Kamis, 31 Desember 2009

PERINGATAN HUT IKATAN AKUNTAN INDONESIA (IAI) KE-52: DEWAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN (DSAK IAI) - LAUNCHING 19 PRODUK DSAK IAI SEBAGAI KOMITMEN INDON

24-12-2009 10:27
Kategori: Info IAI

Pada tanggal 23 Desember 2009, IAI genap berusia ke-52 tahun. Puncak peringatan hari ulang tahun IAI ini ditandai dengan “Penyerahan 19 Produk Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) IAI” yang baru ditetapkan kepada Dewan Pengurus Nasional (DPN IAI).

Sembilan belas PSAK yang diumumkan kepada publik pada hari peringatan HUT IAI ini juga merupakan tonggak satu tahun pelaksanaan program konvergensi standar akuntansi Indonesia dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) pada tahun 2012 yang telah di-launching saat HUT IAI tahun 2008 lalu.

Sembilan belas produk DSAK, diantaranya adalah 10 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), 5 Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK), dan 4 Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK).

PSAK yang telah disahkan DSAK IAI adalah:
1. PSAK 1 (revisi 2009): Penyajian Laporan Keuangan
2. PSAK 2 (revisi 2009): Laporan Arus Kas
3. PSAK 4 (revisi 2009): Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri
4. PSAK 5 (revisi 2009): Segmen Operasi
5. PSAK 12 (revisi 2009): Bagian Partisipasi dalam Ventura Bersama
6. PSAK 15 (revisi 2009): Investasi Pada Entoitas Asosiasi
7. PSAK 25 (revisi 2009): Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan
8. PSAK 48 (revisi 2009): Penurunan Nilai Aset
9. PSAK 57 (revisi 2009): Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi
10. PSAK 58 (revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan

ISAK yang telah disahkan DSAK IAI:
1. ISAK 7 (revisi 2009): Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus
2. ISAK 9: Perubahan atas Liabilitas Purna Operasi, Liabilitas Restorasi, dan Liabilitas Serupa
3. ISAK 10: Program Loyalitas Pelanggan
4. ISAK 11: Distribusi Aset Nonkas Kepada Pemilik
5. ISAK 12: Pengendalian Bersama Entitas: Kontribusi Nonmoneter oleh Venturer

PPSAK yang telah disahkan DSAK IAI:
1. PPSAK 2: Pencabutan PSAK 41: Akuntansi Waran dan PSAK 43: Akuntansi Anjak Piutang
2. PPSAK 3: Pencabutan PSAK 54: Akuntansi Restrukturisasi Utang Piutang bermasalah
3. PPSAK 4: Pencabutan PSAK 31 (revisi 2000): Akuntansi Perbankan, PSAK 42: Akuntansi Perusahaan Efek, dan PSAK 49: Akuntansi Reksa Dana
4. PPSAK 5: Pencabutan ISAK 06: Interpretasi atas Paragraf 12 dan 16 PSAK No. 55 (1999) tentang Instrumen Derivatif Melekat pada Kontrak dalam Mata Uang Asing

Pengesahan 19 produk DSAK IAI merupakan komitmen Indonesia sebagai salah satu negara G 20, kesepakatan Indonesia dalam G 20 yaitu konvergensi standar akuntansi keuangan di Indonesia dengan International Financial Reporting Standards ( IFRS) tahun 2012.

Konvergensi IFRS
Seiring dengan perkembangan dan dinamika bisnis dalam skala nasional dan internasional, IAI telah mencanangkan dilaksanakannya program konvergensi IFRS yang akan diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2012.

Ketua Dewan Pengurus Nasional IAI, Ahmadi Hadibroto menyatakan: “Langkah startegis menuju keseragaman “bahasa” dalam Akuntansi dan pelaporan keuangan di sektor privat ini merupakan agenda utama profesi Akuntansi secara global. Terciptanya harmonisasi standar Akuntansi global juga menjadi salah satu tujuan dan komitmen kelompok G-20 dalam meningkatkan kerjasama perekonomian dunia”.

Dengan adanya standar global tersebut memungkinkan keterbandingan dan pertukaran informasi secara universal. Konvergensi IFRS dapat meningkatkan daya informasi dari laporan keuangan perusahaan-perusaha an yang ada di Indonesia. Adopsi standar internasional juga sangat penting dalam rangka stabilitas perekonomian.

Manfaat dari program konvergensi IFRS diharapkan akan mengurangi hambatan-hambatan investasi, meningkatkan transparansi perusahaan, mengurangi biaya yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan, dan mengurangi cost of capital. Sementara tujuan akhirnya laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) hanya akan memerlukan sedikit rekonsiliasi untuk menghasilkan laporan keuangan berdasarkan IFRS.

Dalam sambutannya, Rosita Uli Sinaga kembali menekankan bahwa konvergensi IFRS ini adalah tugas berat yang harus dijalani. “Yang lebih penting adalah berapa banyak PSAK yang telah dikeluarkan oleh DSAK, namun bagaimana implementasinya pada perusahaan-perusaha an di Indonesia.” Mengamini kalimat Rosita, Ahmadi Hadibroto, Ketua DPN-IAI dalam sambutannya juga meminta semua stakeholders untuk turut serta dalam proses konvergensi ini denganc ara membuat grup-grup diskusi IFRS dalam instansi masing-masing.

Public Hearing Eksposure Draft PSAK
Rangkaian acara peringatan HUT IAI ini diawali dengan Public Hearing Eksposure Draft PSAK, yaitu:
1. PSAK 19 Aset Tidak Berwujud
2. PSAK 23 Pendapatan
3. PSAK 7 Pengungkapan Pihak-pihak yang Memiliki Hubungan Istimewa
4. ISAK 14 Aset Tidak Berwujud – Biaya Situs Web
Public Hearing dihadiri oleh kurang lebih 160 orang dan diskusi hangat terjadi setelah anggota-anggota DSAK memberikan pemaparan atas exposure draft yang diluncurkan hari ini.

Beberapa pertanyaan terkait mengenai aset tidak berwujud yang perubahannya cukup signifikan dari standar Akuntansi yang sebelumnya. PSAK 19 (revisi 2009) misalnya tidak membatasi umur manfaat aset tidak berwujud maksimal adalah 20 tahun. Pernyataan ini juga membagi umur manfaat aset tidak berwujud menjadi terbatas dan tidak terbatas. Seorang peserta dari perusahaan tambang misalnya menanyakan bagaimana menentukan batasan suatu aset tidak berwujud terbatas atau tidak terbatas, terlebih tidak ada umur manfaat maksimum yang disyaratkan oleh PSAK 19 yang baru.

Rosita Uli Sinaga, ketua DSAK menjelaskan bahwa umur manfaat tidak terbatas bukan berarti tidak terhingga. Suatu aset tidak berwujud dapat diketagorikan umur manfaatnya tidak terbatas apabila tidak diketahui batas waktunya pada saat dikaji, namun mungkin saja di masa depan umurnya menjadi terbatas.

Diskusi juga berlangsung hangat mengenai ED PSAK 7 yang baru dimana transaksi antar BUMN kali ini termasuk sebagai related party transaction, hal yang dikecualikan pada PSAK 7 sebelumnya. Masukan dari beberapa peserta yang berasal dari BUMN mecemaskan apakah peryaratan tersebut tidak akan membuat pengungkapan laporan keuangan BUMN menjadi sangat banyak. Roy Iman Wirahardja, salah satu anggota DSAK menjelaskan bahwa persyaratan mengenai pengungkapan transaksi antar BUMN adalah lebih ringan daripada persyaratan pengungkapan untuk related party transaction dengan entitas lainnya.

Diskusi Merancang Visi IAI 2020
Menjelang pelaksanaan Kongres XI IAI tahun 2010, IAI mempersiapkan serangkaian materi membahas dinamika profesi untuk selanjutnya disusun suatu rekomendasi bagi perbaikan organisasi.

Memanfaatkan momentum Hari Ulang Tahun IAI yang ke-52 pada tanggal 23 Desember 2009 ini, IAI melaksanakan kegiatan Diskusi “Merancang Visi IAI 2020” dengan mengundang para tokoh Akuntan untuk memberi masukan secara aktif.

Panelis yang hadir adalah Prof. Dr. Zaki Baridwan, Ito Warsito, Theodorus Tuanakotta, Prof. Dr. Sidharta Utama, Sudirman Said serta Osman Sitorus, dengan Moderator Prof. Dr. Ainun Na’im serta Drs. Mustofa, anggota Dewan Pengurus Nasional IAI.

Acara ini bertujuan untuk:
1. Mengumpulkan ide dan pemikiran dari seluruh unsur IAI mengenai profesi akuntan sehubungan dengan dinamika profesi serta tantangan yang akan dihadapi di masa datang, baik yang bersifat nasional maupun global.
2. Mengevaluasi secara periodik kinerja dan perjalanan profesi akuntan di Indonesia selama 52 tahun sejak berdirinya IAI.
3. Mengkaji efektifitas dan kehandalan organisasi IAI dengan tujuan untuk menjadikan IAI organisasi yang adaptif dan solid dalam menghadapi berbagai tantangan.
4. Menyusun perspektif baru akan grand strategy IAI yang bermuara pada suatu usulan konstruktif bagi perbaikan IAI.
5. Cetak biru pembangunan organisasi profesi akuntan di Indonesia perlu disusun sehingga IAI dapat berperan memberi benefit optimal bagi seluruh pemangku kepentingan

Untuk menjadi organisasi yang solid dan adaptif dalam menghadapi berbagai tantangan dan dinamika profesi, banyak hal yang diidentifikasi harus diperhatikan IAI sebagai upaya penguatan profesi dan peningkatan perannya di masyarakat, diantaranya terkait dengan sertifikasi, keanggotaan, peningkatan kualitas & kualifikasi profesi akuntansi, Pendidikan profesi akuntansi, dan lain-lain.

IAI juga dapat semakin berperan dalam meingkatkan transparansi dan akuntabilitas, berperan dalam pemberi opini imparsial, memberi pencerahan kepada publik, mitra dalam perumusan kebijakan publik, Sumber rekrutmen kepemimpinan nasional, Menjadi masyarakat sipil yang mandiri dan terorganisir, Penopang mekanisme pasar, Akumulasi “intelectual capital” serta menjadi pengelola sinergi antar kelompok profesi.

IAI menjadi organisasi profesi yang diakui secara internasional dan menjadi pejuang praktik good governance dan mempromosikan sustainable development, Mempertahankan core value profesinya, Menjadi pemimpin dalam mempromosikan praktik good governance, Menegakan Etika profesi kepada seluruh anggota, dan kiprah lainnya dalam meningkatkan perekonomian nasional dan berbagai bidang lainnya.

Diskusi diakhiri dengan penunjukan Badan Pekerja Kongres XI IAI yang beranggotakan Ito Warsito, Prof. Sidharta Utama, Osman Sitorus, Sudirman Said serta Cris Kuntadi, untuk mempersiapkan visi IAI 2020 yang akan dibahas pada Kongres IAI November 2010.

DIRGAHAYU IAI!

IAI : KAMI BANGGA MENJADI BAGIAN DARI KISAS SUKSES ANDA
.



Read More......

Bincang-Bincang Menteri Keuangan RI dengan Ikatan Akuntan Indonesia

Grha Akuntan 29 Des 2009.

Penanganan Bank Century: Pengambilan Keputusan yang Akuntabel & Penilaian Sebuah Bank Berdampak Sistemik

Kategori: Info IAI

Menteri Keuangan RI, Dr. Sri Mulyani Indrawati berkunjung ke Grha Akuntan, Jl. Sindanglaya Menteng pada hari Selasa, 29 Desember 2009 lalu. Secara khusus pertemuan dengan profesi akuntansi dilaksanakan oleh Menteri Keuangan didampingi Sekjen Depkeu Mulia Nasution, Ketua Bapepam & LK A. Fuad Rachmany, Irjen Hekinus Manao, serta jajaran pejabat Depkeu lainnya. Merupakan kehormatan bagi IAI untuk dapat berdiskusi langsung & mendapatkan penjelasan Menteri Keuangan mengenai penanganan Bank Century.

Seperti diketahui, isu mengenai Bank Century (Bank Mutiara) menjadi topik paling hangat dibicarakan dan menjadi berita utama berbagai media masa pada kurun waktu akhir tahun 2009. Berbagai kalangan menyikapi isu ini dari berbagai dimensi, antara lain sosial, ekonomi, hukum dan politik. Pro dan kontra atas kebijakan pemerintah, dalam hal ini Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan Bank Century sebagai Bank Berdampak Sistemik, sehingga harus diselamatkan melalui suntikan dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp 6,7 triliun rupiah, belakangan mulai santer terdengar seiring dengan merebaknya isu pengucuran dana bailout Bank century kepada pihak-pihak tertentu yang bernuansa politis.


Menkeu mengajak berbagai kalangan untuk memahami lebih dalam dan utuh mengenai permasalahan penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik oleh KSSK. Melalui paparan kronologis mekanisme saat pengambilan keputusan, diharapkan publik mendapat pemahaman yang lebih luas, bahwa rentannya kondisi perekonomian dunia dan nasional mengharuskan KSSK untuk mengambil keputusan tersebut demi kepentingan yang jauh lebih besar dan penyelamatan perekonomian nasional.

Pada saat itu, sangat disadari sepenuhnya bahwa keputusan penanganan Bank Century ini berpeluang untuk menimbulkan perdebatan di publik. Namun keguncangan perekonomian akibat krisis ekonomi global yang terjadi di beberapa Negara, terutama Amerika, Eropa, dan Asia, mendorong KSSK untuk mengambil kebijakan yang terbaik meskipun disadari memiliki resiko.

Liputan lengkap bincang-bincang dengan Menkeu ini akan kami muat pada Majalah Akuntan Indonesia edisi akan datang yang akan terbit di awal Januari 2010. Namun untuk segera sharing informasi kepada anggota IAI, maka kami muat beberapa materi terlampir yang dapat dijadikan referensi.

Paparan secara rinci dan lengkap proses pengambilan keputusan tentang Bank Century dimuat dalam beberapa buku yang disusun oleh Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan-Depkeu. Terpapar jelas bahwa prosedur dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, dilandasi dengan niat baik dan pertimbangan demi keselamatan perekonomian nasional. Keputusan dibuat dengan tranparan, kredibel, proporsional tanpa dilandasi kepentingan individu maupun kelompok tertentu.

Semua informasi yang disusun Tim ini dapat dilihat pada lampiran untuk memberi gambaran dan meluruskan kesimpangsiuran di masyarakat, sehingga publik dapat melakukan penilaiannya sendiri. Dokumen ini menguraikan prinsip-prinsip pengambilan keputusan terhadap Bank Century yang dimulai dengan menguraikan secara ringkas kronologis penganganan Bank Century dan peran BI, KSSK dan LPS dalam pengambilan keputusan tersebut. Dokumen ini juga menyajikan tanggapan atas pertanyaan yang muncul terkait laporan hasil pemeriksaan BPK tentang masalah Bank Century, serta pada bagian akhir, tanggapan berdasarkan fakta terhadap beberapa prasangka yang muncul di masyarakat terkait dengan penanganan bank Century.

Melalui buku ini, KSSK mencoba meyakinkan pembaca bahwa kebijakan yang berujung bailout tersebut semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan sistem keuangan Indonesia dan telah diputuskan dengan memakai analisis yang optimal, pertimbangan akal sehat yang matang, dan niat yang baik serta tidak adanya conflict of interest.

Semoga dengan penjelasan ini, publik terutama profesi akuntansi yang memegang teguh prinsip profesionalisme dan integritas, dapat memahami permasalahan penanganan Bank Century secara utuh dan jelas.

Read More......

Konsultasi Sektor Publik-03

Redaksi majalah Akuntan Indonesia (AI) membuka ruang konsultasi sektor publik bagi pembaca. Pertanyaan yang dapat diajukan meliputi pengelolaan, pertanggungjawaban, dan pemeriksaan keuangan negara/daerah. Pertanyaan dialamatkan ke cris.kuntadi@gmail.com atau ke alamat redaksi Kantor IAI Wilayah Jakarta, Gedung Gajah Blok AE Jl. Dr. Saharjo No. 111 Tebet, Jakarta 12810. Telp. 021-83707344, Fax 021-8290324. Harap menyatakan nama, alamat lengkap, dan instansi.


Penyusutan Aset tetap Pemerintah

Yth. Dr. Cris Kuntadi, CPA
Pembimbing Kolom Sektor Publik
Majalah Akuntan Indonesia

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansii Pemerintah, Pernyataan Nomor 07- Akuntansi Aset Tetap Par. 53 disebutkan bahwa "Aset Tetap disajikan berdasarkan biaya perolehan aset tetap tersebut dikurangi akumulasi penyusutan…"
Kemudian pada par. 54 disebutkan sebagai berikut "...Nilai penyusutan untuk masing-masing periode diakui sebagai pengurang nilai tercatat aset tetap dan Diinvestasikan dalam Aset Tetap."
Selanjutnya pada par. 57 disebutkan bahwa " Selain tanah dan konstruksi dalam pengerjaan, seluruh aset tersebut dapat disusutkan sesuai dengan sifat dan karakteristik aset tersebut."

Sampai saat ini banyak instansi pemerintah/lembaga negara yang tidak melakukan penyusutan aset tetap, sehingga laporan keuangan yang disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan tidak seragam. Atau bahkan mungkin seluruh instansi pemerintah/lembaga negara tidak melakukan penyusutan aset tetap dalam laporan keuangannya. Padahal PSAP Nomor 07 ini berlaku efektif untuk laporan keuangan atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran mulai tahun anggaran 2005.

Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Apakah opini atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) terakhir sudah memperhitungkan tidak dilaksanakannya penyusutan aset tetap, sehingga aset tetap di sajikan over statement dalam laporan keuangan?
2. Apakah rekomendasi yang applicable dari BPK kepada pemerintah atas ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan, mengenai tidak di patuhinya PP No. 24 Tahun 2005, khususnya PSAP Nomor 07?
3. Instansi/lembaga mana yang berwenang untuk memberikan sosialisasi/pembinaan, agar PSAP Nomor 07 dilaksanakan serempak di seluruh instansi pemerintah? Hall tersebut menyangkut ketepatan waktu pelaporan (per 31 Desember 201X) sebagai laporan keuangan dukungan atas LKPP.
4. Apa maksud kata “dapat disusutkan” pada par. 57? Apakah tidak mengundang ketidakseragaman penyajian aset tetap dalam laporan keuangan pada masing-masing instansi pemerintahan, yang akhirnya berpengaruh pada opini BPK?

Bandung, 14 Desember 2009
Hormat kami,
Supena
Jl. Golf Dalam G4 – Bandung 40294

Jawab:
1. Berdasarkan LHP atas LKPP 2004-2008 (sumber http://www.bpk.go.id), opini atas LKPP masih disclaimer opinion (BPK tidak menyatakan pendapat atas kewajaran LKPP). Permasalahan belum dilakukannya penyusutan aset tetap bukan merupakan hal yang mengakibatkan diberikannya disclaimer opinion atas LKPP.
2. Meskipun belum menjadikan pertimbangan dalam menilai kewajaran laporan keuangan, semestinya BPK mendorong pemerintah segera membuat perlakuan terkait penyusutan aset operasional pemerintah agar nilai aset tetap menjadi wajar (fair). Dan ini akan lebih relevan apabila basis akuntansi yang digunakan adalah full accrual bases, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara agar kinerja keuangan entitas pemerintah dapat diukur secara lebih proporsional.
3. Instansi/lembaga yang berwenang melakukan sosialisasi atas penerapan SAP adalah Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Akan tetapi, pembelajaran atas SAP dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kompetensi seperti Departemen Keuangan, lembaga pendidikan, dan organisasi profesi. Perlu kami luruskan bahwa sosialisasi tersebut kurang ada kaitannya dengan ketepatan waktu pelaporan laporan keuangan kementerian negara/lembaga (LKKL). Pada umumnya, LKKL telah disusun tepat waktu (dua bulan setelah tahun anggaran berakhir).
4. Maksud kata “dapat disusutkan” pada par. 57 adalah bahwa penyusutan aset tetap pemerintah tidak wajib disusutkan. Dengan kata lain, aset tetap pemerintah dapat disusutkan dan dapat juga tidak disusutkan. Karena Pemerintah sampai saat ini belum mempunyai kebijakan akuntansi terkait penyusutan aset tetap, maka frasa ”dapat disusutkan” tidak mengundang ketidakseragaman penyajian aset tetap dalam laporan keuangan pada masing-masing instansi pemerintahan dan tidak berpengaruh pada opini BPK.

Read More......

BPK DAN PEMENUHAN KEBUTUAHAN STAKEHOLDERS

Mustafa Kamal
Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

1. Latar Belakang
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) memiliki mandat yang kokoh di dalam Pasal 23 E – G Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Mandat yang kokoh tersebut perlu diwujudkan dalam bentuk hasil kerja yang mampu memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders).

Stakeholders BPK yang utama adalah rakyat yang telah memberikan keterwakilannya melalui pemilihan umum kepada lembaga perwakilan (DPR/DPRD dan DPD) serta pemerintah. BPK tidak bekerja semata-mata untuk kebutuhan dirinya – pemenuhan profesionalisme pemeriksaan, tetapi juga memenuhi mandat yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan kebutuhan stakeholders tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, BPK dipilih dan ditetapkan oleh DPR serta diresmikan oleh Presiden untuk periode kepemimpinan lima tahun. Sehubungan dengan pemilihan dan penetapan BPK periode 2009 – 2014, paper ini disampaikan oleh Penulis sebagai prasyarat pemilihan anggota BPK tersebut. Paper ini fokus pada peran BPK dalam pemenuhan kebutuhan stakeholders-nya.

2. BPK – DPR & DPD - Pemerintah
BPK merupakan satu lembaga negara yang memiliki tugas memeriksa keuangan negara secara bebas dan mandiri. Di dalam pelaksanaan tugas tersebut, BPK berhubungan dengan DPR dan DPD selaku lembaga perwakilan yang memiliki fungsi legilasi, budget dan pengawasan serta Pemerintah selaku pelaksana keuangan negara.


Hubungan tersebut mempengaruhi pelaksanaan tugas masing-masing lembaga negara. Bagi BPK, hubungan dengan DPR dan DPD serta pemerintah berpengaruh terhadap pengelolaan pemeriksaan keuangan negara sebagai berikut:
a. Perencanaan Pemeriksaan
Di dalam penyusunan rencana pemeriksaan, BPK harus melakukan komunikasi secara intensif dengan DPR, DPD dan pemerintah. Hal ini dilakukan agar pemeriksaan yang dilakukan BPK sesuai dengan kebutuhan, perhatian, dan mencapai sinergi dari DPR, DPD, dan Pemerintah.
b. Pelaksanaan Pemeriksaan
Pelaksanaan pemeriksaan juga perlu dikomunikasikan dengan baik dengan DPR, DPD dan Pemerintah. Sesuai standar pemeriksaan yang lazim, BPK perlu meminta tanggapan atas pelaksanaan pemeriksaannya untuk menilai keandalan hasil pemeriksaannya di lapangan serta mengkomunikasikan hambatan yang ditemui.
c. Pelaporan Hasil Pemeriksaan
Laporan hasil pemeriksaan merupakan produk pemeriksaan yang harus dapat menarik dan dipahami oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.
d. Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan
Keefektifan pemeriksaan terletak pada tindak lanjutnya, sehingga BPK harus aktif memantau tindak lanjut tersebut dan menyampaikannya kepada DPR, DPD, dan pemerintah untuk diambil keputusan yang tepat.

3. Pemahaman terhadap Capaian BPK s.d 2008
BPK yang didirikan tahun 1947 telah mengalami perkembangan luar bisa, setelah reformasi tahun 1999 dan khususnya setelah 2004. Hal ini terlihat dari capaian-capaian yang telah diperoleh BPK sampai dengan akhir 2008.
Secara organisasi BPK telah berkembang dengan perwakilan di setiap propinsi. Hal ini memenuhi amanat UUD 1945 dan sekaligus memudahkan pemenuhan kebutuhan stakeholders baik di pusat (DPR, DPD dan Pemerintah Pusat) maupun di daerah DPRD dan pemerintah daerah.
Pengembangan organisasi BPK tersebut telah didukung oleh DPR dengan menyetujui alokasi anggaran BPK yang terus meningkat. Hal ini menunjukkan perhatian dan kebutuhan DPR terhadap pekerjaan BPK.
Hasil pemeriksaan BPK yang dapat diakses dan diketahui oleh masyarakat juga merupakan capaian yang baik. Dukungan upaya pemberantasan korupsi diberikan BPK dengan mengungkapkan kasus-kasus terkait dalam laporan hasil pemeriksaannya yang mudah diakses dan diketahui publik. Selain itu, pengungkapan opini BPK atas laporan keuangan pemerintah dalam laporan hasil pemeriksaan yang dipublikasi mendorong perbaikan transparansi dan akuntabilitas.
Ke depan, capaian BPK tersebut harus ditingkatkan, utamanya untuk menjaga kepercayaan publik dan lembaga perwakilan serta pemerintah terhadap BPK.

4. Strategi Peningkatan Peran BPK Dalam Memenuhi Kebutuhan Stakeholders
Berdasarkan pertimbangan di atas, BPK periode 2009-2014 perlu menyusun strategi untuk memenuhi kebutuhan stakeholders. Hal-hal berikut merupakan usulan terkait dengan strategi tersebut.
a. Visi BPK
“Menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang mampu memenuhi mandat dan kebutuhan stakeholders-nya”.
b. Misi BPK
“Menjadi lembaga negara yang memeriksa keuangan negara secara bebas dan mandiri”.
c. Tujuan Strategis BPK 2009 - 2014
1) Pemeriksaan BPK diarahkan pada pemenuhan amanat UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan serta kebutuhan stakeholders;
2) Peningkatan komunikasi dengan stakeholders terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan.

d. Program Strategis Pemeriksaan
1) Program Strategis Pemeriksaan Sesuai Amanat UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan dan pemenuhan kebutuhan stakeholders, meliputi:
a) Perencanaan Pemeriksaan
(1) Komunikasi dengan stakeholders utamanya DPR/DPRD, DPD, dan publik. Hal ini meliputi masukan dan pendapat serta pembahasan rencana tahunan pemeriksaan BPK.
(2) Pemanfaatan hasil pengawasan intern aparat pengawasan pemerintah untuk perencanaan pemeriksaan dalam rangka mengefisienkan dan mengefektifkan pemeriksaan BPK.
(3) Perencanaan pemeriksaan BPK sejalan dengan perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah yang relevan.
b) Pelaksanaan pemeriksaan
(1) Pengkomunikasian tujuan, lingkup, kriteria, dan temuan pemeriksaan secara jelas dan didukung oleh bukti yang kompeten dan cukup;
(2) Pembahasan temuan secara obyektif dan transparan.

c) Pelaporan hasil pemeriksaan
(1) Penyusunan laporan hasil pemeriksaan yang menarik dan mudah dibaca oleh para stakeholders yang beragam;
(2) Pengkomunikasian laporan hasil pemeriksaan dengan DPR/DPRD dan kepada entitas yang diperiksa.

d) Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan
(1) Pelaporan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang cepat, mutakhir, efisien, dan efektif.
(2) Pengkomunikasian hasil pemantauan tindak lanjut kepada stakeholders..
2) Program Strategis Dukungan Kelembagaan
a) Revitalisasi organisasi BPK yang efisien dan efektif dalam menjalankan fungsi pemeriksaan keuangan negara, yaitu organisasi kantor pusat dan kantor perwakilan BPK di setiap propinsi.
b) Peningkatan kapasitas SDM BPK untuk memenuhi independensi, integritas, dan profesionalismenya.
c) Pengembangan hubungan kelembagaan dan masyarakat.
d) Pengembangan penggunaan teknologi informasi untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pemeriksaan keuangan negara.
e) Pengefektifan alokasi anggaran BPK untuk pemenuhan pemeriksaan sesuai dengan mandat dan kebutuhan stakeholders.

5. Harapan dan Penutup
Pemenuhan mandat dan kebutuhan stakeholders merupakan tantangan utama bagi BPK sebagai lembaga negara. Pokok-pokok pemikiran di atas perlu dijabarkan lebih lanjut bersama-sama pelaksana BPK yang memiliki integritas, independensi, dan profesionalisme.

Read More......

PERAN AKUNTANSI DAN AUDIT DALAM TRANSFORMASI TATA KELOLA (GOOD GOVERNANCE)INSTANSI PEMERINTAHAN YANG AKUNTABEL, TRANSPARAN, DAN BERBASIS KINERJA

Dr. Cris Kuntadi, C.P.A.

PENDAHULUAN
Transformasi paradigmatik pengelolaan keuangan Negara didorong oleh aspek-aspek filosofis yang melandasinya seperti aspirasi, desentralisasi, partisipasi, keadilan, demokratisasi, transparansi, keadilan, dan akuntabilitas, serta nilai uang (value for money). Kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik harus lebih diorientasikan pada penenuhan aspirasi masyarakat dari pada aspirasi pemerintahan atasan. Efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik memerlukan keterlibatan dan peran masyarakat dan bawahan dalam proses pembuatan kebijakan dan tindakan. Perlu dijaga keseimbangan antara tuntutan akan terpenuhinya kewajiban masyarakat sebagai wajib pajak dengan hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang memadai.

Perlu ditanamkan kesadaran kepada pejabat dan aparatur pemerintah bahwa dana yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik adalah dana publik yang pengelolaannya mendasarkan pada prinsip ekonomis, efisien dan efektif (3E) serta akuntabel. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan negara mencakup: perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian/pengawasan.

Hal tersebut di atas merupakan wujud dari good governance yang diterjemahkan sebagai pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya melalui proses yang dapat dipertanggungjawabkan, transparan, akuntabel, dan efektif dalam pelayanan publik. Ada beberapa karakteristik pada tata kelola yang baik, yaitu: a) fokus pada tujuan organisasi dan manfaatnya bagi masyarakat; b) pelaksanaan secara efektif dengan tupoksi yang jelas; c) mempromosikan nilai-nilai untuk seluruh organisasi dan menunjukkan nilai-nilai good governance melalui perilaku; d) mengambil keputusan yang transparan dan mengelola risiko; e) mengembangkan kapasitas dan kapabilitas lembaga agar efektif; dan f) mempertimbangkan seluruh stakeholder dan menyusun pertanggungjawaban yang realistis.

Isu good governance merupakan salah satu kunci bangkitnya Indonesia dari keterpurukan. Implementasinya harus menyeluruh baik di sektor publik maupun sektor privat. Penyakit korupsi yang kronis di Indonesia juga disebabkan, adanya misgovernance. Dengan demikian, penegakan good governance menjadi mutlak diperlukan. Di antaranya melalui reformasi governance atau tata kelola sektor publik, khususnya yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara yang bertujuan untuk menigkatkan kinerja dan transparansi serta akuntabilitas pengelolaan keuangan. Hal ini menciptakan kondisi ideal sesuai dengan amanat UUD 1945.

TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNMENT GOVERNANCE)
Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah telah digulirkan oleh pemerintah pusat, yang merupakan langkah maju khususnya dalam menata sistem pemerintahannya. Reformasi tata kelola keuangan negara/daerah secara ideal tidak hanya mencakup reformasi akuntansi keuangannya. Namun demikian, reformasi akuntansi sektor publik merupakan sesuatu yang sangat fundamental khususnya bagi pengelolaan keuangan negara. Reformasi ini, secara substantif mengandung pengertian pengelolaan sumber-sumber daya daerah secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat.

Paket undang-undang bidang keuangan negara telah memberikan landasan/payung hukum di bidang pengelolaan dan administrasi keuangan negara/daerah. Undang-undang ini dimaksudkan pula untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang luas, demikian pula dana yang diperlukan untuk menyelenggarakan kewenangan itu. Agar kewenangan dan dana tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah, diperlukan kaidah-kaidah sebagai rambu-rambu dalam pengelolaan keuangan daerah.

Otonomi Daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan daerah secara lebih leluasa dan bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi daerah sendiri. Kewenangan yang luas, utuh dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan ini, pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi wewenang dan masyarakat. Penerapan otonomi daerah seutuhnya membawa konsekuensi logis berupa pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah berdasarkan manajemen keuangan yang sehat. Oleh karena itu, diperlukan sistem pengelolaan keuangan negara yang baik dalam rangka mengelola keuangan negara secara transparan, ekonomis, efisien, efektif dan akuntabel.

Perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju double entry merupakan perubahan yang cukup revolusioner. Kesiapan SDM pada kementerian negara/lembaga (KL) dan daerah umumnya kurang memiliki latar belakang bidang akuntansi. Oleh karena itu, penerapan pendekatan baru ini relatif akan menghadapi banyak kendala yang cukup besar. Meskipun KL dan sebagian pemerintah daerah sudah memiliki software akuntansi, akan tetapi karena penguasaan terhadap akuntansi masih belum memadai, maka kualitas laporan keuangan yang dihasilkan juga menjadi tidak memenuhi kaidah pelaporan keuangan normatif sesuai yang disyaratkan Standar Akuntansi Pemerintahan.

Sebagai buktinya, selama tahun 2004-2007, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selalu mendapat opini “Tidak Menyatakan Pendapat” (TMP) atau disclaimer opinion dari BPK. Sedangkan untuk tahun anggaran 2007, laporan keuangan kementrian negara/lembaga (LKKL) menunjukkan opini yaitu: 16 LKKL dengan opini “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP), 31 LKKL dengan opini “Wajar Dengan Pengecualian” (WDP), 37 LKKL mendapat opini “Tidak Memeberikan Pendapat” (TMP), dan satu LKKL mendapat opini “Tidak Wajar” (TW).

Data tersebut memperlihatkan buruknya tata kelola keuangan negara yang berarti konsep good governance belum diterapkan secara optimal di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan peran maksimal akuntan dan auditor (pemeriksa) dalam perbaikan sistem pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel untuk terciptanya good governance dan clean government.

PERAN AKUNTAN DALAM PENERAPAN GOOD GOVERNANCE
Peran akuntan tidak bisa terlepas dari penerapan prinsip good governance termasuk pada sektor Pemerintah. Akuntan dan auditor pemerintah mempunyai kewajiban menerapkan prinsip-prinsip good governance yang meliputi prinsip kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility). Dalam hubungannya dengan prinsip pengelolaan yang baik, peran akuntan secara signifikan di antaranya:
1. Prinsip kewajaran (fairness)
Laporan keuangan pemerintah dikatakan wajar bila memperoleh opini atau pendapat wajar tanpa pengecualian dari BPK. Laporan keuangan yang wajar berarti tidak mengandung salah saji material, disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia (dalam hal ini Standar Akuntansi Pemerintahan).
Peran BPK sebagai auditor independen memberikan keyakinan atas kualitas informasi keuangan dengan memberikan pendapat yang independen atas kewajaran penyajian informasi pada laporan keuangan. Kegunaan informasi akuntansi dalam laporan keuangan akan dipengaruhi adanya kewajaran penyajian yang dapat dipenuhi jika data yang ada didukung adanya bukti-bukti yang syah dan benar serta penyajiannya yang memadai (full disclosure). Dengan prinsip fairness ini, paling tidak auditor berperan membantu pihak stakeholders (DPR/DPRD, DPD, dan masyarakat) dalam menilai perkembangan dan kualitas tata kelola keuangan negara.

2. Prinsip akuntabilitas
Merupakan tanggung jawab masing-masing kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan yang efektif melalui aparat pengawasan fungsional pemerintah (APIP). Internal audit tersebut mempunyai tugas utama membantu manajemen untuk menjamin terwujudnya kepemerintahan yang baik melalui pengawasan intern yang bertujuan membantu unsur manajemen pemerintahan dalam meningkatkan kinerjanya diantaranye dengan melakukan tinjauan atas reliabilitas dan integritas informasi dalam laporan keuangan, laporan operasional serta parameter yang digunakan untuk mengukur, melakukan klasifikasi dan penyajian dari laporan tersebut. Untuk alasan itu, profesi akuntan sangat diperlukan dan mempunyai peranan penting untuk menegakkan prinsip akuntabilitas.

3. Prinsip transparansi
Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Kepercayaan stakeholders akan sangat tergantung pada kualitas penyajian informasi yang disampaikan pemerintah. Oleh karena itu pejabat pengelola keuangan dituntut menyediakan informasi jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator yang sama. Untuk itu informasi yang disajikan pemerintah harus diukur, dicatat, dan dilaporkan sesuai prinsip dan standar akuntansi yang berlaku. Prinsip ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian yang lengkap atas semua informasi yang dimiliki.

4. Prinsip responsibilitas
Prinsip ini berhubungan dengan tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat/warga negara. Prinsip ini juga berkaitan dengan kewajiban untuk mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara antara lain menyatakan bahwa Pemerintah (pusat dan daerah) wajib membuat pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD dalam bentuk laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Laporan keuangan ini terdiri atas Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Hal ini menuntut kemampuan manajemen pemerintahan daerah untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien dan efektif. Kemampuan ini memerlukan informasi akuntansi sebagai salah satu dasar penting dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya ekonomis. Laporan-laporan ini dapat dihasilkan dengan diterapkannya suatu sistem dan prosedur akuntansi yang integral dan terpadu dalam pengelolaan keuangan daerah.

Sistem akuntansi pemerintah harus ditunjang dengan pembenahan tata kelola keuangan daerah lainnya, yang mendukung upaya penyempurnaan sistem. Sumber daya manusia pelaksana sistem harus diberikan pemahaman yang memadai, pengguna laporan keuangan (stakeholders) juga harus memahami peran dan fungsinya, serta bagaimana memanfaatkan laporan keuangan.

PERAN BPK DALAM PENEGAKAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA
Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara merupakan pondasi utama bagi terciptanya good governance yang merupakan persyaratan mutlak dalam demokrasi dan ekonomi yang sesungguhnya. Transparansi dan akuntabilitas juga merupakan faktor utama agar Indonesia tidak terperosok dalam krisis seperti 1997-1998. Indonesia saat ini harus berjuang agar tidak terkena dampak berkelanjutan dari krisis ekonomi global. Dalam keadaaan kurang berfungsinya kebijakan moneter, semakin besar harapan ditujukan pada kebijakan fiskal mengatasi krisis dan menggerakan perekonomian.

Kebijakan fiskal saat ini sulit mencapai tujuan yang diharapkan tanpa transparansi dan akuntabilitas fiskal. Di sisi lain, masih ada aturan perundang-undangan yang saling bertentangan, seperti UU Perpajakan atau adanya lembaga negara yang tidak taat pada hukum. Hal-hal tersebut mengakibatkan pembatasan pemeriksaan.
Pemerintah juga dinilainya sangat lamban menindaklanjuti rekomendasi dan saran pemeriksaan BPK, padahal perbaikan tata kelola keuangan negara merupakan kunci pokok bagi pencegahan korupsi secara preventif.

Salah satu contoh kelambanan pemerintah adalah ditemukannya ribuan rekening liar, termasuk rekening pribadi pejabat negara yang sudah lama meninggal dunia, dan akibat ketiadaan konsolidasi keuangan yang baik, pemerintah tidak tahu posisi keuangan setiap saat. Pemeriksaan BPK menemukan peningkatan jumlah rekening liar dari 957 pada 2004 menjadi 2.240 rekening dengan nilai sebesar Rp1,3 triliun pada 2007.

Contoh lain adalah jadwal waktu pengeluaran belanja pemerintah pusat dan pemerintah daerah. BPK menemukan bahwa terjadi penumpukan anggaran baik di pusat maupun di daerah, dan realisasi pengeluaran anggaran baru berlangsung menjelang kuartal keempat tahun anggaran, terutama bulan Desember. Di samping itu, belum adanya program yang terpadu dari pemerintah untuk mengimplementasikan paket ketiga UU Bidang Keuangan Negara, sehingga kualitas laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah empat tahun terakhir jauh dari menggembirakan.

Oleh karena itu, BPK telah mengambil enam inisiatif (beyond its call of duty) untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan negara. Keenam inisiatif itu adalah:
1. Pemerintah daerah menandatangani manajemen representatif.
2. Pemerintah daerah menentukan kapan mencapai oponi WTP (wajar tanpa pengecualian).
3. Pemerintah daerah menggunakan universitas setempat dan BPKP untuk memperbaiki sistem keuangan daerah.
4. Mendorong perombakan struktural Badan Layanan Umum (BLU) BUMN, agar menjadi lebih mandiri dan korporatis.
5. DPRD membentuk panitia akuntabilitas publik untuk mendorong pemerintah daerah dan menindaklanjuti temuan BPK.
6. dalam lingkungan makro, ditingkat Departemen, Depdagri, Depkeu dan departemen teknis berkoordinasi untuk menyusun suatu desain dalam melaksanakan paket tiga UU Keuangan Negara tahun 2003-2004.

Keenam inisiatif BPK itu telah mulai menunjukkan tanda-tanda yang positif, dan berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah telah menyusun program aksinya masing-masing untuk meningkatkan opini BPK atas laporan keuangan mereka. Walaupun kondisi umum pengelolaan keuangan negara dan daerah masih menunjukan berbagai kelemahan. BPK menilai terdapat beberapa institusi pemerintahan yang telah mampu memperbaiki kelemahan-kelemahannya.




Read More......

TITIK KRITIS KEDUDUKAN KEUANGAN DPRD

Oleh Dr. H. Cris Kuntadi, C.P.A.

Akhir-akhir ini banyak timbul masalah penyimpangan belanja DPRD baik pada tingkat lokal Sumsel maupun secara nasional. Sebut saja kasus Dana Operasional, perjalanan dinas dan asuransi kesehatan DPRD Sumsel, anggaran pakaian adat DPRD Banyuasin, kelebihan penghasilan DPRD OKI dan DPRD Pagaralam, dan lain-lain baik yang belum diproses kejaksaan/pengadilan maupun yang telah ditetapkan vonisnya (dipenjara atau bebas). Mengacu pada kasus-kasus tersebut, penulis bermaksud menelaah permasalahan terkait dengan kedudukan keuangan DPRD dengan harapan permasalahan tersebut dapat dihindari atau diminimalisasi.
Kedudukan keuangan DPRD diatur dengan PP No. 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang ditetapkan tanggal 28 Agustus 2004. PP tersebut kemudian diubah dengan PP No. 37 tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 24 tahun 2004. Dalam PP tersebut, belanja penghasilan DPRD dianggarkan dalam pos DPRD, sedangkan belanja tunjangan kesejahteraan, uang jasa pengabdian, dan belanja penunjang kegiatan DPRD dianggarkan dalam pos Sekretariat DPRD.

Beberapa titik kritis kedudukan keuangan DPRD adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan Tetap Pimpinan dan Anggota DPRD
Penghasilan tetap DPRD sifatnya limitatif dalam arti tidak boleh ditambah baik jenis maupun besarannya. Apabila ada tambahan penghasilan DPRD yang dilakukan dengan menambah jenis tunjangan dan/atau menambah besarnya tunjangan maka telah melanggar hukum. Tunjangan Perbaikan Penghasilan juga tidak diperkenankan dianggarkan untuk DPRD. Penghasilan yang diperkenankan hanyalah Uang Representasi, Uang Paket, Tunjangan Jabatan (145% dari uang representasi), Tunjangan Panitia Musyawarah, Tunjangan Komisi, Tunjangan Panitia Anggaran, Tunjangan Badan Kehormatan, dan Tunjangan Alat Kelengkapan Lainnya.
a. Uang Representasi Ketua DPRD setara dengan gaji pokok kepala daerah, wakil ketua sebesar 80% dan Anggota DPRD sebesar 75% dari representasi Ketua DPRD. Disamping itu, Pimpinan dan Anggota DPRD diberikan tunjangan istri/suami dan tunjangan anak serta tunjangan beras sebagaimana PNS. Tunjangan istri/suami, tunjangan anak, dan tunjangan beras diberikan bagi Pimpinan dan Anggota DPRD sesuai dengan keadaan keluarganya dalam arti apabila anggota DPRD belum berkeluarga maka tidak berhak atas tunjangan istri dan anak.
b. Uang Paket adalah uang yang diberikan setiap bulan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD dalam menghadiri dan mengikuti rapat-rapat dinas. Besarnya uang paket adalah 10% dari Uang Representasi yang bersangkutan. Sehubungan dengan uang paket tersebut maka Pimpinan dan Anggota DPRD tidak lagi berhak atas honor dalam menghadiri rapat-rapat dinas.
c. Pimpinan atau Anggota DPRD yang duduk dalam Panitia Musyawarah/Komisi/Panitia Anggaran/Badan Kehormatan/Alat kelengkapan lainnya diberikan tunjangan masing-masing sebesar 7,5%, 5%, 4%, dan 3% dari Representasi Ketua DPRD untuk ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota.
d. Penghasilan DPRD dikenakan PPh Pasal 21 sesuai PP No. 45 tahun 1994 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 636/KMK.04/1994 tentang PPh bagi Pejabat Negara, PNS, ABRI, dan Pensiunan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. PPh Pimpinan dan Anggota DPRD yang dibebankan pada APBD dianggarkan pada objek belanja tunjangan khusus.

2. Pimpinan dan Anggota DPRD beserta keluarganya (istri/suami dan 2 anak) diberikan jaminan pemeliharaan kesehatan dalam bentuk pembayaran premi asuransi kesehatan kepada Lembaga Asuransi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Besarnya premi asuransi paling tinggi sama dengan besarnya premi asuransi Kepala Daerah termasuk biaya general check-up satu kali dalam setahun bagi Pimpinan dan Anggota DPRD. Jaminan kesehatan tersebut tidak boleh diambil secara tunai dan tidak boleh untuk asuransi jiwa (hanya asuransi kesehatan saja). Biaya general check-up hanya untuk Pimpinan dan Anggota DPRD dan tidak untuk istri/suami dan anak serta menjadi bagian dari premi asuransi yang dibayarkan.

3. Pimpinan DPRD disediakan satu rumah jabatan beserta perlengkapannya dan satu unit kendaraan dinas. Anggota DPRD dapat disediakan satu rumah dinas beserta perlengkapannya (Anggota DPRD tidak dapat disediakan kendaraan dinas). Pimpinan DPRD diberikan rumah jabatan dan Anggota DPRD disediakan rumah dinas. Biaya daya dan jasa (air, listrik, dan telephon) rumah jabatan dapat dibebankan pada APBD dan hal tersebut tidak berlaku untuk rumah dinas.

Apabila Pemda belum dapat menyediakan rumah jabatan/dinas, kepada yang bersangkutan diberikan tunjangan perumahan yang diberikan dalam bentuk uang (tidak perlu surat perjanjian sewa rumah) dan dibayarkan setiap bulan terhitung mulai tanggal pengucapan sumpah/janji. Pemberian tunjangan perumahan dianggarkan dalam pos DPRD dan harus memperhatikan asas kepatutan, kewajaran dan rasionalitas serta standar harga setempat yang berlaku yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. Berarti, Kepala Daerah yang mempunyai kewenangan penetapan tersbeut dan bukan DPRD. Tunjangan perumahan DPRD Kabupaten/Kota harus lebih rendah dibandingkan dengan tunjangan perumahan DPRD Provinsi di daerah yang sama. Besarnya tunjangan perumahan juga tidak boleh lebih besar dari penghasilan DPRD yang bersangkutan. Hal ini menganalogikan dengan penghasilan seseorang yang sebagian digunakan untuk sewa rumah. Atas tunjangan perumahan tersebut dikenakan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pribadi anggota DPRD karena bukan bagian pokok penghasilan DPRD tetapi merupakan penghasilan lain-lain.

4. Pemberian pakaian dinas sifatnya limitatif yaitu hanya Pakaian Sipil Harian (2 pasang setahun), Pakaian Sipil Resmi (1 pasang setahun), Pakaian Sipil Lengkap (1 pasang dalam lima tahun), dan Pakaian Dinas Harian lengan panjang (1 pasang setahun). Dengan demikian, pemberian pakaian adat, pakaian olah raga, baju batik, dan pakaian lainnya adalah melanggar peraturan perundangan.

5. Belanja Penunjang Kegiatan disediakan untuk mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD yang telah disusun berdasarkan Rencana Kerja yang ditetapkan Pimpinan DPRD antara lain untuk rapat-rapat, kunjungan kerja, penyiapan Raperda, pengkajian, dan penelaahan peraturan daerah, Peningkatan SDM dan profesionalisme, serta Koordinasi dan konsultasi kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan. Belanja penunjang kegiatan tidak diperkenankan untuk menambah penghasilan baik berupa tunjangan, honor, insentif maupun dalam bentuk lainnya. Belanja tersebut harus didukung dengan bukti-bukti sah dan tidak boleh hanya didukung dengan tanda terima oleh Pimpinan dan Anggota DPRD saja.

6. Penganggaran atau tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban belanja DPRD untuk tujuan lain di luar ketentuan yang ditetapkan dalam PP, dinyatakan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa apabila ada belanja DPRD yang menyimpang baik dalam penganggaran, pengelolaan, dan pertanggungjawabannya menyimpang dari PP, salah satu unsur Tindak Pidana Korupsi yaitu adanya unsur melawan hukum telah terpenuhi. Apabila hal tersebut berakibat merugikan keuangan daerah dan menguntungkan diri dan/atau orang lain, maka tindakan tersebut merupakan Tindak Pidana Korupsi.

7. Sehubungan dengan PP tersebut, bagi Provinsi/Kabupaten/Kota yang belum menetapkan Perda tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD atau telah menetapkan Perda tetapi belum sesuai dengan PP tersebut agar segera menetapkan/melakukan perubahan Perda dan menyampaikannya kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan kepada Gubernur untuk Kabupaten/Kota.
Dengan patokan tersebut, diharapkan Pimpinan dan Anggota DPRD ke depan tidak akan mengalami banyak permasalahan sehubungan dengan penghasilannya sebagai wakil rakyat yang aman dan amanah. Aman dalam arti tidak terjebak oleh penghasilan yang tidak legal yang akan membawa pada konsekuensi hukum yang tidak mengenakkan. Pimpinan dan Anggota DPRD juga diharapkan akan tetap amanah dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, meskipun dibatasi dengan peraturan perundangan yang berlaku agar tidak terkesan menjadi orang yang ‘tidak tahu aturan.’





Read More......