Kamis, 27 Mei 2010

THE REFORM OF THE ROMANIAN LOCAL PUBLIC GOVERNMENTS ACCOUNTING IN THE CONTEXT OF THE EUROPEAN INTEGRATION” dan Implementasinya di Indonesia

Reviu Jurnal sebagai tugas mata kuliah Akuntansi Pemerintahan pada MM Perbanas
Oleh : Panji Anom Sambodo


1. Pengertian
Akuntansi merupakan alat ukur dan sistem informasi yang memberikan informasi melalui angka-angka kuantitatif dimana angka kuantitatif inilah yang menjadi dasar atau media untuk melihat kinerja suatu lembaga yang dilaporkannya. Angka ini bisa menggambarkan kondisi keuangan dari lembaga yang dilaporkan. Proses melahirkan infomasi ini dilalui melalui siklus akuntansi. Siklus akuntransi dimulai dari transaksi dan dasarnya di olah melalui proses pencatatan baik manual, mekanis atau computerized yang memberikan hasil akhir berupa laporan keuangan. Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang akurat agar dapat dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan. Dalam praktik akuntansi pemerintahan, terdapat empat macam basis akuntansi yang biasa digunakan, yaitu basis kas, basis akrual, basis kas modifikasi, dan basis akrual modifikasi.

Akuntansi berbasis kas adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar yang digunakan untuk pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan. Pencatatan basis kas adalah teknik pencatatan ketika transaksi terjadi dimana uang benar-benar diterima atau dikeluarkan. Cash Basis akan mencatat kegiatan keuangan saat kas atau uang telah diterima Cash Basis mendasarkan konsepnya pada dua pilar yaitu pengakuan pendapatan yang dilakukan saat pembayaran secara kas diterima dan pengakuan biaya yang dilakukan pada saat sudah dilakukan pembayaran secara kas.
Basis kas menyediakan informasi mengenai sumber dana yang dihasilkan selama satu periode, penggunaan dana dan saldo kas pada tanggal pelaporan. Model pelaporan keuangan dalam basis kas biasanya berbentuk Laporan Penerimaan dan Pembayaran (Statement of Receipts and Payment) atau Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement). Selain itu perlu dibuat suatu catatan atas laporan keuangan atau notes to financial statement yang menyajikan secara detail tentang item-item yang ada dalam laporan keuangan dan informasi tambahan.

Akuntansi berbasis akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Teknik basis akrual memiliki fitur pencatatan dimana transaksi sudah dapat dicatat karena transaksi tersebut memiliki implikasi uang masuk atau keluar di masa depan. Transaksi dicatat pada saat terjadinya walaupun uang belum benar- benar diterima atau dikeluarkan. Dengan kata lain basis akrual digunakan untuk pengukuran aset, kewajiban dan ekuitas dana.


Accrual basis juga mendasarkan konsepnya pada dua pilar yaitu pengakuan pendapatan pada saat hak melakukan penagihan muncul, mengenai kapan kas diterima menjadi kurang penting, maka dalam accrual basis kemudian muncul adanya estimasi piutang tak tertagih, sebab penghasilan sudah diakui padahal kas belum diterima serta pengakuan biaya yang dilakukan pada saat kewajiban membayar sudah terjadi.

2. Kelebihan dan Kekurangan Cash Basic dan Acrual Basic
Setiap metode pencatatan memiliki kelebihan dan kekurangan, berikut ini akan dijelaskan kelebihan dan kekurangan masing-masing metode.
a. Akuntansi berbasis kas
Kelebihan :
• Metode Cash basis digunakan untuk pencatatan pengakuan pendapatan, belanja dan pembiayaan.
• Beban/biaya belum diakui sampai adanya pembayaran secara kas walaupun beban telah terjadi, sehingga tidak menyebabkan pengurangan dalam penghitungan pendapatan.
• Pendapatan diakui pada saat diterimanya kas,sehingga benar-benar mencerminkan posisi yang sebenanya.
• Penerimaan kas biasanya diakui sebagai pendapatan.
• Laporan Keuangan yang disajikan memperlihatkan posisi keuangan yang ada pada saat laporan tersebut.
• Tidak perlu membuat pencadangan untuk kas yang belum tertagih.
Kekurangan :
• Metode Cash basis tidak mencerminkan besarnya kas yang tersedia.
• Akan dapat menurunkan perhitungan pendapatan bank, karena adanya pengakuan pendapatan sampai diterimanya uang kas.
• Adanya penghapusan piutang secara langsung dan tidak mengenal adanya estimasi piutang tak tertagih.
• Biasa dipakai untuk usaha yang relatif kecil.
• Setiap pengeluaran kas diakui sebagai beban.
• Sulit dalam melakukan transaksi yang tertunda pembayarannya, karena pencatatan diakui pada saat kas masuk atau keluar.
• Sulit bagi manajemen untuk menentukan suatu kebijakan kedepannya karena selalu berpatokan kepada kas.

b. Akuntansi berbasis akrual
Kelebihan :
• Metode acrual basis digunakan untuk pengukuran aset, kewajiban dan ekuitas dana.
• Beban diakui saat terjadi transaksi, sehingga informasi yang diberikan lebih handal dan terpercaya.
• Pendapatan diakui saat terjadi transaksi, sehingga informasi yang diberikan lebih handal dan terpecaya walaupun kas belum diterima.
• Banyak digunakan oleh perusahaan besar.
• Piutang yang tidak tertagih tidak akan dihapus secara langsung tetapi akan dihitung kedalam estimasi piutang tak tertagih.
• Setiap penerimaan dan pembayaran akan dicatat kedalam masing-masing akun sesuai dengan transaksi yang terjadi.
• Adanya peningkatan pendapatan perusahaan karena kas yang belum diterima dapat diakui sebagai pendapatan.
• Laporan keuangan dapat dijadikan sebagai pedoman manajemen dalam menentukan kebijakan perusahaan kedepanya.
• Adanya pembentukan pencandangan untuk kas yang tidak tertagih, sehingga dapat mengurangi risiko kerugian.
Kekurangan :
• Metode acrual basis digunakan untuk pencatatan.
• Biaya yang belum dibayarkan secara kas, akan dicatat efektif sebagai biaya sehingga dapat mengurangi pendapatan perusahaan.
• Adanya resiko pendapatan yang tak tertagih sehingga dapat membuat mengurangi pendapatan perusahaan.
• Dengan adanya pembentukan cadangan akan dapat mengurangi pendapatan perusahaan.
• Tidak ada perkiraan yang tepat kapan kas yang belum dibayarkan oleh pihak lain dapat diterima.

3. Konteks Internasional
Di ranah internasional, proses transisi dari dasar kas ke akrual telah dimulai jauh sejak tahun 70-an oleh Chile, yang diikuti oleh New Zealand pada tahun 1990 dan USA serta Australia pada tahun 1997. Pada era 2000, langkah ini diikuti oleh hampir 22 negara dari 30 negara anggota OECD, kemudian disusul oleh Malaysia dan Tanzania, pada tahun 2001 oleh Inggris dan Kanada, tahun 2003 oleh Afrika Selatan dan di tahun 2005 oleh Negara-negara anggota Uni Eropa. Akan tetapi, meskipun telah banyak Negara telah memulai usaha untuk melakukan proses transisi ini, sebagian besar Negara-negara di dunia lebih menerapkan politik “wait and see” mengenai proses transisi ini.

Sikap “wait and see” yang diambil oleh sebagian besar negara-negara ini disebabkan oleh masih terjadinya perdebatan akan perimbangan besarnya biaya/resiko dan manfaat yang akan diperoleh dari proses transisi ini. IFAC dan European Federation of Accountant telah memberi peringatan kepada Negara-negara yang akan dan telah melakukan proses transisi ini untuk lebih memperhatikan kondisi, prioritas dan karakter lokal Negara masing-masing, selain pentingnya pra-kondisi yang diperlukan untuk keberhasilan implementasi transisi. Dilain pihak, organisasi penyusun standar akuntansi internasional sendiri seperti IFAC dan IPSAS meski telah mengalami banyak kemajuan dalam menyusun standar akuntansi internasional dengan dasar akrual, masih belum mampu menghasilkan standar yang lengkap dan komprehensif.

Konteks Rumania
a. Struktur Pemerintahan
Struktur pemerintahan di Rumania ditandai oleh proses transisi dari pemerintahan komunisme dengan sistem sentralismenya menjadi pemerintahan yang demokratis pada tahun 1991, dengan diadopsinya konsitusi yang lebih desentralisasi. Hal ini diikuti oleh diadopsinya Undang-undang Sistem Administrasi Publik di tingkat lokal/daerah, dimana sepuluh tahun kemudian diperbaharui dengan dikeluarkanya “Law on Local public Adm. No 15/2001” yang mengatur tentang otonomi daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut dan didukung oleh “Law on Local Public Adm no 215/2001”, administrasi publik ditingkat lokal dibagi kedalam dua level pemerintahan daerah, ditingkat pertama adalah “counties” (41 counties) dan ditingkat kedua adalah “cities”, “town” (276 town), serta “communes” (2727 comunes). Masing-masing unit memiliki lembaga perwakilan (legislatif) dan kepala daerah (eksekutif) dan tidak ada hubungan secara hierarki diantaranya.

b. Kerangka Kerja Akuntansi
Dasar hukum akuntansi pemerintahan di Rumania adalah “Accounting Law no 82/1991” yang mewajibkan semua entitas untuk melaksanakan double-entry accounting dan menyusun laporan keuangan, dengan pengecualian pada unit communes yang masih diperbolehkan untuk melakukan single-entry accounting.
Berdasarkan peraturan tersebut, semua aktifitas ekonomi dan finansial harus dicatat dan didokumentasikan pada saat dokumen yang dipersyaratkan terpenuhi, sehingga mensyaratkan adanya dokumen pendukung yang menjadi dasar pencatatan. Dalam institusi publik, dikenal adanya sistem patrimoni yang ditemukan pada administrasi Negara dan administrasi unit teritorial (cities, town dan communes), dimana laporan dibuat secara kuartalan tahunan yang terdiri dari neraca dan budgetary execution account dan schedule.

Anggaran terdiri dari bagian kredit/belanja yang dibagi menjadi akun biaya, special funds, dan extra budgetary income dimana pengeluaran belanja mengharuskan institusi publik untuk mengorganisasikan dan mengatur pencatatan dari budgetary commitment (DIPA) sesuai dengan metode yang diatur oleh Kementerian Keuangan.

Di tingkat unit teritorial, pelaksanaan anggaran diorganisasikan dan diatur berdasarkan metode yang diatur oleh Kementerian Keuangan, yang mengharuskan adanya pencatatan transaksi operasional (noted right, pendapatan kas, pengeluaran dana anggaran daerah), cut off pencatatan pada tanggal 31 Desember, pencatatan subsidi yang diterima dari anggaran Negara.

Laporan Neraca pda institusi publik selain mencerminkan adanya sistem patrimony (Negara dan unit teritorial) juga mencatat aset-aset yang dikuasai Negara dan swasta.(tanah, kekayaan alam, deposito, dan aset potensial lainya) yang dinilai dalam mata uang dengan menggunakan metode yang diatur oleh kementerian keuangan. Pencatatan dalam bentuk nilai fisik atau value unit (yang terjadi pada aset cadangan hutan, mineral dll) dilakukan oleh institusi yang berwenang.

c. Proses Harmonisasi Akuntansi di Institusi Lokal
Hingga tahun 2000, sistem akuntansi sektor publik di Rumania masih menggunakan dasar kas dimana di tingkat lokal ditandai oleh adanya kesalah pahaman penggunaan istilah beban dan biaya, pendapatan dan arus masuk kas, skil aparatur yang rendah dan aktivitas yang terlalu terstandarisasi. Proses harmonisasi sistem akuntansi lokal di Rumania melibatkan beberapa penyesuaian yang meliputi:
1) Penggunaan dasar akrual untuk persediaan, piutang (pajak, kontribusi sosial dan bunga) dan hutang. Hal ini diperlukan untuk mengetahui besarnya beban pada periode tertentu diluar biaya yang benar-benar dikeluarkan.
2) Penggunaan metode Full Depreciation pada aktiva tetap. Hal ini diperlukan untuk melakukan pembebanan biaya terhadap aktivitas yang melibatkan penggunaan, konsumsi dan keuasangan aktiva tetap, yang kadang merupakan komponen biaya yang signifikan bagi aktivitas sektor publik yang bersifat capital intensive.
3) Pengukuran normal profit yang melibatkan biaya modal (cost of capital). Hal ini diperlukan untuk mengetahui besarnya return on investment dalam penggunaan dana fixed dan working capital.
4) Revaluasi aset yang memperhitungkan inflasi. Hal ini diperlukan untuk mengetahui besarnya nilai sekarang dari aset dan besarnya nilai sekarang dari penyusutan aktiva tetap, hal ini juga mempengaruhi proses penghitungan nilai return on investment jika diungkap sebagai prosentase atas biaya riil (atau juga opportunity cost) dari modal.

Dalam hal peraturan perundangan, proses harmonisasi dilakukan dengan mengadopsi European Directives no 4 dan no 7, European Accounting System (ESA 95) dan International Accounting Standardss for the Public Sector (IPSAS). Hal ini dilakukan secara bertahap dengan dikeluarkanya peraturan-peraturan selama 5 tahun terakhir ini:
1) OMFP 1792/2002 tentang Pengesahan, Pencairan, Permintaan dan Pembayaran Belanja Institusi Publik (empat tahap realisasi anggaran).
2) OG no 81/2003 tentang Revaluasi dan Penyusutan Aktiva Tetap.
3) OMFP no 520/2003 tentang Pengorganisasian dan Pencatatan Akuntansi dari Anggaran Penerimaan.
4) OMFP no 1025/2005 tentang Klasifikasi Anggaran.

d. Karakter Utama dari Sistem Akuntansi Sektor Publik yang baru
Dalam Sistem Akuntansi Sektor Publik yang baru, yang menggunakan dasar akrual, ketentuan dalam IPSAS no 1 tentang Pelaporan Keuangan diadopsi secara penuh. Beberapa Karakteristik yang disyaratkan dari proses akuntansi dan pelaporan keuangan menurut IPSAS no 1 antara lain; tujuan dari penyusunan pelaporan keuangan adalah untuk menjamin kemampuan diperbandingkan, baik dengan pelaporan keuangan tahun sebelumnya dari institusi terkait maupun dengan pelaporan keuangan institusi lain, pelaporan keuangan disusun untuk memenuhi kebutuhan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, arus kas.

Secara khusus, tujuan dari laporan keuangan adalah untuk menyediakan informasi mengenai:
a. Sumber, alokasi dan penggunaan dari sumber daya insititusi.
b. Bagaimana institusi mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan kasnya.
c. Kemampuan institusi untuk mendanai aktivitasnya dan memenuhi kewajibannya
d. Kondisi keuangan dan perubahannya
e. Kinerja keuangan institusi

Untuk memenuhi tujuan tersebut, maka laporan keuangan harus meliputi:
a. Aset
b. Kewajiban
c. Aset bersih/modal
d. Pendapatan
e. Pengeluaran
f. Arus kas

Pelaporan Keuangan sendiri terdiri dari:
a. Laporan Posisi Keuangan/Neraca
b. Laporan Kinerja Keuangan
c. Laporan Perubahan Aset
d. Laporan Arus Kas
e. Catatan Atas Laporan Keuangan
f. Studi tentang Implementasi Sistem Akuntansi Sektor Publik yang Baru

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa perdebatan mengenai perimbangan besarnya biaya dan manfaat dari diberlakukannya Sistem Akuntansi Sektor Publik dengan menggunakan dasar akrual masih terus berlangsung hingga saat ini. Tampaknya hal ini juga terjadi di Rumania, mengingat besarnya dampak yang diakibatkan dari diberlakukannya dasar akrual ini terutama bagi institusi pemerintahan lokal (communes), dan untuk mengetahui mengenai bagaimana implementasi Sistem Akuntansi Sektor Publik yang baru maka diselenggarakan studi mengenai hal ini dengan tujuan untuk (1) mengetahui besarnya biaya dan manfaat dari transisi menuju Sistem Akuntansi Sektor Publik dengan menggunakan dasar akrual, terutama di tingkat lokal, (2) mengetahui bagaimana penerapan dari Sistem Akuntasi Sektor Publik dengan menggunakan dasar akrual oleh para aparatur di tingkat lokal (county, city dan village).

Studi dilakukan dalam dua periode, periode pertama dilakukan sebelum pelaksanaan sistem yang baru, dilakukan untuk melihat kesiapan pelaksanaan, baik kesiapan fisik maupun non fisik. Periode kedua dilaksanakan setelah pelaksanaan sistem yang baru untuk melihat keberhasilan dan masalah yang timbul dan kemudian bersama-sama berusaha dipecahkan bersama.

Berdasarkan hasil studi dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut:
a. Sebanyak 73% dari para aparatur pelaksana tidak berpengalaman dalam pengaplikasian sistem akuntasi dengan menggunakan dasar akrual.
b. Sebanyak 81% dari para aparatur pelaksana tidak mengetahui dan berpengalaman mengenai sistem akuntansi double entry.
c. Sebanyak 80% dari para aparatur pelaksana menyatakan lebih menyukai sistem akuntasi dengan dasar kas, dengan argument lebih murah dan sederhana.
d. Hampir semua aparatur pelaksana sependapat bahwa sistem akuntasi yang baru (dasar akrual) dan laporan keuangan yang dihasilkan lebih komplek dibanding sistem akuntasi dengan dasar kas.
e. Mengenai kesiapan sistem Informasi dan Teknologi (IT), hampir semua aparatur pelaksana berpendapat bahwa sistem IT yang sekarang masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sistem akuntansi yang baru.
f. Mengenai penilaian aset, sebanyak 65% dari responden mengalami kesulitan dalam memisahkan antara aset publik aset swasta, demikian juga dalam hal pemberlakukan penyusutan aktiva tetap
g. Mengenai keuntungan dari sistem akuntansi yang baru, sebanyak 37% dari aparatur menganggap bahwa mereka melakukannya hanya karena mereka diharuskan tanpa peduli apa kelebihannya.
h. Mengenai biaya/resiko dari perpindahan ke sistem akuntansi akrual, sebagian besar yang disebutkan antara lain: pelatihan untuk para aparatur, pelatihan mengenai sistem IT yang digunakan, penyesuaian pada sistem IT, penyesuaian pada kerangka hukum, modifikasi pad arus informasi yang dihasilkan.

Dan berdasarkan studi yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa masih diperlukan pelatihan bagi aparatur pelaksana terutama bagi aparatur di tingkat lokal, Prosedur dan konvensi dalam akuntansi perlu untuk dikembangkan lebih lanjut untuk benar-benar dapat mengadopsi ketentuan dari Uni Eropa (ESA 95). Selain itu, Parlemen baik di tingkat pusat maupun lokal masih perlu meningkatkan kapasitas mereka dalam melakukan analisa informasi yang dihasilkan oleh sistem akuntansi yang baru terutama yang berkenaan dengan anggaran sehingga mereka mampu melaksanakan tugas mereka sebagai penyeimbang lembaga eksekutif.

4. Basis Akuntansi Pemerintahan di Indonesia
Sesuai amanat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah diwajibkan menerapkan basis akuntansi akrual secara penuh atas pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara paling lambat tahun anggaran 2008. Basis akuntansi yang sekarang ini diterapkan oleh pemerintah dalam pembuatan laporan keuangan pemerintah sesuai dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan dalam Exposure Draft Standar Akuntansi Pemerintahan (per 04 Februari 2004) adalah dual basis. Yang dimaksud dengan dual basis adalah pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran menggunakan basis kas, sedangkan untuk pengakuan aktiva, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca menggunakan basis akrual. Penggunaan dual basis tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah diwajibkan membuat neraca yang hanya dapat dibuat dengan akuntansi berbasis akrual, sedangkan di sisi lain juga wajib membuat laporan realisasi anggaran atau yang dulu di kenal dengan nama Perhitungan Anggaran Negara (PAN) yang dibuat dengan akuntansi berbasis kas.

Dalam wacana akuntansi, secara konseptual akuntansi berbasis akrual dipercaya dapat menghasilkan informasi yang lebih akuntabel dan transparan dibandingkan dengan akuntansi berbasis kas. Akuntansi berbasis akrual mampu mendukung terlaksanakannya perhitungan biaya pelayanan publik dengan lebih wajar. Nilai yang dihasilkan mencakup seluruh beban yang terjadi, tidak hanya jumlah yang telah dibayarkan. Dengan memasukkan seluruh beban, baik yang sudah dibayar maupun yang belum dibayar, akuntansi berbasis akrual dapat menyediakan pengukuran yang lebih baik, pengakuan yang tepat waktu, dan pengungkapan kewajiban di masa mendatang. Dalam rangka pengukuran kinerja, informasi berbasis akrual dapat menyediakan informasi mengenai penggunaan sumber daya ekonomi yang sebenarnya. Oleh karena itu, akuntansi berbasis akrual merupakan salah satu sarana pendukung yang diperlukan dalam rangka transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Pada praktek akuntansi pemerintahan di Indonesia, basis kas untuk Laporan Realisasi Anggaran berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima oleh Rekening Kas Umum Negara/Daerah, dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah. Secara rinci pengakuan item-item dalam laporan realisasi anggaran, sesuai dengan Exposure Draft PSAP Pernyataan No. 2 tentang Laporan Realisasi Anggaran adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan.
2. Belanja diakui pada saat terjadinya pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah atau entitas pelaporan. Khusus pengeluaran melalui pemegang kas pengakuannya terjadi pada saat pertanggungjawaban atas pengeluaran tersebut disahkan oleh unit yang mempunyai fungsi perbendaharaan.
3. Dana Cadangan diakui pada saat pembentukan yaitu pada saat dilakukan penyisihan uang untuk tujuan pencadangan dimaksud. Dana Cadangan berkurang pada saat terjadi pencairan Dana Cadangan.
4. Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Negara/Daerah.
5. Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah.
Penggunaan basis akrual merupakan salah satu ciri dari praktek manajemen keuangan modern (sektor publik) yang bertujuan untuk memberikan informasi yang lebih transparan mengenai biaya pemerintah dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan didalam pemerintah dengan menggunakan informasi yang diperluas, tidak sekedar basis kas. Secara umum, basis akrual telah diterapkan di negara-negara yang lebih dahulu melakukan reformasi manajemen publik. Tujuan kuncinya adalah untuk meminta pertanggungjawaban para manajer dari sisi keluaran (output) dan/atau hasil (outcome) dan pada saat yang sama melonggarkan kontrol atas masukan (input). Dalam konteks ini, para manajemer diminta agar bertanggung jawab untuk seluruh biaya yang berhubungan dengan output/outcome yang dihasilkannya, tidak sekedar dari sisi pengeluaran kas. Karena itu, hanya basis akrual yang memungkinkan untuk mengakui semua biaya, dengan demikian dapat mendukung pengambilan keputusan oleh para manajer secara efisien dan efektif.
Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh atas penerapan basis akrual, baik bagi pengguna laporan (user) maupun bagi pemerintah sebagai penyedia laporan keuangan. Manfaat tersebut antara lain :
1. Dapat menyajikan laporan posisi keuangan pemerintah dan perubahannya.
2. Memperlihatkan akuntabilitas pemerintah atas penggunaan seluruh sumber daya.
3. Menunjukkan akuntabilitas pemerintah atas pengelolaan seluruh aktiva dan kewajibannya yang diakui dalam laporan keuangan.
4. Memperlihatkan bagaimana pemerintah mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan kasnya.
5. Memungkinkan user untuk :
a. Mengevaluasi kemampuan pemerintah dalam medanai aktivitasnya dan dalam memenuhi kewajiban dan komitmennya.
b. Mengevaluasi kinerja, posisi keuangan dan arus kas pemerintah dalam hal biaya pelayanan, efisiensi dan penyampaian pelayanan.
c. Menilai akuntabilitas pengelolaan seluruh sumber daya oleh suatu entitas.
6. Membantu user dalam pembuatan keputusan tentang penyediaan sumber daya ke atau melakukan bisnis dengan entitas.
7. Menunjukkan bagaimana pemerintah membiayai aktivitas-aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan dananya. 8. Memungkinkan pengguna laporan untuk mengevaluasi kemampuan pemerintah saat ini untuk membiayai aktivitas-aktivitasnya dan untuk memenuhi kewajiban-kewajian dan komitmen-komitmennya.
9. Menunjukkan posisi keuangan pemerintah dan perubahan posisi keuangannya.
10. Memberikan kesempatan pada pemerintah untuk menunjukkan keberhasilan pengelolaan sumber daya yang dikelolanya.
11. Bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal efisiensi dan efektifivitas penggunaan sumber daya.

Di Indonesia, perubahan penetapan cash basic menuju acrual basic harus dilakukan secara bertahap, walaupun berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara seharusnya acrual basic sudah diterapkan pada TA 2008 tetapi karena SDM yang terbatas membuat penerapan sistem ini harus dilakukan bertahap selama beberapa waktu kedepan. Cara yang dianggap cukup efektif sebagai langkah awal perubahan sistem ini adalah dengan menerapkan dulu kepada beberapa entitas akuntansi tertentu di Pemerintah Pusat yang sudah dianggap mapan dalam proses akuntansinya, sebagai pilot project, apabila pilot project sudah berhasil, maka pengalaman-pengalaman praktek akuntansi akrual ini dapat ditransfer dan digunakan untuk bahan sosialisasi ke instansi-instansi pemerintah lainnya.

Menteri keuangan melalui KMK No. 72/KMK.05/2009 tentang Program Pelaksanaan Reformasi Penganggaran dan Perbendaharaan Negara (RPPN) telah menetapkan pilot project perubahan sistem akuntansi pemerintah menuju acrual basic pada seluruh jajaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Direktorat Jenderal Anggaran dengan melibatkan Unit Eselon I yang terkait di lingkungan Kementerian Keuangan serta beberapa Kementerian/Lembaga lainnya. Pilot project untuk tahun anggaran 2010 yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pertanian, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

5. Simpulan
Sistem akuntansi berbasis akrual merupakan sistem akuntansi modern yang banyak diterapkan di negara maju. Berdasarakan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 36 ayat (1) bahwa pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun.
Pemerintah Indonesia saat ini masih menetapkan dual basic dimana pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran menggunakan basis kas, sedangkan untuk pengakuan aktiva, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca menggunakan basis akrual. Pemerintah belum bisa menjalani amanat UU No. 17 Tahun 2003 karena kendala dalam SDM sehingga menteri keuangan melalui KMK No. 72/KMK.05/2009 tentang Program Pelaksanaan Reformasi Penganggaran dan Perbendaharaan Negara (RPPN) menetapkan pilot project dalam rangka perubahan bertahap sistem akuntansi berbasis kas menuju sistem akuntansi berbasis akrual.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Keuangan. 2008. Kajian Terhadap Penerapan Akuntansi Berbasis Akrual
Departemen Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan No. 72/KMK.05/2009 tentang Program Pelaksanaan Reformasi Penganggaran dan Perbendaharaan Negara (RPPN)
Komite Standar Akuntansi Pemerintah. 2004. Draft Standar Akuntansi Pemerintahan
Komite Standar Akuntansi Pemerintah. 2006. Memorandum Pembahasan Penerapan Basis Akrual Dalam Akuntansi Pemerintahan Di Indonesia
Mustofa, Hamim, 2007. Basis Akuntansi Pemerintahan. Dalam www.abusyadza.wordpress.com
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara


Read More......

HARUSKAH STANDAR AKUNTANSI BISNIS DIBEDAKAN DENGAN STANDAR AKUNTANSI NON BISNIS?

Tulisan ini merupakan tugas mahasiswa STIA LAN Jakarta pada Mata Kuliah Sistem Informasi Keuangan Negara dan Barang Milik Negara

ABSTRAK

Suatu kerangka konseptual untuk akuntansi non bisnis dikembangkan dan diterapkan ke dalam akuntansi sektor publik yang baru di Perancis. Konsep akuntansi non bisnis tersebut digunakan untuk menjelaskan sifat dan aturan dari organisasi yang tidak mencari laba sehubungan dengan sistem ekonomi dan proses ekonomi dan moneter secara spesifik. Teori ini membandingkan akuntansi bisnis/sektor privat dengan akuntansi non bisnis. Ada 3 model pandangan dalam akuntansi sektor privat yaitu wealth basis (static), the cash basis, dan flow basis (dynamic). Wealth basis merujuk pada nilai wajar, sedangkan model dinamis (flow basis) merupakan model akuntansi accrual basis. Model dinamis ini diterapkan dalam menyusun konsep standar akuntansi di Perancis. Pemerintah Perancis memperkenalkan standar akuntansi yang baru yang dituangkan dalam kerangka konseptual, yang mengemukakan logika pelaporan keuangan sebagai interprestasi dari kegiatannya dan juga menjelaskan pada kekhasan akuntansi untuk sektor publik. Analisa yang dikemukakan dalam jurnal, mengungkapkan adanya ambiguitas konsep revenue dan asset dan beberapa standar khusus antara model statis dan model dinamis.

I. PENDAHULUAN
Standar akuntansi disusun dengan tujuan untuk menjamin konsistensi dalam penyusunan laporan keuangan. Saat ini terdapat dua jenis organisasi atau sektor yang berimplikasi pada penyusunan standar akuntansi. Satu jenis organisasi atau sektor adalah sektor komersial atau yang disebut juga dengan sektor bisnis, sektor privat, atau sektor yang mencari laba (profit motive/seeking organization). Sektor yang lain adalah sektor sosial atau yang disebut juga dengan sektor publik atau organisasi yang tidak mencari laba (not for profit organization). Pengertian privat dan publik sebenarnya memiliki pengertian dan konsep yang sangat luas yang dikembangkan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, administrasi publik, sosiologi dll.


Sektor bisnis berbeda dari sektor pemerintah dan organisasi nirlaba. Granof (1998:3-8) mencatat ada 12 hal yang membedakan pemerintah dan organisasi nirlaba dengan bisnis yaitu:
1. Different in missions;
2. Budget, not the marketplace govern;
3. Expenditures may drive revenues;
4. The budget, not the annual report is the most significant financial document;
5. Budgets drive accounting and financial reporting;
6. Need to assure interperiod equity;
7. Revenues not indicative of demand for goods or services;
8. Not direct link between revenues and expenses;
9. Capital assets may neither produce revenues nor save costs;
10. Resources may be restricted;
11. No distinct ownership interests;
12. Less distinction between internal and external accounting and reporting.


Selanjutnya dikatakan oleh Granof (1998: 8-10) karakteristik lain dari organisasi pemerintah dan nirlaba dengan bisnis yang berimplikasi pada akuntansi:
1. Many different types of governments and not-for-profits
Banyaknya jenis pemerintahan dan organisasi nirlaba yang mengakibatkan kesulitan dalam penyusunan standar yang dapat berlaku untuk seluruh jenis organisasi;
2. Short-term focus of manager
Masa kepemimpinan seorang kepala unit pemerintahan biasanya singkat. Dalam masa yang singkat, seorang pimpinan ingin menunjukkan prestasi yang tidak sebenarnya (cosmetic improvements) dalam anggaran dan laporan keuangannya dengan menggunakan tehnik penganggaran dan akuntansi.
3. Governments and not-for-profits engage in business type activities
Unit-unit pemerintah atau organisasi nirlaba tertentu melakukan aktivitas seperti layaknya aktivitas bisnis. Pemerintah kota melakukan jasa pengangkutan sampah misalnya. Jenis ini mengharuskan pengembangan prinsip-prinsip yang berbeda untuk jenis organisasi yang dimaksud.

Terhadap adanya pandangan tidak adanya pembedaan antara akuntansi sektor bisnis/privat dan sektor publik, terdapat beberapa permasalahan dalam menerapkan akuntansi sektor bisnis ke dalam sistem akuntansi sektor publik/pemerintahan. Mautz (1981,1989), Glazer dan Jaenika (1991), Pallot (1992), Guthrie (1998), Chan (1999, 2003), Coy, Fisher dan Gordon (2001), Ellwood (2003) serta Elwood dan Newberry (2006) mengkritisi penerapan akuntansi bisnis ke dalam akuntansi sektor publik dan menyarankan suatu standar tersendiri untuk akuntansi pemerintahan yang disesuaikan dengan tujuan entitas. Selain itu, tipe dan jenis aset dan kewajiban, biaya dan pendapatan yang tidak didapatkan pada akuntansi privat merupakan sesuatu yang mengahruskan adanya suatu sistem tersendiri untuk mengakomodir sistem akuntansi pemerintahan.
GASB (2006:16) diantaranya menyatakan:
”Secara fundamental, sektor pemerintah dan sektor swasta itu berbeda. Standar akuntansi pemerintahan mencerminkan lingkungan pemerintahan yang khas, termasuk tujuan organisasi pemerintahan, kekuasaan dan peraturan perundangan yang melingkupi dan untuk mewujudkan akuntabilitas kepada rakyat.”

Dalam jurnal yang ditulis oleh Dr. Yuri (Crns and Cnam) pada akuntansi sektor privat terdapat 3 pandangan komparatif yaitu: welth basis (bersifat statis), cash basis dan accrual basis (bersifat dinamis). Ketiga pandangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut yaitu:
1. Pandangan statis berhubungan dengan pendekatan neraca. Pandangan ini menekankan nilai kekayaan bersih dari perusahaan dan nilainya pada suatu periode tertentu.
2. Pandangan cash flow berhubungan dengan pendekatan finansial. Pandangan ini menekankan pada arus keuangan masuk dan keluar pada perusahaan dan merepresentasikan sumber daya yang tersedia pada suatu waktu untuk membiayai kebutuhan perusahaan.
3. Pandangan dinamis berhubungan dengan pendekatan laporan laba rugi. Pandangan ini menekankan sumber daya masuk dan keluar pada perusahaan dan merepresentasikan sumber daya yang digunakan dalam operasional perusahaan dalam suatu periode.

Pandangan statis mendefinisikan laba perusahaan (income) sebagai penghasil kekayaan atau nilai tambah, dibangun dengan menggunakan stock metode (pendekatan aktiva-kewajiban), pandangan dinamis mendefinisikan laba perusahaan sebagai penghasilan bersih dibangun dengan menggunakan flow methode.

II. KERANGKA KONSEPTUAL AKUNTANSI PEMERINTAHAN DI PERANCIS
Kerangka konseptual akuntansi pemerintahan Perancis yang baru (Moderfie, 2004, pp. 5-18) disusun dalam rangka untuk meminimalkan kesulitan yang dihadapi dalam menerapkan model akuntansi bisnis kedalam sektor publik.

Mengikuti pandangan dinamis, kerangka konseptual akuntansi pemerintahan Perancis menekankan kebutuhan untuk menandingkan expenses (”charge”) dan kontribusi dalam penyusunan sistem akuntansi sebagai suatu alat untuk mengatur dan menginterprestasikan aktivitas pemerintahan. Konsep ini merujuk pada prinsip going concern dan accrual basis.

Namun demikian kerangka konseptual akuntansi pemerintahan Perancis juga menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintahan harus menunjukkan suatu nilai dan posisi keuangan yang secara sah menjadi hak milik pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan. Nilai bersih dalam kekayaan pemerintah ditentukan oleh hak dan hutang pemerintah yang diakui sebagai asset dan kewajiban.

Dalam jurnalnya yang berjudul “should business and non-business accounting be different? A comparative perspective applied to the new French govermental accounting standards”, Dr. Yuri Biondi (Cnrs and Cnam) menganalisis kerangka konseptual akuntansi pemerintahan Perancis melalui analisis yang didasarkan pada pernyataan masing-masing standar. Secara khusus analisa dilakukan terhadap pernyataan Standar No. 1 (Laporan Keuangan), Standar No. 2 (Beban), Standar No. 3 dan 4 (Pendapatan), Standar No. 5 (Aset Tak Berwujud), Standar No. 6 (Aset Berwujud), Standar No. 7 (Aktiva), Standar No. dan 11 (Posisi Keuangan), Standar No. 13 (Perikatan Pensiun yang disebutkan dalam catatan).

Laporan Rugi-Laba (Standar No. 1)
Laporan rugi laba dalam Standar No.1 masih menggunakan model akuntansi statis dan dinamis. Laporan rugi-laba dibagi dalam dua bagian, satu bagian untuk biaya netto, bagian lainnya merupakan “produk” netto (revenues), dan akhirnya disusun “Laporan Saldo Operasi dalam suatu periode”.
Berkaitan dengan laporan aktivitas, GASB (2006, p. 25) menyatakan:
Tidak seperti laporan laba-rugi organisasi sektor privat, laporan aktivitas menekankan pada penyediaan jasa melalui fungsi atau program dan seberapa besar kontribusi dan pemanfaatannya dari pendapatan pemerntah. Laporan tidak hanya menyediakan suatu dasar untuk menganalisa kinerja manajemen, tetapi juga untuk menilai efektivitas dan efisiensi, dan sebagai tambahan untuk mengukur kinerja manajemen.

Laporan keuangan yang ditetapkan oleh Standard No. 1 tentang Laporan Keuangan dipengaruhi oleh permasalahan referensi ganda. Dalam tabel, beban bersih, penjualan barang atau jasa dan kontribusi entitas tidak diklasifikasikan sebagai “pendapatan” tetapi dikurangkan dari biaya. Selain itu, allocation tidak hanya meliputi biaya penyusutan sumber daya yang digunakan pemerintah, tetapi juga amortisasi atas kerugian akibat penurunan nilai dari assets tertentu. Kesimpulannya, Standar No.1 tidak mengidentifikasikan berapa biaya aktual untuk melakukan aktivitas pemerintah, atau kontribusi yang diberikan.

Definisi pendapatan atau produk (Standar No. 3 dan 4)
Kedua standar ini (Standar No.3 dan 4) mengacu pada klasifikasi pendapatan yang berbeda. Klasifikasi pertama membedakan antara pendapatan berdaulat dan tidak berdaulat, yang kedua antara transaksi dengan atau tanpa “pertukaran ekivalen langsung dengan pihak-pihak lain. Klasifikasi terakhir (transaksi tanpa pertukaran ekivalen) meliputi pendapatan berdaulat dan kontribusi operasi di dalam basis tidak komersial. Sisa transaksi “Yang melibatkan nilai tukar langsung setara bagi pihak-pihak lain“ terbatas pada “penjualan dari barang-barang dan jasa, penjualan dari asset atau penggunaan aset secara nyata (tangible), tidak nyata dan finansial oleh pihak-pihak lain”. Sungguhpun laporan keuangan menunjuk terutama pada klasifikasi pertama, klasifikasi kedua berguna untuk menekankan perbedaan antara transaksi komersial dan transaksi ekonomi lain yang berhubungan dengan pajak dan kontribusi.

Secara umum, teoritis mengasumsikan bahwa setiap transaksi yang menyertakan suatu transfer adalah transaksi komersial, yang menyiratkan satu harga dan satu ekivalensi ekonomi. Tetapi jumlah yang ditransfer mungkin menjadi pertimbangan sebagai pendapatan hanya jika lima karakteristik dari pendapatan yang telah diskusikan sebelumnya dipenuhi. Jika tidak, transfer harus dipertimbangkan sebagai satu “arus operasi (operating inflow)” (bukan pendapatan), sesuai dengan definisi berikut yang diadaptasi dari Anthony (1978, p. 31):
Inflow bukan-pendapatan ini mungkin saja menunjuk pada “transfer yang tidak ekivalen” karena mereka mencakup satu aliran dari sumber-sumber daya tanpa satu ekivalen pasar transfer dari barang-barang atau jasa.

Sebuah contoh tipikal dari aliran ini dapat berupa uang tahunan yang dibayar oleh mahasiswa reguler pada universitas publik dan nirlaba. Pembayaran itu dilakukan bagi aktivitas-aktivitas dari mengajar, tetapi tidak berhubungan dengan “pendapatan bisnis”, maupun pembelian komersial dari produk mengajar.

Definisi biaya (Standar No. 2)
Sumber daya yang didistribusikan diakui secara khusus kedalam "biaya intervensi (intervention expense)", yang didefinisikan sebagai "pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk membuat regulasi ekonomi dan sosial” (MODERFIE, 2004, p. 40). Standar ini tidak ditujukan untuk pajak dari gaji karyawan pemerintah. Dalam hal ini, negara memungut pajaknya sendiri. Jumlah tersebut tidak diakui sebagai biaya, karena itu, dari sudut pandang ekonomi, jumlah tersebut bukan merupakan konsumsi dari sumber daya yang harus dicover (ditutupi) dengan kontribusi.

Selanjutnya, pelepasan aset dan personil pemerintah seharusnya diungkapkan dengan lebih baik. Pelepasan ini dijelaskan melalui catatan, tetapi masih belum jelas bagaimana perlakuan akuntansi dan pelaporannya.

Definisi asset
Pertanyaan dari konsistensi kerangka ini terutama menyangkut definisi dari asset (“actif”). Kerangka konseptual menyatakan:
Aset adalah kekayaan bersih yang memiliki nilai ekonomi positif bagi pemerintah pusat, yang berarti bahwa ini adalah sumber daya yang dikontrol oleh pemerintah yang diharapkan dapat menghasilkan manfaat ekonomi di masa depan. Manfaat ekonomi masa depan bagi pemerintah berarti aliran kas kepada pemerintah dari penggunaan aktiva atau potensi produksi jasa yang diharapkan dari penggunaan aset untuk kepentingan pemerintah atau pihak lain dalam menjalankan tugas atau fungsinya (p. 14).

Standar No. 5 (Aset Tak Berwujud)
Standar ini mengakui aset tak berwujud sesuai dengan nilai wajar yang ditentukan dengan mendiskontokan aliran kas yang akan datang. Hal ini menimbulkan dua isu: (i) depresiasi dan amortisasi, dan (ii) kapitalisasi pengeluaran.
Dimasukkannya jumlah penyusutan atau amortisasi pada nilai aset merupakan hal yang tidak konsisten dengan pernyataan Standar No. 2 dan 3. Suatu beban harus menunjukkan “penggunaan sumber daya untuk memproduksi barang atau jasa, atau kewajiban untuk membayar kepada pihak lain yang tidak memiliki hubungan langsung, sedangkan pajak merupakan "sejumlah uang yang harus dibayarkan individu dan perusahaan kepada pemerintah dengan tanpa pertukaran yang setara untuk menutupi pengeluaran publik tersebut”. Meskipun neraca dapat mengungkapkan informasi tentang nilai aset yang dimiliki, informasi ini seharusnya tidak memodifikasi total biaya yang dibebankan pada pembayar pajak.

Standar No. 6 (Aset berwujud)
Standar No. 6 menyatakan:
Dalam akuntansi bisnis, asset biasanya didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat digunakan untuk menghasilkan arus kas di masa depan. Definisi ini tidak sepenuhnya memenuhi karakteristik sebagian besar asset pemerintah pusat. Oleh karena itu, asset juga didefinisikan sebagai sarana untuk memberikan pelayanan potensial atau, menurut istilah yang digunakan oleh Komite Sektor Publik IFAC, mendefinisikan aset sebagai "potensial mewujudkan pelayanan" yang tidak menghasilkan aliran kas.
Standar ini menekankan pada pandangan dinamis. Standar ini mengabaikan pandangan statis yang menekankan pada properti dan nilai wajar, dan menekankan pandangan dinamis untuk sumber-sumber daya yang dikuasai dan digunakan oleh sektor publik.

Standar No. 7 (Asset Finansial)
Kerangka konseptual mengikuti kriteria yang dikeluarkan oleh IASB untuk entitas bisnis dengan menekankan pada kontrol hukum, tetapi mengintegrasikan kriteria-kriteria ini dengan tiga kriteria lebih lanjut:
- aktivitas keuangan non-pasar yang dilakukan oleh pemerintah pusat;
- tugas dan target ditentukan oleh pemerintah pusat;
- aktivitas yang diawasi oleh pemerintah pusat.

Akuntansi untuk posisi keuangan dan obligasi pensiun (Standar No. 10, 11, dan 13)
Kerangka konseptual menolak "penilaian dengan nilai wajar" yang dianjurkan dalam perdebatan pada akuntansi bisnis, dan mengakui posisi keuangan sebesar nilai buku. Dalam kasus kontroversial mengenai obligasi pensiun, kerangka konseptual tidak mengintegrasikan kewajiban ini ke dalam laporan keuangan dan mengungkapkannnya pada catatan. Bertentangan dengan prinsip umum dari harga nilai, obligasi ini ditentukan oleh nilai kini dari nilai kewajiban bruto.

Posisi ini berasal dari sikap kehati-hatian mengenai interpretasi dari akuntansi pemerintah akrual, yang mana framework mengklaim kemampuan membayar dan berbagai hal ketahanan finansial:
Diskusi tentang pengertian dari posisi keuangan dan surplus/defisit menunjukkan bahwa penafsiran bahwa laporan keuangan disusun dengan prinsip kehati-hatian, terutama pada saat menganalisis kemampuan membayar (solvabilitas) suatu entitas”.

Pemerintah menciptakan pengeluaran ekonomi yang didasarkan pada pinjaman, dimana hutang/pinjaman tersebut dipandang sebagai modal untuk pengeluaran (sinking capital). Dalam konteks ini, suatu kerugian ditentukan oleh basis accrual dimana pengeluaran yang terjadi (ditentukan oleh biaya) lebih besar dari kontribusi yang terjadi pada saat yang sama (ditentukan oleh pendapatan netto). Konsumsi ini dibiayai oleh penarikan dari sinking capital yang tersedia. Untuk pemberi pinjaman perseorangan, penarikan ini merupakan suatu kredit/pinjaman yang akan dikenai bunga dan harus ditutup, tetapi secara keseluruhan, kegiatan ini merupakan konsumsi/pengeluaran dari ”sleeping capitals”.

III. ANALISA HARUSKAH AKUNTANSI BISNIS DAN NON BISNIS BERBEDA?
Karakteristik organisasi bisnis dan organisasi non bisnis dalam membedakan perihal modal (capital equity) telah dibahas dalam pemikiran John Maynard Keynes.
“Salah satu yang membedakan karakteristik ekonomi organisasi non bisnis dengan organisasi bisnis, adalah bahwa modal merupakan hasil dari donasi. Hal ini dapat dikatakan bahwa sumber modal bukan berasal dari kepemilikannya. Hal ini sangat berlainan dengan modal dalam organisasi bisnis, bahwa modal merupakan hasil dari sesuatu yang diinvestasikan.”

Dari pendapat di atas sangat jelas perbedaan antara organisasi bisnis dan non bisnis. Dalam terminologi akuntansi, modal yang ada dalam kelompok ekuitas neraca organisasi non bisnis adalah modal donasi. Sedangkan di organisasi bisnis modal dalam kelompok ekuitas berupa modal saham atau bentuk lainnya yang diharapkan akan dapat memberikan imbalan ekonomi bagi para pemodal.

Pengertian organisasi bisnis dan non-bisnis yang mempengaruhi akuntansi dilakukan oleh R. N. Anthony yang dimuat dalam Financial Accounting in Nonbusiness Organization (1978). Sebagaimana ditemukan oleh R.N. Anthony (dalam Rowan Jones dan Maurice P., 2000:128) organisasi dapat dibagi menjadi tiga kategori sebagai berikut:
1. Profit Oriented- organisasi yang tujuan utamanya adalah mencari laba;
Contohnya adalah perusahaan swasta, perusahaan publik/perusahaan negara/daerah dan kategori.
2. Type A Non-profit- organisasi nirlaba yang sumber keuangannya seluruhnya diperoleh dari pendapatan dari penjualan barang dan jasa;
Contoh di Inggris untuk kategori ini adalah industri nasional (nationalised industries), di Indonesia Badan Layanan Umum (BLU)
3. Type B Non-profit- organisasi nirlaba yang memperoleh pendapatan utamanya dari sumber selain penjualan barang dan jasa.
Contohnya adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang memperoleh pendapatannya dari pajak, hibah dll.

Tujuan R.N. Anthony menggolongkan organisasi dalam kategori di atas adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana organisasi bisnis dan nonbisnis dibedakan untuk tujuan penyusunan standar akuntansi? Untuk itu dia menawarkan tiga alternatif yaitu:
1. Pembedaan menurut profit/nonprofit (profit/nonprofit distinction),
2. Pembedaan sumber pembiayaan (source of finance distinction), dan
3. Tidak membedakan sama sekali (no distinction).

Organisasi yang mencari profit, profit itu sendiri menjadi ukuran kinerja. Tugas akuntansi disini adalah mengukur laba. Sementara itu untuk organisasi yang tidak mencari laba, ukuran profit bukanlah ukuran kinerja yang tepat. Dengan demikian akuntansi untuk kedua hal ini juga berbeda. Organisasi yang tidak mencari laba tujuannya bukan hanya satu tetapi banyak. Oleh karena itu laporan akuntansi harus dapat menyajikan informasi untuk memenuhi tujuan yang banyak tersebut. Konsekwensinya, jika di organisasi yang mencari laba hanya ada satu set akun (single set of accounts) sementara itu untuk organisasi yang tidak mencari laba terdapat banyak rangkaian akun (series of accounts). Organisasi yang mencari laba biasanya didanai dari modal saham (shareholder equity). Dengan demikian dibutuhkan informasi mengenai pengembalian (return) dari kegiatan investasi. Di organisasi yang tidak mencari laba tidak ada risiko modal yang diinvestasikan sehingga informasi mengenai pengembalian modal menjadi tidak penting.

Berdasarkan sumber keuangan, organisasi yang mencari laba (profit oriented) dan organisasi Type A Non-profit sumber utama keuangannya adalah pendapatan dari hasil penjualan. Artinya, produk organisasi telah diuji oleh pasar. Dengan demikian selisih pendapatan dan biaya menjadi ukuran kinerja. Di sisi lain, organisasi Type B Non-profit, pendapatan berasal dari yang non-revenue seperti pajak hanya menunjukkan ukuran kinerja yang sempit. Yang juga harus diukur adalah apa yang seharusnya dibelanjakan tanpa memandang apakah pasar akan menerima atau tidak. Dalam organisasi Type B Non-profit karena pendanaannya tidak berasal dari penjualan barang dan jasa maka ada batasan-batasan yang harus diikuti. Dalam hal seperti ini adalah suatu kesalahan jika dana digunakan untuk tujuan lain dari yang seharusnya. Sistem akuntansi harus dikembangkan untuk menangani jenis-jenis batasan ini maka digunakan akuntansi dana (fund accounting). Oleh karena profit sangat penting bagi perusahaan profit oriented dan Type A Non-profit maka akun-akun yang disajikan merupakan akun final yang merupakan instrumen utama akuntabilitas keuangan. Untuk Type B Non-profit, akun-akun final memang penting dalam menjelaskan bagaimana uang dibelanjakan. Hal yang sama pentingnya adalah anggaran karena anggaran menentukan jumlah yang dapat dipungut. Artinya anggaran sangat penting dalam akuntabilitas keuangan dan juga berarti bahwa akun-akun final disertakan untuk tujuan pembandingan informasi anggaran.

Berdasarkan alternatif yang ketiga yaitu tidak ada pembedaan (no distinction) dijelaskan bahwa sebenarnya ada hal-hal yang dapat dilakukan tanpa membedakan tujuan dan juga sumber pembiayaannya. Misalnya, sistem pencatatan berpasangan (double entry) merupakan hal yang universal. Interpretasi yang berbeda mungkin dapat dilakukan untuk organisasi yang berbeda tetapi informasi dasar yang dibutuhkan sebenarnya sama. Informasi dasar tersebut dapat ditemui dalam Operating Statement, Balance Sheet, dan Cashflow Statement. Model organisasi bisnis umumnya dimengerti dengan baik dan dapat diterapkan terhadap seluruh organisasi. Karena laporan keuangan digunakan untuk melakukan monitoring terhadap penggunaan sumber daya ekonomi maka basis yang digunakan harus sama. Ada konsep-konsep yang berlaku di hampir seluruh organisasi seperti modal (capital), harga barang jasa yang dihasilkan (cost of services provided). Ini menjadi konsep penyatu (the unifying concepts) sehingga pembedaan-pembedaan tadi tidak terlalu menjadi masalah.

IV. KERANGKA KONSEPTUAL AKUNTANSI PEMERINTAHAN DI INDONESIA
A. Perkembangan Standar di Sektor Publik
Di Indonesia, beberapa upaya untuk membuat sebuah standar yang relevan dengan paraktik-praktik akuntansi di organisasi sektor publik telah dilakukan, baik oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) maupun oleh pemerintah sendiri.
Untuk organisasi nirlaba (yang dimiliki perorangan atau swasta), IAI telah menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 tentang “Organisasi Nirlaba”. Namun PSAK tersebut belum mengakomodir praktik-praktik akuntansi yang diperlukan dalam suatu entitas yang dimiliki pemerintah, baik itu lembaga pemerintahan sendiri maupun organisasi nirlaba yang dimilikinya (misalnya rumah sakit dan universitas).

Dalam PSAK 45, dijelaskan bahwa pernyataan ini berlaku bagi laporan keuangan yang disajikan oleh organisasi nirlaba yang memenuhi karakteristik berikut ini:
1. Sumber daya entitas berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.
2. Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuan memupuk laba. Kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut.
3. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis. Hal itu berarti kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran entitas.
Keprihatinan akan situasi proses pelaporan keuangan sektor publik menjadi alasan diluncurkannya program pengembangan standar akuntansi. Diawali dengan pembentukan Kompartemen Akuntansi Sektor Publik di IAI pada tanggal 8 Mei 2000 dengan salah satu programnya adalah penyusunan standar akuntansi keuangan untuk berbagai unit kerja pemerintahan. Dari proses tersebut dihasilkan Exposure Draft Standar Akuntansi Sektor Publik yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Akuntansi Sektor Publik Ikatan Akuntan Indonesia.
Menteri Keuangan RI menetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 308/KMK.012/2002 tanggal 13 juni 2002 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintahan Pusat dan Daerah (KSAP), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :379/KMK.012/2004 tanggal 6 Agustus 2004. Komite ini secara formal dinyatakan terdiri dari unsur Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, dan unsur IAI. Penetapan KSAP dilakukan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 84 Tahun 2004 tentang Komite Standar Akuntansi Pemerintahan dan terakhir diubah dengan Keppres Nomor 2 Tahun 2005.

KSAP bertugas mempersiapkan penyusunan konsep Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai prinsip-prinsip akuntansi yang wajib diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah pusat dan/atau daerah.
Pengembangan SAP mengacu pada praktik-parkatik terbaik di tingkat internasional dengan tetap mempertimbangkan kondisi di Indonesia, baik peraturan perundangan dan praktik-praktik akuntansi yang berlaku maupun kondisi sumber daya manusia. Startegi peningkatan kualitas pelaporan keuangan pemerintahan dilakukan dengan proses transisi menuju basis akrual. Hingga saat ini, pendapatan, belanja, dan pembiayaan dicatat berbasis kas. Sementara, aset, utang, dan ekuitas dana dicatat berbasis akrual.
SAP terdiri atas sebuah kerangka konseptual dan sebelas pernyataan berikut:
PSAP 01 Penyajian Laporan Keuangan
PSAP 02 Laporan Realisasi Anggaran
PSAP 03 Laporan Aliran Kas
PSAP 04 Catatan atas Laporan Keuangan
PSAP 05 Akuntansi Persediaan
PSAP 06 Akuntansi Investasi
PSAP 07 Akuntansi Aset Tetap
PSAP 08 Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan
PSAP 09 Akuntansi Kewajiban
PSAP 10 Koreksi Kesalahan
PSAP 11 Laporan Keuangan Konsolidasian.

B. Kerangka Konseptual Menurut SAP
Sesuai dengan kerangka konseptual akuntansi pemerintahan di Indonesia, ciri-ciri penting lingkungan pemerintahan yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan tujuan akuntansi dan pelaporan keuangan adalah sebagai berikut:
1. Ciri utama struktur pemerintahan dan pelayanan yang diberikan:
a. Bentuk umum pemerintahan dan pemisahan kekuasaan;
Dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berazas demokrasi, kekuasaan ada di tangan rakyat. Rakyat mendelegasikan kekuasaan kepada pejabat publik melalui proses pemilihan. Sejalan dengan pendelegasian kekuasaan ini adalah pemisahan wewenang di antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sistem ini dimaksudkan untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan di antara penyelenggara pemerintahan.
Sebagaimana berlaku dalam lingkungan keuangan pemerintahan, pihak eksekutif menyusun anggaran dan menyampaikannya kepada pihak legislatif untuk mendapatkan persetujuan. Setelah mendapat persetujuan, pihak eksekutif melaksanakannya dalam batas-batas apropriasi dan ketentuan perundang-undangan yang berhubungan dengan apropriasi tersebut. Pihak eksekutif bertanggung jawab atas penyelenggaraan keuangan tersebut kepada pihak legislatif dan rakyat.

b. Sistem pemerintahan otonomi dan transfer pendapatan antar pemerintah;
Secara substansial, terdapat tiga lingkup pemerintahan dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, yaitu pemerintah pusat, pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah yang lebih luas cakupannya memberi arahan pada pemerintahan yang cakupannya lebih sempit. Adanya pemerintah yang menghasilkan pendapatan pajak atau bukan pajak yang lebih besar mengakibatkan diselenggarakannya sistem bagi hasil, alokasi dana umum, hibah, atau subsidi antar entitas pemerintahan.
c. Adanya pengaruh proses politik;
Salah satu tujuan utama pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Sehubungan dengan itu, pemerintah berupaya untuk mewujudkan keseimbangan fiskal dengan mempertahankan kemampuan keuangan negara yang bersumber dari pendapatan pajak dan sumber-sumber lainnya guna memenuhi keinginan masyarakat. Salah satu ciri yang penting dalam mewujudkan keseimbangan tersebut adalah berlangsungnya proses politik untuk menyelaraskan berbagai kepentingan yang ada di masyarakat.
d. Hubungan antara pembayaran pajak dengan pelayanan pemerintah.
Walaupun dalam keadaan tertentu pemerintah memungut secara langsung atas pelayanan yang diberikan, pada dasarnya sebagian besar pendapatan pemerintah bersumber dari pungutan pajak dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jumlah pajak yang dipungut tidak berhubungan langsung dengan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak. Pajak yang dipungut dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah mengandung sifat-sifat tertentu yang wajib dipertimbangkan dalam mengembangkan laporan keuangan, antara lain sebagai berikut:
1) Pembayaran pajak bukan merupakan sumber pendapatan yang sifatnya suka rela.
2) Jumlah pajak yang dibayar ditentukan oleh basis pengenaan pajak sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, seperti penghasilan yang diperoleh, kekayaan yang dimiliki, ak.tivitas bernilai tambah ekonomis, atau nilai kenikmatan yang diperoleh
3) Efisiensi pelayanan yang diberikan pemerintah dibandingkan dengan 2 pungutan yang digunakan untuk pelayanan dimaksud sering sukar diukur sehubungan dengan monopoli pelayanan oleh pemerintah. Dengan dibukanya kesempatan kepada pihak lain untuk menyelenggarakan pelayanan yang biasanya dilakukan pemerintah, seperti layanan pendidikan dan kesehatan, pengukuran efisiensi pelayanan oleh pemerintah menjadi lebih mudah.
4) Pengukuran kualitas dan kuantitas berbagai pelayanan yang diberikan pemerintah adalah relatif sulit.
2. Ciri keuangan pemerintah yang penting bagi pengendalian:
a. Anggaran sebagai pernyataan kebijakan publik, target fiskal, dan sebagai alat pengendalian;
Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja tersebut atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau surplus. Dengan demikian, anggaran mengkoordinasikan aktivitas belanja pemerintah dan memberi landasan bagi upaya perolehan pendapatan dan pembiayaan oleh pemerintah untuk suatu periode tertentu yang biasanya mencakup periode tahunan. Namun, tidak tertutup kemungkinan disiapkannya anggaran untuk jangka waktu lebih atau kurang dari setahun. Dengan demikian, fungsi anggaran di lingkungan pemerintah mempunyai pengaruh penting dalam akuntansi dan pelaporan keuangan, antara lain karena:
1) Anggaran merupakan pernyataan kebijakan publik.
2) Anggaran merupakan target fiskal yang menggambarkan keseimbangan antara belanja, pendapatan, dan pembiayaan yang diinginkan.
3) Anggaran menjadi landasan pengendalian yang memiliki konsekuens hukum.
4) Anggaran memberi landasan penilaian kinerja pemerintah.
5) Hasil pelaksanaan anggaran dituangkan dalam laporan keuangan pemerintah sebagai pernyataan pertanggungjawaban pemerintah kepada publik.
b. Investasi dalam aset yang tidak langsung menghasilkan pendapatan;
Pemerintah menginvestasikan dana yang besar dalam bentuk aset yang tidak secara langsung menghasilkan pendapatan bagi pemerintah, seperti gedung perkantoran, jembatan, jalan, taman, dan kawasan reservasi. Sebagian besar aset dimaksud mempunyai masa manfaat yang lama sehingga program pemeliharaan dan rehabilitasi yang memadai diperlukan untuk mempertahankan manfaat yang hendak dicapai. Dengan demikian, fungsi aset dimaksud bagi pemerintah berbeda dengan fungsinya bagi organisasi komersial. Sebagian besar aset tersebut tidak menghasilkan pendapatan secara langsung bagi pemerintah, bahkan menimbulkan komitmen pemerintah untuk memeliharanya di masa mendatang.
c. Kemungkinan penggunaan akuntansi dana untuk tujuan pengendalian.
Akuntansi dana (fund accounting) merupakan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan yang lazim diterapkan di lingkungan pemerintah yang memisahkan kelompok dana menurut tujuannya, sehingga masing-masing merupakan entitas akuntansi yang mampu menunjukkan keseimbangan antara belanja dan pendapatan atau transfer yang diterima. Akuntansi dana dapat diterapkan untuk tujuan pengendalian masing-masing kelompok dana selain kelompok dana umum (the general fund) sehingga perlu dipertimbangkan dalam pengembangan pelaporan keuangan pemerintah.

Prinsip Akuntansi dan Pelaporan Keuangan
Berikut ini delapan prinsip yang digunakan dalam akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah di Indonesia.
1. Basis akuntansi
Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan pemerintah adalah basis kas untuk pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Laporan Realisasi Anggaran, dan basis akrual unuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dalam Neraca.
Entitas pelaporan yang menyajikan Laporan Kinerja Keuangan menyelenggarakan akuntansi dan penyajian laporan keuangan dengan menggunakan sepenuhnya basis akrual, baik dalam pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan, maupun dalam pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Namun, penyajian Laporan Realisasi Anggaran tetap berdasarkan basis kas.
2. Prinsip nilai historis
Aset dicatat sebesar pengeluaran kas atau setara kas yang dibayar atau sebesar nilai wajar dari imbalan untuk memperoleh aset tersebut pada saat perolehan. Kewajiban dicatat sebesar jumlah kas dan setara kas yang diharapkan akan dibayarkan untuk memenuhi kewajiban di masa mendatang dalam pelaksanaan kegiatan pemerintah.
Nilai historis lebih dapat diandalkan daripada penilaian yang lain karena lebih obyektif dan dapat diverifikasi. Jika tidak diketahui nilai historisnya, maka aset dan kewajiban dapat dicatat sebesar nilai wajarnya.



3. Prinsip realisasi
Pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran pemerintah selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar utang dan belanja pada periode tersebut.
4. Prinsip substansi mengungguli bentuk formal
Informasi dimaksudkan untuk menyajikan dengan wajar transaksi atau peristiwa lain yang seharusnya disajikan. Jadi, transaksi atau peristiwa laintersebut perlu dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi, dan bukan hanya aspek formalitasnya. Apabila substansi transaksi atau peristiwa lain tidak konsisten/berbeda dengan aspek formalnya, maka hal tersebut harus diungkapkan dengan jelas dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
5. Prinsip periodisitas
Kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan entitas pelaporan perlu dibagi menjadi periode-periode pelaporan sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber daya yang dimilikinya dapat ditentukan.
6. Prinsip konsistensi
Perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian serupa dari periode ke periode oleh suatu entitas pelaporan. Hal ini bukan berarti tidak boleh terjadi perubahan dari satu metode akuntansi ke metode akuntansi yang lain. Metode akuntansi yang dipakai dapat diubah dengan syarat bahwa metode yang baru diterapkan mampu memberikan informasi yang lebih baik. Pengaruh atas perubahan penerapan metode ini diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
7. Prinsip pengungkapan lengkap
Laporan Keuangan menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna secara lengkap. Informasi-informasi tersebut dapat ditempatkan pada lembar muka laporan keuangan atau dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

8. Prinsip penyajian wajar
Faktor pertimbangan sehat bagi penyusun laporan keuangan diperlukan ketika menghadapi ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Ketidakpastian seperti itu diakui dengan mengungkapkan hakikat serta tingkatnya dengan menggunakan pertimbangan sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur kehati-hatian sehingga aset atau pendapatan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban dinyatakan tidak terlalu rendah.

V. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya sektor bisnis/profit oriented dan sektor nonbisnis/non profit oriented mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Meskipun ada yang menyajikan alternatif bahwa tidak perlu ada pembedaan tetapi organisasi kedua sektor ini tetap berbeda sehingga berpengaruh juga terhadap penyusunan standar akuntansi untuk kedua sektor ini.
Standar akuntansi yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC) juga tetap menunjukkan bahwa sektor bisnis dan sektor publik tetap berbeda. Hal ini diwujudkan dalam pembentukan dua badan penyusun standar yang terpisah yaitu International Accounting Standard Board (IASB) yang menyusun standar untuk sektor bisnis sedangkan untuk sektor publik ada International Public Sector Accounting Standard Board (IPSASB). IASB menerbitkan International Accounting Standard (IAS) sedangkan IPSASB menerbitkan International Public Sector Accounting Standard (IPSAS).
Ada usaha yang dilakukan untuk mendekatkan atau mungkin menyatukan kedua stadar ini yaitu dalam bentuk konvergensi seperti yang tercantum dalam Exsposure Draft (ED). Namun demikian meskipun nanti ED ini diterima, tetap ada standar di sektor publik dan ada standar di sektor bisnis. Hal ini sudah dapat dilihat bahwa meskipun dilakukan konvergensi tetap ada hal-hal tertentu yang tidak dapat diterapkan di sektor publik. Dalam setiap ED kecuali IPSAS 12, 13, 14, disertakan pembandingan IPSAS dengan IAS (Comparison to IAS). Artinya masih tetap ada perbedaan meskipun telah dilakukan konvergensi.

DAFTAR PUSTAKA
Nordiawan, Deddy dan Ayuningtyas Hertianti. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Edisi Kedua. Jakarta: Salemba Empat.
Baharuddin, Syafri Adnan dan Jamason Sinaga. 2006. Peningkatan Standar Akuntansi Internasional (Improvements to International Public Sector Accounting Standards). Jakarta: IAI.
Granof, Michael H., (1998), Government and Not-For-Profit Accounting: Concepts and Practices, New York, John Wiley & Son.
Biondi, Yuri. 2008. “should business and non-business accounting be different? A comparative perspective applied to the new French govermental accounting standards”. Rotterdam: EGPA Annual Conference.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan


Read More......

Rabu, 26 Mei 2010

KONGRES XI IKATAN AKUNTAN INDONESIA

8-10 Desember 2010, Hotel Indonesia Kempinski Jakarta

INTROSPEKSI DAN TRANSFORMASI PROFESI AKUNTANSI MENUJU IAI 2020:
PERAN AKUNTAN DALAM MENINGKATKAN NILAI TAMBAH BAGI PEREKONOMIAN NASIONAL DAN GLOBAL

Kongres adalah mekanisme tertinggi organisasi sebagaimana diamanatkan dalam AD/ART organisasi IAI. Kongres IAI merupakan momentum untuk menuntaskan proses transformasi organisasi sebagai kelanjutan Kongres IAI sebelumnya. Kongres adalah pertemuan paling akbar akuntan se-Indonesia yang dilaksanakan setiap empat tahun sekali.

TUJUAN
· Mengumpulkan ide dan pemikiran mengenai profesi akuntan sehubungan dengan tantangan yang akan dihadapi di masa datang, dalam mewujudkan Strategic Plan & Visi Misi IAI 2020.
· Sebagai sarana evaluasi perjalanan organisasi sekaligus menyusun perencanaan bagi langkah-langkah dimasa depan dalam merespons dinamika internal dan eksternal profesi.
· Memfasilitasi proses continuing education bagi anggota IAI sebagai upaya untuk memutakhirkan ilmu pengetahuan akuntan sesuai dengan dinamika lingkungannya.
· Menyampaikan sikap organisasi dalam menjalankan tanggungjawab keprofesiannya untuk berperan dalam berbagai bidang demi kemajuan bangsa.
· Mempererat hubungan IAI dengan seluruh stakeholders.
· Memilih kepengurusan baru yang akan mengantarkan profesi akuntan Indonesia ke era format baru organisasi IAI.

TANGGAL KEGIATAN
Kegiatan akan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal: Rabu – Jum’at/8-10 Desember 2010

TEMPAT KEGIATAN
Kegiatan akan dilaksanakan di :
Hotel Indonesia Kempinski
Grand Ballroom West Mall 11th floor, Grand Indonesia Shopping Town
Jl. MH Thamrin No. 1, Jakarta

RANGKAIAN ACARA
Rangkaian kegiatan yang akan diselenggarakan pada saat Kongres XI IAI 2010 adalah:
· Seminar
Seminar akan terdiri atas 4 sesi dengan tema-tema pilihan dan pemateri yang handal dalam bidangnya yang berasal dari dalam dan luar negeri.

· Pendidikan Professional Berkelanjutan
Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) akan berlangsung pada hari kedua dan yang akan terbagi atas 3 kelas. PPL akan membahas hal tekhnis yang terkait dengan peningkatan kompetensi akuntan dengan tema-tema pilihan terkini dan pemateri yang handal sesuai dengan kebutuhan masing-masing kompartemen, yaitu Akuntan Publik, Akuntan Manajemen, Akuntan Sektor Publik dan Akuntan Pendidik.

· Sidang-Sidang Pleno
Sidang pleno akan diselenggarakan pada hari keiga. Sidang pleno merupakan bagian utama dari aktivitas Kongres XI IAI 2010 yang akan membahas perubahan AD/ART IAI, pemilihan pengurus IAI serta penetapan Strategic Plan IAI 2020. Sidang Pleno ini terbuka dan gratis dihadiri seluruh anggota IAI melibatkan seluruh unsur IAI: pengurus pusat, pengurus kompartemen, perwakilan IAI Wilayah dan yang paling utama yaitu seluruh anggota IAI dari seluruh Indonesia.

· Gala Dinner
· Turnamen Olah Raga Golf dan Tenis Lapangan
· Lomba Karya Tulis
· CEO Forum
· Exhibition – “Accountants Business & Life Style”
Exhibition diperuntukkan bagi para sponsor dan industri jasa yang tertarik untuk mempromosikan institusinya serta menjadi media komunikasi dengan publik mengenai produk dan perkembangan yang terjadi melalui aktivitas pameran. Temu bisnis, seminar dan talk show diharapkan akan melengkapi exhibition ini. Konsep ini akan menampilkan beragam acara dan fasilitas pendukung yang bersifat santai, mendidik sekaligus menghibur.

MATERI SEMINAR & PPL
· Meninjau Ulang Landasan Hukum Profesi Akuntansi : Menuju Peran Akuntan yang Bernilai Tambah bagi Perekonomian Nasional dan Global
· Pengawasan Perbankan dan Pasar Modal di Indonesia: Permasalahan dan Solusi
· Strategi Transformasi Profesi Akuntansi Indonesia Menuju IAI 2020
· Creating Accountancy Profession: Delivers Value to National and Global Economy
· Lesson learned: Convergence programs within Various countries and its impact towards their stakeholders
· Green Accounting: how to create value and make profit from it
· Implementing Accrual Basis Accounting in Public Sector and Governmental Accounting system
· Issue Perpajakan dalam Implementasi PSAK yang konvergen dengan IFRS & Ketentuan Transisi PSAK
· Implementasi ETAP: Sumber Daya, Peluang, dan Tantangannya
· Konvergensi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dengan International Standards on Auditing (ISA)
· Studi kasus implementasi IFRS
· Cetak Biru Pengajaran Akuntansi di Indonesia Berlandas PSAK, PSAK ETAP, PSAK Syariah dan SAP
· Hambatan dan Tantangan Penerapan PSAK Syariah
· CEO forum By Jaya Suprana

ANDA YANG HARUS HADIR
Seluruh Rangkaian acara Kongres XI IAI 2010 ini perlu diikuti oleh kalangan profesional di bidang akuntansi yang berasal dari:
Ø Anggota IAI yang tersebar di 21 IAI Wilayah
Ø Seluruh kalangan akuntan dari seluruh Indonesia:
o Akuntan Publik
o Akuntan Pendidik
o Akuntan Sektor Publik
0 Akuntan Manajemen
Ø Para Eksekutif dan staf dari Perusahaan Terbuka, Perusahaan Swasta, BUMN dan BUMD
Ø Pejabat pemerintah dan staf dari BPK, BI, Bapepam, BPKP, Departemen Keuangan
Ø Profesional di bidang perbankan dan keuangan
Ø Akademisi dari Perguruan Tinggi negeri dan swasta
Ø Praktisi keuangan
Ø Pimpinan dan staf kantor akuntan publik
Ø Pejabat pemerintah dan staf di bidang keuangan dari Pemda, Propinsi, Kabupaten dan Kota

INFORMASI DAN PENDAFTARAN HUBUNGI:
Sekretariat Panitia
Grha Akuntan Jl. Sindanglaya No. 1 Menteng – Jakarta Pusat 10310
Telp. 62 21 31904232 (Hunting) Fax. 62 21 7245078
Home Page: www.iaiglobal.or.id
E-mail: iai-info@iaiglobal.or.id

Salam,

Elly Zarni Husin
Direktur Eksekutif

Read More......

Konsultasi Sektor Publik-Juni 2010

Q-1 Penyajian Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) dalam Laporan Arus Kas Pemda

Selamat siang pak Cris,
Apabila pada 2009, Surat Perintan Pencairan Dana (SP2D) diterbitkan dan perhitungan pihak ketiga (PFK) langsung dipotong oleh bank tempat menyimpan kas umum daerah (missal nilai PFK yang dipotong sebesar Rp100 juta). Apakah jumlah total potongan PFK sebesar Rp100 juta tersebut dicatat pada laporan arus kas aktivitas non anggaran?

Terima kasih,

Nur Budiyanto
Duta indah, Tangerang

A-1
Pak Nur yang saya hormati,
Pemda dhi. Bendahara Umum Daerah seringkali diminta memotong iuran pegawai berupa tabungan pensiun (Taspen), tabungan perumahan (Taperum), asuransi kesehatan (Askes), dan lain-lain. Pemotongan dana oleh Pemda atas tagihan pihak ketiga kepada PNS tetap disajikan dalam Laporan Arus Kas (LAK) meskipun dananya tidak melalui BUD, tetapi potongan tersebut tetap masuk dalam Rekening Umum Kas Daerah.

Hasil pemotongan dimasukkan dalam arus kas masuk aktivitas non anggaran dan penyetoran ke pihak ketiga dimasukkan dalam arus kas keluar aktivitas non anggaran. Penerimaan dan pengeluaran PFK tersebut tidak dicatat dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) karena memang bukan transaksi anggaran. Selisih antara dana yang dipotong dan yang disetor ke pihak ketiga akan dicatat sebagai Utang PFK pada neraca.

Q-2 Pembebasan Tanah oleh Pemda untuk Jalan Nasional

Yth. Pengasuh Rubrik Konssultasi Sektor Publik
Majalah Akuntan Indonesia

Dalam rangka pembangunan jalan dan jembatan nasional, pada awalnya Pemerintah Kabupaten Tanah Datar menganggarkan biaya pembebasan tanah pada belanja modal. Menyadari kesalahan kami, pada perubahan APBD, belanja modal tersebut kami alihkan pada belanja barang. Pengalihan anggaran tersebut karena pembebasan tanah memang tidak dimaksudkan untuk dimiliki, tetapi akan digunakan oleh entitas lain di luar Pemkab Tanah Datar. Ketika anggaran tersebut direalisasikan, kami catat sebagai belanja barang dan selanjutnya kami hibahkan kepada Pemerintah Pusat (Kementerian Pekerjaan Umum). Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Apakah pembebasan tanah tersebut seharusnya dianggarkan dalam belanja barang, belanja modal, atau belanja hibah?
2. Bagaimana pengungkapan yang memadai sehingga hal tersebut tidak mengganggu kewajaran laporan keuangan?
Terima kasih atas tanggapannya.

Alinursal
Dinas Pengelolaan Keuangan
Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

A-2
Pak Ali yang dirahmati Allah. Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, semoga jawaban ini bermanfaat bukan saja bagi pak Ali dan Pemkab Tanah Datar, melainkan juga para pembaca AI.
Menjawab pertanyaan pertama, maka perlu dijelaskan perbedaan tiga macam jenis belanja tersebut menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) sebagai berikut.
1. Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi antara lain meliputi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan social.
2. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.


Pembebasan tanah yang memang dimaksudkan bukan untuk kepentingan Pemda melainkan akan diserahkan kepada pihak lain tidak dapat diklasifikasikan sebagai belanja modal. Hal ini mengingat tujuan pembebasan tanah tersebut akan dihibahkan kepada pihak lain (Kementerian Pekerjaan Umum). Pembebasan tanah tersebut juga tidak cocok jika diklasifikasikan sebagai ”hibah” karena uang yang dikeluarkan kepada pemilik tanah bukan sebagai penerima hibah tanah. Artinya, pihak ketiga (penerima hibah belum menerima tanah tersebut pada saat pembelian/pembebasan tanah tersebut. Oleh karena itu, Pemkab Tanah Datar sudah tepat mengklasifikasikan biaya pembebasan tanah sebagai ”belanja barang.”

Untuk memenuhi asas transparansi, catatan atas laporan keuangan perlu mengungkapkan dalam pos belanja barang yang intinya menyatakan bahwa belanja barang termasuk biaya pembebasan tanah senilai xx yang akan diserahkan kepada Kementerian PU untuk kegiatan pembangunan jalan nasional.

Q-3 Pembayaran Utang Belanja Pemerintah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Maaf pak, ada yang mau saya tanyakan terkait pembayaran utang. Jika Pemda membayar utang kepada rekanan atas pekerjaan yang dilaksanakan tahun sebelumnya, apakah harus dibayarkan melalui pos ”pembiayaan pengeluaran” atau tetap pada pos ”belanja modal/barang?”
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Siswanti, S.E.
Jl. Kali Serayu No. 11 Padang, Sumatera Barat

A-3
Wa'alaikum Salam Wr. Wb.
Mba Siswanti yang berbahagia,
Pembayaran utang atas belanja tahun sebelumnya tetap dibukukan sebagai belanja barang atau belanja modal meskipun pembayaran tersebut diperuntukkan sebagai pembayaran atas prestasi pihak lain yang diserahkan pada periode sebelumnya. Hal ini mengingat pengakuan belanja adalah berbasis kas (cash bases). Pemda dapat saja mengakui utang belanja pada akhir periode sebelumnya sebagai bentuk pengakuan atas kewajiban lancar karena kewajiban dalam neraca disajikan berdasarkan basis akrual.



Read More......

PENINGKATAN KAPASITAS AUDITOR INTERNAL DALAM PELAKSANAAN REVIU ATAS LAPORAN KEUANGAN

Dr. Cris Kuntadi, SE, MM, CPA, Ak.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan. Untuk itu perlu pengawasan dan pemeriksaan oleh pihak yang profesional dan independen. Pemeriksaan adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh & mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian pernyataan dengan kriteria yang ditetapkan, serta penyampaian hasilnya kepada yang berkepentingan. Pengawasan adalah segenap kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa tugas / pekerjaan telah dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijaksanaan yang telah digariskan dan perintah (aturan) yang diberikan.

Maksud pengawasan dan pemeriksaan tersebut antara lain meliputi: 1) meningkatkan kinerja aparatur pemerintah & mewujudkan aparatur yang profesional, bersih & bertanggung jawab, 2) memberantas penyalahgunaan wewenang & praktek KKN, 3) menegakkan peraturan yang berlaku, dan 4) mengamankan keuangan Negara. Pengawasan keuangan dilakukan oleh auditor internal dan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dapat dilakukan oleh auditor eksternal (BPK RI).

TUGAS DAN PERAN AUDITOR INTERNAL
Pengawasan keuangan negara/badan usaha dilakukan oleh auditor internal. Kegiatan audit internal adalah menguji dan menilai efektivitas dan kecukupan sistem pengendalian intern yang ada dalam organisasi. Tanpa fungsi audit internal, pimpinan kementerian Negara/lembaga, dewan direksi dan atau pimpinan unit tidak memiliki sumber informasi internal yang bebas mengenai kinerja organisasi.

Pengertian audit internal menurut “Professional Practices Framework”: International Standards for The Professional Practice of Internal Audit, IIA ( 2004) adalah suatu aktivitas independen, yang memberikan jaminan keyakinan serta konsultasi (consulting) yang dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah (to add value) serta meningkatkan (improve) kegiatan operasi organisasi. Internal auditing membantu organisasi dalam usaha mencapai tujuannya dengan cara memberikan suatu pendekatan disiplin yang sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektifitas manajemen risiko (risk management), pengendalian (control) dan proses tata kelola (governance processes).

Ruang lingkup dan tujuan audit internal sangat luas tergantung pada besar kecilnya organisasi dan permintaan dari manajemen organisasi yang bersangkutan. Untuk dapat melaksanakan tugasnya, Auditor Internal dalam organisasi pada umumnya anggotanya memiliki pengetahuan bidang : (1) Keuangan; (2) Information Technology; (3) Bidang yang bertalian dengan kegiatan pokok (kultur) organisasi; dan (4) Untuk organisasi yang besar diperlukan tenaga berlatar belakang hukum. Apabila auditor internal berkualitas, berperan dengan baik, pengendalian intern akan lebih baik dan dengan sendirinya kinerja organisasi akan semakin meningkat, dan bagi manajemen semua level, serta akuntan publik tugasnya akan sangat terbantu.


Profesi auditor internal sangat dibutuhkan oleh suatu organisasi apapun, baik perusahaan swasta, BUMN/BUMD, perusahaan multinasional, perusahaan asing, pemerintahan, lembaga pendidikan dan Organisasi Nir Laba. Dalam melakukan rekrutmen terhadap tenaga auditor internal untuk suatu organisasi, selain dapat diambil dari karyawan / staf dari bagian / Divisi lain, juga diperoleh dari pihak luar organisasi, baik yang telah berpengalaman maupun yang baru lulus dari perguruan tinggi (fresh graduate). Persaingan untuk memperebutkan posisi auditor internal ternyata lebih ketat dibandingkan posisi tenaga staf akuntansi (accounting staff) atau auditor untuk Kantor Akuntan Publik (KAP), sebab auditor internal dapat diperebutkan oleh lulusan dari berbagai disiplin ilmu serta berbagai pengalaman kerja.

PROFESIONALISME AUDITOR INTERNAL
Profesional merupakan tuntutan terhadap suatu profesi yang akan sangat menentukan keberhasilan suatu pekerjaan. Profesionalisme harus menjadi acuan dalam pelaksanaan fungsi audit intern. Sifat profesional adalah kondisi-kondisi kesempurnaan teknik yang dimiliki seseorang melalui dengan pengetahuan yang dimilikinya disertai latihan dan belajar selama bertahun-tahun yang berguna untuk mengembangkan teknik tersebut dan keinginan untuk mencapai kesempurnaan dan keunggulan dibandingkan dengan rekan sejawatnya.

Untuk dapat mewujudkan profesionalisme, auditor intern secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama harus mempunyai:
a. Pengetahuan yang memadai dalam bidang tugasnya yaitu pengetahuan mengenai teknis audit dan disiplin ilmu lain yang relevan dengan spesialisasinya;
b. Perilaku yang independen, jujur, obyektif, tekun, dan loyal,
c. Kemampuan mempertahankan kualitas profesionalnya melalui pendidikan profesi lanjutan yang berkesinambungan,
d. Kemampuan melaksanakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama,
e. Kecakapan dalam berinteraksi dan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis secara efektif.

Auditor intern harus memiliki sikap mental dan etika serta tanggung jawab profesi yang tinggi, sehingga kualitas hasil kerjanya dapat dipertanggungjawabkan dan dapat digunakan untuk membantu terwujudnya perkembangan lembaga yang wajar dan sehat. Auditor intern juga harus memiliki sikap mental yang baik yang tercermin dari kejujuran, obyektivitas, ketekunan dan loyalitasnya kepada profesi.

Auditor intern harus mampu mengemukakan pendapat secara jujur dan bijaksana, sesuai dengan hasil temuannya. Auditor intern harus selalu mempertahankan sikap obyektif, sehingga dapat mengemukakan temuan berdasarkan bukti-bukti atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian laporan atas hasil temuan harus lengkap dan didasarkan pada analisis yang obyektif.

REVIU ATAS LAPORAN KEUANGAN
Laporan keuangan yang disajikan oleh menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran merupakan tanggung jawab menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah yang bersangkutan. Untuk itu kepala daerah harus membuat pernyataan tertulis bahwa laporan keuangan yang disajikan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

PP 8 tahun 2006 mewajibkan laporan keuangan direviu oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebelum diserahkan kepada BPK untuk diaudit. Reviu atas laporan keuangan departemen dilakukan oleh Inspektorat Jenderal dan reviu laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) dilakukan oleh Inspektorat Provinsi dan Imspektorat Kabupaten/Kota.

Dalam pasal 33 PP tersebut, dinyatakan bahwa review atas laporan keuangan oleh APIP dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan didalam laporan keuangan tersebut. Reviu dimaksudkan untuk memberikan keyakinan akurasi, keandalan, dan keabsahan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan sebelum disampaikan oleh pejabat pengelola keuangan kepada menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah. Jadi sebelum menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah menandatangani surat pernyataan tanggung jawab maka APIP harus melakukan review terlebih dahulu.

Dasar hukum yang menjadi acuan dalam menyusun petunjuk teknis Review laporan keuangan antara lain:
1. Undang Undang RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
2. Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
3. Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,
4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
6. Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah,
7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sitem Pengendalian Intern Pemeritah.
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No 4 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Review atas Laporan keuangan Pemerintah Daerah.

Terdapat beberapa pengertian reviu yaitu:
1. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP): Pelaksanaan prosedur permintaan keterangan dan analisis yang menghasilkan dasar memadai bagi akuntan untuk memberikan keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia atau sesuai dengan basis akuntansi komprehensif yang lain. Review tidak mencakup suatu pemahaman atas pengendalian intern, pengujian atas catatan akuntansi, dan pengujian atas respon terhadap permintaan keterangan dengan cara pemerolehan bahan bukti dan prosedur tertentu lainnya yang biasanya dilaksanakan dalam suatu audit.
2. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-44/PB/2006: Prosedur penelusuran angka-angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan, dan analitik yang harus menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
3. Pasal 33 PP No. 8 Tahun 2006: Review yang dilakukan berdasarkan PP No. 8 Tahun 2006 dimaksudkan untuk memberikan keyakinan terbatas atas laporan keuangan dalam rangka pernyataan tanggung jawab (statement of responsibility) atas laporan keuangan tersebut. Pernyataan tanggung jawab memuat menyatakan bahwa laporan keuangan telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP). Review yang akan dilakukan berdasarkan PP 8/2006 harus meliputi review atas sistem pengendalian intern dan kesesuaian dengan SAP. Namun demikian, sistem pengendalian intern yang direview dibatasi pada pengendalian yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan.

Konsep dasar Review dalam modul ini adalah sebagai berikut.
1. Review dilaksanakan secara paralel dengan penyusunan laporan keuangan Pemerintah Daerah. Review paralel dimaksudkan untuk memperoleh informasi tepat waktu agar koreksi dapat dilakukan segera. Laporan keuangan yang disajikan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah diajukan kepada kepala daerah sudah mengakomodasi hasil Review APIP.
2. Review tertuju pada hal-hal penting yang mempengaruhi laporan keuangan, namun tidak memberikan keyakinan akan semua hal penting yang akan terungkap melalui suatu audit. Review memberikan keyakinan bagi APIP bahwa tidak ada modifikasi (koreksi/penyesuaian) material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan yang diReview sesuai dengan SAP, baik segi pengakuan, penilaian, pengungkapan dan sebagainya.
3. Review tidak memberikan dasar untuk menyatakan suatu pendapat (opini) seperti halnya dalam audit, meskipun Review mencakup suatu pemahaman atas pengendalian intern secara terbatas.
4. Dalam Review tidak dilakukan pengujian terhadap kebenaran substansi dokumen sumber seperti perjanjian kontrak pengadaan barang dan jasa, bukti pembayaran/kuitansi, dan berita acara fisik atas pengadaan barang dan jasa.

Review dapat mengarahkan perhatian aparat pengawasan intern kepada hal-hal penting yang mempengaruhi laporan keuangan, namun tidak memberikan keyakinan bahwa aparat pengawasan intern akan mengetahui semua hal penting yang akan terungkap melalui suatu audit.
Dalam melakukan Review atas laporan keuangan, aparat pengawasan intern harus memahami secara garis besar sifat transaksi entitas, sistem dan prosedur akuntansi, bentuk catatan akuntansi dan basis akuntansi yang digunakan untuk menyajikan laporan keuangan. Sebagai contoh pembelian tanah/bangunan yang akan diserahkan kepada masyarakat harus dicatat sebagai persediaan, bukan aset tetap.

Kompetensi umum yang perlu dimiliki oleh pelaksana reviu adalah:
1. Pemahaman mengenai akuntansi, khususnya akuntansi sektor publik/pemerintahan, termasuk pemahaman terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan,
2. Pemahaman mengenai sistem pengendalian intern.
Dalam pelaksanannya, reviu berbeda dengan audit yaitu
1. Reviu tidak menguji bukti, hanya sampai alur dari jurnal-buku besar-laporan keuangan.
2. Reviu atas sistem pengendalian intern terbatas pada pengendalian akuntansi, berupa proses akuntansi pendapatan, pengeluaran, aset, dan non-kas.

Hasil reviu ini kemudian disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga dan kepala daerah untuk dijadikan dasar menerbitkan pernyataan tanggung jawab menteri/pimpinan lembaga dan Kepala Daerah (statement of responsibility). Pernyataan tersebut antara lain menyatakan bahwa “Laporan Keuangan telah disusun dengan sistem pengendalian intern yang memadai dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan”. Selanjutnya, jika dalam audit oleh BPK ditemukan salah saji dan diperlukan koreksi-koreksi, auditor internal sepatutnya mendampingi pejabat pengelola keuangan dalam proses exit meeting dan menyusun Laporan Keuangan yang telah diaudit sesuai koreksi dari auditor.


Read More......

STATE FINANCIAL INSTITUTIONS : MANDATE, GOVERNANCE AND BEYOND DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Heinz P. Rudolph

1. Permasalahan
a. Kinerja BUMN keuangan di seluruh dunia berada di bawah harapan dan tidak berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi;
• La Porta et al. (2002) menemukan bahwa kepemilikkan pemerintah di perbankan seringkali dihubungkan dengan lambatnya pengembangan sektor keuangan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan rendahnya laju produktivitas.
• Beck and Levine (2002) tidak menemukan efek positif dari kepemilikkan pemerintah di perbankan terhadap pertumbuhan.
• Caprio and Martinez Peria (2002) menunjukkan bahwa kepemilikan pemerintah di perbankan sering dihubungkan dengan keterjadian suatu krisis perbankan.
• Dinc (2005) menunjukkan bahwa institusi milik pemerintah meningkatkan pinjaman mereka saat penyelenggaraan pemilihan umum dan bahwa di Negara-negara berkembang membiayai pemerintah lebih banyak dibandingkan lembaga keuangan milik swasta.
b. Kurangnya peran pemerintah, keterampilan manajerial, dan transparansi, serta pola pemberian insentif yang salah telah menyebabkan kurangnya dukungan lembaga keuangan milik pemerintah dalam pengembangan pasar keuangan.

2. Hipotesa
Pentingnya lembaga keuangan milik pemerintah memiliki mandat yang jelas dan tegas untuk mengurangi dampak intervensi politik dan memperbaiki kesalahan pasar. Namun demikian, peran proaktif yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan milik pemerintah tersebut dalam mengalokasikan kredit pada sektor-sektor yang secara rutin tidak menarik bagi perbankan komersial telah membawa pertanyaan terhadap kepemilikan pemerintah di dunia perbankan.

3. Metode
Paper ini mempelajari peran penting untuk memiliki mandat yang jelas dan berkesinambungan, serta kerangka institusional untuk mengurangi dampak intervensi politik. Dengan mempelajari praktek-praktek yang baik dalam membangun, menerapkan, membiayai dan mengevaluasi mandat dari lembaga keuangan milik pemerintah.
a. Mandat SFI (State Financial Institutions)
Salah satu permasalahan utama dari lembaga-lembaga keuangan milik pemerintah adalah dalam merumuskan tujuan mereka.
Penyebab:
• Tidak dapat mengidentifikasi eksistensi lembaga keuangan milik pemerintah karena merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya
• Merupakan keinginan pemerintah untuk membiayai atau mensubsidi kepentingannya.

Sebelum membuat lembaga keuangan, pemerintah perlu mengidentifikasi kegagalan pasar (market failure), yang seringkali dihubungkan dengan kurangnya dukungan finansial terhadap sekelompok masyarakat atau karena kurangnya instrument tabungan bagi sekelompok masyarakat. Setelah kegagalan pasar dapat terdeteksi, perlu disusun langkah atau mekanisme untuk memperbaiki kegagalan pasar tersebut. Selain dari pembentukkan lembaga penyedia kredit, saat ini sebetulnya telah tersedia bentuk-bentuk lembaga keuangan lain untuk memperbaiki kegagalan pasar, misalnya dengan asuransi atau instrument lain untuk meningkatkan suku bunga untuk menarik investasi. Namun demikian, di beberapa Negara berkembang, SFI masih menjadi solusi yang paling efisien.


Pembentukkan mandate seharusnya dilakukan secara formal melalui ketentuan hukum mengingat SFI pun dibentuk berdasarkan hukum formal. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka mandate SFI sebaiknya meliputi 3 komponen yaitu (1) Sektor sasaran; (2) Aturan main dengan sektor swasta; dan (3) Tingkat efisiensi minimum.
Sektor sasaran perlu dipertimbangkan dalam suatu kegagalan pasar, misalnya dalam hal sektor-sektor yang terlampau beresiko tinggi untuk investor atau bank komersial, termasuk pembiayaan mikro dan SME, sektor pertanian dan sektor-sektor yang membutuhkan pembiayaan jangka panjang. Dengan demikian, mandate SFI sebaiknya bersifat jelas dan spesifik dengan mengacu pada sektor-sektor tersebut, namun tetap memberikan fleksibilitas untuk membuat produk-produk financial sesuai dengan kebutuhan pasar. Selain itu cakupan sektor saasaran perlu memadai untuk menciptakan keberlanjutan usaha bagi perbankan milik pemerintah (SFI). Selain itu, mandate SFI perlu direvisi dalam periode tertentu, dan terdapat exit strategy bagi SFI bila sudah tidak diperlukan lagi oleh pasar.


Untuk menghindari intervensi publik atas sektor swasta, maka mandate harus menyatakan bahwa SFI menjadi pelengkap (komplementer) atas peran yang dilakukan oleh perbankan swasta. SFI sebaiknya melengkapi pasar bukannya menjadi substitusi penyedia fasilitas keuangan bagi pasar. Dalam hal ini maka mandat SFI secara implisit adalah meningkatkan partisipasi perbankan swasta.


Mandat SFI perlu menegaskan tingkat pengembalian yang berkelanjutan walaupun tidak harus secara detail menjelaskan angka-angkanya. Dengan demikian, perlu penegasan bahwa perbankan pemerintah pun perlu melakukan efisiensi usaha agar mencapai tingkat pengembalian pada Negara yang rasional.
Dalam kenyataannya, banyak SFI yang beroperasi menggunakan berbabagai sumber pembiayaan misalnya subsidi silang dan dukungan (suntikan dana) financial langsung dari pemerintah.


Bila sektor sasaran cukup menguntungkan maka SFI dapat beroperasi sesuai dengan mekanisme pasar, bersaing secara adil dengan perbankan swasta lainnya. Bila keuntungan sektor sasaran hanya mencukupi untuk menutup biaya operasi maka SFI perlu melebarkan usahanya pada sektor-sektor lain yang lebih menguntungkan. Bila laba SFI tidak memenuhi biaya operasional maka SFI dapat mengandalkan subsidi silang, subsidi langsung, dan simpanan langsung dari masyarakat.


Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sasaran terukur untuk menentukan efektivitas kebijakan tidak membantu memahami mengapa SFI member nilai tambah. Di lain pihak, mengukur efektivitas kebijakan pembiayaan menggunakan perbandingan kinerja dengan perusahaan lain yang tidak menerima dukungan SFI akan memberikan informasi yang lebih mendalam untuk mengukur kontribusi SFI.

b. Pengelolaan SFI
Penelitian ini juga mengidentifikasi intervensi politik sebagai salah satu hambatan terhadap pencapaian kesuksesan kerja SFI. Intervensi tersebut merupakan konsekuensi dari independensi dewan direktur dan senior manajer, serta dari tidak transparannya komunikasi antara SFI dan stakeholdernya. Selain itu, pemerintah yang berkuasa pun cenderung untuk memanfaatkan SFI untuk kepentingan politik sesaat, dengan mengorbankan keberlanjutan pembiayaan SFI. Resiko tersebut dapat dikurangi dengan menjamin bahwa setiap perwakilan pemilik saham dapat ditentukan secara tepat. Beberapa langkah tersebut mencakup antara lain (1) menentukan kebijakan kepemilikkan bank dan tata cara pemilihan dewan direksi serta pengukuran kinerjanya; (2) menjamin manajemen yang berkualitas.

Penerapan di Indonesia
1. Rudolph (State Financial Institutions : Can They Be Relied On To Kick-Start Lending?)
Rudolph (2009) menguraikan bahwa restrukturisasi perbankan merupakan salah satu jalan yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk memperbaiki kegagalan pasar (market failure) terkait mis alokasi dana. Namun demikian, efektifitas upaya tersebut tergantung pada beberapa faktor, antara lain kejelasan mandate, standar corporate governance yang tinggi, regulasi yang mengarah pada prinsip kehati-hatian yang kuat, pengawasan yang kuat, dan disiplin pasar.
Mandat
Apabila merujuk pada konsep penulisan Rudolph maka mandat yang dimiliki Bank BUMN setidaknya harus meliputi tiga elemen.
1) Pertama, untuk menghindarkan keterlibatan Bank BUMN dalam pangsa pasar yang bersifat murni komersial dan memiliki bagian keuntungan tertinggi, sehingga mandate yang dimiliki Bank BUMN sebaiknya menetapkan sasaran yang akan diraih untuk mengurangi kegagalan pasar, misalnya pada sektor infrastruktur atau pada usaha menengah dan kecil (UKM).

Di Indonesia, selain fungsi-fungsi perbankan pada umumnya, fungsi intermediasi keuangan dan memperoleh laba (dividen bagi Negara), bank BUMN ditugaskan memiliki fungsi sosial yaitu menyalurkan pendanaan bagi sektor-sektor kerakyatan. Bank BRI menjadi penyalur fasilitas keuangan bagi sektor pertanian dan usaha kecil di pedesaan, Bank Dagang Negara (sekarang Bank Mandiri) memiliki core business pembiayaan di bidang perdagangan, Bank Ekspor Impor (sekarang Bank Mandiri) memiliki tugas menyalurkan pembiayaan bagi usaha-usaha berorientasi pasar luar negeri. Penetapan mandat tersebut menunjukkan bahwa terdapat upaya Pemerintah untuk menyalurkan fasilitas keuangan pada sektor-sektor yang dipandang tidak menguntungkan oleh perbankan swasta.


Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa perbankan BUMN masih menjadi pemain utama dalam kredit usaha kecil. Dalam Tahun 2008 (sampai dengan Agustus 2008) Bank BUMN telah menyalurkan kredit kepada usaha kecil sebesar Rp 82,749 Trilyun atau sebesar 60,60% dari total kredit usaha kecil perbankan nasional yang mencapai Rp 136,543 Trilyun. Selain mencatat pangsa pasar terbesar, secara tahunan pertumbuhan kredit usaha kecil bank BUMN juga merupakan yang paling pesat. Pertumbuhan kredit usaha kecil Bank BUMN secara year on year mencapai 18,20%. Angka pertumbuhan ini lebih tinggi dari yang dimiliki Bank BPR, Swasta nasional, dan bank asing yang secara tahunan tumbuh masing-masing 17,20%,7,02% dan 10,96%.


Dominansi Bank BUMN dalam menyalurkan kredit pada sektor usaha kecil merupakan implementasi dari mandat langsung pemerintah untuk menyalurkan kredit-kredit kepada usaha kecil sesuai dengan program pemerintah. Sementara itu bank swasta belum mau masuk terlalu jauh di sektor kredit usaha kecil karena masih belum memiliki core comptence di sektor tersebut dan juga cukup beresiko. Hal ini karena sebagian besar usaha kecil belum memiliki pembukuan dan juga terkadang tidak memiliki jaminan yang memadai sehingga bank-bank swasta belum mau menyalurkan kredit secara masif kepada sektor usaha kecil.
2) Kedua, mandat Pemerintah sebaiknya menetapkan Bank BUMN untuk beroperasi sebagai komplemen (pelengkap) bagi perbankan swasta. Hal ini amat penting dalam situasi perbankan BUMN yang menerima dana Pemerintah yang bersifat subsidi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi harga dari yang seharusnya (underprice) dalam suatu pasar yang bersinggungan langsung dengan perbankan swasta.
3) Ketiga, mandate Bank BUMN mensyaratkan keberlanjutan keuangan dengan menetapkan batas minimal tingkat pengembalian atas modal. Lebih lanjut, jajaran direksi perlu menetapkan gambaran angka yang kelas dan realistis. Namun demikian seringkali sulit dalam menetapkan angka sasaran tersebut yang biasanya lebih tinggi dari cost of funding Pemerintah.


Bank BUMN sesuai dengan ketentuan perundangan wajib memberikan dividen pada Pemerintah. Hal tersebut telah menjadi mandate langsung yang ditetapkan Negara pada setiap Bank BUMN. Selain itu, laba perbankan BUMN merupakan salah satu andalan Pemerintah untuk memenuhi target penerimaan Negara dalam APBN. Untuk Tahun 2010, Pemerintah masih mengandalkan 10 badan usaha milik negara (BUMN) untuk memenuhi setoran dividen tahun depan. Anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2010 mematok target setoran dividen sekitar Rp 30 triliun, yang salah satunya berasal dari Bank BUMN.

Walaupun demikian penetapan mandat tersebut akan kontraproduktif dengan tujuan Pemerintah lainnya misalnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi. Dalam kondisi mandeknya investasi dan rendahnya penyaluran kredit investasi, maka penurunan suku bunga kredit BI akan berdampak langsung pada penurunan laba bank-bank BUMN yang notabene menjadi pionir untuk menerapkan BI rate tersebut. Oleh karena itu, dalam hal ini menjadi relevan pendapat para banker swasta yang mengemukakan bahwa ukuran kinerja khususnya bagi perbankan BUMN tidak seharusnya bersifat keuangan semata, melainkan mempertimbangkan aspek-aspek lain. Dengan demikian, perbankan BUMN tidak berhadapan langsung sebagai “pesaing utama” bagi perbankan swasta.

Good corporate governance
Kemudian, apabila merujuk pada prinsip kedua dalam konsep Rudolph maka prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) sebaiknya konsisten diterapkan baik untuk perusahaan swasta dan public (Scott, 2002). Prinsip GCG sangat penting bagi institusi perbankan khususnya Bank BUMN mengingat sering mendapatkan intervensi politik dan kurangnya kapasitan dewan direksi. Kedua hambatan tersebut muncul dari kurangnya independensi keuangan dan operasional, serta dari kurangnya komunikasi antara pihak perbankan dan pemerintah. Resiko intervensi politik dapat kurangi melalui kejelasan dalam menetapkan perwakilan pemilik kepentingan dan menjamin adanya transparansi dalam pemilihan dewan direksi dan manajemen.
Pada awal tahun 2004 lalu, Bank Indonesia meluncurkan Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yaitu sebuah landscape atau blue print mengenai tatanan industri perbankan ke depan, yang menggariskan visi, arah dan bentuk yang akan dicapai. Seluruh kebijakan yang akan dilakukan BI untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut selama kurun waktu hingga akhir tahun 2010, diletakkan sebagai bagian dari kerangka kebijakan API ini.
API menetapkan beberapa sasaran yang ingin dicapai, yaitu:
1) Menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
2) Menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional.
3) Menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.
4) Menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
5) Mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat.
6) Mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan.
Demikian, terlihat bahwa salah satu upaya otoritas moneter untuk meningkatkan kinerja perbankan nasional termasuk perbankan BUMN adalah dengan menciptakan situasi internal perbankan yang memiliki landasan corporate governance atau tata kelola yang baik dan kuat.

Penerapan GCG dalam perbankan nasional, sebagaimana tertuang dalam lanskap perbankan nasional Bank Indonesia mengacu pada program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan yang bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen resiko dan kemampuan operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perbankan.


Untuk itu BI menerapkan program yang menetapkan standar minimum untuk GCG dan mendorong bank-bank untuk go public, mempersyaratkan sertifikasi manajer risiko, serta mendorong bank-bank untuk melakukan sharing penggunaan fasilitas operasional guna menekan biaya dan memfasilitasi kebutuhan pendidikan dalam rangka peningkatan operasional bank

Prudential regulation and supervision
Prinsip ketiga dalam konsep Rudolph adalah pengaturan dan pengawasan yang berkehati-hatian (Prudential regulation and supervision), dimana perbankan BUMN menjadi subyek atas prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan perbankan. Prinsip tersebut sebaiknya diterapkan tidak hanya pada lembaga penarik dana masyarakat tetapi bank pembangunan nasional/daerah yang menerima dana Pemerintah mengingat resiko sistemik yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut. Lebih lanjut, pengawasan perbankan sebaiknya menitikberatkan pada pengaturan tata kelola, keberlanjutan usaha dan kualitas sistem perbankan. Menurut Rudolph, lembaga audit tidak dapat memberikan jaminan yang memadai khususnya dalam pengawasan perbankan yang terspesialisasi mengingat kurangnya tenaga ahli untuk menilai resiko bawaan yang dimiliki oleh sektor perbankan.


Bank Indonesia menerapkan program peningkatan kualitas pengaturan perbankan yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengaturan serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international best practices. Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision secara bertahap dan menyeluruh. Ke depan diharapkan Bank Indonesia telah sejajar dengan negara-negara lain dalam penerapan international best practices termasuk 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan diharapkan dalam waktu dua tahun ke depan Bank Indonesia telah memiliki sistem penyusunan kebijakan perbankan yang efektif yang telah melibatkan pihak terkait dalam proses penyusunannya.


Program ini akan dicapai melalui kegiatan memformalkan proses sindikasi dalam membuat kebijakan perbankan, yaitu dengan: (1) Melibatkan pihak ketiga dalam setiap pembuatan kebijakan perbankan; (2) Membentuk panel ahli perbankan; dan (3) Memfasilitasi pembentukan lembaga riset perbankan di daerah maupun pusat. Selain itu, yang terpenting adalah implementasi secara bertahap 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision.


Sementara untuk meningkatkan kualitas pengawasan perbankan BI menerapkan program peningkatan fungsi pengawasan yang bertujuan untuk meningkatkan independensi dan efektivitas pengawasan perbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini dicapai dengan peningkatkan kompetensi pemeriksa bank, peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, pengembangan pengawasan berbasis risiko, peningkatkan efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di Bank Indonesia. Ke depan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia akan lebih efektif dan sejajar dengan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pengawas di negara lain.

Program ini akan dicapai melalui kegiatan yang bersifat (1) Meningkatkan koordinasi antar lembaga
Pengawas dengan melakukan koordinasi dan kerjasama secara regular; (2) melakukan konsolidasi sektor perbankan Bank Indonesia dengan (a) mengkonsolidasi fungsi pengawasan dan pemeriksaan; (b) mereorganisasi sektor perbankan Bank Indonesia; (c) membentuk tim enforcement; dan (d) membentuk tim khusus pemeriksa spesialis; (3) Meningkatkan kompetensi pemeriksa bank melalui (a) sertifikasi pemeriksa bank; dan (b) attachment pemeriksa di lembaga pengawas internasional; (4) Mengembangkan sistem pengawasan berbasis risiko dengan mendisain risk-based model untuk pengawasan; dan (5) Meningkatkan efektivitas enforcement dengan (a) menyempurnakan proses investigasi kejahatan perbankan; (b) meningkatkan transparansi pengawasan dan enforcement; (c) membentuk internal ombudsman untuk permasalahan pengawasan; dan (d) meningkatkan perlindungan hukum bagi pengawas bank.

Market discipline
Prinsip berikutnya menurut Rudolph adalah disiplin pasar yang dapat menciptakan insentif positif bagi manajemen. Bank BUMN dapat diminta untuk meningkatkan perolehan dana melalui pasar hutang masyarakat tanpa kecuali dan mendapatkan penilaian (rating) dari lembaga terpercaya. Hal ini memberikan sumber evaluasi manajemen perbankan yang independen yang dapat dimanfaatkan oleh pemilik kepentingan. Disiplin pasar mencerminkan pula pengujian yang penting untuk model pengelolaan resiko yang dianut oleh Bank BUMN.


Dalam model skema pembiayaan tradisional dimana Bank BUMN memperoleh pembiayaan dari Pemerintah, maka Bank BUMN cenderung untuk tidak mengembangkan system pengelolaan resiko yang memadai karena pada dasarnya mereka meminjamkan sebanyak yang mereka terima dari Pemerintah. Dalam skema pembiayaan berbasis pasar, maka Bank BUMN dapat meminjam sebanyak yang mereka pinjam, sehingga perlu meningkatkan strategi manajemen resiko untuk mengurangi biaya peminjaman (cost of funding). Pembiayaan berbasis pasar akan mengurangi ketergantungan yang tidak sehat terhadap Pemerintah yang kemudian cenderung akan menciptakan peluang untuk terjadinya korupsi dan intervensi politik. Namun demikian, disiplin pasar sebaiknya diberlakukan dengan penerapan transparansi dan pengungkapan yang memadai untuk meningkatkan akuntabilitas.


Bank Indonesia dalam menetapkan arsitektur perbankan menerapkan program pengembangan infrastruktur perbankan yang bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau, lembaga pemeringkat kredit domestik, dan pengembangan skim penjaminan kredit. Pengembangan credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya. Penggunaan lembaga pemeringkat kredit dalam publicly-traded debt yang dimiliki bank akan meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan perbankan. Sedangkan pengembangan skema penjaminan kredit akan meningkatkan akses kredit bagi masyarakat. Ke depan diharapkan telah tersedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi.


Program ini dijalankan dengan kegiatan Mengembangkan credit bureau dengan melakukan inisiatif pembentukan credit bureau dan Mengoptimalkan penggunaan credit rating agencies dengan mempersyaratkan rating bagi obligasi yang diterbitkan oleh bank, termasuk Bank BUMN.

2. Permasalahan kinerja Bank BUMN di Indonesia
Salah satu permasalahan yang dialami perbankan milik pemerintah (Bank BUMN) adalah kinerjanya yang mengalami penurunan dibandingkan perbankan swasta. Demikian diungkapkan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad (dikutip dalam Tempo Interaktif, 29 Juni 2007) yang mengungkapkan kinerja bank-bank milik pemerintah lebih rendah dibanding bank swasta dalam periode 2002-2005. Kredit bank BUMN sejak 2002 hingga 2005 hanya tumbuh 19,4%, sedangkan bank swasta bisa mencapai 34%. Kinerja bank BUMN tersebut berada di bawah rata-rata pertumbuhan kredit industri perbankan nasional yang mencapai 23%. Lebih lanjut, rasio kredit bermasalah (non performing loan ) bank BUMN juga tinggi. Pada tahun 2005, angka NPL mencapai 16,3%, di atas delapan bank swasta yang memiliki NPL sebesar 3,4% atau rata-rata industri perbankan sebesar 8,3%. Selain itu, sering terjadi overlaping antar bank BUMN, karena segmen pasar yang tidak terfokus. Beberapa tahun terakhir terjadi persaingan yang ketat antar bank BUMN karena alokasi pangsa pasar yang tidak jauh berbeda. Dengan demikian, perlu pemikiran kembali mengenai strategi bisnis bank BUMN.


Selain itu, masih segar ingatan kita akan dampak krisis moneter terhadap perbankan nasional di akhir 1990-an yang berujung pada penciutan jumlah bank nasional dan merger 4 bank BUMN (menjadi Bank Mandiri). Pemberian beberapa kemudahan (fasilitas) untuk mendirikan bank, yang diikuti dengan kemudahan pengucuran kredit (khususnya yang bersifat konsumtif) di satu sisi, serta kelemahan pengawasan oleh Bank Sentral serta moral hazard para pelaku (oknum) perbankan nasional terbukti telah menggiring perbankan nasional ke dalam jurang kehancuran.

3. Kinerja Bank BUMN
Profit meningkat
selama kuartal I-2009, sebagian besar BUMN perbankan mengalami kenaikan kinerja dibanding periode sama 2008. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) membukukan laba bersih Rp 1,72 triliun dibanding kuartal I-2008 sebesar Rp 1,41 triliun. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) membukukan laba bersih Rp 636,2 miliar, atau meningkat dibanding periode sama 2008 yang mencapai Rp 155,24 miliar. Selanjutnya, PT Bank Mandiri Tbk mencatat laba bersih Rp 1,4 triliun dibandingkan kuartal sama 2008 sebesar Rp 1,39 triliun. Sementara itu, laba bersih PT Bank Tabungan Negara (BTN) meningkat menjadi Rp 109,4 miliar dibanding kuartal I-2008 sebesar Rp 108,14 miliar. PT Bank Ekspor Indonesia juga mencatat laba pada kuartal I-2009 sebesar Rp 119,54 miliar, atau naik dibanding periode sama 2008 yang mencapai Rp 74,73 miliar.
Peningkatan kinerja ditopang dari kinerja operasional dan restrukturisasi kredit bermasalah.


Restrukturisasi NPL disesuaikan dengan bank swasta
Menghadapi krisis global yang ganas, perbankan kita tetap berkinerja baik. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Juli 2009 menunjukkan, bank umum memiliki tingkat kecukupan modal (capital adequcy ratio atau CAR) 17,34%, sementara bank badan usaha milik negara (BUMN) 13,81%. Jika kinerja diukur dengan return on asset (ROA), bank umum memiliki rasio sebesar 2,69% dan bank BUMN 2,64%. Bank BUMN memiliki tingkat keuntungan yang lebih baik dengan net interest margin (NIM) sebesar 5,85% dibandingkan dengan bank umum sebesar 5,56%.


Dari sisi kinerja dan kemampuan menghasilkan keuntungan, perbankan kita (khususnya bank BUMN) boleh memiliki rapor bagus. Namun, ada dua hal yang menjadi catatan dari sisi neraca perbankan. Pertama, bank-bank secara umum masih memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk meningkatkan efisiensi operasionalnya. Biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional (BOPO) bank umum sebesar 87,35%, sementara bank BUMN 93,62%. Semakin besar BOPO, semakin tidak efisien operasi bank tersebut. Artinya, dibandingkan dengan bank umum, bank BUMN lebih tidak efisien.


Kedua, rasio pemberian kredit terhadap deposito (loan to deposit ratio atau LDR) cenderung menurun. Jika Agustus 2008 LDR bank umum sebesar 79,02%, pada Juli 2009 turun menjadi 73,20%. Sementara, bank BUMN mengalami penurunan LDR dari 78,98% menjadi 75,64%. Artinya, secara umum perbankan cenderung menekan penyaluran kredit. Memang, penurunan bank BUMN lebih kecil dibandingkan dengan bank umum karena bank BUMN memiliki tanggung jawab (baca: tekanan) lebih besar untuk mendorong perekonomian.

Overview kinerja perbankan nasional 2006
Secara umum kinerja perbankan nasional mulai membaik, yang ditunjukkan oleh kenaikan aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit. Namun persoalan terbesar tetap pada rasio NPL yang masih tinggi, terutama di bank BUMN. Fungsi intermediasi perbankan juga terus membaik terlihat dari peningkatan rasio LDR (menjadi 61%), meski belum seperti yang diharapkan (di atas 80%).

4. Kondisi Bank BUMN dan Tindakan yang akan diambil atas kebijakan BI tentang Single Presence Policy (SPP)

Di tengah gamangnya prospek ekonomi global, ada beberapa potensi perekonomian domestik yang membutuhkan peran perbankan. Beberapa lembaga investasi menilai positif prospek perekonomian domestik. Pada Juli 2009 Morgan Stanley menyatakan Indonesia pantas disejajarkan dengan kelompok BRIC (Brasil, Rusia, India, Cina). Demikian pula dengan CLSA yang merilis laporan berjudul ”Chindonesia”. Bersama Cina dan India, Indonesia dipandang mampu menjadi kekuatan besar ekonomi global.

Meski begitu, ada beberapa catatan penting terkait peran perbankan. Dibandingkan dengan BRIC, peran perbankan Indonesia masih sangat terbatas, sebesar 26% terhadap PDB. Bandingkan dengan Cina dan India yang nilainya di atas 60%. Bahkan, Singapura dan Malaysia rasionya sekitar 100%. Jika rasio kredit perbankan Indonesia bisa terus ditingkatkan, sumbangannya terhadap perekonomian akan semakin mantap.

Secara mikro, ada hambatan lebih serius pada industri pebankan kita. Ada dua hal pokok. Pertama, persoalan pengawasan yang masih lemah sehingga menimbulkan potensi kerawanan ketika kontribusi kredit terhadap Produk Domestik Bruto meningkat. Kedua, perbankan “disandera” oleh dana jangka pendek deposan. Sebesar 90% dana pihak ketiga (DPK) bank umum berasal dari deposan berjangka waktu pendek. Karena kewajiban bank kurang dari tiga bulan, bank tersebut tidak mampu membiayai kredit investasi yang umumnya jangka waktunya lebih dari satu tahun.

Masih ditambah dengan penyaluran kredit kepada segelintir debitor, perbankan benar-benar tersandera dari dua sisi. Di satu sisi deposannya bersifat ologipolis, di sisi lain debitornya juga demikian. Pada 2010 harus ada agenda konkret dari Bank Indonesia dan pemerintah untuk mengeluarkan perbankan dari situasi “terkunci” ini (unlocking). Jika tidak, kita hanya akan memiliki dunia perbankan yang biasa-biasa saja (mediocre) sehingga perekonomian kita juga tidak bisa diharapkan menjadi excellent.

In the past 20 years there has been a common belief that the state’s role in the financial sector should be limited to supporting the enabling environment and regulating and supervising privately owned financial institutions. But the crisis is leading to a rethinking of this role in favor of more interventionist approaches, including the use of state-owned financial institutions to promote public policy objectives.
State financial institutions can play a useful role in supporting credit growth during a financial crisis under certain conditions. The effectiveness of their support depends in large part on the nature of the shock (whether a credit crunch or a slowdown in credit demand) and on their ability to leverage the infrastructure and expertise of private commercial banks to scale up their impact. Also critical to their successful use is a sound institutional framework—with a clear and sustainable mandate, high standards of corporate governance, strong prudential regulation and supervision, and reliance on market discipline to provide the right signals to the main stakeholders.
While it is too early to evaluate the effectiveness of support by state financial institutions, past experience with their use is sobering and suggests that in many cases their long-term costs could exceed any short-term benefits that they provide. Whether countries will heed the lessons of experience in this area or are condemned to repeat them remains to be seen.

(M. Sadli, Business News, 23 Mei 2005) Resiko bagi bank BUMN memang lebih besar. Sebabnya adalah intervensi politik, orientasi yang serba politik dari sebagian pimpinan bank BUMN, dan godaan bagi kalangan politik yang berkuasa untuk memanfaatkan bank BUMN untuk kepentingan partainya. Maka resiko bank BUMN adalah resiko sistemik. Jalan keluar yang radikal adalah privatisasi di mana kepemilikan pemerintah paling-paling hanya sebagai minoritas. Akan tetapi jalan ini secara politis-ideologis masih utopia di Indonesia.
Memperkuat dan mengefektifkan pengawasan bank adalah upaya yang secara berkesinambungan dilakukan oleh Bank Indonesia (BI). Dalam rangka itu BI mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan Kebijakan Kepemilikan Tunggal (KKT) atau populer dengan single presence policy (SPP). Kebijakan ini menetapkan, setiap pihak, perorangan atau korporasi, hanya boleh menjadi pemegang saham pengendali (PSP) pada satu bank. Sesuai ketentuan, PSP adalah pihak yang memiliki saham suatu bank 25% atau lebih, atau mengendalikan suatu bank meskipun saham yang dimiliki kurang dari 25%. KKT tentunya berimplikasi pada pihak-pihak yang sudah menjadi PSP di dua atau lebih bank. Untuk itu kepada mereka diberikan tiga pilihan agar kepemilikannya pada bank sejalan dengan KKT. Pertama, melepas kepemilikannya sehingga hanya menjadi PSP pada satu bank. Kedua, menggabungkan (merger) bank yang dimiliki. Ketiga, membentuk/mendirikan bank holding company (BHC) dan mengalihkan kepemilikan bank kepada BHC.
Salah satu PSP yang harus menyesuaikan diri dengan KKT adalah pemerintah sebagai PSP di empat Bank BUMN. Menjadi pertanyaan bagi kita pilihan apa yang akan diambil pemerintah untuk menyesuaikan diri dengan KKT. Namun, sebelum pilihan ditetapkan , KKT merupakan momentum tepat bagi pemerintah untuk mengkaji ulang untung rugi memiliki bank, baik dalam kerangka kesehatan sistem perbankan maupun kesehatan bank secara individu. Pengalaman menunjukan, bank BUMN memiliki kinerja yang kurang cemerlang, dililit kredit macet melebihi jumlah yang dapat ditolerir. Padahal belum terlalu lama bank BUMN ini menghabiskan dana rekapitalisasi dalam jumlah yang menakjubkan. Dan tidak jarang bank BUMN dijadikan alat untuk kepentingan jangka pendek. Kehadiran bank BUMN dalam sistem perbankan juga membawa masalah yaitu timpangnya medan permainan. Sebagai milik pemerintah, bank BUMN mendapat keuntungan tertentu. Sementara itu sebagai perusahaan milik negara, Bank BUMN juga terkendala atauran main yang berlaku khusus untuk perusahaan milik negara. Seperti misalnya untuk menyelesaikan kredit macet, dibutuhkan prosedur khusus yang tidak efisien untuk dilaksanakan.


Dengan demikian, pilihan optimal adalah melepas kepemilikan pemerintah pada bank BUMN. Pilihan ini merupakan yang terbaik untuk kepentingan pemerintah maupun bagi sistem perbankan. Melepaskan kepemilian pemerintah bukan hanya sebatas privatisasi, akan tetapi menjual dan menyebarkan kepemilikan kepada masyarakat sehingga akan terjadi pemisahan antara kepemilikan dan kepengurusan yang dalam literatur korporasi dikenal dengan Berle-Means Corporation. Bila opsi ini yang ditempuh maka cara yang efektif adalah melalui pasar modal. Baik melalui pencatatan di bursa domestic maupun di bursa negara lain.Untuk mencapai hasil optimal tentu saja sebelum melakukan listing, kinerja bank BUMN tersebut harus diperbaiki dan neraca bank dibersihkan dari obligasi rekap, misalnya dengan melakukan buyback.

Kepemilikan tersebar memiliki keunggulan tersendiri. Terpecahnya kepemilikan akan menjadikan pengurusan dilakukan oleh outsider, tanpa direcoki oleh “kepentingan” jangka pendek pemilik. Pengelolaan oleh outsider ini akan meningkatkan kinerja bank sehingga pajak yang diterima pemerintah meningkat. Risiko bila pemerintah tetap mempertahankan diri menjadi PSP adalah bertanggungjawab secara finansial apabila bank mengalami kesulitan keuangan. Sesuai ketentuan, PSP bertanggung jawab penuh kalau bank mengalami kesulitan keuangan, terlepas dari kesulitan keuangan tersebut diakibatkan kesalahan PSP.
Pilihan merger akan menciptakan suatu bank besar yang dapat berfungsi sebagai bank internasional dalam pengertian Arsitektur Perbankan Indonesia. Pilihan ini cukup rumit, mulai dari penyesuaian system, penyelarasan budaya kerja dan yang paling sulit adalah menghindari agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Karena, mau tidak mau merger mengakibatkan PHK yang pada gilirannya akan membawa masalah masalah social dan politik. Pilihan terakhir, yakni mendirikan BHC sedikit lebih gampang. Hanya saja pilihan ini mestinya tidak diambil, bila tujuan yang dicapai adalah bank dan system perbankan yang sehat. Konsep BHC dikenal di AS dengan dikeluarkanya The Bank Holding Company Act pada tahun 1956. Menurut Undang-undang ini BHC adalah setiap perusahaan yang memiliki saham minimal 25% pada suatu bank. BHC dimaksudkan untuk menghindari pembatasan pendirian cabang antar negara bagian (interstate branching) yang waktu itu diterapkan di AS dan juga untuk kepentingan pajak. Konsep BHC kemudian diperluas menjadi Financial Hoding Company melalui Gramm Leach Bliley Act yang ditandatangi Presiden Clinton pada November 1999. Baik BHC maupun FHC berada di bawah pengawasan bank sentral AS yaitu Federal Reserve.
Pilihan manapun yang akan diambil, satu hal yang penting adalah pilihan itu harus bertujuan untuk menciptakan bank dan system perbankan yang sehat sehingga tidak menjadi beban keuangan pemerintah.

5. Kesimpulan
Institusi lembaga keuangan milik pemerintah (SFI) memiliki berbagai mekanisme check dan balance untuk memitigasi mismanajemen sumber daya. Selain itu, terdapat sedikit usaha untuk mengukur kinerja lembaga keuangan tersebut. Walaupun demikian, SFI yang diteliti memiliki beberapa persamaan, anatara lain tujuan efisiensi, basis keuantungan tahunan, manajemen yang berkualitas dan profesional, tidak bergantung pada dukungan financial pemerintah.
Mandat SFI bertujuan mengurangi resiko kegagalan pasar dan merupakan pelengkap dari sistem pasar yang ada. Fungsi pemegang saham telah terdefinisi dengan jelas, dan mekanisme pemilihan dewan direksi telah menjamin independensi dan keahlian. Selain itu, Pemerintah telah mengawasi perbankan ini secara regular dan memadai.
Namun demikian terdapat sedikit upaya atau progress untuk mengukur kinerja lembaga keuangan milik pemerintah. Walaupun tidak terdapat bukti kontribusinya terhadap perekonomian makro, namun masih terdapat ruang untruk meningkatkan nilai tambah perekonomian melalui penyaluran keuangan untuk memperbaiki kegagalan pasar.

Read More......