandatanganan kontrak, pelaksanaan kontrak hingga penyelesaian kontrak dan serah terima pekerjaan serta masa pemeliharaan.

Audit Investigasi dilaksanakan dalam hal pelaksanaan/proses pengadaan barang/jasa berindikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merupakan tindak pidana. Dalam audit investigasi ini maka sasaranNYA

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

Mengungkap pengadaan barang dan jasa yang rawan korupsi tentunya terkait erat dengan permasalahan tindak pidana korupsi. Untuk itu, sekedar mengingatkan kembali akan makna Tipikor sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa:
1. Pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
2. Pasal 3:
“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Dari definisi tersebut maka unsur pokokTindak Pidana Korupsi adalah:
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut. Hukum yang pada umumnya dilanggar oleh pelaku dalam pengadaan barang dan jasa adalah Kepres 80 tahun 2003, disamping aturan intern perusahaan lainnya yang dimaksudkan sebagai pengenalian dalam pengadaan barang dan jasa suatu entitas.
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya. Pihak yang diperkaya dalam pengadaan barang dan jasa antara lain rekanan yang memperoleh keuntungan yang melebihi kewajaran (mark-up), pelaku pengadaan dan kepala satuan kerja yang memperoleh komisi/rabat/fee dll dari rekanan serta pihak lain seperti broker.
Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara. Kerugian negara akibat pengadaan barang dan jasa adalah penggelembungan biaya/harga (mark-up) atas barang dan jasa kebutuhan entitas pemerintah. Kerugian negara juga dapat terjadi karena adanya rabat/diskon/komisi/fee dan sejenisnya yang diberikan rekanan tetapi tidak masuk ke Kas Negara/Daerah.

MODUS OPERANDI KECURANGAN PENGADAAM BARANG DAN JASA

Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa Kepres 80 mengatur pengadaan barang dan jasa Pemerintah dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Prinsip pengadaan tersebut merupakan suatu kriteria yang sangat hakiki dalam proses pengadaan barang dan jasa. Permasalahan utama dan umum terjadi (modus operandi) dalam pengadaan barang dan jasa terkait dengan dilanggarnya kriteria/prinsip tersebut. Pertama pengadaan barang/jasa tidak efisien, berarti pengadaan barang/jasa tidak dilakukan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal yang umum terjadi adalah pembelian suatu barang di atas Harga Patokan Standar (HPS).
Kedua tidak efektif, berarti pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Hal yang umum terjadi adalah pengadaan barang dan jasa yang tidak benar-benar dibutuhkan oleh Pemerintah. Hal ini dapat menjadi suatu ketidakhematan (boros) atau kerugian negara.
Ketiga tertutup dan terbatas terutama adanya pembatasan peserta lelang kepada orang-orang atau rekanan tertentu. Proses Penunjukkan Langaung (PL) atau Pemilihan Langsung yang menyimpang dari Keppres 80 juga umum terjadi.
Keempat tidak transparan, dalam arti adanya penyembunyian ketentuan dan informasi tertentu mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, yang disembunyikan dari peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya.
Kelima tidak adil/ diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang berbeda bagi calon penyedia barang/jasa dan mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun, dan keenam tidak akuntabel, berarti tidak mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
Meskipun prinsip pengadaan tersebut dilanggar (adanya unsur melawan hukum), hal tersebut tidak serta merta mengindikasikan adanya Tindak Pidana Korupsi. Auditor investigatif harus dapat membuktikan terpenuhinya dua unsur lain yaitu kerugian negara dan memperkaya diri/orang lain/korporasi. Hal ini karena karaktersitik yang unik dalam Audit Investigasi adalah audit dilakukan dengan mengkaitkan hasil audit dengan kriteria hukum yang berlaku. Karakteristik ini menjadikan audit investigatif harus dapat diidentifikasikan ke dalam area hukum sehingga diperoleh tindak lanjut yang jelas dan pasti terkait dengan hak dan kewajiban dari pihak yang terkait. Audit investigatif terhadap kasus pengadaan barang/jasa yang berindikasi pada kerugian negara, yang diduga melibatkan penyelenggara negara maupun pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung, mencakup kepada dua hal, yaitu kasus yang berindikasi Tindak Pidana Korupsi dan Kasus yang berindikasi Perdata.
Pengadaan barang dan jasa yang diidentifikasi merugikan negara, maka audit lebih ditekankan kepada identifikasi pidana. Namun jika ternyata setelah diputuskan oleh pihak pengadilan yang terjadi adalah kasus perdata, maka kerugian negara yang terjadi harus di cegah dengan melakukan berbagai upaya hukum guna diperoleh kembali aset negara, dan kepada pegawai yang bertanggung jawab dikenakan sanksi sesuai dengan Kasus Pelanggaran Disiplin PNS.
Pengadaan barang dan jasa yang berindikasi terjadinya kerugian negara akibat adanya penyimpangan-penyimpangan, tidak selalu merupakan kasus Tindak Pidana Korupsi, melainkan dapat juga merupakan kasus Perdata. Hukum perdata menitikberatkan kepada hubungan antara antara dua belah pihak yang ditimbulkan dari adanya gugatan dari pihak yang merasa dirugikan (penggugat). Kasus yang diidentifikasikan sebagai kasus perdata, pada umumnya bersumber pada masalah-masalah seputar perikatan/perjanjian seperti kelambatan pekerjaan. Meskipun rekanan terlambat menyelesaikan pekerjaannya yang mengakibatkan dampak negatif kepada Pemerintah, maka rekanan hanya akan dikenakan sanksi sesuai yang tercantum dalam perjanjian.
Sanksi administrative bagi penyedia barang/jasa terdiri atas:
1. Pembatalan sebagai pemenang (sebelum kontrak ditandatangani)
2. Pemutusan kontrak (kontrak sudah ditandatangani/pekerjaan sedang berjalan)
3. Dimasukkan dalam daftar hitam, sesuai bidang usahanya sehingga tidak dapat ikut dalam proses pengadaan barang/jasa selama kurun waktu tertentu.
Sanksi tersebut dikenakan kepada penyedia jasa sehubungan dengan tindakannya berupa mempengaruhi panitia/pejabat pengadaan untuk memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan peraturan; melakukan persengkongkolan untukmengatur harga penawaran sehingga mengurangi, menghambat, atau bahkan meniadakan persaingan sehat atau merugikan pihaklain; membuat atau menyampaikan dokumen palsu untukmemenuhi persyaratan pengadaan; mengundurkan diri dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; tidak bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan; memalsukan kategori; dan lain-lain.



Read More......