Kamis, 03 September 2009

TRANSPARANSI FISKAL PEMERINTAH PUSAT TAHUN ANGGARAN 2008

Dr. Cris Kuntadi, SE, MM, CPA, Ak.

Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara merupakan tuntutan pokok yang mendasari pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam paket tiga undang-undang di bidang keuangan negara. Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara tersebut pernah direviu oleh IMF seperti yang tertuang dalam Reports on the Observance of Standards and Codes (ROSC) pada Tahun 2006.
Dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan reviu pelaksanaan unsur transparansi fiskal pada Pemerintah Pusat yang dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008. BPK melakukan reviu transparansi fiskal dengan memperhatikan desain dan implementasi transparansi fiskal di lingkungan Pemerintah Pusat tahun 2008 dan disajikan dengan memperbandingkan dengan hasil reviu pelaksanaan transparansi fiskal tahun 2007.

Dibandingkan tahun sebelumnya, pada 2008 Pemerintah telah meningkatkan pengungkapan untuk hal-hal yang material terkait penerimaan migas, piutang pajak, dan hibah luar negeri. Pemerintah juga telah memberikan akses data pajak yang memadai bagi BPK. Pemerintah juga telah berhasil meningkatkan opini pemeriksaan atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL). Peningkatan opini tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah secara serius memperbaiki akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang pada akhirnya meningkatkan transparansi fiskal.

Reviu tersebut didasarkan atas pedoman dan praktik-praktik terbaik dalam transparansi fiskal yang mencakup empat unsur utama dalam Panduan Manual Transparansi Fiskal (Manual on Fiscal Transparency) yaitu: (1) kejelasan peran dan tanggung jawab; (2) proses anggaran yang terbuka; (3) ketersediaan informasi bagi publik; serta (4) keyakinan atas integritas.

Kejelasan Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
Peran dan tanggung jawab Pemerintah Pusat telah diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait tugas pokok dan fungsi pemerintah, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Peran pemerintah sebagai lembaga eksekutif, DPR sebagai lembaga legislatif, dan MA sebagai lembaga yudikatif telah diatur sesuai dengan perannya masing-masing. Pemerintah memiliki fungsi penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban anggaran, sedangkan lembaga legislatif memiliki fungsi untuk membahas dan menyetujui anggaran yang diajukan pemerintah. Peran pemerintah dan DPR dalam penyusunan dan persetujuan anggaran dilakukan dengan membentuk suatu panitia anggaran. Peran tersebut telah dilakukan sesuai dengan jadwal waktu yang ditetapkan. APBN 2008 telah ditetapkan dalam UU Nomor 45 Tahun 2007 tanggal 6 Nopember 2007 secara tepat waktu. Mahkamah Agung juga berperan dalam kegiatan fiskal diantaranya memproses pengajuan permohonan wajib pajak (WP) untuk meninjau kembali putusan pengadilan pajak.


Peran dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah juga telah diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan terkait. Namun, pelaksanaan peran dan tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam pengelolaan fiskal masih memiliki kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut.
Pertama, Pemerintah Pusat belum mengatur mekanisme konsolidasi LKPP dengan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD). Kegiatan fiskal pemerintah (pusat dan daerah) tahun 2008 masih tidak tergambarkan secara keseluruhan dalam konsolidasi anggaran maupun realisasinya. APBN dan APBD disusun dan ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan di tingkat pusat dan tingkat daerah, demikian pula pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran tersebut. Pada tingkat Pemerintah Pusat, anggaran dan pertanggungjawabannya belum meliputi seluruh penerimaan dan pengeluaran negara karena masih adanya penerimaan dan pengeluaran di luar mekanisme APBN.

Kedua, rendahnya transparansi fiskal pada tingkat pemerintah daerah. Sesuai LRA LKPP TA 2008 dana perimbangan yang disalurkan Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah mencapai Rp292,63 triliun atau 29,69 persen dari total belanja Pemerintah Pusat. Pada kenyataannya, LKPD yang memperoleh opini WTP dari BPK hanya empat Pemda. Ini berarti transparansi fiskal Pemda masih sangat rendah. Besarnya dana Pemerintah Pusat yang disalurkan ke Pemda menimbulkan suatu konsekuensi di mana Pemerintah Pusat membutuhkan informasi yang cukup atas aktifitas fiskal Pemda untuk dapat memberikan gambaran menyeluruh terhadap aktifitas fiskal secara nasional. Kondisi opini atas LKPD yang belum baik, menyulitkan Pemerintah Pusat untuk mengetahui secara baik tentang aktifitas fiskal yang dilakukan oleh Pemda.
Ketiga, alokasi DAK yang tidak sesuai dengan kriteria dan tidak dijelaskannya pembagian DBH PBB Migas. Pemeriksaan BPK atas penetapan, penyaluran, dan penerimaan dana perimbangan tahun 2007 mengungkapkan adanya penghitungan alokasi DAK pada 63 Pemda yang tidak sepenuhnya dilakukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Alokasi tersebut hanya berdasarkan pertimbangan daerah tersebut memperoleh DAK tahun 2007.

Di samping tiga masalah tersebut, juga terdapat masalah investasi permanen PMN yang belum sepenuhnya dapat diyakini kewajarannya, belum adanya mekanisme konsultasi langsung dengan masyarakat terkait perubahan aturan dan kebijakan, belum transparannya kontrak kerja sama, koordinasi dalam pencatatan penerimaan negara baik penerimaan pajak maupun PNBP, data penerimaan pajak yang belum sepenuhnya bisa direkonsiliasi perlu diperhatikan pemerintah untuk ditindaklanjuti dalam rangka meningkatkan transparansi fiskalnya.

Proses Anggaran yang Terbuka
Secara umum, proses anggaran yang terbuka telah diatur oleh Pemerintah Pusat. Pelaporan realisasi anggaran semesteran dan tahunan telah dilakukan secara tepat waktu. Namun, kualitas pelaporan tersebut belum sesuai dengan standar akuntansi yang telah ditetapkan dan Pemerintah belum dapat menyajikan laporan kinerja. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK pada LKPP 2008 masih ditemukan adanya mekanisme transaksi di luar mekanisme APBN yaitu pungutan PNBP pada 11 KL tidak memiliki dasar hukum yang memadai dan dikelola di luar mekanisme APBN; penerimaan hibah pada 5 KL dikelola di luar mekanisme APBN; dan adanya penggunaan langsung Rekening Dana Investasi (RDI) dan Rekening Pembangunan Daerah (RPD) berupa pembayaran fee bank penatausahaan dan penyaluran pinjaman kepada debitur. Pengeluaran-pengeluaran tanpa melalui mekanisme APBN mengurangi transparansi fiskal dan belum dipertanggungjawabkan kepada lembaga perwakilan. Pencatatan di luar mekanisme APBN ini akan menghambat pemerintah untuk mengetahui seluruh aktifitas fiskalnya pada tahun berjalan.

Ketersediaan Informasi bagi Publik
Hasil reviu unsur ketersediaan informasi bagi publik menunjukkan bahwa secara umum pemerintah telah melakukan upaya untuk berkomitmen dalam menyediakan informasi fiskal kepada publik. Namun, pemerintah juga belum dapat menyajikan informasi fiskal mengenai dana ekstrabujeter, kegiatan koperasi dan yayasan, pencatatan hibah yang akurat, pencatatan aset dan kewajiban pemerintah yang akurat, dan konsolidasi posisi fiskal nasional (gabungan pemerintah pusat dan daerah) bagi publik, menyajikan informasi yang handal terkait posisi keuangan pemerintah termasuk investasi permanen PMN, serta laporan proyeksi jangka panjang. Dalam penyajian informasi pemerintah belum sepenuhnya menyediakan panduan anggaran bagi masyarakat untuk menjelaskan gambaran utama anggaran dan membuat kalender fiskal.

Keyakinan atas Integritas
Standar akuntansi dan pemeriksaan telah ditetapkan dan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk menjamin independensi dan integritas. Namun dalam pengelolaannya, kualitas data belum sesuai dengan standar akuntansi, dan hasil pemeriksaan dan pengamatan BPK menunjukkan banyak ketidaksesuaian dengan standar, kelemahan pengendalian intern, ketidakkonsistenan data akuntansi, dan rekonsiliasi yang belum berjalan sepenuhnya. BPK juga menemukan adanya standar etika yang belum sepenuhnya diatur, prosedur kepegawaian yang belum sepenuhnya berjalan dengan baik, audit internal yang belum memenuhi standar, administrasi pendapatan yang belum berjalan dengan baik, dan ketidakpatuhan yang belum seluruhnya ditindaklanjuti pemerintah. Dalam hal pemeriksaan oleh lembaga independen, walaupun dalam pemeriksaan keuangan tidak mendapatkan pembatasan lagi, BPK masih mengalami pembatasan dalam pemeriksaaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap perpajakan. Permasalahan dalam memeriksa keuangan negara ini dikarenakan aturan perundangan lainnya yang bertentangan dengan UU BPK yaitu UU Pajak, UU BI, dan UU BUMN. Selain pembatasan karena peraturan perundangan, BPK masih mengalami kesulitan dalam memeriksa biaya perkara di MA karena ketidakjelasan peraturan pelaksanaannya.

Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal Pemerintah Pusat Tahun 2008 Nomor 25/05/LHP/XV/05/2009 Tanggal 20 Mei 2009


1 komentar:

pesanku pesanmu mengatakan...

Saya kebetulan sedang menulis tentang koordinasi transfaran dan sistematis dalam menciptakan kebijakan organisasi, saya telah membaya tulisan anda ternyata dapat melengkapi atau menyempurnakan tulisan saya, melalui pesan ini saya mohon izin tuluisan sdr saya jadikan referensi