Jumat, 31 Oktober 2008

Klarifikasi Istilah Teknis Auditing di lingkungan Pengawasan Pemerintah

Banyaknya istilah teknis auditing yang digunakan oleh berbagai pihak yang menyangkut atau berkaitan dengan pengawasan. Istilah tersebut terkadang sulit untuk dimengerti atau dipahami karena rujukannya yang kurang jelas, dan acapkali istilah yang berbeda digunakan untuk pekerjaan yang sama. Sementara suatu istilah dapat berbeda pengertiannya di antara pemakai atau bahkan di antara pedoman audit yang berlaku.

Atas dasar itu Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan BPKP, memandang perlu melakukan upaya pengklarikasian berbagai istilah teknis auditing yang selama ini telah banyak digunakan namun tanpa pemahaman yang seragam baik yang sifatnya kontroversial maupun non kontroversial, seperti pengawasan dan pengendalian, audit dan pemeriksaan, audit keuangan (financial audit) dan audit umum (general audit), operasional, audit manajemen, audit atas program, dan audit kinerja, audit komprehensif, pemeriksaan kemudian (post audit), audit khusus (special audit). Di samping itu, tulisan ini juga akan menjelaskan beberapa istilah yang sering ditemukan terkait pemeriksaan (auditing) seperti tax auditing, fraud auditing, social audit, quality audit, risk based auditing, legal auditing, due deligent audit, audit lingkungan, electronic data processing (EDP) audit, audit eksternal dan audit internal, audit pemerintah, dan audit inedependen.

A. ISTILAH KONTROVERSIAL

1. Pengawasan dan Pengendalian
Istilah pengawasan dan pengendalian bukan istilah yang dapat saling menggantikan, pengendalian mengandung pengertian yang lebih luas dari pengawasan dari segi resultantenya dan tindakan korektif yang diperlukan. “Pengawasan” adalah segala yang berkaitan dengan proses penilikan, penjagaan serta pengarahan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, agar objek yang diawasi berjalan menurut semestinya. “Pengendalian” adalah suatu rangkaian kegiatan yang mencakup pengawasan atas kemajuan kegiatan serta pemanfaatan hasil pengawasan tersebut untuk melaksanakan tindakan korektif dalam rangka mengarahkan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

2. Audit dan Pemeriksaan
Walaupun istilah pemeriksaan telah digunakan secara tradisional sebagai terjemahan auditing, guna mempertajam kesamaan bahasa hendaknya istilah auditing digunakan sebagai istilah yang baku. Dalam hal ini audit didefinisikan sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan-kegiatan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan atau kriteria teoritis, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada pihakpihak yang berkepentingan.

3. Audit Keuangan (Financial Audit) dan Audit Umum (General Audit)
Audit umum bukanlah merupakan suatu jenis audit, penggunaan audit umum harus diartikan sebagai istilah yang menggambarkan sifat Financial Audit yaitu yang mencakup sasaran menyeluruh meliputi aktvia, hutang, dan modal. Hal ini sebagai bandingan terhadap istilah Special Audit yang meliputi lingkup yang khusus, misalnya audit atas ketertagihan piutang. Untuk menghindari kerancuan maka istilah audit keuangan hendaknya digantikan dengan audit atas laporan keuangan. Audit atas Laporan Keuangan (Financial Audit) adalah audit yang dilakukan untuk memberikan pernyataan pendapat akuntan/auditor yang independent mengenai kewajaran penyajian laporan keuangan auditan atas penggunaan dana APBN/D (rutin/proyek) ataupun suatu entitas organisasi perusahaan.

4. Audit Operasional, Audit Manajemen, Audit atas Program, dan Audit Kinerja
Audit kinerja secara substansial tidak berbeda dengan Audit Operasional yang didalamnya mencakup pengertian Audit Manajemen dan Audit atas Program (sifatnya lebih kecil dan khusus lingkupnya), dalam hal ini sama-sama mengandung unsur evaluasi atas efektivitas. Audit kinerja dapat didefinisikan sebagai penilaian terhadap operasi suatu organisasi apakah dapat berjalan dengan efisien ekonomis, dan efektif.

5. Audit Komprehensif
Audit komprehensif merupakan istilah yang berkaitan dengan mandat audit yang diperlukan untuk memungkinkan pelaksanaan jenis-jenis audit secara simultan guna mencakup area yang luas dan mencegah pelaksanaan audit yang berulang-ulang atau tumpang tindih atas suatu auditan. Audit komprehensif adalah suatu pendekatan audit dengan menetapkan berbagai tipe audit, seperti audit atas laporan keuangan, audit kinerja, dan atau audit lainnya, atas berbagai aspek yang menjadi lingkup audit dalam suatu penugasan audit.

6. Pemeriksaan Serentak (Pemtak)
Pemeriksaan serentak tidak tepat dikatakan sebagai jenis audit melainkan hanya merupakan salah satu istilah teknis yang mencerminkan waktu atau saat auditor melaksanakan audit. Istilah serentak dalam praktek audit dilingkungan pemerintahan mempunyai arti penting karena akan menyajikan informasi yang lebih menyeluruh atas pelaksanaan proyek-proyek pada suatu instansi, atau seluruh proyek-proyek pemerintah. Karenanya istilah pemeriksaan serentak harus diubah menjadi “Audit Proyek Serentak”. Audit Proyek Serentak adalah audit keuangan dan ketaatan terhadap pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang dilakukan secara serentak guna dapat menyajikan informasi atau gambaran secara umum atas pelaksanaan proyek-proyek pemerintah tersebut.

7. Pemeriksaan Kemudian (Post Audit)
Pemeriksaan Kemudian (Post Audit) adalah audit yang dilakukan ketika periode akuntansi untuk seluruh kegiatan yang diaudit telah selesai, dengan kata lain telah tersedia assersi manajemen yang akan diverifikasi, atau kejadian/peristiwa/transaksi telah selesai. Audit pada periode berjalan adalah audit yang dilakukan ketika periode akuntansi untuk kegiatan yang di audit sedang dalam proses, atau kejadian/peristiwa/transaksi sedang berlangsung. Audit pendahuluan adalah aktivitas komunikasi terhadap auditan sebelum pekerjaan lapangan dilakukan. Audit atas pengadaan barang dan jasa adalah suatu audit terhadap pengadaan barang dan jasa dalam rangka meneliti kebenaran jumlah, kualitas barang dan jasa serta kewajaran harganya.

8. Audit Khusus (Special Audit)
Audit khusus adalah audit yang dilakukan atas lingkup audit yang bersifat khusus. Dengan demikian audit khusus yang bertujuan menilai kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dapat digunakan istilah Audit Khusus atas Ketidak Lancaran Pelaksanaan Pembangunan (KTLPP). Berkaitan audit khusus yang bertujuan untuk mengungkapkan kecurangan digunakan istilah Audit Khusus atas kecurangan. Dari uraian tersebut Audit Khusus adalah audit yang dibatasi dengan ruang lingkup yang sempit untuk mendapatkan simpulan audit yang lebih mendalam dan lengkap.

9. Pengawasan Aspek Strategis (Was Astra)
Pengawasan Astra merupakan istilah dari audit Operasional atau Audit atas Program dengan lingkup tertentu yang sifatnya strategis atau sebagai hal yang strategis dari kebijaksanaan pemerintah. Karenanya Pengawasan Aspek Strategis akan berkembang terus sesuai dengan arah pengembangan lembaga dan paradigma kerja Auditor Internal Pemerintah. Apabila mengarah pada jasa konsultansi, maka jenis audit operasional, audit atas program, atau evaluasi akan lebih banyak dilakukan, namun bila mengarah pada penugasan audit maka istilah pengawasan aspek strategis lebih tepat diganti dengan audit atas program, dan jika mengarah pada penugasan evaluasi maka digunakan istilah Evaluasi atas Program.

10. Evaluasi
Secara historis Evaluasi merupakan bagian dari langkah-langkah audit yang terstandarkan, namun telah berkembang sehingga meliputi kegiatan penilaian dalam arti luas. Evaluasi berbeda dengan audit, karena evaluasi terfokus pada pencapaian hasil atas kerja sedangkan audit di samping menilai kinerja juga menilai kewajaran dan akurasi proses pencapaian kinerja. Evaluasi adalah proses pembandingan antara suatu praktik (pelaksanaan kegiatan) dengan kebijakan yang telah ditetapkan, guna memberikan penilaian
terhadap hasil, manfaat dan dampak yang diperoleh dari pelaksanan kegiatan tersebut.

11. Pengawasan Sejak Tahap Perencanaan
Pengawasan sejak tahap perncanaan bukan dimaksudkan sebagai jenis audit, istilah ini lebih merupakan “Sistem Pengendalian Manajemen”(pengawasan melekat) yang diterapkan dalam proses perencanaan pembangunan untuk meyakinkan keberadaan ukuran-ukuran pengendalian secara optimal. Istilah Pengawasan Sejak Perencanaan merupakan suatu upaya penerapan prinsip pengendalian manajemen dalam tiap tahap proses perencanaan pembangunan untuk meyakinkan bahwa perencanaan pembangunan terdokumentasi, dapat diverifikasi dan dapat dipertangungjawabkan.

12. Pengawasan Melekat (Waskat)
Waskat bukanlah sesuatu yang dapat dipisahkan dari organisasi dan manajemen, dalam hal ini waskat melekat pada sistem yang dikembangkan. Pengawasan atasan langsung merupakan sub sistem pengawasan berupa supervisi dari atasan pada bawahan. Secara lebih luas waskat merupakan internal check antara orang dengan orang, bagian dengan bagian. Dengan demikian waskat hendaknya tidak dipahami sebagai Pengawasan Atasan Langsung. Waskat adalah segala upaya yang melekat dan terjalin (permeated) dalam proses manajemen, sebagai perwujudan kendali.

13. Pengawasan Fungsional (Wasnal)
Sering terjadi kontroversi antara Pengawasan Melekat dengan Pengawasan Fungsional. Pengawasan Melekat merupakan suatu sistem pengendalian manajemen, sedangkan Pengawasan Fungsional menunjukan pengawasan yang dilakukan oleh orang atau lembaga yang ditugaskan khusus untuk fungsi pengawasan. Pengawasan fungsional terkait dengan instansi yang ikut bertanggungjawab melaksanakan fungsi pengawasan agar kebijakan pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya, untuk melaksanakannya intansi-instansi tersebut dibagi tugas secara fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah sebagai satu rangkaian manajemen pemerintahan dengan maksud untuk meyakinkan kebijakan pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

14. Pengawasan Masyarakat (Wasmas)
Pengawasan masyarakat adalah merupakan usaha pengikutsertaan masyarakat dalam pengawasan agar kebijakan pembangunan berjalan sebagaimana mestinya, dan mengandung maksud mendorong akuntabilitas publik. Dalam wasmas ini masyarakat dapat menyampaikan informasi tentang kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau pihak lain yang ditunjuk oleh pemerintah, informasi tersebut dapat berupa umpan balik, sasaran dan gagasan, maupun keluhan.

B. ISTILAH NON KONTROVERSIAL

1. Tax Auditing
Istilah Tax Auditing hendaknya disebut dengan istilah Audit Pajak yang dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

2. Fraud Auditing
Istilah Fraud Auditing hendaknya disebut dengan istilah Audit atas Kecurangan, yang dapat didefinisikan sebagai Audit Khusus yang dimaksudkan untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya penyimpangan atau keurangan atas transaksi keuangan. Fraud auditing termasuk dalam audit khusus yang berbeda dengan audit umum terutama dalam hal tujuan yaitu fraud auditing mempunyai tujuan yang lebih sempit (khusus) dan cenderung untuk mengungkap suatu kecurangan yang diduga terjadi dalam pengelolaan asset / aktiva.

3. Social Audit
Social audit atau audit sosial adalah audit yang menyangkut pemantauan, penilaian dan pengukuran prestasi perusahaan dan keterlibatannya dengan masalah-masalah sosial. Audit sosial dapat dilakukan terhadap masalah lingkungan hidup, produksi, keselamatan kerja, pemberian lowongan kerja, penggajian, pensiun dan jaminan hari tua dan lain-lainnya yang berhubungan dengan kepentingan sosial.

4. Quality Audit
Quality audit atau audit mutu dapat didefinisikan sebagai suatu pemeriksaan yang sistematik dan independen untuk menentukan apakah kualitas aktivitas dan pencapaian hasil sesuai dengan rencana yang sudah dirancang, dan apakah rancangan tersebut dapat diimplementasikan secara efektif dalam pencapaian tujuan. Dengan demikian quality audit merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk mengevaluasi, mengkonfirmasi, atau memverifikasi aktivitas yang berhubungan dengan kualitas.

5. Single Audit
Single audit bukanlah jenis audit, tetapi merupakan pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan audit secara efisien. Single audit dapat disebut sebagai audit tunggal dengan maksud untuk meniadakan duplikasi (tumpang tindih) audit dalam waktu bersamaan untuk berbagai kepentingan.

6. Risk Based Auditing
Risk based auditing atau audit berpeduli resiko adalah suatu audit yang dimulai dengan proses penilaian resiko audit, sehinga dalm perencanaan, peaksanaan, dan pelaporan auditnya lebih difokuskan pada area-area penting yang beresiko dari penyimpangan, kecurangan. Dengan demikian audit berbasis resiko bukanlah merupakan suatu jenis audit, tetapi lebih merupakan suatu pendekatan dalam melaksanakan suatu audit.

7. Legal Auditing
Legal audit atau audit ketaatan adalah suatu proses yang sistematis untuk menentukan apakah kegiatan suatu entitas itu sesuai atau tidak dengan standar atau kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen atau hukum dan peraturan pemerintah yang berlaku.

8. Due Deligent Audit
Due deligence audit didefinisikan sebagai suatu audit yang mendalam dan menyeluruh dari segala aspek yang diarahkan untuk suatu tujuan tertentu, agar dapat melindungi kepentingan klien (umumnya dikalangan perbankan). Dalam hal ini bank memberikan hak kepada pemeriksa untuk meminta konfirmasi kepada manajemen mengenai kebenaran laporan keuangan biasanya pemeriksaan yang dilakukan secara langsung terhadap bank.

9. Audit Lingkungan
Audit lingkungan adalah proses verifikasi sistematis dan terdokumentasi terhadap perolehan dan evaluasi bukti audit yang dilakukan secara objektif untuk menentukan bahwa suatu aktivitas lingkungan, kejadian, kondisi, sistem manajemen, atau informasi tertentu tentang masalah lingkungan sesuai dengan kriteria audit, dan melaporkan hasil dari proses ini kepada klien.

10. Katalisator
Katalisator dalam internal auditing merupakan suatu fungsi auditor internal untuk membantu anggota organisasi secara langsung dalam mempercepat suatu penyelesaian masalah dan pencapaian tujuan sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya.

11. Objek Pemeriksaan (obrik)
Istilah obrik tidak hanya dimaksudkan sebagai entitas ekonomi atau instansi yang diaudit tetapi dapat berupa aktivitas, program, fungsi, atau operasi suatu entitas yang dinilai mempunyai masalah audit yang potensial.

12. Electronic Data Processing (EDP) Audit
EDP audit adalah suatu proses pengumpulan dan evaluasi bukti untuk menetapkan apakah sistem (pembukuan) komputer dapat mengamankan harta, menjaga integritas data, tujuan organisasi dapat tercapai dengan efektif dengan penggunaan sumber-sumber daya secara efisien.

13. Audit Eksternal dan Audit Internal
Audit eksternal adalah suatu proses pemeriksaan yang sistematik dan objektif yang dilakukan oleh auditor eksternal (independent) terhadap laporan keuangan suatu perusahaan atau unit organisasi lain dengan tujuan untuk memberikan pendapat mengenai kewajaran keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan/unit organisasi tersebut. Audit internal merupakan pengawasan manajerial yang fungsinya mengukur dan mengevaluasi sistem pengendalian dengan tujuan membantu semua anggota manajemen dalam mengelola secara efektif pertanggungjawabannya dengan cara menyediakan analisis, penilaian, rekomendasi dan komentar-komentar yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang ditelaah.

14. Audit Pemerintah
Audit pemerintah adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan, dengan Presiden selaku top eksekutif yang menjalankan pemerintahannya sesuai amanat stakeholders. Audit ini bertujuan untuk mewujudkan clean government dan good governance.

15. Audit Independent
Audit independen adalah pengawasan yang dilakukan dengan sikap mental yang tidak memihak, kecuali kepada fakta yang didapat dalam proses pelaksanaan audit.



Read More......

Prinsip Auditing untuk Auditor Pemerintah

Biasanya auditor diharapkan untuk terbiasa dengan prinsip akuntansi, namun prinsip auditing hanya diperlakukan secara ringan dalam literatur profesional. Hal ini terjadi mungkin karena banyak auditor merasa bahwa standar akuntansi berterima umum sama dengan prinsip auditing. Bagaimanapun juga, kebutuhan untuk mendefinisikan prinsip auditing pemerintah yang dapat diterapkan pada pekerjaaan operasional dan keuangan pemerintah juga diperlukan.

Prinsip aduiting pemerintah dipertimbangkan sebagai kebenaran fundamental, sebagai kebenaran fundamental yang dapat membuktikan dengan sendirinya, berterima umum oleh profesi auditing, atau ditetapkan dalam kebijakan legal dalam negara tertentu. Maud dan Sharaf dalam studi mereka Philosopy of Auditing menetapkan lima karakteristik umum dari pastulat/prinsip yaitu:
1. Hal dasar untuk mebangun berbagai disiplin intelektual.
2. Asumsi yang tidak memberinya kemungkinan pada verifikasi langsung.
3. Sebuah dasar untuk campur tangan.
4. Sebuah dasar untuk penegakan dan berbagai struktur teoritis.
5. Rentan untuk menantang adanya terobosan baru dari ilmu pengetahuan.

Maud dan Sharaf kemudian mempresentasikan prinsip auditing yang penting yang ditujukan langsung kepada Audit Keuangan di sektor privat, antara lain operasi, aktivitas, dan transaksi pemerintah harus dilakukan oleh entitas yang dikenal secara jelas yang didirikan sesuai hukum untuk memenuhi tujuan publik yang spesifik dan sebagai subjek untuk audit sesuai dengan ketetapan legal yang berhubungan.

Secara normal audit pemerintah dilakukan dengan menguji semua atau sebagian operasi, aktivitas dan transaksi dari semua entitas spesifik. Sebuah audit meliputi dan membandingkan operasi dari program yang sama dengan entitas berbeda yang masih berhubungan. Dalam kasus seperti ini, pengguna utama akan mempunyai kepentingan yang berhubungan pula.

Hal utama yang dimaksudkan dalam penggunaan audit pemerintah adalah sebagai alat untuk meningkatkan operasi/kegiatan di masa yang akan datang. Dalam menentukan sifat dan operasi, aktivitas dan transportasi, dan juga telah mengidentifikasikan pengguna utama dari hasil audit dan penggunaan yang mereka maksudkan, auditor melakukan pengujian dan evaluasi berdasarkan kriteria mengenai kualitas operasi, aktivitas, dan transaksi yang terjadi.

Kriteria mungkin telah ditentukan lebih dahulu pada kebijakan legal yang menciptakan sebuah entitas atau pada kebijakan legal berikutnya, yang mengatur operasinya, membatasi aktivitasnya atau mengeluarkan kebijakan dan petunjuk. Selanjutnya konsep entitas merupakan arti khusus bagi auditor pemerintah.

Sesungguhnya audit pemerintah harus dilakukan sesuai dengan kebijakan legal yang dikeluarkan untuk mengatur kinerja mereka, dan dalam kasus konflik kebijakan ini harus lebih diutamakan prinsip dan standar auditing. Dalam kasus seperti itu, auditor pemerintah mempunyai tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan dan memperjuangkan modifikasi mereka untuk melakukan audit pemerintah yang modern dan professional.

- Operasi, aktivitas dan transaksi pemerintah rentan terhadap adanya pengurangan asersi yang dapat diverifikasi.

Secara normal, setiap kebijakan perlu penyimpanan dan pengamanan atas semua catatan yang dipertimbangkan akan mempunyai periode waktu yang lebih lama daripada yang dibutuhkan untuk tujuan audit. Auditor pemerintah juga biasanya mempunyai otoritas dalam mencari bukti tertulis yang akan digunakan untuk melakukan verifikasi atas tindakan-tindakan seperti itu. Kecuali hal-hal pembuktian yang dapat diperoleh melalui evaluasi dan verifikasi dari operasi, aktivitas dan transaksi pemerintah. Evaluasi, verifikasi dan taestasi tidak dapat mungkin dilakukan jika tidak terdapat pembuktian.

- Auditor pemerintah melakukan hal yang berguna untuk manajemen entitas dengan melakukan pengujian melalui evaluasi dan verifikasi atas operasi, aktivitas dan transaksi pemerintah, melihat tingkat kesesuaian mereka dengan kreteria yang telah ada dan membuat rekomendasi untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Evaluasi, verifikasi dan penilaian atas fungsi auditor pemerintah akan menyediakan sebuah dasar kepercayaan



Read More......

MUNGKIN SEKALI SAYA SENDIRI JUGA MALING

(Taufiq Ismail)

Di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram, ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam. Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret, jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras, yang di atas tukang tindas. Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung. Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah. Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu'.

Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya. Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya. Begitu khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah. Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah? Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya, membentang dari depan sampai ke belakang, melimpah dari atas sampai ke bawah, tambah merambah panjang deretan saf jamaah. Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.



Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah? Bagaimana menangkap maling yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah? Dan yang melindungi mereka, ternyata, bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah. Bagaimana ini?

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation), tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan. Kaki kini jamaah ini mengais-ngais upeti kesana-kemari, kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji. Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran, otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan. Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah? Jamaahnya kukuh seperti diding keraton, tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang, malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang, penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memproses hukum maling-maling yang jumlahnya ratusan ribu, barangkali sekitar satu juta orang ini, cukup jadi sebuah negara
mini, meliputi mereka yang pegang kendali perintah, eksekutif,
legislatif, yudikatif dan dunia bisnis, yang pegang pestol dan
mengendalikan meriam, yang berjas dan berdasi. Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan?

Percuma, seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan Insya Allah tak akan terselesaikan.

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk agar bersedia mengembalikan jarahan yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan. Kita doakan Allah membuka hati mereka, terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga. Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita, ada hubungan darah atau teman sekolah, maka kita cenderung tutup mata, tak sampai hati menegurnya. Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah, kita cenderung menutup-nutupi fakta, lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.

Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati. Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap. Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai. Dinding dan langit- langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap.
Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia
dijarah anai-anai. Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah
Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.

Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.


Read More......

Percepatan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah

BPK menyadari bahwa dalam masa 10 tahun paska reformasi nasional, perbaikan manajemen keuangan negara dan daerah masih dalam masa transisi. Belum seluruh entitas telah mengelola keuangan negara sesuai dengan peraturan, tertib, ekonomis, efisien, efektif, akuntabel dan transparan dengan memperhatikan keadilan dan kepatutan. Belum seluruh entitas mampu menghasilkan laporan keuangan yang akuntabel dan transparan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Namun yang patut diingat adalah kejelasan tahapan menjadi prasyarat bagi keberhasilan reformasi keuangan daerah. Action plan dalam menuntaskan permasalahan sistemik diperlukan agar proses transisi tidak berlarut dan semua upaya mengarah pada tujuan akhir reformasi yaitu terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

PERCEPATAN REFORMASI MANAJEMEN
KEUANGAN DAERAH

Drs. Imran Ak

Pendahuluan


Kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami perubahan besar sejak awal bergulirnya era reformasi tahun 1998. Perubahan mendasar tersebut paling tidak menyentuh sistem politik, pemerintahan, ekonomi dan keuangan negara. Politik penguasa kita sudah mulai berubah dari gaya otoriter menjadi lebih demokratis. Pemerintahan yang dibangun juga tidak lagi bersifat sentralistis namun mulai mengakomodir kebutuhan otonomi yang lebih luas di berbagai daerah. Di samping itu sendi perekonomian tidak lagi terlalu bertumpu pada intervensi kebijakan pemerintah melalui berbagai BUMN-nya namun lebih bersandar pada mekanisme pasar. Yang tidak kalah pentingnya adalah keuangan negara yang sebelumnya dikelola secara ”amburadul” mulai diarahkan pada sistem yang lebih transpran dan akuntabel.

Perubahan paradigma pengelolaan keuangan negara tersebut tentunya menuntut partisipasi aktif berbagai pihak karena perbaikan tata kelola keuangan negara merupakan tanggung jawab bersama. Banyak pihak yang berkepentingan terhadap transparansi dan akuntabilitas keuangan negara antara lain BPK, lembaga perwakilan, pemerintah (pimpinan entitas, aparat pengawas dan lembaga penegak hukum), publik (lembaga swadaya masyarakat, lingkungan akademisi, dunia profesi dan kalangan media pers), bahkan dunia internasional (negara donor dan kreditor). Satu hal yang perlu dicatat adalah angin reformasi tersebut tidak hanya berhembus di pusat tapi juga menerpa hingga ke tingkat pemerintahan di daerah. Seberapa cepat daerah merespon perubahan paradigma tersebut menentukan keberhasilan reformasi manajemen keuangan daerah. Makalah ini mencoba mengulas mengenai dampak dari proses reformasi keuangan negara terhadap tata kelola keuangan daerah dan strategi yang diperlukan mempercepat tercapainya good governance di daerah.

Reformasi Keuangan Negara

Sebelum era reformasi nasional bergulir, Keuangan Negara Indonesia dikelola secara tidak akuntabel dan tidak transparan. Payung hukum pengelolaan keuangan negara bersandar pada produk peningggalan kolonial Belanda yang dikenal dengan ICW (Indische Comptabiliteit Wet/Undang Undang Perbendaharaan Hindia Belanda). Sistem penganggaran pada saat itu masih memisahkan antara anggaran rutin dan pembangunan yang membuka celah duplikasi pembiayaan. Pengelolaan utang kala itu juga tidak memperhatikan keseimbangan antar generasi. Utang atau pinjaman luar negeri diklasifikasikan sebagai pendapatan pembangunan sehingga timbul kesan tidak perlu dibayar kembali dan menimbulkan warisan utang kepada generasi berikutnya. Pada saat itu setiap instansi pemerintahan pun bebas mengelola dana non-budegeter di luar mekanisme APBN.

Di samping itu Pemerintah belum memiliki mekanisme akuntabilitas yang jelas. Perhitungan Anggaran sebagai satu-satunya laporan keuangan yang disampaikan kepada DPR juga kurang informatif karena dihasilkan dari sistem akuntansi yang tidak memadai. Dengan metode pembukuan tunggal dan menggunakan basis kas sangat sulit bagi Pemerintah kala itu untuk menghasilkan Neraca Kekayaan Negara. Laporan Keuangan BUMN juga belum diintegrasikan ke dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sehingga gambaran kekayaan negara secara utuh tidak pernah terwujud.

Reformasi keuangan negara dimulai tahun 2003 dengan terbitnya paket UU di bidang Keuangan Negara. Paket UU tersebut yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga paket UU ini mendasari pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada international best practices yaitu akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Berbagai perubahan mendasar yang terjadi setelah itu antara lain penerapan anggaran terpadu yang tidak lagi memisahkan anggaran rutin dan pembangunan. Pemerintah juga memperkenalkan mekanisme pembiayaan dalam LRA dimana utang atau bantuan luar negeri dicatat sebagai penerimaan pembiayaan yang mesti dibayar kembali. Seluruh kegiatan entitas pemerintahan juga sedang diupayakan untuk dibiayai dari sumber APBN dengan menertibkan dana non-budgeter pada setiap instansi.

Proses reformasi keuangan negara terus berlanjut dengan diterbitkannya berbagai peraturan pelaksanaan seperti Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005), Standar Akuntansi Pemerintahan (PP No, 24 Tahun 2005), dan Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintahan (PP No. 8 Tahun 2006). Diperkenalkannya sistem pembukuan berpasangan (double entry) dan basis akrual memungkinkan Pemerintah untuk mulai menyusun Neraca. Laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah juga telah diperjelas jenis, format, unsur dan mekanisme penyusunan dan penyampaiannya. Laporan keuangan tersebut setidak-tidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, Laporan Arus Kas (LAK) dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) yang disusun secara berjenjang dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat/daerah yang telah diperiksa oleh BPK harus disampaikan kepada DPR/DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.

Reformasi Keuangan Daerah

Reformasi manajemen keuangan daerah sebenarnya sudah dimulai sebelum paket UU di bidang Keuangan Negara ditetapkan yaitu dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pokok-pokok Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Namun payung hukum tersebut belum dilengkapi dengan berbagai aturan pelaksanaan. Di samping itu perubahan paradigma pengelolaan Keuangan Negara tahun 2003-2004 menyebabkan manajemen keuangan daerah harus disinkronkan dengan tata kelola keuangan negara. Reformasi manajemen keuangan daerah “Jilid II” berlanjut dengan terbitnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah dan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang merevisi UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 25 Tahun 1999 dan PP No. 105 Tahun 2000.

Kekosongan aturan pelaksanaan dan sinkronisasi dengan aturan keuangan negara telah menimbulkan berbagai kendala dalam tataran implementasi. Peraturan perundang-undangan tersebut mewajibkan Pemda menyampaikan pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah dalam bentuk laporan keuangan, yang terdiri dari Neraca, LRA, LAK, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Karena SAP pada masa awal belum terbit, banyak Pemda yang mencari-cari sendiri referensi atau ketentuan dalam menyusun Laporan Keuangan seperti merujuk kepada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku untuk komersial, Draf Publikasian Standar Akuntansi Pemerintahan, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 dan bahkan International Public Sector Accounting Standard (IPSAS).

Setelah SAP diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 permasalahan baru muncul. Perbedaan klasifikasi akun antara SAKD (yang sudah lebih dulu ada) dengan SAP menyebabkan output SAKD harus dikonversi terlebih dahulu untuk menghasilkan laporan keuangan sesuai SAP. Imlementasi sistem akuntansi keuangan daerah juga terkendala dengan faktor SDM yang kurang memadai. Sebagian besar pelaksana belum sepenuhnya “melek” akuntansi karena mereka terbiasa dengan tata pembukuan tunggal (single entry) Perubahan bentuk laporan keuangan tidak serta merta dapat dipahami oleh para pelaksana. Sistem pembukuan yang digunakan sebelumnya tidak memungkinkan suatu entitas menghasilkan neraca, sehingga pelaksana terkendala dalam menyusun neraca awal sebelum akhirnya KASP menerbitkan Buletin Teknis penyusunan Neraca Awal dan Konversi Laporan Keuangan Pemda.

Minimnya insentive pada fungsi akuntansi satker menyebabkan SDM berlatar belakang akuntansi lebih cenderung memilih satker lain atau berkarir di perusahaan swasta yang menjanjikan kompensasi yang tinggi. Dukungan teknologi informasi berbasis komputer juga belum sinkron dan masih perlu banyak penyempurnaan. Untuk menutupi kekurangan tersebut banyak Pemda mengambil “jalan pintas” dengan menyewa konsultan dalam rangka penyusunan Laporan Keuangan. Penggunaan konsultan menimbulkan perbedaan persepsi yang beragam karena sebagian besar konsultan tidak memiliki latar belakang pengetahuan tentang pengelolaan keuangan negara. Disamping itu penyusunan laporan keuangan secara instan menyebabkan informasi keuangan tidak dapat ditelusuri ke dokumen sumber, tidak layak audit dan tidak dapat diperbandingkan dengan Pemda lainnya.

Baik buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah tercermin dari opini BPK atas laporan keuangan Pemda. Sesuai dengan UU No. 15 Tahun 2004 BPK dapat memberikan 4 jenis opini yaitu Wajar Tanpa Pengecualian/WTP (Unqualified Opinion ), Wajar Dengan Pengecualian/WDP (Qualified Opinion), Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer of Opinion) dan Tidak Wajar (Adverse Opinion). Opini menunjukkan kesesuaian laporan keuangan tersebut dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. BPK tidak menyatakan pendapat dalam hal adanya pembatasan lingkup pemeriksaan, auditor tidak independen dalam penugasan atau sistem pengendalian intern tidak dapat diandalkan. Dari keempat jenis opini tersebut opini WTP (Unqualified Opinion) merupakan yang terbaik sedangkan opini Tidak Wajar (Adverse Opinion) merupakan kondisi terburuk.

Belum memadainya kualitas pertanggungjawaban Pemda tercermin dari hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemda pada masa transisi 2005-2006. Hasil pemeriksaan terhadap sebanyak 344 LKPD Tahun 2005, BPK memberi opini WTP pada 18 LKPD (5%), opini WDP pada 291 LKPD (85%), opini Disclaimer pada 18 LKPD (5%) dan opini Tidak Wajar pada 17 LKPD (5%). Kondisi bahkan cenderung menurun pada tahun 2006. Hasil pemeriksaan BPK terhadap 362 LKPD Tahun 2006, BPK memberi opini WTP pada 3 LKPD (1%), opini WDP pada 282 LKPD (78%), opini Disclaimer pada 58 LKPD (16%), dan Tidak Wajar pada 19 LKPD (5%).

Hasil pemeriksaan LKPD menunjukkan bahwa masih banyak kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan kepada peraturan perundang undangan terkait pelaksanaan APBD. Pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah belum diselenggarakan dengan tertib, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel). Diantara masalah yang paling banyak ditemukan adalah (i) pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti bukti pengeluaran yang lengkap, benar, dan syah, (ii) pembebanan anggaran tidak tepat, (iii) penggunaan anggaran tidak hemat, (iv) penyelesaian UUDP/uang muka yang berlarut larut, dan (v) kegiatan pembiayaan di luar mekanisme pengelolaan APBD.

Kondisi ini antara lain terjadi karena 2 faktor yaitu lemahnya fungsi pengawasan internal dan kurangnya komitmen Pemda untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. Bawasda sebagai “mata dan telinga” pimpinan dalam mendeteksi penyimpangan tidak berfungsi optimal. Keterbatasan kemampuan dan jumlah APIP telah menyebabkan proses reviu Laporan Keuangan Pemda tidak memadai. Dengan menandatangani Laporan Keuangan Pemda, Gubernur/Bupati/Walikota sebenarnya secara implisit berupaya menjamin kebenaran, kelengkapan dan validitas informasi keuangan serta efektivitas sistem pengendalian intern dan kepatuhan entitas terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tercermin dalam butir-butir pernyataan dalam Management Representative Letter yang disampaikan kepada BPK pada akhir pemeriksaan laporan keuangan. Proses reviu laporan keuangan Pemda oleh Bawasda pada umumnya tidak sepenuhnya diarahkan untuk menjamin bahwa butir-butir pernyataan dalam MRL tersebut telah dipenuhi.

Ketidakseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti rekomendasi BPK terlihat pada pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester I TA 2006 menunjukkan bahwa dari 15.414 temuan pemeriksaan dengan nilai sebesar Rp60.353,12 miliar dan US$449,92 ribu di lingkungan Pemda, telah ditindaklanjuti 5.586 temuan pemeriksaan dengan nilai sebesar Rp15.046,56 miliar. Sisa temuan sebanyak 9.828 temuan pemeriksaan dengan nilai sebesar Rp45.306,56 miliar dan US$449,92 ribu sampai dengan akhir semester I TA 2006 belum ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah. Rendahnya tingkat tindaklanjut atas rekomendasi BPK dapat mengakibatkan munculnya permasalahan berulang karena akar permasalahannya tidak segera diselesaikan. Untuk itu dibutuhkan komitmen dari semua pimpinan entitas pemerintahan termasuk para gubernur, bupati dan walikota berserta jajarannya untuk segera menindaklanjuti rekomendasi BPK.

Strategi Percepatan Reformasi

BPK sangat menaruh perhatian atas ketertiban adminstrasi keuangan daerah. Dengan semakin tertibnya administrasi keuangan daerah maka beban tugas BPK menjadi lebih ringan. Auditor BPK dapat mengandalkan data keuangan yang dihasilkan oleh lingkungan pengendalian yang tertib. Dengan menggunakan ukuran uji petik yang lebih sedikit, seluruh asersi manajemen atas kewajaran LKPD dapat diuji oleh auditor dengan tingkat keyakinan yang tinggi sehingga risiko audit dapat diminimalisir. Di samping alasan yang bersifat teknis tersebut, BPK juga mengemban visi dan misi yang bersifat lebih strategis sebagaimana tercermin dalam Renstra BPK 2005-2010 yaitu mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Untuk itu BPK melakukan berbagai upaya untuk mencapai visi dan misi tersebut. BPK selalu memberikan pertimbangan atas berbagai usulan pemerintah tentang peraturan pelaksanaan seperti pernah dilakukan atas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengendalian Intern dan Standar Akuntansi Pemerintah. Dalam rangkaian HUT BPK ke 60 beberapa tahun yang lalu, BPK juga pernah menyelenggarakan acara penganugrahan penghargaan kepada Pemda yang telah melakukan upaya maksimal dalam memperbaiki laporan keuangan. BPK memahami bahwa di antara kondisi umum yang belum baik ini masih ada pemerintah daerah yang telah menyiapkan organisasi, sumber daya manusia, infrastruktur, sistem dan prosedur pelaporan keuangan serta publikasi atas laporan keuangan yang telah diaudit. Apresiasi BPK kepada Pemda tersebut tidak diagendakan secara rutin namun sekedar stimulus bagi Pemda yang lain agar berupaya secara maksimal untuk menghasilkan LKPD yang dapat ditelusuri (traceable), layak audit (auditable), akuntabel dan transparan.

BPK menyadari bahwa berbagai penyimpangan yang ditemukan BPK selama ini sebenarnya merupakan gejala saja. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa kelemahan yang bersifat sistemik menjadi penyebab utama belum baiknya kualitas akuntabilitas keuangan daerah. Untuk itu perbaikan harus dilakukan secara komprehensif dan tidak bersifat “tambal sulam”. Sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2004, entitas wajib menindaklanjuti rekomendasi BPK dalam waktu 60 hari kerja setelah hasil pemeriksaan disampaikan. Namun untuk membenahi sistem memang perlu waktu lebih lama dari deadline 60 hari tersebut. Oleh karena itu BPK mendorong pemerintah merumuskan rencana aksi yang diperlukan untuk memperbaiki sistem dengan timeframe yang jelas.

Upaya tersebut telah dimulai BPK melalui serangkaian pertemuan dengan para pimpinan entitas pada 16 kementerian/lembaga yang membidangi masalah politik, hukum dan keamanan pada awal tahun 2007. Dalam pertemuan itu BPK dan auditee membahas berbagai permasalahan yang selama ini selalu ditemukan termasuk penyebab utama kualitas laporan keuangan yang belum baik. Permasalahan tersebut antara lain belum optimalnya pelaksanaan SAI (SAK dan SABMN), kurang efektifnya proses reviu laporan keuangan, belum memadainya dukungan piranti lunak sistem, prosedur dan kebijakan akuntansi, infrastruktur teknologi informasi serta SDM berlatar belakang akuntansi dan komputer. Untuk memecahkan masalah tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun membutuhkan waktu yang lama, dana yang besar dan komitmen pimpinan dan pelaksana yang tinggi. Untuk itu BPK meminta auditee menuangkan dalam bentuk action plan yang jelas yang mencakup rincian program/kegiatan, jangka waktu, unit penanggung jawab dan ketersediaan anggaran. Action plan tersebut nantinya akan menjadi kriteria dalam menilai keseriusan entitas dalam mengimplementasikannya.

Read More......

Rabu, 15 Oktober 2008

Dana pada Rekening Pemerintah Lainnya Mengendap di Luar Kas Negara Sebesar Rp3,04 Triliun

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan pada Semester II tahun 2007, BPK RI menemukan beberapa rekening lainnya milik BUN yang penyelesaiannya berlarut-larut sehingga terjadi pengendapan dana di luar Kas Negara per 31 Desember 2007 sebesar Rp3.043.821,75 juta.Hal tersebut disebabkan tidak adanya kebijakan untuk menertibkan rekening pemerintah yang dikelola oleh BUN, yang sejak lama tidak bermutasi dan yang tidak jelas lagi tujuan pembukaannya serta evaluasi terhadap sisa dana pada rekening-rekening escrow yang dibentuk sebelum tahun 2007, tidak segera dilaksanakan.


Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) per 31 Desember 2007 (unaudited) diketahui bahwa Rekening Lainnya milik BUN berjumlah 325 rekening dengan saldo sebesar Rp21.084.468,14 juta. Dari hasil pemeriksaan terhadap Rekening Lainnya milik BUN tersebut, diketahui bahwa terdapat beberapa permasalahan yang cukup lama tidak terselesaikan pada 32 rekening dengan saldo sebesar Rp3.043.821,75 juta.
Hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dalam kelompok Rekening Pemerintah Lainnya (RPL) yang ditempatkan di Bank Indonesia, terdapat sebanyak 24 rekening dalam valuta asing ekuivalen sebesar Rp1.468.496,46 juta yang tidak bermutasi lebih dari 2 tahun. Tidak terdapat informasi yang memadai mengenai rekening-rekening tersebut, seperti: dasar pembukaan rekening; tujuan pembukaan rekening; jenis rekening apakah rekening penerimaan, rekening pengeluaran atau rekening lainnya; serta sumber dana rekening dan identitas pejabat yang melakukan pembukaan rekening. Berdasarkan data yang diterima yaitu rekening koran per 31 Mei 2005, 29 Juni 2006, 27 September 2006 dan 31 Desember 2007, diketahui bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 tidak terdapat mutasi transaksi penerimaan maupun pengeluaran pada rekening-rekening tersebut. Perubahan nilai saldo rekening karena adanya konversi nilai kurs valuta asing ke mata uang rupiah pada tanggal-tanggal rekening koran tersebut.
2. Lima rekening yang menampung dana Cadangan Subsidi Pangan pada akhir tahun belum tersalurkan seluruhnya sebesar Rp671.772,88 juta, tidak bermutasi lebih dari 2 tahun.
Sisa Cadangan Subsidi Pangan tersebut rencananya akan diberikan kepada Perum Bulog dalam rangka penugasan Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras. Permasalahan mengenai berlarut-larutnya penyelesaian rekening escrow Subsidi Pangan telah diungkap juga dalam hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004 dan 2005. Ditjen Perbendaharaan memberikan penjelasan bahwa dana yang disimpan dalam rekening cadangan subsidi pangan di Bank Bukopin (nomor rekening 1016053-01-1 dan 1016977-01-9) dan BRI (nomor rekening 0206-01-000089-30-1 dan 0206-01-001939-30-5) dapat dicairkan berdasarkan hasil audit BPK-RI. Saat ini saldo nomor rekening 1016977-01-9 dan 0206-01-001939-30-5 telah dicairkan dan kedua rekening ini telah ditutup. Sedangkan pencairan sisa dana atas nomor rekening 1016053-01-1 dan 0206-01-000089-30-1 masih menunggu konfirmasi dari BPK-RI sesuai surat Direktur Jenderal Anggaran Nomor S-3869/AG/2007 tanggal 3 Desember 2007.
3. Tiga rekening yang menampung sisa Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) yang pada akhir tahun belum tersalurkan seluruhnya sebesar Rp903.552,41 juta, tidak bermutasi lebih dari dua tahun.
Sisa DAK DR tersebut dicadangkan untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan reboisasi hutan. Atas Cadangan DAK DR tersebut, kemudian ditetapkan alokasinya untuk masing-masing daerah penghasil berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan data dari departemen teknis. Sebelum tahun 2006, penyaluran DAK DR dilakukan dengan mekanisme penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Kepala Daerah dan kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Perintah Membayar-Langsung (SPM-LS) oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Sejak tahun 2006, DAK DR diubah menjadi DBH SDA Kehutanan, sehingga penyaluran DAK DR selanjutnya mengikuti mekanisme penyaluran DBH SDA yaitu langsung ditransfer dari rekening BUN ke masing-masing Daerah secara triwulanan sesuai realisasi penerimaan SDA. Dari mutasi rekening-rekening DAK DR tersebut., diketahui beberapa hal sebagai berikut:
a. Rekening Sub Account DAK DR tahun 2002 dengan saldo sebesar Rp16.168,95 juta, sejak tahun 2003 sudah tidak aktif. Transaksi terakhir pada rekening tersebut adalah transaksi penyaluran dana sebesar Rp376.260,22 juta kepada pemerintah daerah penerima alokasi DAK DR sesuai surat Direktur Perbendahaan dan Kas Negara Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan kepada Kepala Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah Bank Indonesia Nomor S-2582/A/2003 tanggal 19 Juni 2003. Saldo pada rekening tersebut merupakan sisa lebih pencadangan DAK DR.
b. Rekening Sub Account DAK DR tahun 2004 dengan saldo per 31 Desember 2007 sebesar Rp542.401,96 juta, sejak tahun 2006 sudah tidak aktif.
c. Rekening Sub Account DAK DR tahun 2005 dengan saldo per 31 Desember 2007 sebesar Rp344.991,50 juta, sejak tahun 2006 sudah tidak aktif.

Permasalahan mengenai berlarut-larutnya penyelesaian rekening esrow Sub Account DAK DR tahun 2002, 2004, dan 2005 tersebut telah diungkap juga dalam hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 dan hasil audit BPK atas Pengelolaan Dana Perimbangan tahun 2006 dan Semester I tahun 2007.

Ditjen Perbendaharaan memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Terhadap rekening DAK DR 2002 Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah menutup Rekening No.502.000003 ”Sub BUN DAK DR Tahun 2002” dan memindahkan saldonya sebesar Rp16.035,95,00 ke Rekening 502.000000 Bendahara Umum Negara pada tanggal 14 Maret 2008 Surat No.1887/PB/2008.
2. Atas Saldo DAK DR Tahun 2004 dan Tahun 2005 sebesar Rp887.393,46 juta berdasarkan Surat Permintaan Pemindahbukuan dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan telah dilakukan penyaluran/pemindahbukuan

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan:
1. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan keuangan Negara dikelola secara tertib taat pada peraturan perundangang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005:
a. Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan bahwa DBH Kehutanan, salah satunya berasal dari Dana Reboisasi;
b. Pasal 29 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA) dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan SDA tahun anggaran berjalan; dan
c. Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dilaksanakan secara triwulanan.

Hal tersebut mengakibatkan adanya dana yang menganggur (idle) cukup lama di luar kas negara sampai dengan 31 Desember 2007 sebesar Rp3.043.821,75 juta yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembiayaan pembangunan.

Hal tersebut disebabkan:
1. Tidak adanya kebijakan untuk menertibkan rekening pemerintah yang dikelola oleh BUN, yang sejak lama tidak bermutasi. dan yang tidak jelas lagi tujuan pembukaannya.
2. Evaluasi terhadap sisa dana pada rekening-rekening escrow yang dibentuk sebelum tahun 2007, tidak segera dilaksanakan


Read More......

Senin, 13 Oktober 2008

Titik Rawan Persekongkolan dalam Penyelenggaraan Tender/Pengadaan Barang & Jasa

Persekongkolan untuk memenangkan peserta tender tertentu yang terjadi antara peserta dan penyelenggara tender yang bernuansa korupsi merupakan dugaan inti laporan mengenai tender ini. Selebihnya adalah dugaan diskriminasi, spesifikasi yang mengarah pemenang tertentu, dan proses yang tidak transparan. Dari data tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam proses tender, baik dari pemerintahan pusat maupun daerah, BUMN, atau kalangan swasta di satu sisi sebagai penyelenggara tender, dan di sisi lain para pelaku usaha lainnya sebagai peserta tender, dituntut untuk memahami kebijakan persaingan usaha yang dikembangkan di Indonesia, khususnya dalam hal tender yang rawan praktek antipersaingan.

Disampaikan dalam Seminar Persekongkolan dalam Tender Bahaya Bagi Penyelenggara dan Upaya Mengatasinya yang dilaksanakan oleh Prima Consultant, Hotel Sheraton Media Jakarta, 14 September 2005

Pengadaan Barang/Jasa dapat dilakukan melalui pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, dan penunjukkan langsung. Syarat-syarat diberlakukannya masing-mesing jenis/cara pengadaan tersebut diatur secara jelas dan rinci dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Untuk menentukan sistem pengadaan yang meliputi metoda pemilihan penyedia barang/jasa, metoda penyampaian dokumen penawaran, metoda evaluasi penawaran, dan jenis kontrak, perlu mempertimbangkan jenis, sifat, dan nilai barang/jasa serta kondisi lokasi, kepentingan masyarakat, dan jumlah penyedia barang/jasa yang ada. Pengaturan tersebut dimaksudkan agar pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai dengan APBN dan/atau APBD dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil bagi semua pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Pada kenyataannya, meskipun cara pengadaan barang/jasa telah diatur secara ketat dan rinci, masih terdapat banyak penyimpangan pengadaan barang/jasa yang terjadi. Pekerjaan yang seharusnya dilakukan dengan pelelangan umum ternyata dilakukan dengan penunjukkan langsung banyak terjadi. Bahkan penyimpangan pengadaan barang/jasa merupakan penyimpangan terbesar dibadingkan penyimpangan dalam bidang/kegiatan lain.
Sampai dengan akhir tahun 2004, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menangani 156 laporan dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli). Sesuai dengan kewenangannya, KPPU telah melahirkan 20 putusan dan 7 penetapan dan sebagian besar berkaitan dengan masalah tender. Persoalan tender tersebut meliputi tender pengadaan barang/jasa pemerintah atau BUMN maupun di kalangan swasta.
Persekongkolan untuk memenangkan peserta tender tertentu yang terjadi antara peserta dan penyelenggara tender yang bernuansa korupsi merupakan dugaan inti laporan mengenai tender ini. Selebihnya adalah dugaan diskriminasi, spesifikasi yang mengarah pemenang tertentu, dan proses yang tidak transparan. Dari data tersebut, pihak-pihak yang terlibat dalam proses tender, baik dari pemerintahan pusat maupun daerah, BUMN, atau kalangan swasta di satu sisi sebagai penyelenggara tender, dan di sisi lain para pelaku usaha lainnya sebagai peserta tender, dituntut untuk memahami kebijakan persaingan usaha yang dikembangkan di Indonesia, khususnya dalam hal tender yang rawan praktek antipersaingan.
Mengingat banyaknya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, maka perlu dilakukan pengendalian, pengawasan, dan pemeriksaan atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa, khususnya pelaksanaan tender. Hal tersebut terutama untuk memenuhi minimal tiga prinsip pelaksanaan tender pengadaan barang/jasa, yaitu:
1. terbuka dan bersaing Pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan.
2. transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya.
3. adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun.

CONTOH KASUS PERSEKONGKOLAN TENDER YANG DIUNGKAP KPPU DAN AUDITOR
Contoh kasus berikut merupakan hasil temuan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) yaitu kasus 1 dan 2 serta hasil temuan auditor yaitu kasus 3 - 5. Kasus yang ditemukan oleh KPPU pada umumnya hanya menyangkut persekongkolan dalam tender yang berakibat persaingan tidak sehat. Sedangkan tiga kasus terakhir menyangkut persekongkolan tender yang berakibat kerugian Negara/daerah. Perbedaan titik tekan keduanya pada akibat yang ditimbulkan dari adanya persekongkolan tender karena KPPU tidak sampai kepada penentuan kerugian Negara seperti yang dilakukan oleh auditor. Auditor akan melakukan audit atas pelaksanaan tender dengan tujuan apakah tender telah memperoleh harga yang murah dengan kualitas yang dipersyaratkan.
Beberapa kasus persekongkolan tender pengadaan barang/jasa yang dapat dijadikan ‘ibroh’ diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kasus Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu oleh KPU
Sebelum pengadaan tinta sidik jari diumumkan, Lo Kim Muk dan Yulinda Juniarty menemui Biro Logistik KPU. Beberapa peminat (tidak memiliki perusahaan) berusaha mencari perusahaan untuk mengikuti pelelangan. Nucke Indrawan membeli PT TA, Lo Kim Muk meminjam PT MIM, Mus’ab Mochammad meminjam PT YH, serta Makmur Boy & Jackson Andree W. Kumaat meminjam PT SP (mengajukan bukan perusahaan sendiri). Panitia pengadaan (diketuai Rusadi Kantaprawira) memutuskan 8 konsorsium lulus prakualifikasi tetapi 2 perusahaan tidak memenuhi persyaratan yaitu PT MIM tidak memiliki pengalaman kerja ATK dan PT TA memasukkan pengalaman perusahaan lain. Panitia pengadaan kemudian mempersyaratkan penggunaan tinta India (menunjuk barang tertentu agar rekanan terbatas). Selanjutnya beberapa konsorsium menyepakati untuk menghasilkan 1 pemenang disamping 3 pemenang yang diantisipasi menjadi pemenang, mempertukarkan informasi mengenai harga, dan menyepakati melakukan pengaturan harga, membagi pekerjaan diantara 5 (lima) konsorsium yaitu PT MIM, PT MMS, PT SP, PT TA dan PT YH, dan kesepakatan untuk tetap selalu mengikutsertakan Melina Alaydroes sampai pekerjaan selesai (PT MIM dan PT TA seharusnya digugurkan tetapi tetap dimenangkan).
Pada tahap penentuan pemenang, Panitia mengetatkan persyaratan memiliki angka pengenal impor untuk meluluskan 4 calon pemenang. PT MIM ternyata tidak memiliki API dan tetap dimenangkan. Setelah pembukaan penawaran, Panitia menyesuaikan harga dengan harga rata-rata untuk 4 pemenang (PT MIM, PT FJ, PT WI, dan PT LPS) yang mendapat bagian di setiap zona. PT MIM kemudian menunjuk PT MMS, PT SP, PT TA, dan PT YH untuk melaksanakan pekerjaan pengadaan tinta (sub kontraktor dan sepakat memberikan uang tanda terima kasih ke KPU Rp400 juta. Hal ini menunjukkan persekongkolan berupa penunjukkan rekanan tertentu sebagai pemenang meskipun status & kompetensinya tidak memenuhi persyaratan, melakukan kesepakatan pengaturan harga, dan membagi pekerjaan. Hal tersebut dilarang dalam Pasal 22 UU No. 5/1999 yaitu “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
2. Kasus Pengadaan Alat Kesehatan pada RSUD Bekasi
Perkara ini muncul setelah adanya laporan yang berisikan 4 hal. Pertama, Panitia Lelang mengumumkan melalui “KORAN 5”, sebuah media cetak yang tidak berskala nasional. Kedua, berita acara aanwijzing tidak memuat input hasil aanwijzing, dan Panitia Lelang tidak memberikan Berita Acara tersebut kepada semua peserta lelang. Spesifikasi alkes dalam lampiran Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) menjurus pada merek dan atau tipe tertentu. Ketiga, harga penawaran CV Lodaya, PT Mutiara JF, PT Ina Farma, dan PT Fondaco berbeda tipis dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS); Keempat, adanya dugaan pengaturan dan penetapan pemenang lelang dengan tidak memberikan Berita Acara Aanwijzing kepada seluruh peserta, PT Fondaco tidak bersedia memberi surat dukungan kepada peserta lain sebagai pemenuhan salah satu syarat lelang sehingga peserta tersebut dinyatakan gugur pada tahap evaluasi teknis.
Fakta tentang persekongkolan antara lain merek alat kesehatan telah ditentukan sejak staf marketing PT Fondaco mempromosikan ventilator merek Hamilton Medical. Panitia tidak meminta penawaran harga alat kesehatan yang dilelang guna memberikan kesempatan kepada distributor lain untuk turut berkompetisi menawarkan produk yang sama, sehingga para peserta lelang tidak mempunyai alternatif lain dalam menawarkan ventilator, selain ventilator produk PT Fondaco.
3. Kasus Pengadaan Manual Sistem Akuntansi Keuangan Daerah pada Kabupaten X
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) merupakan satuan kerja yang mempunyai fungsi perencanaan pembangunan bagi Pemerintah Kabupaten X. Pada kenyataannya, BAPPEDA Kabupaten X telah melakukan pekerjaan penyusunan Manual Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD) yang menjadi tugas pokok dan fungsi Bagian Keuangan. Penyusunan Manual SAKD (anggaran Rp279 juta) dilaksanakan secara pemilihan langsung dan tidak melalui proses lelang/tender. Proses pemilihan langsung (dari KAP IS, KAP MS, dan KAP NS) dimenangkan oleh KAP IS sesuai persekongkolan, dengan mengajukan penawaran harga paling rendah dengan kontrak sebesar Rp277,75 juta. Indikasi persekongkolan lain terlihat daribeberapa kejanggalan antara lain:
a. Dokumen administrasi, dokumen usulan biaya, dan usulan teknis sangat mirip dan hanya berbeda pada hal-hal yang berkaitan dengan identitas rekanan karena penawaran dilakukan seluruhnya oleh KAP IS atas persetujuan dua KAP lain.
b. KAP MS memasukkan pengalaman pekerjaan yang tidak pernah dilakukan.
c. Manual SAKD yang dibuat KAP IS tidak dapat dimanfaatkan oleh Bagian Keuangan karena beberapa kebijakan tidak sesuai dengan praktek yang telah dilakukan.
d. Usulan Biaya KAP MS dan KAP NS (dua rekanan yang kalah dalam pelelangan) masing-masing sebesar Rp278,20 juta dan Rp278,45 juta merupakan penawaran harga untuk lingkup yang lebih luas sehingga sebetulnya, khusus untuk Manual SAKD, kedua KAP jauh lebih murah dibandingkan KAP IS yang ditunjuk sebagai pememang. Harga Manual SAKD yang ditawarkan KAP MS hanya sebesar Rp106,33 juta sehingga biaya penyusunan Manual SAKD oleh KAP IS lebih tinggi sebesar Rp171,42 juta.
4. Kasus Pengadaan Genset dan Pemeliharaan Kendaraan Pemadam Kebakaran
Pembelian 1 set genset 30 KVA untuk keperluan kantor Walikota Y dari CV Oryza senilai Rp150 juta dilakukan dengan cara penunjukkan langsung, seharusnya dengan pelelangan terbatas. Meskipun telah ada berita acara serah terima barang yang menyatakan genset dalam keadaan baik, genset dalam keadaan mati dan tidak didukung dengan kartu garansi dan buku manual operasional karena genset merupakan barang bekas yang dicat ulang sehingga terlihat baru. Dengan demikian terjadi kerugian keuangan daerah maksimal sebesar Rp150 juta.
Perbaikan Kendaraan Pemadam Kebakaran sebesar Rp149,13 juta dilaksanakan dengan penunjukkan langsung kepada CV Satria, seharusnya dengan pelelangan terbatas. Berdasarkan konfirmasi ternyata diketahui bahwa perbaikan tidak dilaksanakan oleh CV Satria melainkan oleh Bengkel Joni dengan harga seluruhnya sebesar Rp29 juta. Apabila harga tersebut ditambahkan handling cost (PPN, keuntungan, dan lain-lain) sebesar 25% maka harga jasa perbaikan tersebut hanya sebesar Rp36,25 juta sehingga terjadi kemahalan sebesar Rp112,87 juta.
5. Kasus Rehabilitasi Jalan secara Swakelola
Dinas PU Kota Z melakukan kegiatan swakelola pembangunan jalan dengan total proyek sebesar Rp1.465 juta. Pekerjaan dilakukan secara swakelola berdasarkan permohonan Kepala Dinas PU kepada Walikota dengan alasan sebagai berikut:
a. Waktu pelaksanaan pekerjaan sudah mendesak, atas permintaan masyarakat, dan kondisi jalan rusak berat.
b. Pelaksanaan pekerjaan bertujuan meningkatkan kemampuan teknis Dinas PU
c. Tersedianya alat-alat untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan.
Pekerjaan tersebut seharusnya tidak dilakukan secara swakelola karena tidak sesuai dengan alasan dibolehkannya swakelola menurut Kepres 80/2003. Di samping itu, pelaksanaan pekerjaan dengan swakelola yang seharusnya memberikan harga yang lebih murah (karena tidak perlu dibebankannya laba perusahaan), pada kenyataannya beberapa item pekerjaan atau harga beli bahan lebih tinggi dari standar. Bahkan untuk beberapa bahan, harga yang ditetapkan jauh lebih tinggi dari harga barang yang diajukan oleh kontraktor yang melaksanakan pekerjaan sejenis pada periode yang sama. Seluruh bahan bangunan (aspal, batu pecah, dan pasir) dibeli dari PD Damar Mulia dan solar yang dibeli di Depot Minyak Pembantu yang ternyata harganya juga lebih tinggi dari harga standar. Pekerjaan lapis rekat pengikat seluas 29.000m2 menurut analisa Kepala Dinas PU dibutuhkan aspal sebanyak 144 drum, ternyata bukti pembelian aspal sebanyak 290 drum senilai Rp139,20 juta (Rp480.000,00 per drum) sehingga kelebihan sebanyak 146 drum senilai Rp70,08 juta.

TITIK RAWAN TENDER DALAM KEPRES 80/2003
Penyimpangan dalam tender pengadaan barang/jasa dapat dilakukan oleh pihak pengguna barang/jasa, pihak penyedia barang/jasa, dan kolusi antara pengguna dan penyedia barang/jasa. Penyimpangan oleh pihak pengguna barang/jasa dapat dilakukan dari pucuk pimpinan (Menteri/Pimpinan LPND/Direksi Perusahaan/Kepala Daerah dan lain-lain) sampai kepada pegawai/pejabat terendah dalam pengadaan. Cara yang dipakai pada umumnya berbeda-beda dari yang sangat sederhana sampai lepada yang Sangay rumit dan sulit dideteksi. Meskipun dilakukan oleh berbagai pihak dan dengan cara yang berbeda, tetapi pada umumnya dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi di luar kewajaran.
Dari contoh kasus di atas, dapat diuraikan beberapa titik rawan persekongkolan dalam tender yang umum dilakukan diantaranya sebagai berikut:
1. Penyimpangan yang dilakukan oleh pengguna barang/jasa dan/atau panitia pengadaan. Penyimpangan tersebut dilakukan dengan melibatkan pihak penyedia barang/jasa, akan tetapi pengguna barang/jasa sebagai pihak yang lebih dominan melakukan penyimpangan tersebut. Penyimpangan tersebut antara lain:
a. Pengetatan persyaratan yang mengakibatkan tidak banyak penyedia barang/jasa yang dapat mengikuti tender dan hanya rekanan tertentu saja yang dapat menjadi peserta tender. Hal ini sesuai dengan Kepres 80 melarang penetapan kriteria dan persyaratan pengadaan yang diskriminatif dan tidak obyektif (Pasal 16). Dalam pengumumam lelang mungkin tidak disebutkan secara jelas mengenai merek barang, akan tetapi dari syarat/spesifikasi yang disebutkan telah mengacu pasa suatu merek tertentu. Penyimpangan ini dapat dicegah dengan dilakukannya evaluasi oleh pejabat yang lebih tinggi untuk menentukan apakah persyaratan tender telah sesuai degan ketentuan dan wajar untuk dilaksanakannya tender pengadaan barang/jasa. Di samping itu, penyedia barang/jasa dapat mengajukan keberatan kepada panitia tender atas penyajian syarat-syarat yang diperkirakan akan membatasi pihak tertentu yang seharusnya dapat mengikuti tender.
b. Meloloskan peserta tender yang tidak memenuhi persyaratan.
c. Melakukan penunjukkan langsung untuk pengadaan barang/jasa yang seharusnya dilaksanakan dengan pemilihan langsung atau lelang terbatas/terbuka. Kepres 80 mengatur bahwa dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, pada prinsipnya dilakukan melalui metoda pelelangan umum. Batasan kuantitas penunjukkan langsung adalah suatu pekerjaan yang nilainya sampai dengan Rp50 juta dan pemilihan langsung dilakukan untuk pekerjaan yang nilainya sampai dengan Rp100 juta. Dalam melakukan penyimpangan cara pengadaan tersebut, terkadang didahului dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara pengguna dengan penyedia barang/jasa. Hal ini untuk mengesankan telah dipenuhinya ketentuan sebagaimana peraturan perundang-undangan. Penyimpangan tersebut dimungkinkan karena Kepres 80/2003 memberikan peluang dilakukannya penunjukkan langsung atau pemilihan langsung untuk pengadaan barang/jasa yang seharusnya dilakukan dengan pelelangan, sebagaimana Pasal 17:
Dalam hal metoda pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metoda pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negosiasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan melalui internet.
Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
Penunjukkan langsung menurut Kepres No. 80/2003 sebagaimana telah diubah dengan Kepres No. 61/2004 sebenarnya telah diatur secara jelas sebagai berikut:
1) penanganan darurat untuk pertahananan negara, keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaaannya tidak dapat ditunda/harus dilakukan segera; dan/atau
2) penyedia jasa tunggal; dan/atau
3) pekerjaan yang perIu dirahasiakan yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden; dan/atau
4) pekerjaaan yang berskala kecil dengan ketentuan: untuk keperluan sendiri, mempunyai risiko kecil, menggunakan teknologi sederhana, dilaksanakan oleh penyedia jasa usaha orang perseorangan dan badan usaha kecil, dan/atau bernilai sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan/atau
5) pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak paten atau pihak yang telah mendapat ijin; dan/atau
6) pekerjaan yang memerlukan penyelesaian secara cepat dalam rangka pengembalian kekayaan negara yang penanganannya dilakukan secara khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
d. Pengumuman tender pada media terbatas sehingga tidak semua penyedia barang/jasa dapat mengetahui informasi adanya tender tersebut. Kepres 80 mengatur bahwa pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.
e. Panitia tidak menguasai teknis pekerjaan sehingga barang yang dipesan/dikerjakan tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal Kepres 80/2003 mensyaratkan agar panitia pengadaan memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan dan memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan yang bersangkutan.
f. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa dengan cara swakelola yang seharusnya tidak dapat dilakukan secara swakelola. Meskipun dilakukan secara swakelola, ternyata barang yang diadakan lebih tinggi harganya jika dibandingkan dengan apabila barang tersebut dikerjakan pihak ketiga.
2. Penyimpangan yang dilakukan oleh penyedia barang/jasa. Penyimpangan ini dapat dilakukan oleh penyedia barang/jasa secara sendiri-sendiri, bersama-sama penyedia barang/jasa lain, atau kolusi dengan pengguna barang/jasa. Kepres 80/2003 mengatur mengenai syarat penyedia barang/jasa sebagai berikut:
a) memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa;
b) memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa;
c) tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menjalani sanksi pidana;
d) secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak;
e) sebagai wajib pajak sudah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, dibuktikan dengan melampirkan fotokopi bukti tanda terima penyampaian Surat Pajak Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) tahun terakhir, dan fotokopi Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 29;
f) dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir pernah memper-oleh pekerjaan menyediakan barang/jasa baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontrak, kecuali penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun;
g) memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;
h) tidak masuk dalam daftar hitam;
i) memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan pos;
j) khusus untuk penyedia barang/jasa orang perseorangan persyaratannya sama dengan di atas kecuali huruf f.
Beberapa penyimpangan yang dilakukan penyedia barang/jasa antara lain:
a. Peserta tender sebenarnya tidak memiliki perusahaan yang dapat mengikuti tender tetapi mempunyai informasi adanya tender. Kemudian, peserta membeli, meminjam, atau mendirikan perusahaan baru untuk mengikuti tender tersebut. Dengan demikian, mungkin bidang usaha atau pengalamannya tidak mendukung penyediaan barang/jasa yang baik dan dibutuhkan oleh pengguna barang/jasa.
b. Peserta tender memasukkan pengalaman pengadaan barang/jasa perusahaan lain. Hal ini dimaksudkan agar terlihat pernah melakukan pengadaan barang/jasa sejenis pada perusahaan lain.
c. Peserta tender melakukan permainan harga dengan mengajukan harga yang jauh di bawah owner estimate dengan maksud memenangkan tender. Memang, Kepres 80/2003 tidak membatasi sampai berapa persen penawaran di bawah OE (sebelumnya, penawaran harga di bawah 80% dari OE akan dibatalkan). Untuk menjamin tetap dilaksanakannya pekerjaan sesuai perjanjian, maka pengguna barang/jasa dapat menambah jaminan pelaksanaan minimal sebesar 80%. Bahkan pengguna barang/jasa dapat menetapkan jaminan sebesar nilai proyek sehingga apabila penyedia barang/jasa melakukan wanprestasi, pengguna barang/jasa mempunyai jaminan pelaksanaan yang cukup. Permainan harga juga dapat dilakukan dengan melakukan mark-up dengan bekerja sama pengguna barang/jasa terutama ketika pelaksanaan dengan cara penunjukkan langsung atau pemilihan langsung.
Dalam Pasal 13 Kepres 80/2003 diatur mengenai harga perkiraan sendiri (HPS) sebagai berikut:
(1) Pengguna barang/jasa wajib memiliki HPS yang dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertangungjawabkan.
(2) HPS disusun oleh panitia/pejabat pengadaan dan ditetapkan oleh pengguna barang/jasa.
(3) HPS digunakan sebagai alat untuk menilai kewajaran harga penawaran termasuk rinciannya dan untuk menetapkan besaran tambahan nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang dinilai terlalu rendah, tetapi tidak dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penawaran.
(4) Nilai total HPS terbuka dan tidak bersifat rahasia.
(5) HPS merupakan salah satu acuan dalam menentukan tambahan nilai jaminan.
d. Penyedia barang/jasa mensuplai barang yang tidak sesuai dengan perjanjian dengan harga yang tetap atau melakukan sub kontraktor atas pekerjaan yang diperjanjikan.

AUDIT ATAS PELAKSANAAN TENDER
Persekongkolan tender dapat diungkapkan melalui laporan pihak-pihak yang dirugikan maupun melalui pemeriksaan (audit) atas proses tender pengadaan barang/jasa. Laporan pihak tertentu dimungkinkan karena Kepres 80/2003 telah mengatur hal tersebut dengan maksud menghindari persekongkolan sebagaimana Pasal 27 sebagai berikut:
Peserta pemilihan penyedia barang/jasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barang/jasa apabila ditemukan:
1. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa;
2. rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan yang sehat;
3. penyalahgunaan wewenang oleh panitia/pejabat pengadaan dan/atau pejabat yang berwenang lainnya;
4. adanya unsur KKN di antara peserta pemilihan penyedia barang/jasa;
5. adanya unsur KKN antara peserta dengan anggota panitia/ pejabat pengadaan dan/atau dengan pejabat yang berwenang lainnya.
Setiap pengaduan harus ditindaklanjuti oleh instansi/pejabat yang menerima pengaduan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Persekongkolan dalam tender juga dapat diungkap melalui pelaksanaan audit atas proses tender. Hal ini mengingat pemeriksaan (auditing) adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan. Pelaksanaan tender juga merupakan suatu pengelolaan keuangan yang dapat dianalisa apakah telah dilakukan secara cermat, kredibel, dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pemeriksaan atas pelaksanaan tender dilakukan melalui pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan termasuk di dalamnya pengujian atas belanja/biaya pengadaan barang/jasa. Meskipun hasil audit keuangan adalah berupa opini (pernyataan pendapat) atas kewajaran laporan keuangan, akan tetapi auditor dapat menyampaikan penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan berkaitan dengan pelaksanaan tender yang ada pada entitas yang diperiksa. Hasil audit atas penyimpangan tender yang ditemukan dalam audit keuangan mungkin masih sangat global sehingga dapat diperdalam dengan audit lanjutan, baik audit operasional maupun audit investigatif.
Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Hal ini terutama untuk menguji apakah pelaksanaan tender telah dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) saat ini intensif melakukan pemeriksaan terhadap pengadaan barang dan jasa di departemen dan lembaga non departemen (LPND) selama tahun 2005 ini yang dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini dikarenakan pengadaan barang/jasa oleh departemen dan LPND hingga saat ini dianggap menjadi penyebab terjadinya ekonomi biaya tinggi karena adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Hasil pemeriksaan terhadap pengadaan barang/jasa di departemen dan LPND tidak hanya akan menghasilkan temuan yang berkaitan dengan masalah itu saja tetapi juga rekomendasi apakah berbagai peraturan yang ada (Keppres No. 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa) sudah memuaskan atau belum. Berdasar data Kantor Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, untuk tahun 2005 belanja pemerintah untuk pengadaan barang/jasa mencapai sekitar Rp74 triliun. Pencegahan besarnya kerugian negara akibat penyimpangan pengadaan barang/jasa dan korupsi pengadaan barang merupakan langkah kedua dari delapan langkah dalam pemberantasan korupsi.
BPKP beserta Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan delapan langkah penanganan korupsi yaitu:
Pertama yang disepakati adalah pembersihan di Setneg, Sekkab, Kantor Presiden, dan Kantor Wakil Presiden dari korupsi. ketiga adalah mencegah penyimpangan dalam tender proyek-proyek rekonstruksi Aceh yang cukup besar selama empat tahun. Keempat, mencegah penyimpangan tender bagi pembangunan infrastruktur lima tahun ke depan. Kelima, berdasarkan bukti-bukti permulaan dan dugaan kuat terjadi korupsi dan penyimpangan di berbagai lembaga pemerintahan dan swasta akan dilakukan langkah-langkah hukum. Keenam, mencari dan menemukan terpidana yang telah dijatuhi hukuman atau sedang menjalani proses hukum yang diduga kuat berada di luar negeri. Ketujuh, melakukan peningkatan intensitas pemberantasan penebangan liar, dan kedelapan, melakukan penelitian terhadap pembayar pajak dan cukai tahun 2004.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan sebelumnya (keuangan dan kinerja). Termasuk dalam audit tujuan tertentu adalah audit investigasi yang merupakan audit untuk membuktikan ada/tidaknya indikasi tindak pidana korupsi. Audit investigasi atas pelaksanaan tender dilaksanakan dalam hal pelaksanaan/proses tender pengadaan barang/jasa berindikasi adanya KKN.
Mengungkap pengadaan barang dan jasa yang rawan korupsi tentunya terkait erat dengan permasalahan tindak pidana korupsi. Untuk itu, sekedar mengingatkan kembali akan makna Tipikor sebagaimana diatur dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa:
1. Pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
2. Pasal 3:
“Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Secara melawan hukum adalah melawan hukum atau tidak, sesuai dengan ketentuan-ketentuan baik secara formal maupun material, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan-peraturan maupun perundang-undangan. Selain dari itu juga termasuk tindakan-tindakan yang melawan prosedur dan ketentuan dalam sebuah instansi, perusahaan yang telah ditetapkan oleh yang berkompeten dalam organisasi tersebut. Hukum yang pada umumnya dilanggar oleh pelaku dalam pengadaan barang dan jasa adalah Kepres 80 tahun 2003, disamping aturan intern perusahaan lainnya yang dimaksudkan sebagai pengenalian dalam pengadaan barang dan jasa suatu entitas.
Memperkaya diri, atau orang lain atau suatu korporasi adalah memberikan manfaat kepada pelaku tindak pidana korupsi, baik berupa pribadi, atau orang lain atau suatu korporasi. Bentuk manfaat yang diperoleh karena meperkaya diri adalah, terutama berupa uang atau bentuk-bentuk harta lainnya seperti surat-surat berharga atau bentuk-bentuk asset berharga lainnya, termasuk di dalamnya memberikan keuntungan kepada suatu korporasi yang diperoleh dengan cara melawan hukum. Dalam hal yang berkaitan dengan korporasi, juga termasuk memperkaya diri dari pengurus-pengurus atau orang-orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan-hubungan lainnya. Pihak yang diperkaya dalam pengadaan barang dan jasa antara lain rekanan yang memperoleh keuntungan yang melebihi kewajaran (mark-up), pelaku pengadaan dan kepala satuan kerja yang memperoleh komisi/rabat/fee dll dari rekanan serta pihak lain seperti broker.
Dapat merugikan keuangan negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi adalah cukup dengan adanya unsur-unsur perbuatan yang telah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat dari sebuah perbuatan, dalam hal ini adalah kerugian negara. Kerugian negara akibat pengadaan barang dan jasa adalah penggelembungan biaya/harga (mark-up) atas barang dan jasa kebutuhan entitas pemerintah. Kerugian negara juga dapat terjadi karena adanya rabat/diskon/komisi/fee dan sejenisnya yang diberikan rekanan tetapi tidak masuk ke Kas Negara/Daerah.


Read More......

Rabu, 08 Oktober 2008

Menyoal Kewenangan DPD-RI atas APBD

Penulis, mewakili masyarakat “angkat topi” dengan inisiatif salah satu Anggota DPD-RI asal Sumatera Selatan (Ruslan Wijaya) untuk mempublikasikan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sumatera Selatan tahun 2004 yang dapat merangsang proses pencerdasan masyarakat atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Akan tetapi, publikasi tersebut hendaknya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai proses pencerdasan tersebut berubah menjadi proses pembodohan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk semakin apatis dan anarkis melihat nilai penyimpangan yang sangat spektakuler dan ternyata kurang tepat dalam arti nilai kerugian tersebut tidak sebesar yang diungkapkan.

Harian Umum Sumatera Ekspres (Sumeks) tanggal 13 Januari 2006 menyajikan berita “Diduga Rugikan Negara Rp678 M” terkait dengan Hasil Audit BPK-RI atas APBD Sumsel 2004. Berita tersebut diungkapkan oleh salah seorang Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) asal Sumatera Selatan, Ruslan Wijaya. Atas pemberitaan tersebut, kami selaku warga masyarakat memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas upaya pencerdasan kepada masyarakat dengan mempublikasikan hasil audit BPK. Hal tersebut mengingat UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan bahwa Hasil Pemeriksaan BPK yang telah disampaikan kepada Lembaga Perwakilan (DPR/DPD/DPRD) dinyatakan terbuka untuk umum.
Pada media yang sama tanggal 16 Januari 2006, saya selaku Pengamat Kebijakan Publik dan Ketua Harian IAI Sumsel bermaksud menempatkan permasalahan sesuai dengan kondisi sebenarnya. Nilai kerugian sebesar Rp678,3 Milyar terkesan sangat fantastis jika dibandingkan dari APBD 2004 yang kurang dari satu Triliun rupiah. Setelah melihat poin-poin temuan BPK ternyata apa yang diungkapkan dalam judul memang kurang tepat karena ternyata nilai kerugian Negara tidak sebesar yang disebutkan.
Terlepas dari kesalahan pengungkapan tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas kewenangan DPD-RI mempublikasikan dan/atau melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. Banyak pihak menyangsikan kewenangan DPD atas APBD karena dari nomenklaturnya, perwakilan daerah, berarti anggota DPD asal Sumsel seharusnya membantu daerah dalam memperoleh dana perimbangan yang lebih besar dari APBN. Sepertinya tidak ada kaitan antara DPD dengan perumusan APBD dan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD.
Berikut tinjauan peraturan perundang-undangan tentang kewenangan DPD dalam kaitannya dengan APBD dan pelaksanaan kewenangan Pemerintah daerah dengan harapan dapat menempatkan DPD sesuai dengan maksud pembentukannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

KEWENANGAN DPD DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 22D UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa DPD dapat mengajukan dan membahas Rancangan Undang Undang (RUU) serta melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU terkait dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Dari ketentuan tersebut, terlihat bahwa wewenang DPD lebih ditekankan pada APBN dan pelaksanaan APBN dan isyu-isyu daerah yang mempunyai keterkaitan dengan Pemerintah Pusat. Tidak ada dasar kuat yang menetapkan adanya kewenangan DPD untuk mengusulkan dan membahas Raperda APBD, maupun melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. RUU tentang pajak, pendidikan, dan agama juga merupakan kewengangan Pemerintah Pusat yang tidak dilimpahkan kepada Pemerintah daerah, sehingga menegaskan porsi kewenangan DPD atas APBN dan kegiatan Pemerintah Pusat.
Dalam UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD dijelaskan bahwa DPD mempunyai fungsi mengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu dan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu (pasal 41). Bidang legislasi tertentu tersebut dijabarkan dalam beberapa pasal berikutnya yang intinya tidak berbeda dengan yang disebutkan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 47 UU yang sama disebutkan bahwa DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU yang berkaitan dengan APBN.
Dari UU 22 tersebut, jelas bahwa DPD mempunyai kewenangan dalam bidang APBN dan urusan Pemerintah Pusat dan tidak ada (sedikit sekali) kaitannya dengan APBD dan urusan Pemerintah daerah. Penerimaan hasil audit BPK oleh DPD secara tegas dimaksudkan untuk dapat memberikan pertimbangan tentang RUU yang berkaitan dengan APBN dan bukan APBD. Ini berarti bahwa DPD dapat mempublikasikan hasil audit BPK yang berkenaan dengan APBN dan tidak mempunyai kewenangan mempublikasikan hasil audit BPK yang berkenaan dengan APBD.
Kewenangan DPD terkait dengan hasil audit BPK lebih tegas diatur dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 17 ayat (1) menyatakan bahwa Laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD. Ayat (2) menyatakan bahwa LHP atas laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) disampaikan oleh BPK kepada DPRD. Dua ayat dalam pasal 17 tersebut jelas membedakan kewenangan dalam menerima LHP BPK. LHP BPK atas LKPP disampaikan kepada DPR dan DPD, sedangkan LHP BPK atas LKPD disampaikan kepada DPRD. Ini berarti bahwa yang berhak menerima LHP BPK atas LKPD dan menindaklanjuti temuan BPK yang diungkapkan dalam LHP adalah DPRD dan bukan DPD.
Memang dalam Pasal 18 menyatakan bahwa Ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPD/DPRD). Hal ini IHPS yang merupakan ringkasan hasil pemeriksaan BPK selama satu semester atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan BUMN/BUMN disampaikan kepada seluruh lembaga perwakilan (termasuk DPD). Akan tetapi, apabila dikaitkan dengan UU 22 tahun 2003 maka maksud disampaikannya IHPS tersebut agar DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR terkait dengan RUU APBN.

SIMPULAN & SARAN
Penulis, mewakili masyarakat “angkat topi” dengan inisiatif salah satu Anggota DPD-RI asal Sumatera Selatan (Ruslan Wijaya) untuk mempublikasikan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Sumatera Selatan tahun 2004 yang dapat merangsang proses pencerdasan masyarakat atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Akan tetapi, publikasi tersebut hendaknya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai proses pencerdasan tersebut berubah menjadi proses pembodohan masyarakat dan mendorong masyarakat untuk semakin apatis dan anarkis melihat nilai penyimpangan yang sangat spektakuler dan ternyata kurang tepat dalam arti nilai kerugian tersebut tidak sebesar yang diungkapkan.
LHP BPK setelah disampaikan kepada lembaga perwakilan (DPR/DPD/DPRD) dinyatakan terbuka untuk umum. Hal ini berarti bahwa LHP BPK dapat diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat. Akan tetapi menilik dari peraturan perundangan yang lebih menekankan kewenangan DPD pada pengelolaan dan pertanggungjawaban APBN dan kegiatan Pemerintah Pusat, maka DPD seharusnya mendorong DPRD yang mempunyai kewenangan pengawasan pelaksanaan APBD untuk memaksimalkan perannya. Hak untuk tahu (right to know) masyarakat harus dipenuhi dengan meningkatnya peran DPRD (bukan DPD) menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK dan mempublikasikan Hasil Pemeriksaan BPK tersebut kepada masyarakat.


Read More......

Pengaruh Audit Sektor Publik Terhadap Akuntabilitas Publik Pemerintah Daerah

Audit sektor publik dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan yang diperiksa telah mematuhi prinsip akuntansi berterima umum, peraturan perundang-undangan dan pengendalian intern serta kegiatan operasi entitas sektor publik dilaksanakan secara efisien, ekonomis, dan efektif. Dalam kekerbatasan yang ada, audit tetap perlu dilakukan agar tercipta akuntabilitas publik yang lebih transparan dan akuntabel.

PENDAHULUAN

Pemerintah (Pusat dan Daerah) saat ini sedang melakukan perubahan tata pembukuan dari sistem pembukuan menjadi sistem akuntansi dalam menyusun laporan keuangannya. Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah merupakan pijakan awal kewajiban Pemerintah Daerah menerapkan akuntansi yang menghasilkan laporan pertanggungjawaban berupa Laporan perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah. Unsur laporan tersebut berbeda dari laporan pertanggungjawaban yang lama, terutama adanya Laporan Aliran Kas dan Neraca Daerah. Neraca Daerah merupakan laporan yang menggambarkan posisi keuangan pemerintah mengenai aktiva, hutang dan ekuitas dana pada suatu tanggal tertentu.
Perubahan tata usaha keuangan daerah tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dengan penyiapan proses auditing (pemeriksaan). Audit atas tata usaha keuangan Pemda (audit sektor publik) juga harus mengalami perubahan dimana tujuannya adalah menunjukkan, dengan dasar yang cukup dan tepat dari bukti-bukti audit, apakah laporan keuangan disajikan secara wajar posisi keuangan Pemerintah Daerah, hasil operasi, dan perubahan ekuitas sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa:
Pasal 31
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Kauangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Sayangnya, kebanyakan Pemerintah Daerah sampai dengan saat ini belum mampu menyajikan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD berupa laporan keuangan yang diharuskan oleh PP 105 tersebut. Standar Akuntansi Pemerintahan yang sedang disusun oleh komite standar belum juga disahkan dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Padahal laporan keuangan dan standar akuntansi pemerintahan merupakan prasyarat mutlak dapat dilakukannya audit atas laporan keuangan pemerintah daerah. Untuk itu perlu dicarikan upaya pelaksanaan audit yang mampu menjamin akuntabilitas Keuangan Pemerintah Daerah dalam kondisi yang belum semuanya berjalan dengan baik tersebut.

AKUNTABILITAS PUBLIK PEMERINTAHAN DAERAH

Pemberian otonomi kepada daerah memberi keleluasaan daerah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan tujuan agar kesejahteraan masyarakat semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dampak berlakunya otonomi dan desentralisasi tersebut terhadap pengelolaan keuangan daerah adalah semakin luasnya kewenangan pemda mengelola dana masyarakat (public money). Agar pengelolaan dana masyarakat tersebut dapat dilakukan secara lebih transparan, ekonomis, efisien, efektif, dan akuntabel, kiranya pemda harus menggunakan konsep value for money, hingga akhirnya terwujud akuntabilitas publik.
Konsep value for money sangat penting bagi pemerintah sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat karena pemakaian konsep tersebut akan memberi manfaat berupa:
1. Efektivitas pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan apa yang telah direncanakan dan tepat sasaran.
2. Meningkatkan mutu pelayanan publik.
3. Dengan menghilangkan setiap inefisiensi dalam seluruh tindakan pemerintah maka biaya pelayanan yang diberikan menjadi murah dan selalu dilakukan penghematan dalam pemakaian sumber daya.
4. Alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan public
5. Meningkatkan public cost awareness sebagai akar dari akuntabilitas publik.
Kiranya tuntutan untuk untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik dapatlah dihantarkan oleh konsep value for money dalam kerangka otonomi daerah.
Tuntutan masyarakat kepada pemda untuk melakukan akuntabilitas publik mengakibatkan pemda harus juga melakukan pelaporan secara horizontal (horizontal reporting) yang ditujukan kepada DPRD dan masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas horizontal (horizontal accountability) tidak sekedar melakukan pelaporan vertikal kepada pemerintah pusat (vertical reporting). Akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktifitas dan kinerja finasial pemda kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah pusat dan pemda bertindak sebagai pelaku (subjek) pemberi informasi untuk memenuhi hak-hak publik, yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.

AUDIT SEKTOR PUBLIK OLEH BPK-RI

Audit sektor publik merupakan audit yang dilakukan terhadap entitas sektor publik seperti pemerintahan, BUMN/BUMD, yayasan, partai politik, badan/lembaga amil zakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga/organisasi/badan hukum lain yang dananya bersumber dari masyarakat.
BPK mempunyai kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan untuk melakukan audit atas entitas-entitas tersebut, khususnya audit atas entitas pemerintah, penerima bantuan keuangan pemerintah, BUMN/D, yayasan yang didirikan oleh pemerintah/BUMN/BUMD dan lain-lain. Audit tersebut dapat dilakukan sendiri oleh BPK maupun dilakukan oleh/bersama-sama dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Kantor Akuntan Publik (KAP). Dalam hal pelaksanaan audit dilakukan oleh APIP maupun KAP, maka mereka wajib menyampaikan laporan auditnya kepada BPK untuk dipublikasikan.
BPK diberikan kebebasan dan kemandirian (independen) dalam menentukan obyek pemeriksaan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan audit. Meskipun demikian, lembaga perwakilan (DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) dapat memberikan saran dan mengadakan pertemuan konsultasi dengan BPK dalam perencanaan tugas pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK disampaikan kepada lembaga perwakilan dan pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Khusus Pemerintah Daerah disampaikan kepada DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan Gubernur/Bupati/Walikota. LHP yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan TERBUKA UNTUK UMUM, kecuali laporan yang memuat rahasia Negara yang diatur dalam peraturan perundangan. Lembaga perwakilan wajib menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya.

MANFAAT AUDIT SEKTOR PUBLIK

Audit sektor publik adalah jasa penyelidikan bagi masyarakat atas organisasi publik dan politikus yang sudah mereka bayar. Hal ini memberikan keuntungan yang lebih besar, uang yang mereka bayarkan dapat diketahui telah digunakan secara benar dan janji para politisi dapat diperiksa oleh pihak yang independen. Dengan demikian dengan dilakukannya audit sektor publik dapat diperoleh manfaat:
a. Terjaminnya tranparansi
Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara. Rakyat berhak tahu kemana dan untuk apa anggaran Negara dibelanjakan. Dalam pertanggungjawaban Keuangan Negara, masyarakat perlu diberikan hak untuk mengetahui pertanggungjawaban Keuangan Negara yang dilakukan oleh Negara atau daerah. Minimal, Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah perlu dipublikasikan sehingga masyarakat dapat menilai pertanggungjawaban tersebut.
b. Terjaminnya Akuntabilitas berorientasi pada hasil.
Hal ini merupakan landasan penerapan anggaran berbasis kinerja. Artinya, dalam pertanggungjawaban Keuangan Negara, akan dilihat kinerja apa yang telah dicapai oleh Pemerintah dalam menghabiskan dana APBN/APBD. Jika tidak ada kinerja yang dicapai maka tidak boleh se-sen-pun uang Negara dibelanjakan.
c. Memudahkan DPRD mengambil keputusan
Sebelum laporan pertanggungjawaban Pemerintah (Perhitungan Anggaran Negara) dan laporan pertanggungjawaban kepala daerah disampaikan kepada DPR/DPRD, wajib diperiksa terlebih dahulu oleh BPK-RI. Dengan telah diperiksanya laporan keuangan tersebut dapat lebih menjamin bahwa laporan keuangan yang disajikan telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan/peraturan perundangan yang berlaku.
d. Membantu Kejaksaan dalam proses investigasi
Dalam rangka mempercepat proses pemberantasan tindak pidana korupsi BPK melakukan pemeriksaan investigasi atas masalah yang mengandung tindak pidana korupsi. Apabila dalam proses pemeriksaan investigasi tersebut ditemukan adanya tindak pidana korupsi maka hasil investigasi tersebut dilaporkan kepada pihak kejaksaan untuk ditindaklanjutu. Dengan demikian pihak kejaksaan dapat memperoleh bukti awal untuk dilanjutkan dalam tahap penyidikan dan penuntutan di pengadilan.

PENUTUP

Audit sektor publik dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan yang diperiksa telah mematuhi prinsip akuntansi berterima umum, peraturan perundang-undangan dan pengendalian intern serta kegiatan operasi entitas sektor publik dilaksanakan secara efisien, ekonomis, dan efektif. Dalam kekerbatasan yang ada, audit tetap perlu dilakukan agar tercipta akuntabilitas publik yang lebih transparan dan akuntabel.
Auditor (baik internal maupun eksternal) juga harus berbenah diri untuk mensukseskan pola pertanggungjawaban pemerintah daerah yang lebih baik dalam kerangka good government governance. Mengingat pentingnya kelayakan informasi yang diterima masyarakat tidak menyimpang dari peraturan tersebut, BPK melakukan tugas pemeriksaan, sehingga informasi yang disampaikan ke masyarakat telah terjamin kewajarannya dan pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.



Read More......