PERAN BPK DALAM PENINGKATAN TRANSPARANSI DAN
AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA
Dr. Cris
Kuntadi, SE, MM, CPA, CA, Ak.
(Kepala Pusdiklat BPK RI & Anggota Dewan Pengurus
Nasional Ikatan Akuntan Indonesia)
Latar Belakang
Pengelolaan keuangan negara
merupakan salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan perekonomian suatu
negara, karena berkaitan erat dengan mampu dan tidaknya negara dalam mewujudkan
tujuan dan cita-cita negara serta menciptakan kesejahteraan. Lemahnya sistem
pengelolaan keuangan negara dan sistem hukum di negara kita adalah pemicu
tindakan penyalahgunaan kekayaan dan keuangan negara serta maraknya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Pengelolaan keuangan negara memiliki
tujuan untuk menjaga dan menjamin eksistensi negara dan membiayai pengelolaan
negara untuk mewujudkan kesejahteraan. Semua negara dikelola secara tertib,
sesuai dan taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan dan akuntabel. Agar segala kekurangan dalam laporan keuangan
pemerintah dapat dideteksi secara akurat sebagai bahan dalam memperbaiki sistem
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta sebagai bahan dalam
pengambilan kebijakan secara tepat maka diperlukan suatu lembaga yang
independen, obyektif, dan tidak memihak dalam memeriksa laporan keuangan
pemerintah. lembaga yang dimaksud adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk mewujudkan tujuan negara,
perlu dibangun suatu sistem pengelolaan keuangan negara yang bertumpu pada
prinsip-prinsip ketertiban, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan dan akuntabel. Bagian dari sistem
pengelolaan keuangan negara adalah sistem pengawasan dan pemeriksaan untuk
memasukkan bahwa apakah keuangan negara telah dilaksanakan sesuai target dan tujuan
yang hendak dicapai.
Wajah
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) era kini adalah wajah yang semakin percaya diri
dalam menjalankan tugas knstitusinya. Lembaga ini telah melampaui perjalanan
yang panjang dan serangkaian tempaan sejarah berat untuk sampai pada posisinya
yang cukup ideal seperti saat ini. Dengan seluruh aspek yang ada dalam dirinya
tersebut, BPK ada di garda terdepan dalam menjaga keuangan negara melalui
fungsi pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK sangat
diperlukan keberadaannya untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara
untukmengelola keuangan negara secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
Peran tersebut terus
meningkat seiring besarnya tuntutan masyarakat akan transparansi dan
akuntabilitas keuangan Negara. Pemeriksaan BPK memang sangat diharapkan oleh
masyarakat untuk dapat meningkatkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
Negara. Melalui rekomendasi berdasarkan hasil pemeriksaan, diharapkan entitas
yang diperiksa bisa memperbaiki keuangan negara secara jelas dan tepat karena
didasarkan pada analisis dan evaluasi yang tepat dan profesional.
Siklus Pengelolaan Keuangan Negara
Undang-Undang
Dasar 1945 mengamanatkan bahwa keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan
dipertanggungjawabkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat karena memang
kedaulatan ada di tangan rakyat (Pasal 1 dan 23). Akan tetapi, rakyat tidak
mungkin mengelola keuangan negara secara sendiri-sendiri untuk memenuhi
kemakmurannya sehngga rakyat menunjuk wakilnya, yaitu para wakil rakyat (DPR,
DPD, dan DPRD).
DPR,
DPD, dan DPRD sebagai lembaga legislatif tidak mungkin mengelola keuangan
negara karena memang fungsinya bukan sebagai pengelola melainkan menjalankan
fungsi pengawasan, penganggaran, dan legislasi (Pasal 20A UUD 45). Oleh karena
itu, legislatif menyerahkelolakan keuangan negara kepada pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. DPR menyerahkelolakan keuangan negara kepada Presiden sebagai kepala
pemerintahan sebagaimana UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 6
yang berbunyi “Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang
kekuasaanpengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan”.
Sedangkan DPRD menyerahkelolakan
keuangan daerah kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah
untuk mengelola keuangandaerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
Presiden
dan kepala daerah, karena telah diberi hak kelola keuangan negara, wajib
mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara kepada lembaga legislatif.
Pertanggungjawaban tersebut berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 bulan setelah
tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi
laporan realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan
keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara/daerah dan
badan lainnya (UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 30 dan 31).
Laporan
keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD)
sebelum diperiksa oleh BPK, wajib direviu terlebih dahulu oleh aparat pengawasan
internal pemerintah (APIP). Hal ini sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah Pasal 57 yang intinya menyatakan
bahwa APIP (BPKP, Inspektorat Jenderal atau nama lain yang sejenis, Inspektorat
Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota) melakukan reviu atas LKPP, LKKL, dan
LKPD sebelum disampaikan oleh Presiden, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan
bupati/walikota kepada BPK.
Setelah
menerima LKPP, LKKL, dan LKPD yang telah direviu oleh APIP, BPK memeriksa
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara berupa laporan keuangan
untuk memberikan opini. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan
tersebut akan disampaikan kepada lembaga legislatif sebagai input dalam
melaksanakan fungsi pengawasan. LHP atas laporan keuangan juga disampaikan
kepada pemerintah sebagai bahan perbaikan akuntabilitas keuangan negara. DI
samping itu, jika dalam pemeriksaan ditemukan indikasi tindak pidana korupsi,
BPK akan menyampaikan temuan indikasi tersebut kepada aparat penegak hukum
(Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian).
Pemeriksaan
Keuangan Negara
BPK merupakan satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan
negara dan sebagai suatu lembaga negara
yang memiliki posisi sangat tinggi sesuai UU 1945. Tugas BPK adalah memelihara
transparansi dan akuntabilitas seluruh aspek keungan negara, untuk memeriksa
semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara dari mana pun sumbernya,
termasuk pemberantasan KKN. BPK memiliki tugas untuk memeriksa untuk apa uang
negara dipergunakan pada tiga lapis pemerintahan di Indonesia yaitu pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota. Keuangan negara Indonesia tercermin pada APBN,
APBD, BUMN, BUMD, yayasan, dana pensiun, perusahaan yang terkait dengan
kedinasan, serta bantuan atau subsidi kepada lembaga sosial milik swasta.
Peran BPK terus meningkat seirng terbitnya UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Peran BPK sekarang dan
mendatang antara lain:
1)
Upaya pemberantasan korupsi dengan melaporkan tindakan
KKN kepada penegak hukum
2)
Membantu pemerintah untuk mengimplementasikan paket
ketiga UU tentang keuangan negara tahun 2003-2004 melalui:
a)
Penyatuan anggaran non bujeter dan kegiatan
auasi-fiskal ke dalam APBN.
b)
Memperjelas peran dan tanggung jawab lembaga negara
pada semua tingkatan.
c)
Mendorong proses penyiapan, pelaksanaan dan pelaporan
anggaran negara yang transparan dan akuntabel.
d)
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas transaksi
keuangan antara instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah serta keduanya
maupun antara pemerintah dengan BUMN, BUMD serta perusahaan swasta yang
mendapatkan subsidi dari negara.
3)
Membantu pemerintah melakukan perubahan struktural
BUMN, maupun Badan Layanan Umum.
4)
Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi bagi
peningkatan efektivitas dan efisiensi kebijakan pemerintah serta ketaatan atas
aturan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.Mendalami kebijakan dan
masalah publik.
5)
Membantu masyarakat
dan pengambil keputusan untuk melakukan alternatif pilihan masa depan.
Gambar 2 Perkembangan Peran BPK
Siklus keuangan negara juga menunjukkan adanya segitiga akuntabilitas antara stakeholders (DPR/DPRD/Rakyat), BPK RI (auditor), dan pemerintah.
Terdapat tiga fungsi di antara tiga pihak tersebut, yaitu fungsi penugasan,
fungsi audit, dan fungsi pertanggungjawaban. Fungsi penugasan adalah hubungan
antara legislatif dan BPK di mana DPR/DPRD menugaskan BPK untuk memeriksa keuangan
negara dan melaporkan hasil penugasan tersebut kepada legislatif. Fungsi audit
adalah hubungan antara BPK dengan pemerntah di mana BPK memeriksa pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan negara yang dilakukan leh pemerintah. Fungsi
akuntabilitas adalah hubungan antara pemerintah dengan legislatif di mana
pemerintah mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan negara kepada DPR/DPRD
sebagai wakil rakyat. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 3 Segitiga Akuntabilitas
Dari segitiga
akuntabilitas tersebut diketahui bahwa BPK memiliki fungsi pemeriksaan (audit).
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan
secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan,
untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi
mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (UU 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 1).
Proses
identifikasi masalah dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara
(kondisi) sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(kriteria). Analisis dan evaluasi dilakukan guna mencari akar permasalahan pertentangan antara kondisi dan kriteria tersebut sehingga bisa digali akibat dan sebab. Di samping
itu perlu rumusan rekomendasi perbaikan
kepada pejabat terperiksa agar sebab permasalahan tersebut dapat dieliminasi dan permasalahan tidak terjadi lagi di
kemudian hari.
Pemeriksaan dilakukan oleh pemeriksa
yaitu orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Pemeriksa tersebut bisa berasal dari
pegawai BPK, tenaga ahli, dan atau akuntan
publik yang digunakan untuk membantu pelaksanaan tugas BPK. Pemeriksa harus independen, objektif dan profesional
agar hasil pemeriksaan bias dipertanggungjawabkan kepada publik. Hal
ini juga sesuai dengan nilai dasar BPK
yaitu independensi,
integritas, dan profesionalisme.
BPK memeriksa keuangan negara berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagai ukuran mutu pemeriksaan serta pedoman bagi pemeriksa,
pejabat yang diperiksa, dan masyarakat pengguna LHP
BPK.
Tujuan pemeriksaan keuangan negara adalah untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi. Tujuan pemeriksaan ini direalisasikan dengan tiga jenis pemeriksaan,
yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan
yang bertujuan memberikan keyakinan
yang memadai (reasonable assurance) bahwa laporan keuangan telah disajikan
secara wajar dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berterima umum d Indonesia. Output pemeriksaan keuangan adalah opini
atas kewajaran laporan keuangan.
Pemeriksaan keuangan yang
dilakukan BPK adalah pemeriksaan atas LK Pemerintah Pusat (LKPP), LK
kementerian Negara/lembaga (LKKL), LK Pemda (LKPD), LK BUMN/D.
Pemeriksaan kinerja adalah
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan
yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Contoh PDTT adalah pemeriksaan kepatuhan dan
pemeriksaan investigatif.
Sedikit berbeda dengan pemeriksaan pada sektor privat yang
lebih menekankan pada kewajaran laporan keuangan, pemeriksaan BPK juga dimaksudkan untuk menilai kebenaran karena memang terdapat jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan yang bertujuan menilai kewajaran laporan keuangan, terutama pemeriksaan investigatif sebagai bagian dari pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Pemeriksaan investigatif bertujuan menilai apakah indikasi tindak pidana
korupsi terpenuhi dalam tiga unsur, yaitu unsur melawan hukum, upaya memperkaya
diri atau orang lain, dan kerugian negara. Dalam pemeriksaan tersebut harus
bisa disimpulkan apakah benar terpenuhi ketiga unsur tersebut.
Tiga jenis pemeriksaan oleh BPK
tersebut ditujukan untuk empat maksud, yaitu:
1. Meningkatkan kinerja aparatur pemerintah dan mewujudkan aparatur
yang profesional, bersih dan
bertanggung
jawab
Peningkatan
kinerja aparatur dapat dilihat dari membaiknya tata cara pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara oleh pemerintah. Salah satu wujud perbaikan
tersebut adalah meningkatnya opini atas kewajaran laporan keuangan.
2.
Memberantas penyalahgunaan wewenang dan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Pemeriksaan diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pencegahan,
pendeteksian, dan penanganan tindak pidana korupsi. Melalui pemeriksaan, akan
terungkap kecurangan keuangan Negara yang dilakukan pejabat/pegawai dan
penanganan yang seharusnya dilakukan. Ketika menemukan indikasi tindak pidana
korupsi, BPK wajib melaporkan kepada aparat penegak hukum. Dengan penanganan
maksimal oleh APH tersebut, diharapkan ada efek jera dari pelaku dan
menimbulkan ketakutan bagi pegawai yang akan melakukan kecurangan tersebut.
3.
Menegakkan peraturan yang berlaku
Fungsi pemeriksa tidak dapat lepas dari penegakan aturan karena BPK akan
membandingkan antara kondisi dan kriteria. Jika peraturan dilanggar, BPK kan
mengungkapkan pelanggaran tersebut dan memberika rekomendasi atau bahkan sanksi
atas pelanggaran peraturan. Dengan demikian, pemerintah akan semakin patuh pada
peraturan perundang-undangan.
4.
Mengamankan keuangan negara
Jika menemukan kerugian Negara, BPK akan merekomendasikan kepada
pejabat/pegawai yang melakukan tindakan berakibat kekurangan penerimaan atau
kelebihan pembayaran untuk mengganti kerugian tersebut ke kas Negara/daerah.
Dengan demikian, keuangan Negara akan lebih terjamin dari penyalahgunaan yang
melawan hokum dan mengakibatkan kerugian negara.
Definisi
pemeriksaan juga menyebutkan adanya lingkup pemeriksaan BPK dengan kalimat “mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara”. Jika diuraikan, lingkup
pemeriksaan BPK adalah sebagai berikut:
1.
APBN/APBD
termasuk pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan
negara/daerah.
2.
Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri (termasuk kekayaan yang dipisahkan pada BUMN/BUMD)
3.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum. Beberapa contoh adalah dana jaminan pihak swasta yang dikuasai
pemerintah, seperti dana reboisasi yang dikuasai Kementerian Kehutanan, biaya
perkara yang dikuasai Mahkamah Agung, dan lain-lain.
4.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan fasilitas
yang diberikan pemerintah
(yayasan/lembaga yang dibentuk dan pihak lain
yang menerima bantuan keuangan pemerintah).
Contoh dana ini seperti bantuan keuangan dari pemerintah daerah kepada lembaga
swasta atau organisasi kemasyarakatan. Meskipun kekayaan yang diberikan oleh
Pemda kepada lembaga lain, akan tetapi BPK masih dapat memeriksa penyaluran
bantuan tersebut karena masih termasuk dalam lingkup keuangan Negara.
Perkembangan Opini LK Pemerintah
BPK memulai pemeriksaan
keuangan untuk laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) tahun anggaran 2002.
Pada saat itu, Pemerintah belum menetapkan standar akuntansi dan baru
Departemen Dalam Negeri yang menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
29 Tahun 2002. Pada saat itu, BPK mendasarkan pembukuan pada prinsip akuntansi
yang ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. BPK mulai memeriksa
laporan keuangan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) untuk tahun
anggaran 2004 karena memang SAP baru diterbitkan pada 2004 dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24. Pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
(LKPP) juga mulai diperiksa untuk tahun anggaran 2004 sedangkan pemeriksaan
laporan keuangan kementerian negara/lembaga baru mulai untuk tahun anggaran
2006.
Dengan terbitnya PP 24
Tahun 2004 tentang SAP dan UU Nomor 15 Tahun 2004, BPK memeriksa laporan
keuangan pemerintah dengan menerbitkan opini atas kewajaran laporan keuangan
pemerintah tersebut. Penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2004
menyatakan bahwa “Opini
merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria
(i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii) kecukupan
pengungkapan (adequate disclosures),
(iii) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas
sistem pengendalian intern. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan
oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak
wajar (adversed opinion), dan (iv)
pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer
of opinion).
Perkembangan opini yang
diperoleh pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun, meskipun untuk oini
LKPD perkembangannya sangat lambat. Perkembangan opini laporan keuangan
kementerian negara/lembaga
(LKKL) adalah sebagaimana Tabel 1 dan
perkembangan opini LKPD sebagaimana Tabel 2.
Opini yang diperoleh KL
setiap tahun menunjukkan peningkatan signifikan sebagaimana Tabel 1. Pada 2006
(pemeriksaan pertama kali), baru 8% KL yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian
(WTP) dan mayoritas mendapat opini selain WTP. Hal ini menunjukkan
akuntabilitas pengelolaan dan pertanggungjawaban yang belum baik. Akan tetapi,
pada tahun anggaran 2011, KL pada
umumnya (77%) sudah mendapatkan opini WTP yang menunjukkan peningkatan akuntabilitas akibat pemeriksaan BPK yang
dilakukan terus-menerus dengan memberikan rekomendasi yang tepat.
Tabel 1 Perkembangan Opini LKKL
Perkembangan opini LKPD
juga menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, persentase LKPD yang menerima opini
WTP masih sangat rendah (baru 1% dari
463 Pemda pada 2006 dan 13% dari 520 Pemda pada 2011).
Tabel 2 Perkembangan Opini LKPD
WTP
|
WDP
|
TW
|
TMP
|
JML
|
|||||
2006
|
3
|
1%
|
327
|
71%
|
28
|
6%
|
105
|
23%
|
463
|
2007
|
4
|
1%
|
283
|
60%
|
59
|
13%
|
123
|
26%
|
469
|
2008
|
13
|
3%
|
323
|
67%
|
31
|
6%
|
118
|
24%
|
485
|
2009
|
15
|
3%
|
330
|
65%
|
48
|
10%
|
111
|
22%
|
504
|
2010
|
34
|
7%
|
341
|
65%
|
26
|
5%
|
121
|
23%
|
522
|
2011
|
67
|
13%
|
349
|
67%
|
8
|
2%
|
96
|
18%
|
520
|
Perkembangan opini membaik tersebut
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan
BPK terhadap akuntabilitas keuangan negara yang salah satunya tercermin dari
opini atas kewajaran laporan keuangan.
Akuntabilitas BPK
Banyak pihak
mempertanyakan bagaimana akuntabilitas dari lembaga pemeriksa, bahkan ada yang
menyangka bahwa BPK hanya memiliki kemampuan pemeriksaan sedangkan
akuntabilitasnya tidak seperti yang selalu disarankan kepada auditee. Banyak
yang meragukan apakah BPK sebagai lembaga pemeriksa juga patut dicontoh sebelum
merekomendasikan perbaikan kepada entitas lain. Keraguan stakeholders BPK
tersebut dapat dijawab dengan motto BPK yaitu “leading by example” atau di depan memberi contoh atau meminjam
istilah Ki Hajar Dewantoro yaitu “ing
ngarso sung tulodho”. BPK, paling tidak mampu memberi contoh sedikitnya dalam
lima hal berikut.
1. Laporan Keuangan BPK mendapat opini WTP selama 5 tahun terakhir (2008-2012)
Laporan Keuangan
BPK juga diperiksa oleh lembaga independen yaitu kantor akuntan publik (KAP). Hal ini menjawab
keraguan akan ketiadaan pemeriksaan oleh lembaga independen terhadap BPK. KAP
yang memeriksa BPK ditunjuk oleh DPR atas usul BPK dan Menteri Keuangan,
di mana masing-masing mengusulkan tiga KAP.
Opini atas laporan keuangan BPK sudah WTP sejak 2008 pada saat baru 41% KL
menerima opini WTP dan bertahan sampai saat ini.
2. Sistem pengendalian mutu ditelaah
oleh BPK negara lain yang menjadi anggota organisasi BPK sedunia
UU 15 Tahun 2006
tentang BPK Pasal 33 menyatakan bahwa “Untuk menjamin mutu pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara oleh BPK sesuai dengan standar,
sistem pengendalian mutu BPK ditelaah oleh BPK Negara lain yang menjadi anggota
organisasi pemeriksa keuangan sedunia”. Pola telaah sejawat (peer review) ini sudah berlangsung
mulai 2004 ketika BPK ditelaah oleh Office of Auditor General New Zealand dan
pada 2009 direviu oleh the Netherlands Court of Audit (Belanda). Pola peer review ini hanya ada di BPK dan
tidak ada di KL lain yang menerapkan. Ini merupakan contoh yang baik bagi
entitas lain untuk memastikan bahwa sistem pengendallian mutu suatu entitas
telah berjalan dengan baik melalui proses reviu oleh lembaga lain yang sejenis.
3. Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BPK dinilai oleh
Kementerian Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi secara
rutin tahunan sebagaimana KL lain dan Pemda.
Pada 2011 dan
2012, BPK mendapat nilai LAKIP “A” dan merupakan yang tertinggi di antara
entitas lain. Pada 2011, hanya dua KL yang mendapat nilai A yaitu BPK dan KPK.
Pada 2012, Kementerian Keuangan juga mendapat nilai A dengan bobot lebih rendah
dibanding BPK dan KPK. Hal ini mennjukkan bahwa akuntabilitas BPK dipandang
terbaik di antara KL dan Pemda di seluruh Indonesia.
4. BPK menerapkan
program reformasi birokrasi
Pemerintah telah
menetapkan reformasi birokrasi sebagai program nasional. Untuk mengukur
pencapaian program reformasi birokrasi, Pemerintah membentuk Tim Penilai Independen yang diketuai
oleh Kepala BPKP. Berdasarkan hasil penilaian Tim tersebut, BPK mendapat nilai
yang tinggi yaitu 85,67 (skala 0
s.d. 100) yang menunjukkan keberhasilan BPK dalam menerapkan reformasi
birokrasi.
5. BPK saat menginisiasi pembangunan Sikencur (Sistem
Kendali Kecurangan)
Sikencur merupakan rangkaian proses dan kegiatan yang secara komprehensif dirancang dan
dilaksanakan oleh pimpinan dan manajemen entitas untuk mencegah, mendeteksi,
dan menindak kecurangan dalam rangka memperkuat pencapaian tujuan sistem
pengendalian internal.
Dengan penerapan Sikencur, BPK diharapkan dapat memberi contoh bagi entitas
lain bagaimana mencegah, mendeteksi, dan menangani tindak kecurangan yang ada
di lingkungan masing-masing. BPK juga akan terus melakukan kinerja atas
penerapan system kendali kecurangan (fraud control system) yang dilakukan
entitas yang dieriksa dan sekiranya belum ada system yag terbangun, BPK akan
merekomendasikan agar entitas tersebut dapat menerapkan Sikencur. Bagaimana
cara menerapkan Sikencur tersebut dapat melalui proses pembelajaran penerapan
di Pusdiklat BPK RI yang menjadi piloting penerapan Sikencur di BPK.