Dr. Cris Kuntadi, MM, CPA
Gelombang reformasi telah mengakibatkan pemerintah pusat melakukan berbagai tahapan perubahan termasuk perubahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah dengan terbitnya PP Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Dalam PP tersebut dipersyaratkan bahwa setiap pemerintah daerah wajib menghasilkan laporan keuangan yang terdiri atas Neraca, Laporan Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Pelaporan keuangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pertanggungjawaban kepala daerah kepada masyarakat (public accountability).
Semangat reformasi tersebut telah mewarnai pendayagunaan aparatur daerah dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi keuangan daerah yang mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsip-prinsip pengelolaan yang baik (good governance). Selain itu, masyarakat menuntut agar pemerintah daerah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and services sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
Untuk mendukung keberhasilan tersebut, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara wajib dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangan, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan Keuangan Negara disini adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola keuangan negara sesuai kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Sedangkan Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
AUDIT LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
Untuk meyakinkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berjalan sesuai kriteria yang ditetapkan, perlu dilakukan oleh suatu badan pemeriksa yang profesional, efektif, efisien, dan modern (PEEM). Sehubungan dengan hal tersebut, dibentuklah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) yang bertugas melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana UU No. 15 tahun 2004 atau dikenal dengan UU Pemeriksaan Keuangan Negara.
Pemeriksaan yang menjadi tugas BPK-RI meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Secara garis besar, lingkup pemeriksaan meliputi APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas pemerintah.
Audit yang dilakukan BPK-RI meliputi tiga jenis, yakni:
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Tujuan pemeriksaan kinerja adalah untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan dan untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif.
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.
Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK perlu mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di bidang pemeriksaan, seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Untuk pemeriksaan keuangan, UU 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara mensyaratkan laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah untuk diaudit oleh BPK-RI sebelum disampaikan kepada DPR/DPRD. Audit oleh BPK-RI tersebut merupakan proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Dalam pelaksanaan auditnya, BPK bebas dan mandiri dalam penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan. Meskipun demikian, BPK-RI menerima masukan dari lembaga perwakilan dan masyarakat apabila terdapat indikasi penyimpangan yang ditemui berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara/daerah. Untuk itu, BPK-RI setiap tahun menganggarkan belanja pemeriksaan atas permintaan (on-call audit) yang akan dilaksanakan apabila ada permintaan dari DPRD maupun masyarakat.
Dalam tahun anggaran 2005, BPK-RI telah melakukan audit atas Laporan Keuangan/Perhitungan APBD kurang lebih 60% jumlah Pemda di Indonesia. Dari Pemda yang diperiksa tersebut, khusus Perwakilan II BPK-RI di Palembang telah mengeluarkan 2 opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion), 33 opini Wajar Dengan Pengecualian (qualified opinion), dan 1 opini Tidak Wajar (adverse opinion). Hal ini berarti 94,44% Pemda belum menyusun Laboran Keuangan/Perhitungan APBD tahun 2004 sesuai prinsip akuntansi dan mematuhi peraturan perundangan.
Pemerintah Pusat, sejak Perhitungan Anggaran Negara (PAN) tahun anggaran 2002 – 2003 dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun anggaran 2004 masih mendapat opini Disclaimer (Tidak Memberikan Pendapat). Yang menjadi masalah dari LKPP antara lain adalah lemahnya pengendalian intern (verifikasi, rekonsiliasi, dana di BI dan bank umum lain, pengelolaan dana investasi dan dana pembangunan daerah, dan pengelolaan sisa aset BPPN), tidak dapat diverifikasinya pendapatan pajak sebesar Rp275 Triliun, tidak adanya bukti pendapatan minyak dan gas sebesar Rp17 Triliun, saldo bank sebesar Rp17 Triliun tidak tercatat, SAL di Laporan Realisasi Anggaran (LRA) sebesar Rp31,56 Triliun berbeda dengan saldo di Neraca sebesar Rp24,59 Triliun.
Dari gambaran tersebut terlihat bahwa Pemerintah Pusat/Daerah pada umumnya belum mampu menyusun laporan keuangan sesuai prinsip akuntansi dan belum mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masih banyak penyimpangan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara/daerah. Oleh karena itu, pendalaman materi hasil audit laporan keuangan perlu ditindaklanjuti dengan audit kinerja dan/atau audit investigasi. Hal ini untuk dapat lebih memaksimalkan peran BPK-RI dalam mewujudkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Setelah selesai audit, auditor diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan (LHP) secara tepat waktu. LHP atas laporan keuangan pemerintah memuat opini, LHP atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi, dan LHP dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada LHP.
LHP atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah disampaikan oleh BPK kepada DPR/DPD/DPRD dan kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota (sesuai kewenangannya) selambat-lambatnya dua bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat/daerah. LHP kinerja dan pemeriksaan tujuan tertentu juga disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD dan Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Ikhtisar hasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan Presiden/gubernur/bupati/walikota selambat-lambatnya tiga bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.
Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Laporan hasil pemeriksaan yang terbuka untuk umum berarti dapat diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat. Saat ini BPK sedang merumuskan pola transparansi hasil audit diantaranya penyampaian Hasil Pemeriksaan dalam sidang/rapat paripurna. Pembahasan antara BPK dengan DPR/DPD/DPRD terus dilakukan. Dengan penyampaian dan pemaparan LHP pada sidang paripurna, diharapkan masyarakat akan mengetahui apa saja yang dimuat dalam LHP dan DPR/DPRD dapat langsung menanyakan hal-hal yang kurang dapat difahami.
TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN
Atas hasil audit BPK-RI, pejabat yang diperiksa wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam LHP dengan memberikan jawaban/penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah LHP diterima. Atas tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan pejabat yang diperiksa, BPK-RI memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Pejabat yang tidak melaksanakan kewajiban melaksanakan tindak lanjut dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Sanksi yang tercantum dalam UU 15/2005 yaitu ‘Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi dalam LHP dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).’ Hasil pemantauan tindak lanjut diberitahukan kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester (HAPSEM).
Laporan keuangan Pemerintah daerah yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut disampaikan kepada DPRD sebagai sebagai salah satu bahan evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah. Pasal 21 Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara antara lain menyatakan bahwa:
(1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.
(2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan.
(3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
TUNTUTAN PERBENDAHARAAN/TUNTUTAN GANTI RUGI (TP/TGR)
Apabila dari hasil audit BPK diketahui terdapat kerugian negara, maka BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah. Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan. Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya ditolak, BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian negara/daerah kepada bendahara yang bersangkutan. Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.
Tata cara penyelesaian ganti kerugian berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan perseroan yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/direksi perusahaan negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud. BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
SANKSI PIDANA DAN INDIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
Berkaitan dengan pemeriksaan oleh BPK-RI, UU Pemeriksaan Keuangan Negara mengatur sanksi pidana yaitu:
1. Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
4. Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Sanksi tersebut bukan saja didakwakan kepada pejabat yang diperiksa, melainkan juga bagi auditor yang melakukan pemeriksaan dengan melanggar ketentuan perundang-undangan antara lain:
1. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan melampaui batas kewenangannya, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
2. Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan dipidana penjara 1 sampai 5 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya satu miliar rupiah.
3. Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan pemeriksaan dipidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Berkaitan dengan audit atas indikasi tindak pidana korupsi, maka BPK dapat melakukan audit investigatif. Audit investigatif adalah audit yang dilakukan berkenaan adanya dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah:
1) pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
2) pasal 3:
“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Mengacu kepada definisi dari masing-masing pasal maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Setiap orang termasuk pegawai negeri, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat . Selain pengertian sebagaimana tersebut di atas termasuk setiap orang adalah orang perorangan atau termasuk korporasi.
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut.
Melakukan perbuatan adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 Undang-undang No. 31 tahun 1999, yaitu berupa upaya percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Jadi walaupun belum terbukti telah melakukan suatu tindakan pidana korupsi, namun jika dapat dibuktikan telah ada upaya percobaan, maka juga telah memenuhi unsur dari melakukan perbuatan.
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya.
Dapat merugikan keuangan negara adalah sesuai dengan peletakan kata dapat sebelum kata-kata merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara.
Kerugian Negara yang dihitung oleh auditor Investigasi adalah kerugian yang didasarkan kepada perhitungan dengan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi. Hal ini karena berkaitan kompetensi yang dimilki oleh BPK dalam melakukan audit yang didasari kepada prinsip-prinsip Akuntansi. Berdasarkan berbagai putusan hakim terhadap ada atau tidaknya suatu kerugian negara dapat secara sederhana dirumuskan pengertian kerugian negara, yaitu:
a. Berkurangnya asset dari suatu entitas Pemerintahan.
b. Bertambahnya pengeluaran Keuangan Negara atas prestasi yang tidak diperoleh suatu entitas Pemerintah.
Setiap audit investigasi hendaklah mengandung prinsip sabagai berikut:
a. Audit investigasi tidak seperti audit keuangan dimana auditor memfokuskan pada perkecualian, kejanggalan, ketidakberesan akutansi, dan pola tindakan bukan hanya pada kesalahan biasa dan kelalaian.
b. Indikasi korupsi cenderung mengarah pada struktur teori sekitar motivasi, kesempatan dan keuntungan sehingga sering kali korupsi dilakukan untuk alasan ekonomi, egosentris, ideologi dan psikotik.
c. Indikasi korupsi dalam lingkungan yang menggunakan komputer dapat terjadi pada setiap tahap sistem: masukan, pengolahan dan keluaran.
d. Korupsi lebih disebabkan ketiadaan pengendalian dari pengendalian yang lemah. Dengan demikian pencegahan indikasi korupsi adalah masalah pengendalian yang memadai dan suatu lingkungan kerja yang menetapkan penghargaan yang tinggi atas kejujuran pribadai dan perlakuan yang adil.
Pendekatan audit investigasi yang dalam pelaksanaannya dikaitkan dengan teori atas Indikasi Tindak Korupsi, meliputi beberapa hal yaitu:
a. Analisa terhadap data yang tersedia.
Sebelum sebuah audit investigasi dilakukan, dimana berkaitan dengan interview atau bentuk-bentuk lanjutan dari investigasi, maka perlu dilakukan analisa terhadap data yang ada untuk menentukan data yang diketahui. Jika diperlukan audit pendahuluan maka audit tersebut dilakukan terlebih dahulu.
b. Menciptakan sebuah hipotesa.
Yang dimaksud dengan hipotesis di sini adalah suatu skenario kasar yang dibuat dari data-data yang diperoleh. Dalam hal ini dibuatkan bentuk-bentuk dugaan tindakan melawan hukum yang terjadi, bagaimana modus operandi terjadinya dan perkiraan pihak-pihak yang terkait
c. Menguji Hipotesa.
Yang dimaksud dengan menguji hipotesis adalah membuat skenario “bagaimana jika”. Sebagai contoh jika dalam sebuah bagian dari hipotesa, suatu tindakan penyuapan dari bagian pengadaan dicurigai terjadi, seorang auditor investigasi melakukan untuk mendapat beberapa fakta-fakta:
3) Hubungan personal antara pembeli dan rekanan.
4) Kemampuan dari bagian pengadaan untuk mengendalikan agar proses pengadaan memenangkan rekanan tertentu.
5) Pelaksanaan pembelian terhadap barang yang harganya mahal dengan kualitas yang rendah.
6) Pengeluaran-pengeluaran yang berlebih dari kebutuhan oleh bagian pengadaan.
d. Menyempurnakan dan melakukan penyesuaian atas Hipotesa.
Dalam melakukan pengujian terhadap hipotesa, Auditor Investigasi seringkali menemukan bahwa fakta-fakta yang ditemukan ternyata tidak bersesuaian dengan skenario kasar yang telah diperkirakan. Dalam hal ini, maka skenario harus direvisi dan kemudian dilakukan pengujian ulang, namun pada banyak kasus jika kenyataanya fakta yang diproleh tidak sesuai dengan skenario awal bisa saja menunjukkan hasil tidak dapat membuktikan telah terjadi tindak pidana korupsi, atau tidak dapat dibuktikan.
Kamis, 03 September 2009
AUDIT LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH TINDAK LANJUT SERTA TUNTUTAN GANTI RUGI DAN SANKSI PIDANA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
6 komentar:
Pak, saya Dino, mahasiswa D-IV STAN, instansi BPK juga. Izin mengambil tulisan ini sebagai referensi ya pak. Intisari yang komprehensif..
Terima kasih mas Dino atas pengambilan tulisan ini sebagai referensi. Kami persilakan saja bagi siapapun yang akan mengambil tulisan di blog saya sebagai referensi. Cukup dengan mencantumkan sumber referensi dalam daftar pustaka agar etika penulisan terjaga.
assalamu'alaikum pak cris..
tulisannya memberikan inspirasi pada saya yang sedang mengerjakan skripsi..
saya mahasiswa akuntansi UNTAN, dl pernah diajak kerja bareng untuk seminar di IAI-KALBAR saat pak cris menjabat ketuanya.
Pak, tanya? apakah hasil pemeriksaan BPK yang telah diberikan opini, diperiksa lagi oleh aparat APIP? Contohnya BPK periksa thun anggran 2007 dan sudah memberikan opininya, nah pada tahun 2008 aparat APIP masuk untuk periksa lagi tahun 2007 yang bulan akhir?
Kl boleh saya ingin bertanya tentang waktu yang diberikan kepada pemda untuk mengklarifikasi apabila terdapat ketidaksesuaian angka didalam laporan keuangan, apakah pemda berhak atas jurnal koreksi selama proses pemeriksaan, dan setelah pemeriksaan lapangan berakhir masih tersedia ruang untuk diskusi dan komunikasi apabila pemda dapat menelusuri kembali kesalahan-kesalahan didalam penyusunan lapkeu? sebelumnya saya mengucapkan terima kasih
Pak Chris pa Kabar?? kapan ngajar di Kampus lagi Pak,UI??
pak,mmaf sebelumnya... bapak gak share dikelas blog ini padahal sangat berguna pak?? jd sekalian bisa belajar dari Blog bapak...
makasii pak sebelumnya hehe :-)
Posting Komentar